DUA PULUH
Menjalani tugas tambahan sebagai anggota unit kegiatan jurnalistik benar-benar mengurangi jam istirahatnya kali ini. Demi ramalan si cenayang, dia rela berusaha sekeras mungkin. Keuletan dan kegigihannya selama satu semester terakhir membuatnya ditunjuk untuk mewakili fakultas mengikuti lomba jurnalistik. Sebuah kebanggaan untuknya. Dia bersorak gembira tatkala membaca surat delegasinya. Sebentar lagi karyanya akan dikenal oleh orang luar. Tidak hanya menjadi konsumsi mahasiswa fakultasnya saja. Dia harus semakin tekun lagi.
Demi mendapat hasil yang maksimal, Majid diarahkan pada Prof. Adrian. Beliau salah satu dosen ternama di fakultasnya yang juga paham betul akan pembuatan berita dari permulaan pengumpulan fakta-fakta narasumber sampai penyusunan naskah yang biasanya berat di penentuan kata. Harus menarik namun singkat, padat dan juga jelas. Kemudian bagaimana sebuah gambar bisa menjadi penunjang topik tersebut sehingga bisa di highlight menjadi sebuah topik utama. Majid yang pada mulanya hanya belajar jurnalistik secara otodidak di fakultas, sangat baru sekali semenjak memasuki dunia perkuliahan. Dia sempat mengalami kesulitan dalam merealisasikan arahan-arahan beliau.
Prof. Adrian adalah tipikal orang yang mempunyai sifat ramah dan bersahabat. Tapi jika menyangkut kedisiplinan beliau bisa dikatakan nomor satu. Perlakuan itulah yang pada akhirnya membuat Majid kian mengerti sedikit demi sedikit mengenai jurnalistik. Semangatnya datang dari dukungan teman-teman satu unit kegiatannya, juga dari Martha dan Melissa. Kedua gadis itu selalu memberinya semangat, memotivasi dirinya. Tidak ada kesempatan kedua, kecuali kita memanfaatkan satu-satunya kesempatan di depan mata, kata Melissa. Ucapannya berhasil membakar semangat Majid. Memberi semangat membara.
Sayang persiapan lomba jurnalistik meleburkan waktunya mencari sosok gadis pujaannya. Si pengirim pesan misterius hanya memintanya fokus dengan yang ada di depannya saat ini. Tidak pernah membahas keberadaan Iis. Ataupun memberi petunjuk terkait gadis itu. Sampai hari yang ditunggu-tunggu semakin menyempit. Dari semua hasil jepretan penunjang topik berita yang dia garap ditolak oleh Prof. Adrian. Katanya foto-foto tersebut mempunyai kelemahan yang signifikan diberbagai bagian. Pernyataan itu benar-benar menjadi anak panah yang menusuk hatinya. Sekuat kemampuan dia mengambil gambar-gambar itu. Pada akhirnya masih saja belum cukup.
Hari selanjutnya yang harus Majid lakukan ialah bekerja lebih keras lagi. Berusaha lebih giat lagi. Majid sempat hampir putus asa. Dia tak kuasa menyandang beban yang semakin berat ketika deadline semakin mencekik. Terkadang Melissa menemani perburuannya, terkadang dia ditemani oleh Martha. Setidaknya kedua gadis itu bisa menjadi tempat berkeluh kesahnya setiap hari. Dari kegagalan sebelumnya, ketua unit kegiatannya memberi usulan padanya, meminta bantuan pada unit fotografi. Mungkin bisa mendongkrak kualitas fotonya. Sekretaris unit kegiatannya sudah membuat proposal yang ditujukan ke unit fotografi. Mungkin memang benar jika pekerjaan itu tidak bisa diwakilkan oleh pihak lain, tidak pula digantikan oleh anggota lain dari unit jurnalistik, selain dirinya sendiri. Namun tidak ada salahnya mencoba belajar pada ahlinya. Setidaknya itu tidak melanggar peraturan.
Sore harinya Majid berjalan menuju kantor unit kegiatan fotografi dengan membawa proposal. Sesuai arahan dari ketua unit kegiatannya, dia harus bertemu dengan ketua unit kegiatan fotografi untuk meminta pertimbangan dalam urusan yang dia butuhkan. Jika saat ini Majid membutuhkan orang yang mampu membimbingnya dalam menghasilkan potretan yang memukau. Dan harus kontras untuk sebuah berita. Prof. Adrian sempat mengatakan padanya, memukau saja tidak cukup kalau itu tidak sewarna dengan berita yang kau angkat.
Setibanya di kantor unit kegiatan fotografi, Majid disambut dengan baik. Ternyata namanya di dunia jurnalistik kampus sudah lumayan dikenal banyak mahasiswa kampusnya. Banyak kalangan mahasiswa menilai bahwa beritanya cukup brilian untuk sekelas mahasiswa. Sehingga ketika dia menjelaskan dan menyodorkan proposal yang dibawanya, ketua unit kegiatan fotografi sudah paham dengan apa yang dia butuhkan. Menyetujuinya dengan segera.
Ketua unit kegiatan fotografi memintanya bertemu dengan salah satu anggota fotografi setelah membaca proposal. Sosok relawan itu tidak masuk kampus hari ini, sehingga Majid hanya di beri nomor telepon genggamnya untuk langsung menghubungi relawan tersebut. Namanya Adinda. Menjadi daftar nama baru di kontaknya.
Keesokan harinya Majid bertemu dengan gadis itu di taman kampus seperti yang sudah mereka sepakati. Dia terkejut melihat orang yang mendekatinya. Auranya sangat menawan dan parasnya sangat manis. Ada sebuah nostalgia tatkala melihat paras mahasiswi tersebut. Dia seperti pernah bertemu dengannya. Namun pemikiran tersebut langsung lenyap di angkasa. Mahasiswi di depannya memakai hijab dan gamis yang anggun. Gadis itu memandang ke arah Majid dan tersenyum sembari mendekatinya yang sedang duduk. Tidak menyangka jika gadis berhijab itu adalah Adinda ketika gadis itu duduk di seberang Majid dan bercerita.
Mereka tidak menyianyiakan waktu yang ada. Terasa sesak, kian diburu oleh waktu. Segera setelah pertemuan mereka pagi itu, Adinda meminta Majid untuk bersiap sore nanti seusai kuliah, memberi pelajaran pertamanya. Kebetulan satu minggu ke depan festival lampion digelar di pusat kota. Suasananya pas untuk berburu gambar. Hiasan lampion menjadi latar belakang menakjubkan. Sementara hiruk pikuk orang-orang menjadi pembelajaran yang menarik. Pemandangan aktifitas orang-orang yang sedang bersuka cita pada sudut-sudutnya, memenuhi jalan. Saling berkerumun tertawa bersama, mengabadikan kebersamaan mereka bersama teman, keluarga dan kekasih mereka. Terlebih berita yang sedang ia kembangkan berkaitan dengan sosial dan budaya dalam masyarakat. Pemandangannya sudah sesuai dengan berita yang ingin dikembangkan, Adinda sempat menjelaskan sebentar. Mendengar suara gadis itu tatkala menjelaskan seperti mendengar suara orang yang tak asing baginya. Namun, dirinya hanya diam. Tak berani berucap, takut salah. Sampai akhirnya kesempatannya terlewat. Keduanya berpisah menuju kelas mereka masing-masing.
Selepas magrib langit sama bersihnya tatkala masih sore. Tak ada gumpalan awan yang berarti, warna biru tua menyihir suasana menjadi lebih cemerlang. Lampu lampion sudah menyala lebih terang tatkala langit sudah mulai gelap dan orang-orang mulai berdatangan. Dengan sigap Adinda mengarahkan arahanya ke Majid untuk mengambil beberapa gambar. Dia tidak menyangka gadis di sebelahnya adalah orang seasyik itu. Mulanya dia ragu-ragu ketika ingin bersendau gurau. Mengingat bagaimana cara gadis itu berdandan, berusaha menghormati mahasiswi itu. Memang dia orang yang pemalu. Beberapa waktu lalu, dia hanya membalas candaannya dengan senyum dan tersipu. Dia juga takut salah mengatakan hal yang tidak pantas atau menurut si gadis menyinggung.
Arahan Adinda sangat lembut dan tepat. Dia memang si jenius di bidang fotografi benar seperti apa yang dikatakan ketua unit kegiatan fotografi. Beberapa lanskap dan keriuhan di sana berhasil dia abadikan dalam sebuah gambar mengagumkan. Majid sampai tertegun melihat hasil jepretannya sendiri. Sebuah sunggingan di bibirnya jelas terlihat bahagia. Tak pernah sebelumnya dia bisa mengambil foto semenarik ini. Desain foto orang-orang tertawa bersama, gigi putih mereka menggambarkan kebahagiaan dibalik latar warna mentereng lampion-lampion.
Melihat itu Adinda ikut tertawa dan menggoda Majid ketika dia terseyum dengan sendirinya begitu saja. Pelajaran malam ini mereka tutup sekitar pukul 9 malam seusai makan malam di sekitar tempat mereka mencari foto. Majid memandangi hasil jepretannya, membandingkan dengan hasil jepretan Adinda. Sangat jauh hasilnya. Kata Adinda sudah ada kemajuan. Sudah lumayan mengesankan, tambahnya. Perkataannya membuatnya senang. Gadis itu pintar memuji.
Malam hari di dalam kamar kosnya, telepon genggamnya bergetar. Sebuah pesan muncul.
“Bagaimana harimu sobat?” Tanya si pengirim pesan misterius.
“Luar biasa.” Jawab Majid.
“Segera selesaikan beritamu, karena itu kunci pentingmu.”
“Tentu. Lalu apa yang harus aku lakukan setelahnya?”
Namun si pesan misterius tersebut sudah tidak menanggapi.
Hari berikutnya Majid dan Adinda berada di sebuah bendungan. Kali ini Majid diminta mencari angle yang tepat dengan latar bendungan tersebut. Dari sepuluh kali shoot yang dia ambil semuanya masih kelihatan kurang di mata Adinda. Entah dengan sihir apa Adinda memotret sekali dan hasilnya sepuluh kali lebih bagus dari gambar yang diambil oleh Majid. Matanya hanya mampu terkesima melihat takjub pada hasil jepretan gadis itu. Sementara dia berpikir keras bagaimana caranya gadis itu bisa mengambil momen sebegitu indahnya dalam waktu yang sangat singkat.
“Kenapa kamu bisa melakukannya dengan begitu indah?” Tanya Majid pada gadis itu.
“Aku hanya melakukan hal yang sama denganmu.” Jawabnya penuh senyum, menggoda. “Hanya saja kamu harus paham bagaimana dengan titik cahaya dan sudut mana yang tepat untuk mengambil pandangan yang tepat.” Tambahnya kemudian.
“Oke, aku akan mencobanya.”
Majid mencoba beberapa kali arahan dari gadis itu. Beberapa kali pula Majid gagal mengabadikan foto seperti apa yang dia inginkan. Sangat sulit, pikirnya. Namun dia tidak menyerah sedikitpun. Jemarinya masih meremas kameranya, sementara mata kanannya terpejam dan mata kirinya fokus pada lensa. Sebuah jepretan tercipta. Mulanya dia ragu ingin mengecek hasilnya. Setelah memberanikan diri, betapa bahagianya dia tatkala melihat hasil luar biasa dari tangannya sendiri. Melihat hal tersebut membuat gadis di sebelahnya ikut tersenyum bahagia.
Dengan sedikit bantuan dari Adinda garapan Majid telah selesai dalam waktu yang relatif lebih singkat. Kemampuan mengambil gambarnyapun meningkat. Pertemuan mereka tidak berakhir di situ saja. Berhari-hari ke depan, mereka sering bersua. Jalan berdua, hunting foto dan makan bersama, berkeliling kota, berburu keindahan. Begitu juga dengan hari ini. Suatu sore dengan pemandangan langit penuh awan bergumpal, terlihat lembut. Mereka terlihat sedang duduk berdua di taman kota.
“Mengapa kamu bisa gemar sekali dengan hal yang berbau fotografi.”
Adinda membuka tasnya. Dia mengeluarkan sebuah kamera tua. “Ini peninggalan papahku.” Katanya seraya memperlihatkan kamera tua tersebut.
“Maafkan aku.”
Adinda tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.” Jawabnya ramah. “Karena itulah aku mulai suka bermain dengan kamera. Aku sering mengikuti perlombaan, tapi bukan karena hadiah dan tropinya. Aku hanya ingin orang-orang melihat karyaku. Aneh ya?”
Majid tersenyum ketika pandangan sang gadis mengarah padanya.
“Mungkin terdengar egois.” Lanjutnya. “Aku mengikuti lomba-lomba itu hanya ingin berbagi keindahan kepada semua orang. Dan aku berhasil kala itu. Sekitar dua tahun lalu. Hanya saja aku lupa siapa anak lelaki itu. Aku lupa berkenalan dengannya. Karena aku harus segera pulang ke Bandung. Ayahku berpulang.” Mata gadis itu berkaca-kaca.
Majid terpana mendengar penjelasan gadis itu. Apakah dia harus ikut sedih atau bagaimana. Dia mencoba untuk menimpali ungkapan gadis di sampingnya. “Kamu pernah mengikuti lomba di SMA Bintang Kejora? Dua tahun silam?” Tanyanya memastikan penuh arti.
“Apa kamu juga mengikuti perlombaan itu?” Tanya Adinda kemudian.
Majid berdiri. Entah kenapa instingnya kali ini berkata jika dia adalah gadis itu. “Iis?” Ucapnya lantang.
“Iya, namaku Adinda Aisyah dan Iis adalah,” gadis bernama Adinda menutup bibirnya. “Kamu?” Lelaki yang ada dihadapannya mungkin adalah lelaki yang dia cari selama ini. Sebenarnya sejak pertemuannya pertama kali dia sudah merasakannya. Namun ragu. “Kamu anak laki-laki di depan fotoku dua tahun lalu? Foto pantai selatan.”
Perasaan Majid campur aduk merasakan kebahagian yang entah harus dia sikapi bagaimana. Dadanya bergejolak menyikapi nuansa hari itu. Meskipun demikian dia ingat dia tidak punya hak apapun untuk merasakan perasaan yang salah ini. Selama ini dia hanya merasakannya sepihak. Dia mematung kala ini. Bertanya-tanya, apakah gadis di depannya mau menerimanya? Apakah gadis di depannya juga mempunyai rasa yang sama dengannya? Begitulah cinta? Begitu biru, begitu kelabu, begitu misterius.
“Aku sudah mencarimu kemana-mana.” Kata gadis itu, memecah lamunan Majid. “Panitia bilang hanya ada satu peserta dari Surakarta dan ketika aku menghubunginya, nomernya tidak aktif. Namanya Amir.” Gadis itu memperlihatkan telepon genggamnya, ada nomor Amir di layarnya.
“Amir temanku, dia di Amerika saat ini. Apa kamu mendapatkan nomernya baru saja?” Tanya Majid. Dia mulai menata perasaannya kembali.
“Tepat saat aku mendaftar di universitas, sekalian berada di Semarang aku mengunjungi SMA Bintang Kejora. Mantan ketua OSIS mengatakan kalau ada orang yang sama sedang mencari seorang gadis. Saat itu entah mengapa aku merasa dekat dengan anak lekaki itu. Aku tidak ingin menyerah, tapi Semarang itu luas.” Jelas Adinda dengan mata berbinar.
“Benar, waktu itu aku coba mencarimu juga. Hanya aku tidak menyangka kalau kamu sudah berubah begini.” Kata Majid takjub.
Adinda tersenyum tersipu malu. “Aku gadis yang lemah, pemalu. Sejak bertemu denganmu. Hari itu, entah kenapa aku mampu bercerita panjang lebar.”
Tanpa sadar mereka bercerita jauh menembus masa dan mencapai kisah dua tahun silam di sebuah SMA. Di mana dua sosok remaja SMA bertemu dan bercerita panjang lebar tanpa memperkenalkan satu sama lain. Sejak itu mereka menjadi semakin dekat. Sampai di suatu malam yang gelap penuh gemuruh guntur dan hujan deras membasahi tubuh Majid. Terkurung dalam dilema.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu