SEMBILAN
Bel sekolah berbunyi nyaring, disusul dengan suara girang seluruh siswa dari ruang kelas mereka masing-masing. Keduanya memecah lamunannya dalam kelas. Akhir pekan ini lebih panas jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Matanya melirik memandang jam dibelakangnya, tepat di dinding kelas bagian belakang. Meskipun jam masih menunjukkan pukul 10.20 matahari sudah begitu terik. Sementara teman-temannya terdengar begitu antusias menanggapi kepulangan mereka yang lebih cepat dari biasanya. Diapun tidak kalah girang setelahnya. Meskipun Ujian Nasional tinggal satu pekan lagi, namun hal itu seakan tidak mempengaruhi apapun. Ruang kelasnya gaduh merayakan rasa senang.
“Hari ini kau mau ke mana?” Tanya Amir dengan suara keras berusaha menyaingi gaduhnya ruang kelas.
“Aku belum menentukan.” Jawab Majid segera yang juga dengan suara keras. “Kau ada ide Rud?” Tambahnya kemudian.
“Bagaimana kalau kita ke kedai steak lengganan kita?” Ucap Rudi dengan suara yang tidak mau kalah. “Perutku lapar, aku belum sempat sarapan tadi.”
“Boleh juga, sudah lama kita tidak mampir ke sana.”
Rudi menatap Amir yang terlihat berpikir. “Bagaimana menurutmu?”
“Aku ikut.” Jawab Amir singkat seraya mengangguk setuju.
“Sudah... Sudah.. Tenang anak-anak!” Suara Bu Vera terdengar keras menenangkan keadaan kelas yang terlampau gaduh. Wajar, jika dalam keadaan darurat orang-orang pasti akan gaduh menanggapinya walau dalam keadaan apapun. Salah satunya adalah penanda jam pulang bagi para siswa, terlebih di waktu yang bukan semestinya.
Bu Vera adalah guru ekonometrika untuk kelas XII IPS 1 hingga XII IPS 4. DI SMA Citra Mandiri terdapat 10 kelas di setiap jenjangnya. Beliau adalah guru pindahan yang baru mengajar di kelas XII. Sebelumnya beliau hanya mengampu sebagian kelas X saja. Perawakannya yang langsing membuatnya terlihat lebih muda dari usianya. Tidak jarang siswa laki-laki terpesona ketika sang guru sedang menjelaskan. Di tambah pembawaan halus asli keturunan Keraton Kasunanan. Sungguh guru yang sangat ideal bagi mereka. Dalam waktu singkat beliau menjadi guru idola di SMA Citra Mandiri.
“Karena sekolah hari ini ada rapat menjelang Ujian Nasional, maka sekolah pulang lebih awal.” Kata Bu Vera menjelaskan.
“Baik bu Vera.” Semua siswa menjawab dengan serentak dan bisa dipastikan, suara terkeras berasal dari siswa laki-laki. Saat itu suara para siswa perempuan tersamarkan seutuhnya.
“Dan ingat ya anak-anak. Tugas yang tadi ibu berikan, hari Senin sudah harus dikumpulkan di meja ibu. Tidak ada yang boleh terlambat. Batasnya hanya sampai jam pulang sekolah. Mengerti?”
“Mengerti bu Vera.” Semua siswa menjawab lagi dengan serentak. Seperti sebelumnya, suara para siswa laki-laki tetap lebih dominan dibandingkan siswa perempuan.
“Silahkan dikemasi buku dan alat tulis kalian, lalu ketua kelas memimpin untuk berdoa.” Bu Vera mengarahkan.
Para siswa meninggalkan tempat duduk mereka satu persatu. Disusul dengan rombongan Majid dan teman-temannya. Mereka berbondong-bondong keluar dari ruang kelas mereka yang sejuk akan AC.
“Kita langsung berangkat kan?” Tanya Majid pada kedua temannya.
“Tentu.” Jawab Rudi singkat. “Aku sudah lapar sekali men. Sudah kebayang lembutnya steak dan sausnya yang nikmat.”
Sementara Amir hanya manggut-manggut mengiyakan. Lantas ketiganya berjalan beriringan meninggalkan ruang kelas mereka.
“Majid. Tunggu!” Teriak seorang gadis dari balik punggungnya.
Majid sedikit terkejut ketika melihat siapa orang yang memanggil namanya. Dia tidak pernah bisa melupakan suara itu walaupun dia ingin. Pernah mencobanya namun sukar.
Gadis berkaca mata dengan rambut panjang sebahu terlihat setengah berlari menghampirinya. Perawakan gadis itu sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek. Terlihat jelas sepasang gigi gingsul di kedua sisi deretan giginya membuat gadis itu terlihat sangat manis. Itu salah satu alasan kenapa Majid susah melupakan mantan kekasihnya tersebut. Ditambah lagi dengan suaranya yang lembut. Sebuah kesatuan keanggunan yang terpampang nyata. Majid bahkan tidak pernah menyangka jika gadis yang memiliki suara selembut itu tega mengkhianati sebuah arti suci cinta.
“Kami duluan ke parkiran ya.” Kata Amir penuh senyum seraya menarik tas Rudi.
“Jangan kecewakan kami men.” Kata Rudi dengan tawa nakalnya.
Martha semakin mendekat ke arah Majid. Rambutnya bergerak-gerak dengan gemulai dimainkan angin ringan.
“Kamu ada waktu tidak sore ini?” Tanya Martha dengan raut muka seperti menahan tangis.
Majid salah tingkah melihat keadaan Martha yang aneh. “Ka-kamu kenapa? Kamu baik-baik saja bukan?” Tanyanya tanpa bisa menyembunyikan rasa khawatir.
Mendengar pertanyaan Majid, Martha terlihat mulai menangis. “Kalau kamu ada waktu nanti sore, aku akan ceritakan semuanya.” Katanya sedikit terisak.
Majid bingung ingin menjawab bagaimana. Hari ini dia telah ada janji dengan dua sahabatnya. Biasanya ketika dengan meraka, waktu cepat sekali berlalu. Tiba-tiba saja sudah gelap. Begitu setiap kali mereka pergi bersama.
“Mmm... Baik, aku bisa.” Katanya menjawab ajakan gadis itu. “Kita mau ketemu di mana?” Tanya Majid kemudian.
“Di tempat yang biasa kita datangi dulu.” Kata Martha. “Makasih ya.”
“Jangan bilang makasih dulu.” Majid membalas ucapan terima kasih Martha dengan senyuman.
“Sampai ketemu nanti.” Martha memaksakan bibirnya menjadi sebuah senyuman.
Majid melihat mantan kekasihnya berjalan menjauh. Tangan gadis itu terlihat seperti mengusap air mata. Sejak berhadapan dengannya tadi, entah mengapa Majid merasa tidak bisa berpikir dengan jernih. Dia mengiyakan ajakan gadis itu sementara dia sudah memiliki janji dengan kedua sahabatnya. Mungkin juga karena Martha yang seperti sedang menahan tangis membuatnya merasa iba dan juga penasaran. Seakan air mata yang begitu banyak hendak membanjiri wajah cantiknya. Bagaimana pun dia harus segera menjelaskan kepada teman-temannya.
Majid berjalan meninggalkan lorong yang memanjang di depan ruang kelasnya menuju tempat di mana kedua temannya berada. Dia masih mengingat betul mimik gadis itu ketika dia menyeberangi lapangan upacara. Keadaan Martha tadi benar-benar membuatnya kepikiran. Ada masalah apa gadis itu sampai menahan tangis. Pikiran aneh mulai bermunculan silih berganti seperti potretan album foto. Majid terus memikirkan hal yang mungkin terjadi pada Martha. Tanpa sadar dia telah tiba di tempat parkir sepeda motor di mana kedua sahabatnya sudah menunggu.
“Martha kenapa?” Tanya Amir ketika Majid berhenti tepat di hadapannya.
Majid menggelengkan kepalanya. “Aku juga tidak tahu. Dia belum bilang apa pun.”
“Terus ngapain dia tadi memanggil kau men?” Tanya Rudi penasaran.
“Dia mengajakku pergi nanti sore.” Kata Majid.
“Terus kau mau?” Tanya Rudi lagi.
Majid mengangguk pelan sebagai tanda jawaban untuk Rudi. “Kita tetap keluar dulu kan?” Tanya Majid memastikan. “Nanti jam satu aku duluan. Bagaimana?” Jelas Majid kemudian.
“Oke kau tenang saja.” Jawab Rudi dengan tersenyum.
“Jika ada apa-apa kau tinggal cerita saja.” Tambah Amir kemudian.
“Tentu Mir. Thanks ya Rud.”
“Bukan masalah men.”
Ketiganya bergegas meninggalkan parkiran sekolah menuju tempat makan steak yang sudah mereka tentukan sebelumnya. Tempatnya yang tidak begitu jauh menjadikannya salah satu lokasi favorit. Di kedai itu sering mereka gunakan untuk melepas lelah setelah seharian sekolah. Begitu halnya hari ini.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu