--Untuk Pak Laut yang aku sukai diam-diam.--
***
SATU TAHUN YANG LALU..
Jakarta, Mei 2016
HARI ini menjadi surga bagi kelas Akuntansi 3. Bagaimana tidak? Setelah panas-panas upacara di lapangan dengan terik matahari, sekarang guru-guru mata pelajaran sejarah mengadakan rapat di gedung kantor guru membahas soal-soal sejarah untuk Ujian Kenaikan Kelas yang hilang. Dateline tinggal minggu depan, tapi soal sejarah belum juga dicetak oleh bagian penggandaan. Jadi, sekarang guru-guru sejarah sedang membuat ulang soal di ruang guru sana.
Gedung kelas 10 Akuntansi 3 ricuh sekali. Tidak peduli kelas sebelah sedang pelajaran dan membahas rumus-rumus matematika yang abstrak luar biasa bersama Pak Adam. Mereka, seluruh siswi berjumlah 30 anak tetap berbincang, bercanda, memainkan ponsel, bahkan menonton drama kesukaan mereka di dalam kelas itu.
Kecuali satu anak. Dia lebih memilih bergelut pada pena yang ada di tangannya. Setia menuntun jemari lentik itu menari di atas kertas putih, memberi coretan aksara berupa kisah, kemudian merangkai dan menjadikannya cerita.
Dengan kedua earphone yang ada di telinganya dia tak terganggu meskipun kelas sangat ricuh. Seolah tak terjadi apapun. Dia sudah tenggelam pada dunianya sendiri. Dunia yang dia suka. Dunia barunya. Dunia yang ingin ia selami lagi. Aksara. Dia jatuh cinta pada aksara yang menjadi kalimat prosa itu.
"Najis! Bocah mah, kalau diem terus males banget deketin. Jangan mau dideketin dia, gays. Biar dia usaha sendiri." Salah satu ada yang mencibir itu, Zoya namanya. Tapi siapa peduli? Jika sudah tenggelam pada aksara, dia, gadis ber-name tag Vallenia Ayunda itu tidak akan terkecoh sama sekali.
Begitulah adanya, Ayunda adalah gadis biasa-biasa saja. Dengan rambut panjang yang diikat kuda dan poni jarang-jarang. Jangan lupakan satu hal, di kelas itu tidak ada yang mau menjadi temannya. Dan Ayunda sendiri akan memilih mengasingkan diri dibandingkan dengan bergabung, namun akhirnya ditinggalkan.
"Gue? Gue juga ogah kali deketan sama dia. Yang ada gue ketularan dibully sama anak-anak."
"Jajan yuk ke kantin. Ngapain sih malah bahas anak nggak jelas yang satu itu?"
Sesaat, dapat Ayunda rasakan di punggungnya, lemparan kertas yang sudah berbentuk bola dengan sengaja menabrak punggungnya. Ia menoleh ke belakang, lalu memberi tatapan kesal dengan teman-teman sekelasnya itu.
"Ngapain sih, lempar-lemparan segala."
Tak ada jawaban, yang ada justru suara teman-teman gadis itu yang bersahut-sahutan. Seolah Ayunda tidak pernah bertanya atau ada di hadapan mereka.
"Lo lempar kertas? Gila.. Ngasih surat cinta, Lo?"
"Idih, sorry ya. Gue nggak level temenan sama dia."
Dan selalu seperti itu hubungan Ayunda dengan teman sekelasnya. Tak akan pernah bisa menjadi baik sekali pun Ayunda sudah berusaha berbuat baik dan sabar kepada mereka.
Meminjamkan pena, mengalah tentang tempat duduk, dan mengerjakan tugas kelompok mereka sendirian. Semua itu seolah dibutakan oleh mereka. Maka dari itu, sejak semester dua di SMK Kejora, Ayunda memilih untuk mengasingkan diri saja.
Melihat hujan turun, Ayunda keluar dari kelas dan berdiri di koridor. Matanya menatap hujan yang turun dengan seutas senyum. Ayunda suka hujan, rintikannya membawa kesejukan, memberikan perasaan damai, dan mengingatkan tentang ritme-ritme asmaranya.
Dari tempat dimana Ayunda berdiri, terlihat seorang cowok melemparkan bola basket ke dalam ring. Dan tentu saja bola itu masuk. Siapa yang tidak mengenal Satya Natawijaya? Seorang kapten basket di SMK Kejora, sekaligus cowok terganteng yang menjadi pangeran sekolah.
Ayunda menyukai Satya. Itu wajar. Yang tidak wajar adalah Ayunda mengharapkan Satya. Rasanya seperti tidak tahu diri. Walau pun Ayunda sadar, Satya adalah orang yang baik. Tapi apakah cukup dengan kata baik? Nyatanya, kadang kebaikan tidak sejalan dengan rasa suka. Satya jatuh cinta dengan orang lain.
***
"PAK LAUT!" Seperti biasa, suara Bu Seruni terdengar melengking. Bu Seruni adalah guru produktif Akuntansi, dan beliau sangat dekat dengan guru matematika yang bernama Laudito Nugroho. "Nih, dicariin Hanna. Katanya ngajak nikah kok nggak cepet lamaran?"
Laut mengangkat kepalanya dari tangan yang ia lipat di meja dengan malas. Perlahan jarinya terjulur, menaikkan kacamata yang turun di hidungnya. Dan segera menoleh ke arah Hanna yang tersipu akan ketampanan Laut.
"Eh, Bu Seruni ada-ada aja." Jawab Hanna dengan malu-malu. Ia menoleh ke arah Laut dan tubuhnya berubah kaku. "Jam keenam, Pak. Udah ganti jamnya Pak Laut."
Seolah belum cukup berdosa karena meninggalkan kewajiban untuk tidur di kantor, Laut menjawab dengan sekenanya yang langsung disanggupi oleh Hanna. Karena semua orang pun tahu, bahwa Aura Laut jika sudah dalam amarah berubah jadi menyeramkan.
"Bilang sama temanmu, pelajarin dulu bab statistik data kelompok. Nanti saya kasih soal terus kerjain. Saya nyusul."
"Baik, Pak. Saya permisi dulu. Terimakasih."
Dan kemudian Hanna ngacir keluar dari kantor menemui temannya yang tidak mau ikut masuk ke dalam kantor. Selain galak, ada dua hal lain yang paling mencolok tentang Laut. Pertama, ia adalah guru yang pelit nilai, ia tidak segan memberikan muridnya ribuan soal remidi. Dan kedua, Laut yang tampan itu jomblo.
Laut menguap sesekali menggerakkan tubuhnya, untuk merilekskan badan. Jika di hadapan murid Laut menjadi monster, kalian harus paham, bahwa dengan guru-guru lain, Laut akan menjadi seorang pria yang jahil dan banyak tingkah.
"Jam ngajar aja tidur, Pak Laut?"
Laut terkekeh mendengar perkataan dari Pak Bayu, guru olahraga yang juga dekat dengannya. Karena tidak semua guru dekat dengan Laut. Ada beberapa guru juga yang tidak suka dengan sifat Laut yang pelit nilai itu. Dan tentunya, guru itu adalah wali kelas yang siswanya tidak mendapat nilai matematika di raport.
"Semalem saya lembur games sampai jam 1 malem, Pak." Jawab Laut sambil menguap. Tak sopan memang, tapi tak jadi masalah karena Pak Bayu baik hati.
"Ternyata Pak Laut lebih cinta sama games dari pada kisah asmaranya. Saya kira Hanna mau diajakin nikah beneran. Hanna cantik lho, Pak. Nilainya juga bagus-bagus di kelas. Kurang apa lagi? Dicoba aja, Pak."
Bu Esa, dengan rambut yang selalu digelung ikut mengambil suara. Bu Esa benar-benar gemas dengan kejomloan Laut yang sudah memilih sendiri selama empat tahun. Maka dari itu, Bu Esa sering mencomblangkan Laut dengan muridnya yang cantik dan pintar.
"Kurang aduhay.." Laut cengengesan sendiri. Ia mengambil spidol whiteboard dan buku-buku di mejanya untuk mengajar kelas 11 Tata Kecantikan 2.
"Lagi pula, masih nunggu apa sih, Pak Laut? Udah ganteng, pendidikan tinggi, udah mapan juga."
"Nunggu yang pas."
Setelah itu, Laut memilih keluar kelas. Ia berjalan menyusuri koridor dari kelas 10 menuju kelas 11. Hujan yang turun membuat Laut mengeluh. Rambutnya basah, buku-bukunya juga hingga rusak.
Sampai mata itu terpikat oleh satu hal, senyuman gadis berambut panjang yang diikat kuda dan poni jarang-jarang. Senyum tulus yang timbul hanya karena menatap hujan. Begitu sederhana. "Kenapa ya, cewek suka banget sama hujan? Padahal hujan itu merusak suasana."
Pandangan Laut beralih untuk melihat dan meneliti seragamnya. Baju yang tidak ketat serta rok standar yang di bawah lutut. Laut dapat memastikan satu hal, bahwa siswa yang dilihatnya sekarang adalah gadis baik-baik. Hingga Laut memastikan untuk membaca tulisan yang terpampang di atas pintu kelas itu. Laut menyimpan dalam-dalam di ingatannya.
Jadi, siswa itu kelas 10 Akuntansi 3.
--
Hallo, semoga suka dengan kisah Ayunda dan Pak Laut ya..
JANGAN LUPA TEKAN JEMPOL SAMPAI BERUBAH WARNA KUNING YA.
BERIKAN REVIEW JIKA SEMPAT 😊
Kweren sekali mampu memporak-porandakan hati dedek
Comment on chapter EPILOG