Karena nggak semua yang kamu lakukan di mata aku itu sama. Seperti kata orang; don't look book just by cover.
-Laudito Nugroho-
-----
CUACA di luar cerah, tetapi tidak dengan hati Laut. Pria itu mengembuskan napas berat tatkala melihat Ayunda memainkan ponsel itu terus menerus. Bukan chat memang, hanya ketikan dengan background warna orange. Namun Laut sama sekali tidak tau aplikasi apa yang dibuka oleh gadis itu.
Bukan itu saja, kadang yang mengesalkan adalah Ayunda mengalihkan tatap ketika coklat gelap itu bertemu dengan kopi teduhnya. Seolah-olah tidak tau, sandiwara. Dan sekarang, gadis itu lebih memilih tenggelam pada layar ponselnya. Padahal, gadis itu sedang menjalani Uji Praktik jurusan kali itu.
Kok sebel ya?
"Main ponsel terus, Uji Praktik nggak serius." Refleks, Ayunda mendongak. Iris coklat itu bertemu dengan teduh kopi Laut yang sama sekali tidak melihat ke arahnya. Jantung itu berpacu cepat sekali, tapi hanya seketika, sebelum Laut meninggalkannya.
Ayunda diam kala merasa tersindir. Lagi pula Ayunda berkutik pada ponselnya karena sedang mengejar mimpi, sedangkan siswa yang lain.. Ah Pak Laut terlalu peduli pada Ayunda.
Gadis itu nyengir, sebentar saja. Dia melihat ke arah Laut yang berjalan ke satu arah dan mengambil sesuatu di atas rak. Sesuatu yang membuat Ayunda tertegun.
"Pak Laut masih ngerokok?"
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Ayunda. Kata-kata yang keluar dari milik Ayunda membuat Laut menoleh. Ada senyum miris yang jelas tercetak di sana.
"Saya susah lepas," Ayunda hanya diam. Tak menanggapi, "Ujian Praktik yang bener. Jangan main hape terus."
"Tapi yang lain juga main hape."
"Iri kok sama yang dosa?"
Ayunda tertawa. Suka-suka Pak Laut deh.
***
"SUPPLIER nggak ada yang dateng lagi?"
Inne menggelengkan kepalanya, “Nggak, kalau hari selasa memang sepi keles."
"Bosen! Mending baca wattpad." Ayunda mengeluarkan ponselnya lagi. Membuka aplikasi wattpad dan membaca sebuah cerita di sana. Lagi gabut nulis soalnya, entah kenapa imajinasinya lenyap. Apa lagi, sejak tadi Laut bicara itu padanya.
"Kurikulum sebelah mana gays?"
Teriakan anak yang Uji Praktek dari jurusan Tata Niaga terdengar. Saat itu, tubuh Ayunda mendadak terasa beku. Jelas, karena ruang Kurikulum adalah ruangan Laut. Namanya juga sayang, masa nggak tahu.
Ayunda menolehkan kepala itu dengan perlahan, namun pasti. Menatap anak-anak Tata Niaga yang berinteraksi dengannya. Ayunda praktik di Kejora Bussines Center Mart. Jadi, tentu saja di sana ada anak Tata Niaga yang bertugas. Mereka sangat ramah, membuat Ayunda bisa langsung dekat. Dan Inne, tentu saja jika hanya berdua, gadis itu mau ngobrol dengan Ayunda.
"Nggak tau."
Teman satunya menunjuk diri, "Lo tanya gue? Mana gue tau? Gue taunya cuma ruang BP sama Mie Ayam Bu Yanti," Semua siswi lain di sana terbahak mendengar penuturan itu. Membuat gadis yang membawa sebingkis plastik pesanan itu mencebik kesal.
"Terus gimana dong?"
"Itu, ruangannya Pak Laut," Ayunda menyahut. Ketika itu juga, terlihat mata gadis tadi membulat. Tapi hanya sesaat, bibir cewek itu membentuk seulas senyum kilat.
"Nah.. Lo tau, kan? Mending lo aja yang anter ini." Gadis itu menyerahkan bingkis itu pada Ayunda dengan cara paksa. Nayla terkekeh melihat teman sekelasnya itu dijahili oleh anak Tata Niaga.
"Eh, gue anak pergudangan keles, masa disuruh nganter ini. Bukan tugas gue," Sanggah Ayunda. Jelas nggak mau karna memang itu bukan tugasnya. Lagi pula, Ayunda merasa takut bertemu Laut. Bukan karena Laut galak, jelas saja Laut tidak pernah sekalipun menunjukkan kegalakan itu pada Ayunda. Ayunda hanya takut berdebar lagi.
"Sama aja. Sama-sama UP di BC Mart. Udah nggak papa, bantuin Angle dapat pahala kok. Nanti didoain biar jadi istrinya Pak Laut.. Please.. Please.."
"Sialan lo," Bibir Ayunda mengerucut. Tapi tak banyak kata yang terucap. Gadis itu kemudian segera pergi ke kurikulum dengan membawa bingkis itu serta struck harga. Entah kekuatan dari mana Ayunda menerima permintaan Angle.
Koridor kelas cukup sepi, pukul 10 pelajaran sudah dimulai kembali. Tapi, langkah gadis itu terhenti begitu saja ketika sudah hampir sampai. Ayunda berhenti satu langkah sebelum berada tepat di depan pintu, “Berdebar lagi, kan."
Ayunda menggigit bibir bawahnya, dia menarik napas sebagai persiapan. Lalu kemudian menguatkan hatinya untuk mSatyakah maju. Kepala itu menoleh untuk melihat isi di dalam sana. Dan, pada saat itu juga mata gadis itu melebar.
Brak!
Barang yang dibawa Ayunda jatuh begitu saja. Membuat kedua orang yang ada di dalam sana menoleh ke arah Ayunda. Ayunda menutup mulut itu dengan kedua telapak tangannya. Kakinya mundur beberapa langkah.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja air mata gadis itu mengucur. Hatinya terasa sakit. Aneh? Tapi begitulah adanya. Ayunda berbalik arah dan segera pergi menuju rooftop sekolah, menenangkan diri. Bersembunyi, karena dia tau tempat itu adalah tempat yang jarang dikunjungi orang.
Sementara di waktu yang sama, Laut segera berdiri dan beranjak dari hadapan perempuan itu. Menjauh, “Gadisku,"
"Kamu sudah punya pacar?" Laut tidak menjawab, "Laut kamu ingat kata Mama, kan?"
***
"SAYA mau bicara."
Suara itu menyadarkan Ayunda dari lamunannya. Gadis itu segera menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Berharap Laut tak dapat melihatnya.
Laut langsung duduk di samping gadis itu. Dia menatap Ayunda dengan air wajah yang serius. Ada kecemasan yang nyata di sana, tapi Ayunda tidak tau harus mengjadapi Laut dengan cara bagaimana, “Nggak semua yang kita lihat sama dengan kenyataannya."
Ayunda diam. Mencerna apa yang Laut ucapkan dengan baik.
"Dan Saya rasa, Saya perlu menjelaskan sesuatu padamu."
Kalimat itu membuat Ayunda tersenyum miris, ia enggan menatap kopi teduh milik Laut yang hanya akan membuatnya sakit. Tentu saja, Laut memiliki pacar yang jauh lebih cantik dan segalanya dari dia. Lagi pula, memangnya siapa Ayunda? Hanya anak SMK yang jatuh cinta pada guru killer matematikanya.
"Saya nggak akan bilang kepada siapa pun. Pak Laut nggak perlu khawatir," Ayunda tersenyum, mantap dengan kalimatnya. Laut kemari pasti untuk itu, tidak mungkin karena alasan lain.
Laut tertawa hambar, “Benar, kan dugaan saya. Kamu salah paham. Dan, Saya perlu menjelaskan sesuatu padamu."
"Salah paham bagaimana? Itu sudah jelas menunjukkan kal-" Jemari Laut ia letakkan di kedua pipi Ayunda, sementara ibu jarinya berusaha untuk membungkam bibir itu agar berhenti bicara.
Sejenak, Ayunda membeku atas perlakuan itu. Jantungnya kembali berdebar tanpa ampun. Tapi hanya sesaat saja, Ayunda sadar dan dia segera melepaskan tangan kekar itu dari wajahnya.
"Jangan menyentuh saya seperti Anda menyentuh dia. Jangan samakan saya dengan dia.”
"Kamu memang nggak sama dengan dia."
"Jadi jangan perlakukan saya seperti Anda memperlakukan dia."
Kekehan sinis milik Laut terdengar lagi. Hal itu membuat Ayunda benci. Mata Ayunda ia jatuhkan pada pemandangan yang ada di bawah sana. Pemandangan jalanan dan rumah warga mampu melegakan sedikit hatinya dari rasa kesal.
"Jelas nggak akan mungkin. Dan jangan pernah berharap untuk itu."
Entah kenapa, hati Ayunda justru terasa sakit mendengarnya, “Iya."
"Tadi saya terpeleset dan dia ada di depan saya."
"Iya."
Laut menghela napas putus asa. Dia tau Ayunda menjawab seperti itu bukan murni percaya tapi merasa bahwa gadis itu ingin segera lepas dari dirinya, “Iya apa? Mau bilang kalau alasan saya basi? Sudah banyak orang menggunakan kalimat itu untuk dijadikan alasan atas persoalan yang salah."
"Mungkin."
Laut berdecak. Tidak sabar akan keengganan yang Ayunda tunjukkan. Dia suka Ayunda yang brisik, malu-malu kucing, bukan yang sok tidak peduli seperti ini.
"Dia adalah kakak kandung saya. Masa kamu nggak tahu? Nama belakang kami sama-sama Nugroho. Laudito Nugroho dan Patricia Esa Nugroho. Karna nama Papa saya Nugroho."
Seketika itu juga, Ayunda menoleh ke arah Laut. Dia mencari kebohongan di mata itu. Tapi, mata itu sama sekali tak menunjukkan kebohongan apa pun. Kopi itu menunjukkan keseriusan yang begitu nyata hingga pipi Ayunda memerah. Malu atas sikapnya yang terlalu cepat mengambil keputusan.
"Kenapa Pak Laut jelasin itu ke saya? Lagi pula sayakan sudah bilang kalau saya nggak akan ngadu ke siapa-siapa."
Senyum sinis milik Laut kembali terukir di bibir itu. Jelas-jelas pada saat Laut mengatakan bahwa Esa adalah kakaknya, pipi Ayunda memerah karena malu, “Karna, saya rasa kamu butuh penjelasan."
"Kenapa Pak Laut bisa menyimpulkan begitu?"
"Kamu butuh penjelasan. Kalau nggak, kamu nggak mungkin ada di sini sekarang. Kenapa kamu lari? Kamu baper sama saya?"
Ayunda melotot ke arah Laut, membuat pria itu tersenyum tipis. Ada kilat dalam kopinya yang teduh itu, “Ngg- nggak. Saya nggak baper!" Ayunda gugup, dia mengalihkan pandangannya dari kopi itu lagi.
"Kalau nggak baper kenapa harus gugup?"
"Saya nggak gugup."
"Iya." Ayunda menoleh, tatapan gadis itu seolah mempertanyakan. Dengan cara menunjukkan dahinya yang bergelombang pada Laut, “Sama kayak kamu tadi. Saya bilang iya bukan karena saya percaya. Tapi karna saya tahu kalau kamu nggak bakal mau ngaku."
"Pak Laut ish.." Pipi Ayunda semakin memanas. Kenapa jika bertemu dengan Laut selalu menjadi seperti ini?
Lucu,
Kamu selalu mengatakan aku begitu.
Manis,
Sampai kau takut diabetes, katamu?
Kita bertemu dan besama tanpa sengaja.
Seolah-olah itu memang sudah takdirnya.
Seperti yin dan yang.
Aku berharap kita tidak pernah berpisah.
Kweren sekali mampu memporak-porandakan hati dedek
Comment on chapter EPILOG