Kami semua sudah keluar dengan keadaannya masing-masing. Kulihat wajah Denayla pucat pasi, Kak Dian yang beribawa kini berubah menjadi seseorang tentara yang ketakutan, apalagi Kak Mila. Anehnya, Arya hanya terdiam saja. Hanya melihat jalanan yang kini kosong.
Ku lihat sekeliling. Keadaan masih malam dan mencekam. Sepi. Angin malam mengelus-ngelus wajahku. Kakiku pun tidak luput oleh elusan dan endusan angin itu. Oh, ini nyaman sekali.
Karena aku amatir sekali tentang ibukota jadinya aku hanya salah satu orang asing yang menyasar masuk kedalam orang pribumi ibukota. Untung teman-teman baruku tidak rasis. Oh, syukurlah.
Kemudian, aku mulai jalan dengan arahan Kak Dian.
Kami mulai melangkah menuju pertigaan didepan. Disana ada ada minimarket yang tidak besar juga dan tidak kecil juga. Kami semua cepat-cepat mengambil semua yang aku butuhkan dan memasukkannya kedalam ransel sekolahku untuk perbekalan.
Lalu, kami melakukan perjalanan kembali. Setelah pertigaan kami diarahkan untuk terus melaju sampai ada gedung menjulang tinggi. Karena penerangan kami hanya mengandalkan senter, jadinya kami hanya melihat seberapa tinggi gedung tersebut.
Kami sampai di gedung tersebut. Lalu Kak Dian mengarahkan kembali untuk berjalan lurus sampai satu kilometer. Di pertengahan perjalanan, kami duduk terlebih dahulu di trotoar.
Kami semua duduk. Arya mendekatiku, “Lelah?”
Aku mengangguk.
Kemudian kulihat Denayla yang sedang duduk menyelonjorkan kaki. Dari mukanya, kulihat ia Nampak sedih. Tapi, aku tidak tahu sedih karena apa.
“Mau minum?” sembari menyodorkan waterdrink.
“Udah kok… aku udah ambil,” mataku sambil melirik kearah Kak Dian yang sedang duduk mesra dengan Kak Mila.
“Ok,” kemudian ia menunjuk langit, “bagus yah… bintangnya?”
“Eh? Iya…”
“Bulannya kemana?” tanyanya yang membuat hatiku merasakan ada sesuatu yang aneh.
“Entahlah,” aduh… Kok rasanya menjadi-jadi sih?
“Itu karena bulan tidak pernah membenci bintang.”
Aku hanya terdiam. Dan melihat wajahnya yang putih. Oh, Arya. Sebenarnya aku benci kamu. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu yang aneh jika aku mendengar dan melihatmu.
“Bulan tidak akan pernah membenci bintang. Mereka sudah berdamai. Dan terkadang, bulan pun selalu bersama bulan dikala rindu. Dan, aku disini sedang rindu. Rindu dengan seseorang,” jelasnya dengan senyum dan lesung pipitnya.
“Siapa?” jawab aku spontan.
“Kamu,” jawabnya langsung.
Aku menutup mulut. Tidak percaya apa yang dikatakan Arya. Jantungku langsung berdegub kencang tidak terkendali.
“Dan aku selalu merindukanmu. Di manapun dan kapanpun. Jadi, aku mohon, mau kah kita berdamai seperti bintang dan bulan? Karena aku hanya punya satu pernyataan bahwa aku merindukanmu.”
Deg… pipiku memerah. Jantungku rasanya mau salto. Itukah Arya yang sebenarnya? Oh… Aku mulai menyukainya.
“Iya. Kita berdamai,” jawab aku dengan melepaskan tanganku dimulutku.
“Jadi… Boleh kan… aku merindukanmu?” tanyanya yang sekarang aku berhadap-hadapan.
“Silakan kalau bisa,” jawab aku seperti anak-anak.
“Bisa dong. Mau?” tanyanya.
“Gimana?” tanya aku semakin penasaran.
Arya langsung mendekapku dan memelukku. Apa? Arya memelukku? Dalam dekapannya, jantungku berdebar-debar hebat, pipiku memanas, dan senyumanku mengembang begitu lebar. Oh, Arya… Kamu adalah orang yang kubenci, tetapi mengapa menjadi seperti ini?
Arya melepaskan pelukannya, “Bener kan… aku merindukanmu?”
Aku mengangguk.
“Jangan malu… Nanti pipinya merah lho…”
“Eh?”
Pipiku bertambah merah.
“Itu… pipimu merah. Jangan malu yah… Nanti kamu nambah cantik,” sahutnya dengan merayu.
“Apa sih…” aku menyikut lengan Arya.
“Ekhm…” suara dehaman itu datang dibelakangku.
“Eh… Kak?” tanya aku kikuk.
“Kalau pacaran itu terus terang saja. Jangan gombal bintang dan bulan dong. Kamu suka kan Mita?” rayu Kak Dian kepadaku.
“Eh… enggak kok,” jawab aku seperti orang bodoh.
“Doakan saja mudah-mudahan pacaran kak,” sahut Arya dengan senyuman manisnya.
“Apa sih...,” aku menyikut lengan Arya.
“Aamiin...,” ujar Kak Dian dan Kak Mita.
Aku menunduk malu karena untuk menutupi wajahku yang merah padam. Oh, ini rumit sekali.
Ku dongakkan kepalaku dan mengedarkan pandang. Ku lihat Denayla sedang duduk menjauh dari kelompok kami. Ada apa dia?
Ku biarkan Arya dan Kak Dian berbincang-bincang.
Aku duduk disamping Denayla, “Kenapa? Masih shock?”
Ia hanya diam.
“Den…?” tanya aku. Sekarang aku khawatir.
“Den…?” aku benar-benar khawatir.
“Aku baik-baik saja. I’m fine okay? Not sick. Not Shock. Please… From now on, don’t worry about me. Karena aku sekarang sudah sehat. Aku sudah dewasa. Dan sudah mandiri,” hanya itu jawabannya. Ia pun menjawabnya dengan wajah lesu, tidak bersemangat, dan senyum yang dipaksakan.
“Tapi kan…”
Percakapanku terpotong akibat suara auman keras dan kencang dari arah kiriku. Aku terkejut dan mulai beranjak berdiri. Suara apakah itu?
Aku mendekat kearah Kak Dian. Kak Dian mengedarkan senternya kemana-mana.
“Kak suara apakah itu tadi?” tanyaku.
Kak Dian menggeleng dan fokus terhadap senter itu.
Lalu. Ada zombie yang daing dari kanan. Jumlahnya ribuan. Jalannya gontai. Dengan suara raungan. Ia menjadi lebih seram. Apalagi penampilannya. Sudah barang tentu jelek bin seram.
Kemudian kami semua lari mengikuti Kak Dian. Kami terus berjalan lurus. Sesekali Kak Dian berbalik badan untuk melemparkan lightsabernya. Kadang terkena tiga atau lima zombie sekaligus. Tapi, lumayan lah buat memperpanjang waktu.
Kami terus berlari. Keringat kami beradu dengan dinginnya malam. Sumpah! Ini ngilu sekali. Napas kami menderu-deru. Antara semangat dan wajah baru bangun tidur menambah betapa kumalnya kita ini.
Kulihat Denayla dengan berlari tergopoh-gopoh. Jauh dibelakang kami. Aku mengajaknya untuk digendong bersama Arya. Ia menerima. Lalu dengan kekuatan ototnya, Arya menggendong Denayla dengan sangat cepat.
Kak Dian terus menghunus lightsabernya ke zombie-zombie itu.
Sudah seperampat jam kami berlari dan kita sampai ke tempat tujuan kami. IEU. Ah… akhirnya.
Ditambah lagi zombie itu kini sudah tertinggal jauh. Jauh sekali.
“Kita masuk lewat lobby,” teriak Kak Dian.
Kami semua berlari sangat cepat sekali. Ditambah napas yang menderu-deru. Oh… ini hebat sekali. Aku kini menjadi orang marathon.
Kami lalu masuk ke IEU. Oh, Tuhan. Menggunakan senter yang kita curi dari minimarket. IEU ini hancur sekali. Aku tahu. Ini pusat penyebarannya.
Lalu kami terduduk di lantai lobby. Kita akan meeting bagaimana cara membuat plan A rampung.
Kami semua terengah-engah. Dengan sisa tenaga yang ada. Kita semua angkat tenaga.
“Jadi. Gimana? Kita mau apa?” tanya aku setelah meminum dua puluh lima waterdrink.
“Kamu sama kakak yah Mita. Sisanya dijaga sama Arya. Soalnya kamu katanya pintar dibagian kelistrikan. Dan kamu adalah delegasinya. Asik… Baku banget yah…?” jawab Kak Dian dengan becandaan yang receh bin garing.
“Loh. Kakak tahu darimana?”
“Arya.”
Lah… kok Arya bisa tahu?”
“Tapi… Kenapa enggak sama Arya aja? Arya juga bisa kali tentang kelistrikan?” tanyaku heran.
“Terima saja Ta,” sahut Denayla disampingku.
“Ok lah.”
Ok. Aku akan berkeliling IEU.