BAB 5
API
Siang itu adalah sebuah hari yang cukup menyakitkan bagi keluarga kami. Pabrik tahu tempat mengolah kedelai menjadi tahu milik keluarga kami terlalap habis si jago merah. Padahal gudang itu satu-satunya yang keluarga kami miliki untuk menyambung hidup. Tidak ada lagi yang tersisa semua habis dilalap api, hanya meninggalkan serpihan hitam menggerogoti bekas bangunan yang hangus. Ibuku menangis pilu, bapakku berusaha tidak panik namun tetap saja dia masih terlihat panik bagiku. Kudekap erat kedua adikku. Kuharap ini tidak menjadikan mereka trauma secara psikologis, melihat pabrik tahu terbakar api.
Aku menguatkan hatiku, aku menguatkan hati ibu dan bapakku serta kedua adikku. Aku berpura-pura kuat menenangkan mereka semua meskipun aku sendiri rapuh dan lemah. Namun, bukankah manusia akan lebih kuat jika ada yang memberikan kekuatan dari luar padanya?
“Sekarang pabrik tahu kita hangus, Nak. Ibu gak tahu lagi besok kita makan pakai apa.” Ujar Ibu putus asa.
“Bu, yang ngasih kita rezeki itu Allah, Bu. Bukannya pabrik tahu. Pabrik tahu mah hangus, masih ada jalan lain untuk kita nyari rezeki.” Bapak menenangkan ibu yang panik sambil menepuk bahu ibu lembut. Aku mencoba menyeka air mataku yang meleleh. Sebagai seorang anak, tidaklah aku tega melihat kedua orang tuaku mengalami kesulitan. Setidaknya aku ingin sekali menjadi berguna dan membantu mereka, meringankan beban hidup mereka.
“Mba, kalau pabrik tahu hangus, nanti Sinar sekolahnya gimana? Sinar bisa sekolah lagi gak?” tanya Sinar dengan mata yang nanar. Aku meremas pipinya yang gempal, kuyakinkan padanya bahwa pertolongan Allah itu nyata dan pasti ada. Insyaallah jika Sinar memiliki keinginan untuk bersekolah, maka Allah akan memerintahkan semesta untuk bahu membahu menolong Sinar. Duhai Sinar adikku, tetaplah bersinar di masa sulit ini. Aku mengecup pipinya yang gempal dengan lembut.
Kehidupan adalah permainan belaka bukan, ada senang ada sedih, ada bahagia ada duka, ada tawa ada luka. Semua komplit dipersembahkan untuk manusia agar manusia mengetahui sejatinya hidup hanyalah sementara dan permainan belaka. Jika kemarin kita bisa hidup sederhana, bisa saja dalam satu malam berubah menjadi miskin, kemudian dalam satu detik berubah menjadi lebih miskin dan bertambah sangat miskin. Namun, bukankah semua bisa kembali berubah? Siang malam pun bergantian mengalami perubahan, musim salju, musim panas mengalami pergantian. Aku yakin, jika saat ini keluargaku jatuh miskin, suatu saat nanti akan terjadi perubahan karena sejujurnya dunia selalu berubah dan roda terus berputar.
Aku meyakini Sinar adikku untuk tidak menjadi pribadi yang lemah, aku menyemangati ibuku untuk tetap bersemangat, aku memacu bapakku agar tidak berputus asa. Pertolongan Allah itu nyata. Hanya aku di keluarga ini sebagai anak tertua yang dapat diandalkan, tidak ada lagi, sebagai tugasku memberikan semangat kepada keluargaku.
Beberapa hari berlalu semenjak kejadian itu, keluarga kami berusaha untuk tetap tenang dan bersikap dingin. Bapak sangat hati-hati sekali dalam membuat keputusan, namun entah mengapa kali ini keputusannya agak menyedihkan. Dia mengundang seorang tamu saudagar kaya raya ke rumah kami.
Ibu menyeretku ke kamarku dan mendandaniku dengan gincunya yang merah menyala, pipiku ditaburi bedak miliknya. Dia menyuruhku berganti dengan jarik coklat yang manis, tak lupa rambutku pun dikepang dua olehnya. Ibu mengatakan ada pria yang hendak melamarku menjadi istrinya dan dia sedang dalam perjalanan kemari. Aku tidak habis pikir mengapa ibu hendak menjodohkan aku dengan seseorang sementara hatiku terkunci mati pada Hartowardojo. Namun ibu mengatakan padaku, tidak ada salahnya bertemu dan berkenalan terlebih dahulu.
Kudengar dari ibu bahwa pria itu akan membantu bisnis bapak, dengan membangunkan pabrik tahu baru. Ibu tidak menceritakan dengan detail bagaimana pria itu namun aku hanya tidak habis pikir. Kurasa, lari dari masalah ini tidak akan menimbulkan jalan keluar yang baik, memang satu-satunya cara adalah menuruti kata ibu dengan bertemu pria itu terlebih dahulu.
“Assalamualaikum.” Terdengar suara bass seorang pria dari luar rumah. Ibu segera berlari menghampiri sang tamu. Bapakku mempersilakan pria itu duduk. Nampaknya bapakku dan pria itu sudah saling kenal dalam kurung waktu yang lama. Tak lama mereka mengobrol di ruang tamu. Ibuku menyuruhku keluar kamar untuk memberikan salam pada pria itu. Aku keluar dari kamarku perlahan-lahan dengan hati yang semraut. Kulihat seorang pria matang berusia 35 tahun dengan gaya rambut klimis, berbadan tegap, memiliki sedikit jambang di wajahnya yang kubilang cukup tampan, kulihat dia sedang menghisap tembakau dari cerutu di tangannya. Dia tersenyum lembut saat melihat kehadiranku.
“Sutedjo.” Pria itu segera menghampiriku dan mengulurkan tangannya kepadaku.
“Ningsih.” Jawabku singkat. Jadi, namanya adalah Sutedjo. Seorang pria matang.
Di mataku saat ini, kulihat sosok pria yang matang, beribawa, kalem, terlihat bijaksana, sedikit berbeda dengan kekasihku, Hartowardojo yang masih berusia 20 tahun, muda, energik. Keduanya bagai dua kutub yang berbeda. Bagiku, Hartowardojo adalah pemuda yang bersemangat, energik, pemberontak dan Seutedjo terlihat dewasa, matang dan penuh karisma.
Aku tidak dapat mengatakan bahwa Sutedjo pria yang jahat seperti Datuk Maringgih dalam roman Siti Nurbaya. Aku pun tidak bisa menyamakan kehidupanku dengan Siti Nurbaya yang dijodohkan paksa dengan pria tua. Sutedjo bukanlah pria tua, dia pria 35 tahun yang matang secara psikologis dan emosional. Kurasa dia dambaan para gadis belia.
Sutedjo merupakan saudagar Djakarta yang kaya raya dan cukup disegani, jika dibandingkan jelas kekayaan Sutedjo lebih banyak dibanding kekayaan keluarga Romlah. Namun, dalam hal ini aku tidaklah melihat kekayaan dari siapapun, toh hatiku hanya untuk Hartowardojo seorang. Sepertinya Sutedjo menyukaiku, terlihat dari gerak-geriknya semenjak pertemuan pertamaku dengannya. Dia memandangku sebagai gadis muda yang cerdas dan penuh gairah. Dia mengatakan padaku bahwa aku selalu membuatnya penasaran karena jalan pikiranku tidak pernah bisa ditebaknya, tidak seperti gadis lain yang mudah ditebak, namun aku seperti rangkaian puzzle yang menarik untuk dipecahkan. Dia terpukau karena ketertarikanku pada sastra, pada retorika kata yang sering kugunakan saat aku bersamanya. Sejujurnya jelas aku sudah menolaknya melalui idiom-idiom yang aku gunakan, namun Sutedjo tipikal orang yang tidak mudah menyerah begitu saja.
Setiap dirinya ada waktu luang, dia menyempatkan untuk bertemu diriku. Sesekali sambil memandori pabrik tahu bapakku dikerjakan dengan baik atau tidak oleh tukang bangunan. Kalau kupikir dia mirip Datuk Maringgih, jelas salah besar. Sutedjo membantu bisnis bapakku dengan benar, meskipun dia sering mengarahkan diri ingin sekali menikahiku, namun aku menepis dengan memilih diksi yang sopan dan sesuai. Anehnya, semakin ditolak, semakin dia tertarik.
“Aku sudah memiliki dua orang istri saat ini.” ujarnya jujur, saat Sutedjo mengajakku berjalan-jalan mengelilingi kota dengan sepeda ontelnya. Aku sempat tertegun. Jadi, kalau aku benar menikahinya, aku akan menjadi istri ketiga. Sontak wajahku pucat pasi. Agamaku jelas tidak melarang poligami, namun aku yang hanya gadis biasa dengan tingkat pemahaman spiritual rendah agak sulit menerima dengan lapang dada poligami ini.
“Kaget ya?” tanyanya sambil tersenyum.
“Sejujurnya aku tidak pernah mencintai kedua istriku, aku menikahi mereka karena dijodohkan orangtuaku. Ningsihlah, satu-satunya gadis yang ingin aku nikahi atas keinginanku sendiri.” jelasnya. Aku hanya terdiam tak bergeming. Aku jelas kaget dengan semua pernyataannya ini. aku mengapreiasikan kejujurannya namun aku tidak bisa menerima poligami. Meskipun, aku tidak akan pernah menikahinya, dalam keadaannya yang membujang atau sudah memiliki istri. Ibarat hati, aku hanya punya satu hati yang sudah dipenuhi seseorang, tidaklah mudah bagi orang lain untuk masuk ke dalam hatiku yang sudah penuh tersebut.
Sutedjo mengehentikan kayuhan pedal sepedanya, refleks aku turun dari sepedanya yang berhenti tiba-tiba. Sutedjo menatap kedua manik mataku lekat. Dia mengelus rambutku halus. Aku hanya diam saja tidak bergeming.
“Jika kau mau, aku akan menceraikan kedua istriku saat ini juga.”
“Gila!” bola mataku hampir keluar karena tidak percaya dengan apa yang kudengar.
“Aku gila karena mencintaimu.” Jawab Sutedjo. Ya, aku tahu persis gila karena mencintai seseorang sebab akupun merasakannya sendiri, dengan Hartowardojo.
“Kalau begitu, artinya aku menghancurkan dua kehidupan untuk dapat hidup bersamamu. Aku tidak akan pernah bahagia dengan kehidupan itu.” Tegasku.
“Lantas, apa yang harus aku lakukan agar kau mau menikah denganku?”
“Tidak ada.”
“Jangan berkata seperti itu, kedua orangtuamu sedang berembuk menentukan tanggal perkawinan kita.”
“Itu tidak mungkin terjadi, toh aku sudah memiliki orang yang kucintai.”
“Maksudmu si Hartowardojo itu? Aku sudah mendengar tentangnya, dia ke Borneo berbulan-bulan yang lalu dan tak pernah memberikanmu kabar. Kaupikir dia masih hidup?”
“PLAAAAAAKKKK!!!” tanpa kusadari, aku menampar wajah Sutedjo hingga pipi kanannya memerah. Seketika aku merasa marah dan sedih menjadi satu. Mataku terasa panas, aku tidak bisa manahan air mataku mengalir deras.
“Jangan berbicara sembarangan tentangnya! Dia masih hidup. Di Borneo!” jawabku ketus sambil berlari meninggalkan Sutedjo di pinggir jalan dengan sepeda ontelnya.
“Ningsih!! Tunggu! Maafkan aku. Jangan marah, Ningsih!” teriaknya cemas.
Aku berlari-berlari kencang, air mataku masih mengalir dengan deras. Seolah aku berlari dari kenyataan, aku berlari dari kenyataan bahwa keluargaku jatuh miskin, aku berlari dari kenyataan bahwa Sutedjo-lah satu-satunya orang yang membantu bisnis keluargaku, aku berlari dari kenyataan bahwa Hartowardojo tidak pernah memberikanku kabar apapun, aku berlari dari kenyataan untuk menyadari bahwa aku manusia lemah, kecil, tidak berdaya, tidak memiliki kekuasaan, tidak memiliki harta, tidak memiliki banyak hal yang dapat dipertahankan.
Aku tidak ingin menjual cintaku untuk hidup yang lebih baik dengan Sutedjo, pun aku tidak ingin menyakiti hati kedua istri Sutedjo, aku tidak ingin menyakiti hati kekasihku, dengan menikahi pria lain. Aku tidak ingin menjadi orang jahat dalam sebuah percintaan. Biarlah, biarlah aku sendirian yang sakit, biarlah, biarlah aku sendirian yang terluka dan tersiksa. Asal orang lain tidak merasakan hal yang sama denganku.
Aku melihat Sutedjo mengejarku dengan sepeda ontelnya, sedangkan aku berlari kencang meninggalkannya. Aku tergesa-gesa dalam berlari sehingga tidak melihat di depanku ada orang.
“BRUUUUK!!!”
Badanku menabrak seseorang, orang itu menjaga tubuhku agar tidak terjatuh. Aku memincingkan mataku memastikan siapa orang itu, ternyata dia adalah Warsonoe. Dia mendapatiku lari terenggah-enggah sambil menangis. Warsonoe kulihat habis pergi memancing di danau dekat sini dengan rekannya, begitu melihatku dia langsung menyuruh rekannya untuk pulang duluan.
“Mba, kenapa nangis? Siapa yang jahatin Mba?” tanyanya dengan wajah sangat cemas.
Aku mengatur nafasku yang tersenggal-senggal.
“Tidak apa...” jawabku lemah. Warsonoe penuh pertanyaan namun sedikitpun ia tidak bertanya padaku, Warsonoe terlihat begitu berhati-hati akan keadaanku saat ini setelah beberapa pekan yang lalu ia tahu pabrik tahu keluargaku hancur terbakar, di matanya aku terlihat begitu lemah dan rapuh maka Warsonoe merasa harus ekstra lembut memperlakukanku.
Tiba-tiba Sutedjo pun muncul dengan sepeda ontelnya. Dia terlihat kelelahan mengejarku. Dilihat Sutedjo aku baik-baik saja, dia nampak lega.
“Siapa kau?” hardik Warsonoe galak pada pria asing yang ada di hadapannya. Warsonoe segera melihat ke arahku, dia segera tersadar bahwa aku berlari menjauh dari pria ini sambil menangis. Poin minus untuk Sutedjo dari sudut pandang Warsonoe.
***
“Aku? Calonnya perempuan ini. Lebih baik kau tidak usah ikut campur, Bung.” Tegas Sutedjo. Warsonoe tidak percaya. Hari ini pertama kalinya Warsonoe dan Sutedjo bertemu jadi wajar bagi mereka memasang pertahanan masing-masing.
“Jangan bohong!! Mengapa kau membuat dia menangis? Hah!” Warsonoe terlihat kesal. Aku menarik tangan Warsonoe untuk tidak melanjutkan pembicaraan ini. Warsonoe mengerti situasi segera mengajakku pulang ke rumah dengan berjalan kaki.
“Baiklah, Ningsih. Maafkan aku untuk hari ini tapi sungguh, aku mencintaimu sepenuh hatiku.” Ujar Sutedjo sebelum dia benar-benar mengayuh sepeda ontelnya pergi menjauh.
Dalam situasi yang sulit dijelaskan ini, Warsonoe seakan mengerti suasana hatiku yang sedang tidak baik sehingga sepanjang perjalanan ke rumah, Warsonoe tidak megucapkan sepatah katapun dari mulutnya tapi dia memastikan apa aku tidak terluka dan sebagainya, aku hanya tersenyum lembut sambil menyeka air mataku yang tak kunjung berhenti. Aku tidak ingin lagi melihat wajah Sutedjo untuk selama-lamanya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal buruk tentang Hartowardojo. Hatiku selalu sakit jika mengingat kejadian itu. Warsonoe tiba-tiba menggenggam tanganku erat, dia menuntunku dengan lembut sampai rumahku.
Sesampainya di depan rumahku, Warsonoe mencoba bertanya apa yang sedang terjadi tadi dengan pria bersepeda.
“Ibuku ingin aku menikahi pria itu, Sutedjo namanya.” Warsonoe terlihat sedikit kaget seolah tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
“Sutedjo membantu bapakku mendirikan kembali pabrik tahunya yang hangus terbakar api. Ibuku berencana menikahkan aku dengan Sutedjo. Aku baru saja tahu, kalau Sutedjo sudah memiliki dua orang istri, kurasa kedua orang tuaku sudah mengetahui hal ini sebelumnya.” Jelasku pada Warsonoe sambil menyuguhkannya es limun segar. Warsonoe menyeruput sebentar es limun dan meletakannya kembali. Dia kembali fokus mendengarkan ceritaku. Dari raut wajahnya dia menampakkan wajah yang cukup komplikasi, yakni kaget, heran, dan kurasa sedikit cemas.
“Lalu... kau bersedia menjadi istri ketiganya?” tanyanya dengan hati-hati.
“Hehe...” aku tersenyum kecut.
“Aku belum memutuskan hal itu. Hatiku masih milik Hartowardojo.”
“Berbulan-bulan lamanya kau belum juga melupakan kakakku?”
“Ya, tidak ada satupun yang bisa menggantikan Hartowardojo di hatiku.”
Warsonoe tersenyum mendengar jawabanku. Dia mengacak rambutku dengan lembut. Entah mengapa bersama Warsonoe aku menjadi merasa tenang kembali. Mungkin karena Warsonoe adalah adik dari Hartowardojo jadi aku merasa kehadiran Warsonoe mampu mengisi kekosongan hatiku.
“Terima kasih Warsonoe sudah berada di sisiku selama ini.”
“Yah, sudah menjadi tugasku. Aku harap kau tidak menikahi pria kaya itu. Aku sedikit tidak menyukainya.” Ujarnya lembut. Aku terperangah. Semoga saja aku bisa menolak Sutedjo dengan cara yang baik dan santun tanpa melukai hati siapapun, namun selama ini aku belum pernah menemui penolakan cinta yang tidak berujung sakit hati. Seharusnya seorang laki-laki harus mempersiapkan hatinya lebih kuat, ketika akhirnya ditolak atau diterima semua memiliki konsekuensi.
Warsonoe sudah pulang ke rumahnya beberapa menit kemudian, ibuku mengampiriku dan menanyakan bagaimana kencan dengan Sutedjo, mengapa pulangnya bersama Warsonoe. Aku hanya tersenyum simpul. Pastinya kedua orang tuaku sudah tahu sejak awal bertemu bahwa Sutedjo sudah memiliki dua orang istri sah, namun mengapa orang tuaku masih mau menjodohkan aku dengan Sutedjo, aku tidak habis pikir kisahku seperti roman picisan yang aku baca, baik yang kupinjam dari Hartowardojo ataupun dari perpustakaan di Taman Siswa.
Ibuku membujukku untuk segera menikahi Sutedjo, ibu mengatakan bahwa dari pandangan matanya sebagai seorang ibu, ia yakin bahwa Sutedjo adalah pria yang tepat untukku, selain usianya matang, memiliki pekerjaan yang baik, Sutedjo juga berkepribadian lembut serta legowo. Dari sekian banyak partner bisnis bapakku, hanya Sutedjo seorang yang membantunya saat bapakku jatuh melarat. Sungguh, aku berterimakasih pada Sutedjo atas jasanya pada keluargaku, namun apakah kebaikan itu harus dibalas dengan sebuah jalinan pernikahan yang sakral? Sedangkan aku sedikitpun tidak mencitainya. Ditambah, Sutedjo sudah memiliki dua orang istri dan aku akan menjadi istri ketiganya.
Aku membayangkan kehidupanku bersamanya akan cukup sulit, pertanyaan seperti apakah istri pertama dan kedua tidak akan gila melihat suaminya membawa pulang istri ketiga? Aku khawatir akan diamuk dan didamprat istri pertama dan istri keduanya, apalagi Sutedjo berkata akan menceraikan mereka berdua apabila aku mau bersanding dengannya. Aku bukan wanita jalang kejam yang tega merebut suami orang demi kepuasan pribadiku sendiri. Bagaimana nasib anak-anak Sutedjo dari istri pertama dan istri keduanya nanti? Mereka tidak akan mendapatkan kasih sayang seorang ayah, bukankah itu cukup kejam? Okelah, katakan jika aku tidak mau dia menceraikan istri-istrinya, namun kurasa nanti aku akan menjadi perkedel kentang di dalam kehidupan rumah tangganya.
Aku mendukung poligami karena agamaku memperbolehkannya dan tidak ada larangan di dalamnya namun harus jelas dan diketahui semua pihak, bagi diriku sendiri, aku memilih untuk tidak melakukannya, poligami ibadah sunah aku bisa memilih jalan yang terbaik bagi diriku tanpa harus merusak syariat yang kupegang. Kuakui ilmu agamaku masih selevel tempe, jika selevel ustadzah mungkin aku akan bisa lebih legowo. Maafkan aku ibu, aku tidak bisa menerimanya sebagai suamiku, dengan atau tanpa dia menceraikan istri-istrinya. Pun siapa saja yang datang meminangku, kemungkinan besar akan kutolak karena aku sudah memiliki sesorang di hatiku. Tidakkah mereka semua mengetahui dengan jelas, jadi untuk apa membuang-buang waktu?
***
Tedja
Lihat langit sebelah barat
Lautan warna dibuat teja,
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega.
Makin lama muram cahaya;
Awan kelabu, perlahan melayang,
Melayang, melayang entah ke mana,
Laksana mimpi ia menghilang.
Keluh kesah menurut awan,
Setelah menyala sebentar saja,
Pergi perlahan bermuram durja,
Hatiku menangis dipalu rawan,
Mengenang ba’gia musnah terus,
Setelah bermegah baru sejurus
Di dalam kamarku aku membaca sebuah puisi karya Sanusi Pane yang terbit tahun 1927 dalam kumpulan sajak Puspa Mega. Sajak ini berbentuk soneta atau bentuk puisi Italia. Agaknya puisi Tedja ini menggambarkan suasana hatiku yang sedang pilu. Kepala peningku karena Sutedjo sedikit diobati dengan aku membaca sastra ini. mengingat sastra, mengingat kekasihku.
Hartowardojo, Kira-kira dirinya sedang membaca karya sastra apa saat ini? Hartowardojo, adikmu dengan baik menjalankan amanat yang kau berikan padanya, yaitu menjagaku untukmu. Jika dia bukan adikmu mungkin saja hatiku jatuh padanya. Hartowardojo, hatiku sedang berkecamuk dengan hebatnya, haruskah aku menerima pinangan Sutedjo untuk membalas budi baiknya pada keluargaku? Ataukah aku harus menunggumu pulang ke Djakarta yang entah sampai kapan? Aku pun tidak mengetahui kabar apapun darimu, entah kau masih ada di bumi ini atau di mana aku tidak mengerti.
Kekasihku, Hartowardojo, jika kau mencari perempuan paling setia jelas kau tidak akan pernah berhasil menemukannya di dunia ini, karena perempuan itu hanya ada satu, yaitu diriku. Pergilah berkelana ke bumi mana saja kau suka, namun ketika sudah jenuh cepatlah pulang ke kampung halaman di mana dirimu lahir dan dibesarkan. Kekasihku, jika lautan yang memisahkan kita, mengapa tidak kulalui saja lautan itu untuk bertemu dengan dirimu? Jika pulau yang menjadi penghalang bertemunya dirimu, mengapa tidak terpikirkan olehku untuk kusebrangi pulau itu?
***
mapkhan saya bunda yg baru baca.. padahal cucok meong bgt
Comment on chapter BAB 2 Dirimu