Aku memasuki hotel itu. Selama perjalanan, kami tidak melihat satu orang pun. Kota Jakarta yang sebelumnya sering macet, sekarang sepi. Seperti film A Quiet Place. Dan anehnya, kedaan hotel pun berantakan bin amit-amit.
Puing-puing kaca berserakan, lobi berantakan, robot-robot mati, Lantai penuh dengan darah. Dan pencahayaan di hotel ini pun sangat minim. Aku hanya membawa senter darurat yang baterainya hamper habis. Kalaupun ada lampu yang nyala, mungkin hanya remang-remang.
Aku terus berjalan. Tepatnya didepan. Oh, ini rasanya aneh sekali. Masuk hotel menyeramkan dengan teman-teman agak seru.
“Kita ke lantai atas dengan tangga darurat. Jaga-jaga jika ada zombie. Karena zombie berkeliaran dengan cepat,” suruh Kak Dian dengan menunjuk tangga darurat.
Aku menaiki tangga darurat. Napasku menderu-deru. Terengah-engah dan takut bercampur aduk padu menjadi satu.
Tiba-tiba. Teman-temanku semua menghilang. Tidak tahu entah kemana. Dan aku diam di tangga ditemani senter ini. Oh, aku panik sekali.
“Halo!? Kalian dimana? Masa ditinggal?” teriakku.
Lalu ada suara napas yang menderu-deru dari belakangku. Tapi, jaraknya terdengar jauh. Maksudku, napasnya terdengar samar-samar.
Aku segera berlari dan tiba dilantai tiga. Kubuka pintunya, dan terkejutnya aku. Mereka ada disana! Wow! Hebat sekali.
“Kalian… Kalian? Disini?” tanyaku tidak percaya.
“Apa sih. Orang kami dari tadi sudah disini?” ucap Denayla keheranan.
“Lah… Bukannya kalian tadi dilantai darurat bersamaku?” tanya aku semakin tidak percaya.
“Yang aneh itu kamu. Kamu kemana saja. Kami sudah disini selama dua menit, karena kamu menghilang secara tiba-tiba,” sahut Kak Dian dengan sedikit marah.
“Lah…?” aku terperangah.
“Ya sudah. Kita tidur di masing-masing kamar. Sendiri-sendiri yah. Pintu disini tidak dikunci. Karena seluruh sistem di ibukota seluruhnya dimatikan. Jadi, kalian bisa membuka pintu dengan aman,” jelas Arya.
Kami semua mengangguk. Aku berjalan pelan menuju pintu kamarku. Apa? Aku menghilang dua menit? Bukannya mereka yang menghilang? Ah, sudahlah. Ini anomali diatas anomali menurutku.
Aku membuka pintu. Dan, damn! Kamar ini rapi sekali. Ada kasur, jendela yang utuh, televisi, tembok putih, dan semuanya rapi sekali. What the…?
Ku rebahkan tubuhku dikasur ini dan menikmatinya. Aku takut jika ada zombie membuka pintu dan memakanku atau apa. Tapi, mataku sudah terlalu lelah untuk urusan seperti ini.
Perlahan-lahan, mataku menutup dan tertidur lelap.
***
Oh, iya. Di lantai ini hanya aku dan Arya yang bersebelahan kamar. Karena Denayla dan yang lainnya tidur dilantai atas. Maaf yah, ralat sedikit.
Bruuukkk…!
Aku tersentak kaget. Dan bangun. Apakah itu? Atau… Oh, tidak… Jangan-jangan…
Ku beranikan beranjak dari tempat tidur. Ku langkahkan kakiku dengan perasaan takut. Sumpah, ini takut banget.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Mendekat di pintu, aku membukanya.
Ciiittt…
Pintu pun terbuka. Kemudian ku longokan kepalaku keluar. Tidak apa-apa. Ah… mungkin perasaan aku saja. Saat aku ingin melengos pergi lagi ke tempat tidur. Ku lihat ada satu zombie dari sebelah kanan. Ia sedang mendongakkan kepalanya keatas. Zombie yang ini terlihat seram sekali. Bajunya… robek kemana-mana, cairan hijau menetes banyak dimulutnya. Ia seperti makhluk di film-film pada umumnya.
Aku menutup mulut. Dan saat aku hendak menutup pintu, zombie itu pun berjalan menuju kearahku. Aku sontak kaget dan segera berlari untuk bersembunyi. Ku pilihlah bersembunyi dibawah kasur. Aku berdoa. Mudah-mudahan ia tidak kemari Ya Tuhan… Jangan kemari…
Aku terus mengucapkan kata-kata itu. Menutup mulut dan menahan napas. Tanpa disangka-sangka ada sebuah derap kaki yang masuk ke kamarku.
Ia mendekat.
Mendekat.
Mendekat.
Aku sekarang melihat kaki zombie tersebut. Hitam dan menjijikkan. Kaki itu diam. Dan aku harus lebih ekstra menahan napas.
Kakinya masih diam.
Aku takut. Takut sekali. Lalu tanpa angin dan hujan, kaki itu melengos pergi dari hadapanku.
Aku menghela napas. Fiuh… selamat.
Bwah…!!! Wajah zombie itu sekarang benar-benar dihadapanku.
Aku berteriak, “Aaaakkkk!!!”
Aku keluar dari bawah kasur sebelah, dan berlari keluar. Zombie itu berjalan mengikutiku dengan gontai. Aku terus berlari. Kearah kamar Arya.
Beruntungnya aku. Saat aku ingin membuka pintu, Arya sudah ada di depan pintu dengan wajah panik.
“Arya… Itu disana ada zombie lagi,” ku pelankan suaraku.
“Iya?!” matanya membelalak kaget.
Aku mengangguk cepat.
Arya pun keluar dari kamarnya dan menghadap lorong. Zombie itu sedang kemari dengan langkah gontai. Dengan mengambil ancang-ancang ia berlari menuju zombie tersebut.
Tepat dihadapannya, ia mengeluarkan gerakan-gerakan taekwondo seperti pada umumnya.
Ia menendang perutnya sehingga zombie itu terpelanting jauh. Anehnya, zombie itu tetap berdiri tegap. Zombie itu pun, mengeluarkan sejenis cairan kental dari mulutnya yang berwarna hijau.
Arya menghindar dengan cepat. Lalu ia pun meninju perutnya. Dan terpelanting lagi zombie itu.
Zombie itu melangkah gontai kearah Arya. Ia kemudian mencoba Mencakar Arya. Tapi Arya dengan kekuatan fokusnya, ia menghindar cepat.
Zombie itu terlihat putus asa. Kemudian ia mendorong tubuh Arya agar jatuh.
Brukk…!!
Arya jatuh. Lalu, dengan ambisi penuh, zombie itu mencekik Arya.
Aku ketakutan. Benar-benar ketakutan. Lalu aku pun cepat-cepat membawa pisau darurat yang selalu aku bawa di saku celana sekolahku. Lalu, kulemparkan pisau itu dan mengenai jantungnya. Nihil… Hasilnya nol.
Zombie pun bangkit lagi dan meraung-raung penuh ambisi. Lebih tepatnya marah.
Lalu, datanglah lightsaber entah dimana langsung menghunus jantung sang zombie tersebut. Zombie tersebut mati. Dengan darah hijau dimana-mana.
Saat aku ingin melihat zombie tersebut, datanglah Kak Dian, Kak Mita, dan Denayla.
Lightsaber itu pun kembali lagi kepada pemiliknya yaitu Kak Dian.
Denayla berlari dan memelukku.
Kak Dian bertanya, “Apa kalian baik-baik saja?”
Aku mengangguk.
“Arya. Kamu tidak apa-apa?” tanya Kak Dian khawatir.
Arya menggeleng.
“Harusnya kamu tidur denganku. Ah… Dasar batu,” sahut Denayla saat sudah melepaskan pelukannya.
“Gimana tadi kejadiannya?” tanya Kak Dian.
Ku jelaskan dari awal sampai akhir dengan hati-hati. Agar Denayla tidak shock berat.
“Jam berapa sekarang?” tanya Kak Mita.
“Jam satu pagi,” jawab aku.
“Ok. Sekarang kita akan jalan sampai IEU. Mengerti?” tanya Kak Dian penuh dengan kedewasaan.
Kami serentak mengangguk.
Lalu, tiba-tiba tangan Arya memegang tanganku.
“Kenapa?” tanyaku ragu-ragu. Aduh… Jantungku rasanya mau copot.
“Kamu harus denganku yah? Nanti ada zombie gimana?” ucap Arya.
“Eh?” aku tidak percaya. Sungguh… Si laki-laki gesrek ini bisa modus seperti ini.
“Kamu masih marah kan?” tanya Arya dengan wajah memelas.
“Enggak terlalu juga sih,” aduh, kok Arya berkata seperti itu sih?
“Ta… Percaya sama aku. Aku cuma orang baik kok. Enggak ada pikiran mesum atau apalah. Please, Ta. Dunia sekarang sedang dilanda virus zombie, ayahku mati, dan…,” ia menghela napas. “kita kehilangan segalanya.”
“Tapi… kamu harus janji. Kamu enggak boleh kayak gitu lagi,” sahut aku spontan. Kok, jadi kayak orang pacaran sih?
“Iya… aku janji.”
Arya memegang tanganku dengan lembut. Oh… ada rasa yang aneh tumbuh didalam hatiku. Apakah ini…? Atau apalah?
“Sudahlah… Jangan pacaran terus… ayo lanjut,” sahut Kak Dian yang sedari tadi ia melihat aku mengobrol dengan Arya. Dan bodohnya, aku lupa kalau teman-temanku pun melihat acara pegangan tanganku ini.
Denayla tersenyum dengan sedikit kode-kode. Kak Mila hanya tersenyum kecil.
Entah mengapa, kehidupanku menjadi rumit sekali.