Read More >>"> DANGEROUS SISTER (Chapter 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - DANGEROUS SISTER
MENU
About Us  

Alice memandangi Prof. Park dengan tatapan kosongnya. Ia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi dengan apapun itu di tambah lagi ketika ia menatap ke arah lain, semua orang menatapnya tidak suka membuat Alice benar-benar kesal—kesal karena tidak tahu apa kesalahannya? Sampai semua orang menatapnya seperti itu.

Alice pov

Come on! Ada apa dengan mereka sebenarnya? Kenapa mereka menatap ku seperti itu? Aku benar-benar ingin segera pergi dari sini—tempat ini benar-benar menyebalkan! SIAL!

Dan—kenapa dia selalu menoleh kearahku dengan tatapan mengejeknya itu? Baiklah, bukannya dia bisa membaca fikiranku? Aku akan berbicara kepadanya sekarang!

"Berhenti terus menoleh dan menatapku dengan tatapan mengejekmu itu? Apa kau benar-benar ingin ku tusuk dengan pasak perakku?" Ia menyeringai puas. Itu cukup membuatku geram.

"Lakukan jika kau bisa?"

Aku tersentak. AJAIB! IMPOSSIBLE! Bagaimana bisa aku mendengarkan suaranya tanpa ia berkata. Aku menatapnya tajam berusaha untuk bertanya apa maksud dari semua ini? Ia menatap ku dengan rasa penasarannya sama seperti ku, aku tidak yakin kalau dia tidak benar-benar tahu? Oh my god...Apa yang sebenarnya yang terjadi diantara kami? Dan tiba-tiba saja ia berdiri dan berjalan kearahku. Apa dia sudah gila? Perkuliahan masih berlangsung dan Prof. Park sedang menatapnya heran.

"Lee Taeyong...Apa yang kau lakukan?" Tanya Prof. Park dan monster ini benar-benar tidak memperdulikannya. Ia sekarang berdiri tepat dihadapanku dan semua mata tertuju kepada kami. SHIT! WHY? KENAPA DIA TIDAK BISA BERSIKAP SEPERTI BIASA?

What are you doing? Tanyaku tanpa berkata.

"Ikut dengan ku!" WHAT? Apa dia berusaha memerintah ku? MONSTER INI!

"Ikut dengan ku atau kau ingin mereka terus menatapmu?" SIALAN! Tak bisakah dia berhenti?

"Taeyong! Duduklah di tempatmu." Rupanya Prof. Park mulai terlihat tidak sabaran.

"Aku tidak akan mengulangi perkataanku lagi. Jika kau tidak mau? Aku bisa menarikmu dengan paksa!" APA? KAU MONSTER GILA! Aku terus memberi umpatan kepadanya.

"1..2.." Aku pun berdiri sebelum hitungan ke 3 dan dengan cepat ia menarik tanganku untuk segera menjauh dari kelas. Dengan emosi yang memuncak aku terus mengikutinya. Haruskan dia berbuat sejauh ini. Aku benar-benar membenci semua aturan bodoh yang mengaturku untuk tak menyerang para vampire disini. AKU BENCI PERATURAN BODOH ITU!

"Taeyong!" Aku masih dapat mendengar panggilan Prof. Park meskipun semakin lama semakin samar. Sentuhan tangan dinginnya benar-benar membuatku tergidik. Haruskan aku menuruti perintah monster ini?

BRAK

Dengan cepat ia memojokkanku pada sebuah pintu. Aku terhimpit antara pintu yang terbuat dari kayu kokoh dan dirinya. Serangan secepat kilat ini benar-benar berbeda dan membuatku tak berdaya. Well, sekarang aku percaya kalau dia adalah vampire original. Kekuatannya benar-benar tak dapat ku deteksi dan ia berkuasa atas tubuhku sepenuhnya. Shit! Aku terperangkap, tidak mampu berkutik di bawah kuasanya.

Wajahnya tiba-tiba mendekat dan aku memejamkan mata ku. Apa aku mulai takut kepadanya? "Siapa sebenarnya dirimu?" Rahangnya mengeras dan tatapannya menajam. Matanya berubah merah, dia menunjukkan wujud aslinya—hanya saja taring itu bersembunyi di balik bibirnya yang mengatup. Apa dia marah? Seharusnya aku juga marah kepadanya bukan? Bagaimana bisa dia ia membaca pikiranku dan aku bisa mendengarkan ia memerintahku dalam diam, tetapi aku tidak dapat membaca fikirannya.

"Aku sudah mengatakan kepadamu bukan? Kalau aku seorang hunter!" Tidak berbahaya? Asumsi itu benar-benar konyol! Ku katakan dengan jelas! JANGAN PERNAH MEMPERCAYAI MOSNTER! Jangan pernah, jika kau masih memiliki pikiran waras. Aku masih tidak percaya? Bagaimana para leluhur itu membuat perjanjian bodoh dengan para vampire ini? Para monster ini tidak akan pernah berfikir tentang menghargai nyawa seseorang? Mereka beranggapan kalau manusia hanya sepotong makanan!

"Apa kau sudah berhenti mengoceh?" Aku dapat merasakan hembusan nafasnya menyentuh kulit wajahku. SIAL! Aku benar-benar membenci semua omong kosong ini. Kenapa dia bisa membaca fikiranku? Kenapa keanehan demi keanehan ini selalu menghampiriku?

Kini tangannya mulai membelai rambutku. Sekarang apa? Apa dia berusaha untuk terus mengancam dan mengintimidasiku dalam setiap gerakannya? Kau pikir aku akan takut? Jangan terlalu berharap! Aku benar-benar ingin menepis tangan itu tetapi aku tidak bisa melakukan apapun.

"Apa mau mu?" Kataku pada akhirnya.

Dia mengangkat satu alisnya. "Apa aku harus mengulangi pertanyaanku?" Well, aku sudah mengatakan yang sejujurnya kepadanya! Apa lagi yang harus ku katakan?

Aku mendesah. "Aku sudah mengatakannya! Kalau kau bisa membaca fikiran ku berarti kau sangat tahu aku berbohong atau tidak bukan? Meskipun pada kenyataannya aku membenci fakta ini." Kataku dengan sinis dan kali ini aku melihat senyum di bibirnya. MEMUAKKAN! Aku benar-benar tidak pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Hasrat untuk membunuh yang sangat besar dan ketidak berdayaan untuk melakukannya. Mungkin kata yang tepat adalah BETAPA MENYEDIHKANNYA KAU ALICE!

"Aku tahu kau menyimpan sesuatu?" Rupanya dia masih belum menyerah. Haruskan aku menjelaskannya lagi? Tidak ada dalam sejarah hidupku berdebat dengan monster sepertinya. Aku rasa aku benar-benar sinting sekarang!

"Bisa saja kan itu kekuatanmu? Monster sepertimu pasti memiliki kelebihan bukan?" Ia mengangkat satu alisnya tetapi tatapan waspada itu masih terus ia jaga. Senyum sinisnya seketika keluar begitu saja.

"Haruskan aku memberitahumu?" Gumamnya seolah menimbang. Aku hanya menggendikkan bahuku. Kapan semua omong kosong ini akan berakhir?

Dia menatapku tidak suka. Aku lupa kalau monster ini bisa membaca pikiranku!

"Aku bisa membaca pikiran semua orang—vampire dan manusia tetapi tidak dengan hunter!" katanya dengan tegas. Tentu saja aku tahu—tatapanku padanya mengatakan itu. Ia merasa begitu penasaran sampai membuatnya terlihat kesal.

"Apa kau benar-benar seorang hunter?" Aku memandangnya dengan tatapan kesalku. Aku lelah untuk menjawab pertanyaannya. Ada baiknya juga jika dia bisa membaca pikiranku sehingga aku tidak bersusah payah untuk mengeluarkan suaraku tetapi—ini juga cukup berbahaya karena dengan itu—dia bisa saja membunuhku dengan mudah!

Melihatku putus asa. "Aku akan mencari tahu sendiri tentang ini!" Terserah! Seringaian itu keluar lagi dari bibirnya. Aku sudah mengatakan semuanya, jadi terserah ia mau percaya atau tidak! Aku merasa rengkuhannya sedikit berkurang tetapi ia masih menatap ku dengan tajam. Aku tidak pernah berfikir sampai sejauh mana para monster ini memiliki pemikiran, selain hanya bagaimana cara memangsa manusia? Tapi hari ini, aku rasa aku perlu untuk tahu? Apa yang mereka fikir dan rasakan? Apa mungkin ada kemiripan dengan kami—para manusia? Aku harus mencari tahu itu!

Dan dengan cepat dan tanpa sepatah kata pun dia meninggalkan ku.

BUSH

Yang tersisa hanyalah angin dengan aroma kolonye yang khas. Aku membeku. Monster ini benar-benar menyerangku secara frontal pada fisik dan emosionalku. Ia menghantam setiap sel otakku dengan semua pemikiran tentangnya—tentang bagaimana kami bisa saling berbicara tanpa mengucapkannya? Bagaimana ia bisa membaca pikiranku? Bagaimana bisa? Hm—aku tidak tahu kenapa aku harus kesal dengan semua ini? Fakta bahwa aku tidak berdaya untuk melakukan apapun, sungguh membuatku terpukul. Keinginan untuk membunuhnya sangat membara dan rasa ingin tahu ku tentang dirinya juga sama. SIAL!

Alice pov end

Alice masih termangu bersandar pada pintu yang membuatnya terhimpit oleh serangan Taeyong beberapa menit yang lalu. Ia tidak sadar kalau Ten tiba-tiba berada dihadapannya dan menatapnya dengan ekspresi bingung.

"Ada apa?" Alice tersentak dan perasaannya berangsur lega ketika mengetahui bahwa itu Ten. Ia sangat takut jika itu adalah Taeyong. Karena serangan mendadak darinya tadi saja sudah membuatnya kalang kabut—ia masih belum pulih sepenuhnya dari keterkejutannya. Ten seketika mengirutkan alisnya, ia hanya bertanya tetapi kenapa Alice terlihat begitu terkejut.

"Apa terjadi sesuatu?" Tanya Ten lagi berusaha memperoleh kejelasan dari Alice. Ekspresi Alice seketika berubah marah—marah karena semua hal yang terjadi kepadanya dan marah karena Ten juga ikut andil dengan apa yang terjadi pada dirinya.

"Tinggalkan aku sendiri!" Alice melangkan dengan cepat meninggalkan Ten yang terlihat bingung. Kemudian, pria itu mengikuti langkah kaki Alice.

"Ada apa? Apa sesuatu terjadi? Kau bisa mengatakannya kepadaku!" Alice merasakan dahinya berdenyut. Kemudian ia menoleh pada Ten.

"Tidak ada, hanya saja—bisakah kau tinggalkan aku sendiri?" Mohon Alice dan Ten berhenti membiarkan Alice berjalan sendirian, namun Ten tak melepaskan pandangannya dari Alice sampai gadis itu menghilang di balik tembok beton itu. Tatapan khawatir dan pikiran kalut memenuhi setiap ekspresi Ten.

Alice melangkah menyusuri koridor kampus, ia berjalan menuju kelas Sally. Alice berpapasan dengan Jaehyun dan beberapa gadis yang mengikutinya, seketika Alice terlihat waspada menatap Jaehyun tajam tetapi pria itu hanya membalas tatapan tajam Alice dengan senyum memikatnya. Alice memutar bola matanya, tidak mungkin vampire ini berusaha merayunya bukan? Alice terlihat bertambah kesal ketika ia menemukan 2 vampire dalam satu waktu di kampus ini. Bagaimana besok? Lusa? Alice benar-benar merasa pusing ketika memikirkan berapa banyak jumlah vampire yang ada di universitas ini—karena itu artinya lebih banyak vampire akan sangat berbahaya bagi mereka berdua. Dengan segera Alice melangkah memasuki kelas Sally. Ia merasa lega melihat Sally sibuk menulis sesuatu dan Doyoung disampingnya membantu Sally.

"Kita pergi dari sini sekarang!" Pinta Alice dengan serius membuat Sally dan Doyoung mendongakkan kepalanya. Tangan Alice sudah meraih tangan Sally dan menariknya untuk segera berdiri.

"Ayo!" Ulang Alice yang kini benar-benar menarik tangan Sally untuk bergegas membuat gadis itu sedikit sempoyongan.

"Why?" Tanya Sally merasa heran dengan saudaranya ini.

"Nanti aku jelaskan." Kata Alice yang secara langsung mengatakan agar Sally tidak terlalu banyak bertanya lagi.

"Hei, tunggu aku!" Teriak Doyoung yang seketika membuat Alice menghentikan langkahnya dan membalikkan badan, menatap Doyoung tajam.

"Nanti! Kita akan berbicara nanti dan kau akan mendapat hukuman untuk kecerobohanmu." Ancam Alice yang seketika membuat Doyoung diam seribu bahasa. Kali ini Sally tak berani mencela lagi, ia tahu saat ini Alice marah dan jika seperti ini lebih baik ia diam.

Kini, mereka berada di sebuah taksi menunju apartement mereka yang sebenarnya jaraknya sangat dekat, tapi karena Alice sudah tidak sabar lagi! Gadis itu memilih untuk naik taksi. Hening, masih menguasai suasana didalam taksi tersebut. Sally terus melirik kearah Alice yang terlihat menahan amarahnya.

Sally pov

Aku sedikit terkejut ketika Alice tiba-tiba datang ke kelas dan menyuruhku untuk mengikutinya. Ia tidak mengatakan apa alasannya? tapi aku cukup tahu kalau ia sedang marah saat ini. Marah yang jarang sekali aku lihat! Itu mengingatkanku pada peristiwa di malam Aaron meninggalkan kami. Aku tahu Alice begitu sedih karena kehilangan Dad dan marah karena Aaron menghilang. Aku mendesah lagi—seharusnya aku tidak mengingat saat menyakitkan itu.

Alice tidak boleh terus-terusan marah karena dia akan menjadi berbeda ketika ia marah! Kenapa aku mengatakan ini? Malam itu—saat para vampire mengepung rumah kami hanya untuk berburu diriku, Alice dan Dad mencoba melindungiku ketika Aaron memutuskan untuk menyerah mengetahui begitu banyak jumlah vampire yang mengepung rumah kami. Alice dengan semua kemampuannya berusaha untuk melawan para vampire itu sampai ketika mereka berhasil menyerang Dad dan menghisap darahnya sampai tak tersisa.

Alice sangat marah, entah mengapa aku merasakan aura berbeda darinya saat itu. Seperti sebuah api yang menyala keluar dari tubuhnya. Kekuatan, kecepatan dan kelincahannya dalam menyerang para vampire itu meningkat dan yang lebih mengejutkan adalah aku melihat api tiba-tiba datang dan membakar para vampire itu. Entah dari mana datangnya api itu? Dari Alice? Itu tidak mungkin! Alice hanya menatap mereka saja. Sampai hari ini aku masih belum tahu dari mana api itu berasal? Tetapi ada yang aneh, ketika semua vampire itu lenyap menjadi abu, Alice—ia pingsan! Ku pikir ia kelelahan melawan lebih dari 10 vampire sekaligus. Ya! Sampai sekarang aku berfikir seperti itu. Api itu pasti bukan darinya? Tidak mungkin bukan? Hunter hanya memiliki kepekaan atau indra ke7 selebihnya mereka hanya manusia biasa. Tapi saat aku berusaha menyembuhkannya dengan Unicorn ku. Aku sempat tersentak karena tubuhnya begitu panas—Alice! Apa yang sebenarnya terjadi padamu saat itu?

Kini—aku masih memandanginya dan ia melirikku. Ku rasa ia merasakan kegelisahanku. "Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan sekarang?" Ungkapnya jujur. Ini pertama kalinya ia mau mengatakan apa yang ia rasakan.

"Why?" Tanyaku dengan hati-hati, sebisa mungkin untuk tak berekspresi berlebihan. Aku sangat tahu, Alice akan berubah pikiran jika aku terlihat mendesaknya. Ia mendesah lagi

"Haruskan kita pergi dari sini?" Mengejutkan! Untuk pertama kalinya ia mau meminta pendapatku tentang keputusan apa yang harus ia ambil. Mungkinkah ini sebuah kemajuan untuk hubungan kita? Tapi, bukankah hal yang paling penting adalah aku harus menanyakan kenapa kami harus pergi! Bodoh! Aku kembali fokus untuk mencari tahu tentang kegelisahan Alice.

"Kenapa kita harus pergi?" Aku menunggu jawabannya yang terasa sangat sulit untuk ia katakan.

"Apa ini masuk akal? Kita baru saja menginjakkan kaki kita di sini Alice, bahkan ini hari pertama kita masuk kuliah." Aku berusaha menunjukkan ketidak setujuan ku. Ia menatap ku dengan kesal dan mendesah lagi.

"Aku punya alasan untuk itu!" Wow, apa ini? Awalnya ia terlihat sedih? Sekarang apa? Kesal? Kenapa?

"Kalau begitu, beri aku sebuah alasan?" Kataku dengan tegas! Mungkin, aku tahu jawabannya. Hanya saja aku harus mendengarkan darinya secara langsung.

"Pria yang dikerumuni banyak wanita itu? Dia vampire original dan ku rasa kau sudah tahu dari Doyong kan?" Tubuhku menegang, meskipun aku sudah menduganya penyebabnya adalah ini tetapi aku masih tidak benar-benar siap menghadapi kemarahan Alice. Melihat ekspresiku ia tersenyum sinis.

"Dan kau berusaha menutupinya dariku?" Ia menggelengkan kepalanya merasa tak percaya.

"Aku hanya ingin kau tidak terlalu khawatir." Ia terdiam dan menatapku datar.

"Jangan menyuruhku untuk berhenti mengkhawatirkanmu! Itu sudah menjadi tugasku untuk melindungimu!" Ia berkata tanpa mau menatapku.

"Kau pikir hanya dia? Aku menemukan satu lagi, vampire sepertinya." Aku memandangnya tak percaya. Satu lagi? vampire sepertinya?

"WHAT? Kau tidak bercanda kan?" Ia menatapku tajam kemudian mendesah.

"Kita harus pergi dari sini! Tempat ini benar-benar tidak aman." Alice tidak menyebutkan siapa vampire original itu tetapi dari tatapannya aku melihat kekhawatiran yang begitu besar. Ini pertama kalinya aku juga merasakan kekhawatiran Alice dengan jelas. Biasanya saudaraku ini sangat pandai menyembunyikan semuanya—tapi kenapa hari ini terlihat begitu berbeda?

"Who is he?" Paksa ku, aku harus tahu! Ia memandangku lagi kemudian memalingkan wajahnya.

"Itu tidak penting! Kita harus segera pindah!" Katanya dengan tegas.

"Bagaimana kalau aku ingin tetap disini?" kataku tak kalah tegas! Ia memandangku dengan tatapan ketidak setujuannya.

"Selama ini aku selalu menuruti keinginanmu! Biarkan kali ini saja aku melakukan apa yang ku mau. Aku tahu dari Doyoung bahwa mereka terikat janji, jadi tidak ada yang perlu kau khawatirkan Alice!"

Alice berdecak. "Apa kau percaya dengan perjanjian bodoh itu?" Ucapnya tak kalah menyebalkan. Aku terdiam sesaat, berusaha untuk mencari kata yang tepat agar aku bisa mengalahkannya dan membuatnya tak berkutik lagi.

"Tentu saja! Buktinya ini sudah berjalan selama ratusan tahun Alice. Perlu kau ingat itu." Seketika ia menghela nafas dan ekspresi pias itu muncul lagi.

"Hanya manusia bodoh yang percaya dengan janji para monster seperti mereka." SIAL! Dia benar-benar tidak menyerah.

"Tapi aku masih ingin tetap berada disini!" Ku keluarkan jurus terakhirku. Aku menunjukkan ekspresi kesedihan yang ku buat-buat.

"Kita masih bisa membicarakan ini dengan Ten dan Doyoung." Tawarku tak mau menyerah. Jujur, aku sudah lelah untuk berpindah-pindah menghindari para monster itu. Disini—entah mengapa? Aku merasa aman! Aku bisa melihat banyak mahasiswa tidak terganggu dengan kehadiran seorang vampire, salah satunya pria itu. Mereka malah mengidolakan vampire itu, ku akui memang wajahnya diatas rata-rata. Sally please! Kenapa kau harus mengingat monster playboy itu?

"Aku sudah tidak mempercayai mereka! Come on Sally jangan paksa aku!" Alice dengan keras kepalanya yang tak pernah berakhir.

"Setidaknya kau harus percaya leluhurmu sudah melindungi kota ini berabad-abad dengan perjanjian yang kau sebut bodoh itu?" Skak mat! Setelah ini apa kau masih bisa berkutik? Aku harus menang darimu sekarang! Harus!

"Tetapi tetap saja mereka hanya menganggap kita sepotong makanan!" teriaknya frustasi. Ku rasa ia berada di puncak amarahnya.

Alice mengepal tangannya dan membenturkannya pada pintu mobil.

BRAK...KRAK...KRAK...

Aku mematung ketika menyadari pintu itu lepas hanya bertahan dengan beberapa komponen logam untuk menyanggahnya dan sebagian yang lainnya jatuh bergesekan dengan aspal jalanan. Supir taksi itu pun menghentikan laju mobilnya dan memeriksa pintu yang rusak itu. Ia terlihat kebingungan, jangankan pria ini? Aku dan juga Alice terlihat bingung? Ia hanya tidak sungguh-sungguh meninju pintu itu tetapi kenapa dengan mudah pintu itu menjadi penyok. Aku tidak mengerti? Tapi itu memperkuat dugaanku bahwa dulu—saat penyerangan itu? Api itu benar-benar dari Alice. Aku mendesah memandangi Alice yang masih memandang kosong pintu itu. Seketika ketakutan itu menyeruak dalam diriku. Bagaimana ini? Apa yang terjadi sebenarnya? Alice! Kau kenapa?

Sally it's okay! Kau harus tetap tenang. Aku melirik Alice yang masih termangu. Ku rasa aku harus menyelesaikan semua ini! Supir taksi itu hendak mengatakan sesuatu tetapi aku mendahuluinya.

"Kami akan bertanggung jawab untuk ini." Kataku dengan yakin. Sopir taksi itu pun terdiam, tapi ia masih menatap Alice dan pintu itu bergantian lengkap dengan ekspresi ketidak percayaannya. Ia mengambil beberapa alat dari bagasinya berusaha untuk menyambung pintu itu, tetapi gagal! Pada akhirnya ia hanya bisa mencopot pintu itu dari mobil dan memasukkannya ke dalam bagasi.

Kami telah sampai di depan apartement kami, setelah kejadian itu. Alice berhenti berbicara dan terlihat linglung. Aku menggandengnya untuk segera masuk ke dalam apartement sebelum orang-orang memperhatikan ekspresi kacaunya. Ada apa denganmu Alice?

Sally pov end

Alice memandang puluhan beton yang menjulang tinggi bersembunyi dari balik tembok kaca apartemennya. Ia mendesah beberapa kali berusaha untuk menghilangkan kegundahannya. Sally pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih untuk Alice.

"Ini" Alice menerima segelas air putih itu tanpa menatap Sally. Seketika suasana menjadi canggung. Sally merasa ragu antara bertanya atau tidak tentang kejadian tadi. Alice yang jeli merasakan kekhawatiran Sally.

"Kau melihatnya bukan?" Sally terperanjat, ia tahu Alice menanyakan peristiwa yang terjadi tadi. Itu berarti Alice benar-benar menyadarinya, bukan seperti waktu itu.

"Itu tidak hanya sekali dan kau menyadarinya kan?" Sally membisu tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada saudaranya ini. Selama ini Alice benar-benar menyadari semuanya yang terjadi. Alice mendesah.

"Sebenarnya apa yang terjadi padaku?" Alice memandang kedua tangannya dengan sedih. Sally benar-benar tak kuasa melihat Alice seperti ini. Seolah-olah Alice tak sanggup lagi menhadapi semua hal yang ada dihadapannya. Biasanya Alice begitu terlihat tegar dan ia lah yang selalu bersandar padanya. Sally pun memeluk Alice.

"Tenanglah Alice, Everything will be alright Okay!" Kata Sally sambil membelai punggung saudaranya ini dengan lembut tetapi Alice masih belum bisa menghilangkan semua kegundahannya.

"Bagaimana aku bisa tenang Sally. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Bagaimana bisa hunter seperti ku melakukan itu?" Kata Alice yang kini ia benar-benar menangis dan Sally pun ikut menangis dengannya.

Doyoung dan Ten tercengang melihat pemandangan yang seperti sebuah syuting drama melankolis.

"Wae?" Tanya Doyoung dengan mulut menganganya dan Ten terus menatap Alice dengan ekspresi khawatirnya. Mereka berdua melepaskan pelukannya, Alice hanya memandangi mereka berdua sekilas kemudian pergi menuju kamar. Ketika Ten mengejarnya Sally menghalanginya.

"Biarkan dia sendiri. Hari ini adalah hari terberatnya." Kata Sally sambil menahan tangan Ten. Meskipun tak begitu mengerti dengan apa yang dikatakan Sally? Ten memilih untuk mendengarkannya.

—***—

Di sebuah masion dengan ornament eropa yang begitu kental seorang pria yang tak lain adalah Taeyong duduk termenung manatap langit yang gelap dengan taburan bintang yang telah redup. Seseorang melangkah mendekatinya dan berdiri tepat disampingnya dengan menyanggahkan tubuhnya pada pembatas beton dengan ukiran yang unik itu.

"Johnny akan mengadakan pesta tengah malam, apa kau akan ikut denganku?" Pria berparas tampan itu menatap Taeyong dengan senyumnya yang selalu mengembang. Tangannya menopang dagunya, menunggu dengan harap jawaban dari Taeyong.

Taeyong meliriknya sekilas dan kembali menatap langit lagi. "Apa kau masih belum bisa melupakannya? Ia sudah pergi ratusan tahun yang lalu!" kata pria itu dengan nada kesalnya.

"Di kelasmu—ada seorang Blood Sacred kan?" Pria itu mendelik, kemudian menyengir.

"Wae? Kau tertarik?" Tanyanya dengan seringaian jahilnya.

"Jangan lakukan apapun kepadanya!" seketika pria itu merasa geli.

"Wow! Apa ini? Kau tertarik pada manusia?" Tanyanya dengan rasa penasaran yang begitu besar. Kini Taeyong menatapnya pias.

"Jaehyun-ah, bisakah kau berjanji kepadaku?" Seketika senyum itu lenyap dan kini ia menatap Taeyong dengan serius.

"Wae?" Jaehyun menginginkan jawaban yang lebih. Taeyoung mendesah merasa frustasi seketika.

"Aku bertemu dengan seseorang dan aku bisa membaca fikirannya." Kata Taeyong dengan jujur tetapi Jaehyun tak merasa terkejut dengan ucapan Taeyoung.

"Bukankah itu keahlianmu?"

"Ia adalah seorang hunter." Jaehyun mengirutkan keningnya kemudian mendekati Taeyong.

"Kau serius?" Taeyoung mengangguk.

"Bagaimana itu mungkin?" Jaehyun memandang Taeyong tak percaya. Taeyong pun menggendikkan bahunya merasa tidak puas dengan jawabannya sendiri.

"Mungkin dia seorang hunter level rendah? Mungkin, ia baru belajar bagaimana cara memproteksi dirinya?" Jaehyun terus menduga-duga.

"Ani, dia adalah seorang hunter dengan level 7." Jaehyun mengerjab berusaha memikirkan semuanya. Taeyong yang melihat Jaehyun tidak bereaksi, memilih untuk melanjutkan perkataannya.

"Yang lebih mengherankan lagi? Kami bisa saling berbicara tanpa berkata. Jika aku memulainya"

"MWO?" Kali ini Jaehyun melotot dan memiringkan kepalanya seolah berusaha memecahkan teka-teki yang membingungkan ini. Ia menggelengkan kepalanya ketika ia tak menemukan jawaban yang ia cari dalam fikirannya.

"Bagaimana mungkin itu terjadi? Kecuali..." Jaehyun tak menyelesaikan ucapannya. Ia menjadi terbengong-bengong dengan pemikirannya sendiri.

"Kecuali apa?" Tanya Taeyoung yang tak sabar menunggu jawaban Jaehyun, karena ia sendiri tak punya petunjuk sama sekali.

"Kalian terikat." Jawabnya dengan mata berbinar. Dengan semangat ia duduk di samping Taeyong.

"Mungkin kalian ditakdirkan bersama? Seperti kisah romeo dan Juliet." Kejahilan seorang Lee Jaehyun yang tak pernah berakhir!

PLETAK

"Yak! Appo..." Rintih Jaehyun ketika Taeyong melayangkan jitakannya padanya.

"Kau terlalu banyak menonton drama romantis? Selain bermain dengan para gadis—apa lagi keahlianmu hah? Kalau kau terus seperti ini, aku akan benar-benar mematahkan lehermu." Ancam Taeyong yang membuat Jaehyun meringis seketika.

"Hyung—Aku sekarang belajar dengan baik. Bukankah kau pernah bilang kepada ku? Bahwa, kita akan menggantikan posisi Aboji." Kata Jaehyun sambil memijat-mijat bahu Taeyong berusaha untuk membujuknya.

"Hyung? Aku merasa mual ketika kau mengatakan itu! Jika kau ingin aku maafkan? Beri aku sebuah petunjuk—bukan hanya sebuah omong kosong." Kata Taeyoung dengan ekspresi datarnya.

"Aku sudah mengatakannya bukan? Bahwa kalian terikat." Kata Jaehyun dengan yakin.

Taeyong mendesah. Rupanya memang tidak ada hal yang bisa diharapkan pada saudaranya ini.

"Terikat? Aku belum mengatakan bahwa dia adalah seorang wanita, tetapi kau mengatakan kami terikat? Bagaimana jika ia seorang pria? Kau bilang itu terikat. Bodoh!" Bukannya merasa tersinggung Jaehyun terlihat biasa saja dengan ucapan Taeyong. Rupanya ia biasa menghadapi watak Taeyong yang seperti ini.

"Hanya antara lawan jenis yang terikat. Aku tahu yang kau maksud hunter wanita dengan rambut hitam lurus itu kan? Dia adalah penjaga dari Blood Sacred yang kau ceritakan tadi." Taeyong tak menyangka Jaehyun akan setanggap itu. Ternyata julukan seorang jenius masih melekat pada diri saudaranya ini. Tampan, jenius dan berkarisma itulah Jaehyun. Pria yang terlihat sempurna dalam banyak hal—hanya takbiatnya cukup buruk, apa lagi jika itu berhubungan dengan wanita. Taeyong? Dia sama saja! Sikap ketidak peduliannya memang buruk tetapi itu malah membuat kebanyakan wanita begitu menyukainya. Sebenarnya ia juga akan menyandang status play boy jika saja ia mau menanggapi setiap gadis yang tebar pesona kepadanya. Taeyong merasa sangat risih melihat seorang wanita tak tahu malu—mengajak seorang pria berkencan terlebih dahulu. Tidak dapat di pungkiri—Taeyong telah hidup ratusan tahun lamanya dan mau tidak mau ia mengikuti perkembangan jaman. Ia lebih suka wanita anggun dan sopan seperti jaman dulu dibandingkan dengan wanita jaman sekarang yang menurutnya tidak memiliki sopan santun.

"Mereka tidak terlalu buruk—Ku rasa aku bisa bertahan 2 atau 3 minggu bahkan mungkin 1 bulan. Bukankah itu menajubkan?" Goda Jaehyun yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Taeyong.

Jaehyun tertawa geli. "Ia tidak akan membiarkanmu mendekatinya." Kali ini Taeyoung yang mencibir.

"Mungkin—aku tidak bisa memikat hunter itu tetapi Blood Sacred itu? Hmm...Ku rasa aku bisa!" Jaehyun terlihat bersemangat.

"Dia juga tidak akan membiarkanmu untuk mendekatinya." Kata Taeyoung membuat Jaehyun memandangnya antara bingung dan tak percaya.

"Hyung—Ada apa denganmu? Sejak kapan ancaman manusia mempengaruhi kita? Kau tahu seperti apa menggiurkannya Blood Sacred bukan? Berkali-kali lipat nikmatnya dibandingkan darah segar yang pernah ada di dunia ini." Ucap Jaehyun dengan berapi-api. Taeyong menatap Jaehyun malas.

"Sudah ku katakan jangan menyentuh mereka! Sebelum aku tahu—kenapa aku bisa membaca pikirannya!" Taeyong pun meninggalkan Jaehyun begitu saja. Seketika Jaehyun tersenyum sambil memiringkan kepalanya.

"Ckckck...Sampai kapan kau akan membohongi dirimu? Kau tertarik padanya bukan?". Gumam Jaehyun, kemudian ia memandang langit sambil mendesah.

"Baguslah, ia tidak akan terus mengurung diri dalam kegelapan." Katanya dengan serius dan senyum itu lenyap seketika.

—***—

Alice terbangun ketika mendengar sebuah bisikan mendengung pada kedua telinganya. Dengungan itu benar-benar menyisakan rasa sakit di kedua telinganya.

ALICE...ALICE...

Hal ini terjadi sama seperti malam-malam sebelumnya. Alice duduk dan menatap Sally tertidur pulas disampingnya. Meskipun suara itu terdengar menyeramkan, Alice berusaha menepis semua rasa ketakutannya dan mulai melangkah mencari dimana suara itu berasal. Ia menemukan sosok itu lagi, kali ini lebih jelas. Seseorang yang nampak seperti pria berdiri membelakanginya, ia memakai jubah hitam lengkap dengan tudungnya—hanya tudung itu dibiarkan terjatuh begitu saja, menampakkan bagian kepalanya yang masih membelakangi Alice.

"Katakan siapa dirimu?" Tuntut Alice dengan sedikit berbata-bata.

Tidak ada jawaban~

"KENAPA? APA MAUMU SEBENARNYA?" Kali ini Alice berteriak. Ia merasa kesal terus-terusan mendapatkan terror dari entah itu makluk jadi-jadian atau apa? Alice tidak tahu dan tidak ingin tahu sama sekali.

Sosok itu bergerak seolah akan menoleh, tetapi sebelum sosok itu benar-benar menoleh. Alice pingsan dan ia terbangun ketika seseorang memanggilnya dengan panic.

"Alice—ku mohon bangunlah!" Alice membuka matanya dan terlihat bingung ketika menangkap sosok Ten yang duduk disampingnya. Dejavu—Alice seolah merasa ini berulang kali terjadi kepadanya. Alice berusaha duduk dan Ten membantunya melakukan itu. Kali ini berbeda—Alice tidak berusaha untuk menyerang Ten.

"Kau memimpikan itu lagi?" Tanya Ten dengan tatapan khwatirnya. Alice mengangguk lemah, ia merasa benar-benar tak mengenali dirinya lagi.

"Dimana Sally?" Tanyanya ketika ia tak mengemukan gadis itu dimana pun.

"Di kamarnya. Apa kau lupa kalau kalian tidur terpisah?" Alice mengerjab, gadis itu benar-benar merasa frustasi dengan dirinya yang bahkan sekarang menjadi seorang pelupa.

Ia mendesah "Bagaimana bisa aku sepelupa ini?" Keluhnya, kemudian ia menatap Ten dengan bingung. "Kenapa kau ada disini?" Tanyanya dengan ekspresi ketidak mengertiannya. Ten tersenyum melihat Alice telah sadar dengan keberadaannya.

"Aku mengkhawatirkanmu jadi aku meminta ijin kepada Sally untuk menjagamu. Kau tidak keluar dari kamarmu semenjak tadi." Katanya dan Alice menatapnya iba.

"Maafkan aku—aku benar-benar tidak tahu kalau tidak merasa nyaman dengan lingkungan kampus yang di huni oleh para vampire dan manusia yang hidup berdampingan. Kami pikir itu tidak akan menjadi masalah bagi kalian. Kalau kau ingin pindah dari sana—aku akan membantu kalian mencari universitas baru." Ten yang selalu baik, batin Alice. Meskipun beberapa jam lalu ia berlaku kasar kepada pria ini, tetapi pria ini tidak pernah merasa kesal padanya. Buktinya, ia masih mengembangkan senyumnya dan menungguinya disini.

"Ten..." Panggil Alice membuat pria itu memusatkan perhatiannya pada Alice sepenuhnya. "Bisakah aku mempercayaimu?" Gumam Alice dan Ten sedikit terkejut dengan pertanyaan gadis ini. Ten meraih tangan Alice kemudian ia perkata.

"Tentu—kau bisa mempercayaiku sebanyak yang kau mau. Apa kau lupa? Aku akan menjagamu dan Sally." Alice merasa puas dengan jawaban Ten. Pada akhirnya Alice akan menyerah pada ke keraskepalaannya. Ia akan mulai mempercayai Ten dan Doyoung sepenuhnya tanpa ada rasa curiga sedikit pun, karena hanya merekalah yang mampu ia andalkan sekarang.

"Apa yang terjadi?" Tanya Ten membuat Alice teringat dengan kejadian aneh yang menimpanya beberapa jam lalu. Alice melepaskan tautan tangan Ten dan memandangi kedua tangannya dengan bingung.

"Kedua tangan ini—benar-benar tidak bisa ku kendalikan." Katanya sambil menatap Ten. Pria itu mengirutkan dahinya tak mengerti.

"Kau masih ingat ketika aku selalu memimpikan hal yang aneh dan mimpi itu akan terjadi, lalu waktu penyerangan itu tiba-tiba api muncul dari tubuh ku dan tadi—aku memukul tanga ku pada pintu taksi dan pintu itu penyok." Kata Alice dengan mendesah.

Ten terdiam! Tentu saja pria itu merasa bingung? Ia berusaha meyakinkan dirinya apakah ia harus mempercayai Alice atau tidak? Alice menangkap sinyal keraguan dari tatapan Ten.

"Aku tahu itu mustahil—tapi itu nyata Ten!" tegas Alice. "Kau boleh percaya atau tidak!" Kata Alice dengan kesal karena tak mendapatkan reaksi apapun dari Ten. Alice memilih membanting tubuhnya pada kasur empuk miliknya dan memunggungi Ten.

"Apa kau marah?" Ten membelai rambut indah Alice. Gadis itu memejamkan matanya dan menikmati setiap belaian lembut Ten.

"Menurutmu?" Alice masih memunggungi Ten. Pria itu hanya tersenyum melihat tingkah lucu Alice.

"Karena aku mempercayaimu—seharusnya kau juga percaya padaku." Protes Alice membuat Ten bertambah geli.

"Baiklah—Aku akan mempercayaimu." Tuturnya membuat Alice menoleh kepadanya dengan ekspresi kesal.

"Sepertinya kau setengah hati mengatakannya." Protesnya lagi. Ten tertawa.

"Baiklah nona—aku berjanji akan selalu mempercayaimu." Katanya sambil menatap Alice yang kemudian disambut senyuman oleh Alice.

"Sekarang tidurlah!" Pinta Ten.

"Aku tidak bisa tidur." Jawab Alice dengan jujur. Gadis ini masih saja gelisah.

"Bagaimana kalau ku temani." Goda Ten dan Alice memelototinya.

"Jangan bermimpi!" katanya dengan membalikkan badannya dan tanpa Alice duga Ten membaringkan tubuhnya disamping Alice—memeluk gadis itu.

"TEN!!! APA YANG KAU LAKUKAN?" Alice menatap kesal pria disampingnya ini tetapi Ten hanya tersenyum.

"Tentu saja menemanimu." Jawabnya dengan tenang. Kini mereka saling berhadapan, Alice masih tak percaya dengan keberanian Ten.

"Katakan? Apa kau pria mesum?" Pertanyaan Alice seketika membuat Ten terkekeh merasa geli.

"Apa aku terlihat seperti itu?" Katanya masih dengan tawa.

"Kalau begitu beri aku alasan kenapa kau harus berbaring disampingku kalau kau tidak memiliki pikiran kotor?" Tanya Alice dengan tatapan menyelidiknya.

Ten masih tersenyum. Seolah tidak terpengaruh dengan peringatan Alice, Ten mempererat pelukannya lagi.

"TEN..." Pekik Alice.

"Jangan berisik! Kalau kau tidak mau Sally terbangun dan mengejek kita habis-habisan." Katanya sambil menatap wajah Alice yang hanya berjarak beberapa senti.

"Kau yang memulainya. Ini tidak akan membantu apapun! Aku benar-benar tidak akan bisa tidur!" Keluh Alice.

"Setidaknya kau tidak akan mimpi buruk lagi kan?" Alice terdiam. Untuk yang satu ini ia tidak mampu menjawabnya.

"Ini adalah kompensasi karena kau membuatku mengkhawatirkanmu sepanjang hari." Alice terkesiap, ia tak menyangka kalau pria dihadapannya ini benar-benar mengkhawatirkannya. Alice merasa sangat bersalah kepada Ten.

"Maafkan aku." Kata Alice dengan nada menyesalnya.

"Hm—aku akan selalu memaafkanmu. Sekarang tidurlah!" pintanya lagi dengan memejamkan matanya. Bibir Alice mengerucut.

"Berjanjilah kau tidak akan macam-macam!" Katanya dan Ten pun mengangguk tanpa suara. Kemudian Alice menutup matanya dan tertidur kembali.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Koude
2850      1048     3     
Romance
Menjadi sahabat dekat dari seorang laki-laki dingin nan tampan seperti Dyvan, membuat Karlee dijauhi oleh teman-teman perempuan di sekolahnya. Tak hanya itu, ia bahkan seringkali mendapat hujatan karena sangat dekat dengan Dyvan, dan juga tinggal satu rumah dengan laki-laki itu. Hingga Clyrissa datang kepada mereka, dan menjadi teman perempuan satu-satunya yang Karlee punya. Tetapi kedatanga...
Kamu VS Kamu
1492      824     3     
Romance
Asmara Bening Aruna menyukai cowok bernama Rio Pradipta, si peringkat pertama paralel di angkatannya yang tampangnya juga sesempurna peringkatnya. Sahabatnya, Vivian Safira yang memiliki peringkat tepat di bawah Rio menyukai Aditya Mahardika, cowok tengil yang satu klub bulu tangkis dengan Asmara. Asmara sepakat dengan Vivian untuk mendekatkannya dengan Aditya, sementara ia meminta Vivian untu...
In the Name of Love
630      374     1     
Short Story
Kita saling mencintai dan kita terjebak akan lingkaran cinta menyakitkan. Semua yang kita lakukan tentu saja atas nama cinta
Dramatisasi Kata Kembali
634      312     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Semu, Nawasena
4870      2282     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Zona Erotis
703      453     7     
Romance
Z aman dimana O rang-orang merasakan N aik dan turunnya A kal sehat dan nafsu E ntah itu karena merasa muda R asa ingin tahu yang tiada tara O bat pelipur lara T anpa berfikir dua kali I ndra-indra yang lain dikelabui mata S ampai akhirnya menangislah lara Masa-masa putih abu menurut kebanyakan orang adalah masa yang paling indah dan masa dimana nafsu setiap insan memuncak....
Mawar Putih
1372      711     3     
Short Story
Dia seseorang yang ku kenal. Yang membuatku mengerti arti cinta. Dia yang membuat detak jantung ini terus berdebar ketika bersama dia. Dia adalah pangeran masa kecil ku.
Dua Warna
327      240     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
556      386     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.