DUA PULUH SATU
Telepon genggam Majid bergetar berdering. Sebuah pesan baru diterima.
Pagi hari datang dengan kebahagiaan yang masih membekas jelas dalam hati dan perasaannya. Sudah hampir dua tahun lamanya dia mendambakan sosok gadis itu. Mungkin bukan suatu hal yang salah mengikuti arahan dari si cenayang. Walaupun dirinya sendiri sempat meragukan pesan-pesan itu. Setelah sekian lama pertemuan itupun datang, dia dapat berjumpa dengannya. Gadis misterius yang dia dambakan. Seakan-akan sebuah jalan yang terang baru saja terbuka untuknya.
Jika diingat-ingat dia tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Kecuali dulu sekali sejak dia duduk di bangku SMA. Dulu sekali di awal dia mengenal apa itu cinta. Bersama dengan kekasih pertamanya, Martha. Dan saat ini dia kembali merasakannya. Sebuah rasa berdebar yang indah disetiap detiknya. Menyiksanya dalam candu kerinduan untuk segera bertatap muka dengan gadis itu dan itu terasa hangat untuk tetap dirasakan.
Majid bangkit dalam tidurnya. Dia memungut telepon genggam yang tergeletak di atas meja kecil, melihat barang kali ada pesan dari Adinda. Majid tersenyum menatap layar telepon genggamnya. Adinda menyapanya untuk bangun dan bersiap. Di sana juga ada pesan dari Martha, mengundangnya makan malam. Sebelum dia bergegas untuk mandi, telepon genggam yang kedua di lihatnya. Sebuah pesan tertera di sana.
“Selamat sobat, akhirnya kau telah berjumpa dengannya. Dan selamat malam.” Isi pesan tersebut dari si pengirim pesan misterius.
“Sama-sama sobat. Tanpamu aku idak mampu bertemu dengannya. Aku percaya ini semua bagian dari usahamu juga.” Majid membalas pesan tersebut.
Ketika Majid mengirim pesan tersebut, pesan itu tidak mau terkirim. Dia mencobanya terus namun tetap saja gagal. Terlintas hal sederhana yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia harus meneleponnya.
Jemarinya menekan tombol berwarna hijau untuk menelepon. Layar teleponnya menunjukkan sebuah kejanggalan. Bukan nomor yang tertera pada layarnya, namun hal lain yang tak masuk akal. Dia ingat sebelumnya, jika dia sudah menyimpan kontak si pengirim pesan dengan nama cenayang. Ketika dia kembali melihat isi kontaknya untuk memastikan, nama si cenayang hilang berganti dengan LVSVR yang entah berarti apa, bukan pula berisi jajaran dari 12 angka. Dia bersikeras mencoba untuk menghubungi kontak tersebut, walau dalam hatinya dia sudah paham apa yang akan terjadi.
Seperti apa yang dia bayangkan, suara wanita terdengar jelas. Suara itu mengatakan jika nomor yang Majid tuju tidak terdaftar. Segala upaya sudah dia lakukan dan dia tidak tahu harus berbuat apalagi. Dia memasukkan telepon genggam itu ke dalam tasnya. Dia bergegas mandi untuk berangkat kuliah.
Jam demi jam beralu pada mestinya. Selesai kelas di sore hari, dia mampir di kantor unit kegiatan jurnalistik. Pembuatan beritanya sudah mencapai final. Prof. Adrian juga memuji hasilnya. Tinggal menyusun prosedur pengiriman kepada pengurus lomba. Bersama sekretaris unit, dia menyelesaikan kekurangannya sampai petang datang.
“Nanti kamu bisa jemput aku kan?” Sebuah pesan masuk. Pesan dari Martha.
“Tentu.” Jawab Majid singkat.
Siang hari yang cerah telah berputar 180 derajat, awan mendung berbondong menutupi latar malam. Bersama dengan pengendara lain, Majid melajukan motornya mengikuti arahan Martha. Berhenti di sebuah restoran yang tidak seperti biasanya.
“Tidakkah ini terlalu berlebihan?”
“Karena terlalu romantis? Kamu tidak suka?” Tanya Martha.
“Bagus sih, tapi terlihat mahal.”
Martha tersenyum. “Tidak semahal itu kok, masuk yuk.” Martha menarik tangan Majid, mengajaknya masuk ke restoran.
Lampu restoran remang-remang, setiap meja di terangi oleh sebuah lilin dalam gelas kaca. Seperti biasa, Martha mengajaknya makan di tempat terbuka. Meski Majid sudah memperingatkannya akan hujan yang akan turun, langit sudah cukup gelap untuk menjatuhkan airnya.
Keduanya makan dengan lahap. Tertawa bersama, menceritakan perkuliahan masing-masing. Menceritakan progress lomba jurnalistik yang sedang Majid lalui.
“Adinda?” Selidik Martha. “Adinda Aisyah?”
“Dia Siska yang dulu aku cari-cari. Ceritanya cukup panjang.”
Suasana malam semakin pekat. Majid menceritakan kisahnya pada gadis di depannya. Makanan keduanya sudah tandas.
Martha menahan gejolaknya. Dia tahu apa yang dia rasakan. Dia paham apa yang lawan bicaranya jabarkan. Dia terlalu berharap, tanpa sadar ucapannya memotong cerita anak laki-laki di depannya.
“Kamu sangat mencintainya?” Bibirnya bergetar.
“Begitulah, dia gadis yang manis. Dia juga banyak membantuku dalam perlombaan.” Majid menjawabnya ceria. Dia tidak sadar jika lawan bicaranya dalam kepedihan.
Kepedihan yang hebat.
“Aku kira kamu,” air mata Martha sudah tak terbendung. “Terus selama ini kenapa kamu seolah memberiku ruang. Ruang yang sama dengan tiga tahun silam. Kenapa?!” Suaranya meninggi bersama datangnya gemuruh.
Majid terhening. Mulutnya terkunci. Tenggorokannya kering. Dia dipojokkan pada situasi semacam ini lagi.
“Aku kira kau mencintaiku. Selama ini kita menghabiskan waktu bersama, makan bersama, jalan bersama. Seperti tiga tahun lalu.” Martha menangis sejadi-jadinya.
“Aku tidak bisa menjawabnya, maaf.”
“Hanya itu! Kamu itu laki-laki!”
Suasana malam hening, hanya beberapa gemuruh guntur yang mengisi. Kedua pasangan itu tetap di mejanya. Meski beberapa tamu telah memilih berpindah.
Martha masih terisak. “Apa karena pebasket itu? Sudah tiga tahun berlalu Majid.”
“Aku sudah memaafkanmu Martha. Sungguh sudah aku maafkan. Tapi untuk kembali menjadi kekasihmu lagi.” Ucapan Majid tercekal. “Aku.”
“Aku ingin sendiri.” Sahut Martha.
“Pulangmu bagaimana?”
“Aku mohon, tinggalkan aku sendiri!” Bentaknya dengan nada bergetar. Matanya sudah basah oleh tangis. Pipinya merah.
Majid tak kuasa memandangnya, namun dia pergi juga, meninggalkan mantan kekasihnya dibalut mendung.
Martha tertunduk menangis. Punggung lelaki yang dicintainya sudah tak terlihat lagi. Butiran hujan mulai turun. Rambutnya mulai basah. Air matanya bersatu dengan hujan. Hatinya berkecamuk bersama mendung. Dadanya pecah bersama datangnya guntur.
Begitulah cinta? Bibirnya bergetar
Aku mencintaimu Martha. Itu yang sebenarnya aku rasakan. Aku takut. Itu faktanya. Luka bakar yang kamu berikan masih membekas. Aku tidak tahu, luka memaksa untuk menutup kisahmu. Maafkan aku lebih memilihnya yang baru aku kenal.
Begitulah cinta? Deru motor bersaing melawan derasnya hujan.
Sesakit itukah dosa yang aku berikan. Mencampakanmu, tiga tahun silam. Sepekat itukah dosaku padamu, sayang? Pantaskah aku memanggilmu sayang? Aku paham dosaku, aku hanya tak kuasa melepasmu. Aku sungguh-sungguh menyanyangimu, Majid. Ku mohon kembalilah.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu