Read More >>"> DANGEROUS SISTER (Chapter 2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - DANGEROUS SISTER
MENU
About Us  

Lelah—itu yang tertangkap pada wajah kedua gadis ini. Mereka membantingkan tubuh mereka pada sofa empuk yang berjejer dihadapannya, sementara Doyoung dan Ten mengangkati koper mereka.

"Ku pikir masih belum ada apapun disini?" Sally menatap heran setiap sudut ruangan apartement yang sudah dipenuh dengan berbagai macam perabotan yang bisa dikatakan memiliki nilai tinggi.

Alice tersenyum sekilas. "Bukankah paman Tom begitu hebat? Ku rasa kau harus memberikannya bonus tambahan baginya untuk bulan ini." Usul Alice dan Sally mengirutkan keningnya, membuat Alice merasa geli.

"Kenapa? Ayolah jangan menjadi orang kaya yang pelit. Kau harus seperti Dad yang selalu dermawan." Sally memutar bola matanya, ia tahu gadis itu sedang menggodanya. Alice tertawa geli melihat Sally terlihat kesal.

"Ku rasa aku tidak akan mengkhawatirkan kalian. Lihatlah! Apartement ini begitu mewah." Doyoung terkagum-kagum melihat bangunan apartement beserta isinya yang terkesan elegan itu.

"Khawatirkan dirimu sendiri. Memangnya kalian akan tinggal dimana?" Doyoung seketika menapuk jidatnya sendiri. Beberapa minggu lagi perkuliahan akan segera dimulai dan ia lupa bahwa apartement kecil yang sudah ia sewa sudah masuk masa tenggang.

"Aku lupa—sebenarnya apartement sewaan ku sudah habis dan aku harus segera pergi dari sana." Alice mendesah dan Sally memutar bola matanya merasa tidak sanggung menghadapi kebodohan Doyoung. Ten terlihat begitu tenang dan seolah menyadari bahwa memang sahabatnya seperti itu.

"Kau bisa tinggal di apartement ku." Usul Ten dan seketika mata Doyoung berbinar.

"Benarkah? Terima kasih Ten. Kau memang sahabat terbaikku." Doyoung seketika memeluk Ten. Pemandangan itu cukup menggelikan bagi kedua gadis itu yang kini saling berpandangan sambil terkikik.

Kini Alice berada didapur sedang membuat minuman dan beberapa makanan. Ten datang mendekat dan membantu Alice memotong beberapa buah.

"Kau terlihat lelah, biarkan aku saja yang melanjutkannya." Pinta Ten yang membuat Alice terpaksa menoleh kepadanya.

"Tidak, aku baik-baik saja." Jawab Alice seadanya dan itu cukup membuat Ten tersenyum. Semenjak tadi gadis ini terus saja bersikap dingin kepadanya.

"Apa kau marah kepadaku?" Tanya Ten dengan hati-hati. Alice melirik sekilas sebelum ia melanjutkan aktifitasnya mengupas buah.

"Menurutmu?" Alice balik bertanya dengan ekspresi kesalnya.

"Hey, aku tidak akan tahu apa kesalahanku jika kau tidak memberitahuku?" Ten mengembangkan senyumnya lagi. Benar-benar berusaha untuk membuat gadis itu merasa nyaman berada di dekatnya. Alice mendesah sebelum mengatakan sesuatu.

"Ten, aku hanya ingin ada yang melindungi Sally selain aku. Aku harap kau tahu itu." Alice tahu kalau Ten memang benar-benar menyukainya dan Alice tidak mau perasaan Ten itu membuat Sally terancam keselamatannya. Jika ada vampire yang menyerang mereka dan Ten harus dihadapkan pada sebuah pilihan antara menyelamatkan dirinya atau Sally? Alice takut, Ten akan memilih dirinya karena perasaan suka itu dan melupakan tugasnya untuk melindungi Sally. Ten menghembuskan nafasnya pelan dan meskipun wajahnya tetap terlihat tenang, ada sedikit rasa kecewa dari matanya.

"Aku tahu, Aku akan menjaga Sally meskipun aku harus mengorbankan nyawaku tetapi ku mohon jangan menyuruhku untuk berhenti menyukaimu. Aku tidak bisa melakukan itu Alice." Ten terlihat serius dengan perkataannya yang membuat Alice seketika pusing dibuatnya.

"Apa? Apa yang membuatmu menyukaiku? Kita baru bertemu sekarang Ten? Bukankah itu tidak masuk akal?" Kata Alice merasa tak mengerti dengan jalan fikiran pria ini. Ten tersenyum mendengarkan semua pertanyaan gadis disampingnya ini.

"Kita memang baru bertemu secara langsung tetapi kita saling mengenal cukup lama Alice." Alice berfikir keras untuk mengerti apa maksud dari perkataan Ten? Mengenal cukup lama? Dimana dan kapan? Itu yang muncul dalam benak Alice sekarang.

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" Alice berusaha untuk secepatnya memperoleh penjelasan dari Ten. Alice memang tidak suka berbasa-basi, ia akan selalu mengutarakan apa yang ia fikirkan tanpa harus menunggu.

"Chittapon—apa kau pernah mendengarkan nama itu?" Mata Alice melebar seketika dan raut wajah keterkejutan itu nampak jelas diwajahnya. Alice terdiam sesaat dan menghembuskan nafasnya.

"Kau—orang itu? Hunter korea yang dengan username Chittaphon?" Ten tersenyum karena pada akhirnya Alice mengingat dirinya.

"Bagaimana bisa? Dari awal kau tahu bahwa aku Alice?" Tanya Alice lagi yang masih belum benar-benar mengerti dengan apa yang terjadi.

Selama ini Alice menggunakan username Hwang SinB, yang merupakan mana koreanya. Seorang Hunter seperti mereka memiliki sebuah group khusus dan sangat dirahasiakan keberadaannya. Group hunter dari seluruh dunia yang sering mereka pergunakan untuk berbagai informasi tentang keadaan di negara tersebut—bagaimana perkembangan vampire dan berapa banyak Blood Scared yang ada disana?. Mereka harus melaporkan semua itu, jika negara itu masuk dalam zona kritis, maka Assosiasi Hunter Internasional akan memberikan bala bantuan kepada mereka untuk membasmi para vampire itu. Teknologi masa kini memang berkembang pesat, membuat mereka dapat berhubungan satu sama lain tanpa harus bertemu.

"Hm...Doyoung selalu menceritakan tentangmu dan pamanmu sepertinya sangat mengagumimu. Kau selalu mengirimi mereka kartu ucapan selama liburan Chuseok kan?" Alice mengangguk, ia lupa kalau Ten sudah lama sekolah di tempat pamannya dan disana ia selalu menggunakan nama Koreanya.

"Jadi kau berusaha mencari identitas ku di Asossiasi Hunter Internasional?" Alice masih berusaha memperjelas dugaannya dan Ten akhirnya mengangguk mengakui bahwa apa yang dikatakan Alice benar.

"Kenapa?" Alice masih benar-benar tak mengerti dengan pria disampingnya ini.

"Karena aku menyukaimu" Alice memutar bola matanya, ia tak merasa puas dengan jawaban Ten. Karena prinsip menyukai seseorang bagi Alice adalah ketika mereka bertemu, berbicara, menilai, dan mulai memberikan kesempatan untuk mempercayainya. Seiring berjalannya waktu perasaan itu akan tumbuh. Semuanya membutuhkan waktu, untuk mulai mempercayai seseorang—untuk memulai membuka hati dan mencintai. Itu menurut pemikiran Alice.

"Apa yang kalian lakukan? Kenapa lama sekali?" Keluh Doyoung yang terlihat begitu haus.

"Kau masih berhutang jawaban kepadaku" Kata Alice kepada Ten, pria itu hanya tersenyum.

"Bukankah aku sudah menjawabnya?" kata Ten.

"Tidak! Itu bukan jawaban—aku ingin sesuatu yang lebih spesifik." Alice berjalan sambil terus menatap Ten dan pria itu tidak pernah sedikit pun meninggalkan senyumnya.

"Sebanyak yang kamu mau nona."Jawab Ten santai, seolah pria itu berusaha untuk menggoda Alice yang sekarang sudah benar-benar kesal dibuatnya.

Dek~dek~dek

Detik jam terdengar begitu nyaring di kesunyian malam, membuat semua orang semakin larut dalam dunia mimpinya. Seharusnya memang seperti itu, tetapi itu berbeda dengan satu gadis ini. Alice tiba-tiba saja membuka matanya. Ia menatap disekeliling dan melihat Sally tertidur disampingnya. Ia merasa heran—sejak kapan ia sudah berada di dalam kamarnya, bersama Sally? Bukannya tadi ia tertidur di sofa? Dengan sedikit sempoyongan Alice berjalan keluar kamarnya, ia melihat Doyoung mendengkur lengkap dengan mulut menganganya. Alice hanya menggelengkan kepalanya kemudian ia melangkah lagi dengan hati-hati. Entahlah, kenapa ia selalu hati-hati? Sepertinya sikap itu sudah menjadi kesehariannya.

Ngrok~Ngrok~

Selain suara detik jam yang keras, suara dengkuran Doyoung membuat bertambah berisik. Tetapi itu tak cukup membuat suasana lebih baik, kesunyian itu masih membuat Alice sedikit takut. Sekelebat pikiran buruk merasuki otaknya memberikan sebuah gambaran memori mengerikan. Suasana yang sama ketika malam penyerangan waktu itu—waktu dimana mereka harus kehilangan Tn. Aston, Ayah angkat Sally dan juga Alice. Alice terkejut ketika menangkap sosok bayangan yang berdiri di dekat pintu kaca menuju teras apartement yang menghubungkan langsung dengan dunia luar—dengan puluhan beton yang memenuhi kota dengan dihiasi gemerlap lampu menjulang tinggi dan menyebar. Alice mengerjabkan matanya beberapa kali, ia sangat berharap kalau sosok itu hanya halusinasinya saja tetapi itu nyata. Karena Alice dapat merasakan hembusan angin dari pintu kaca yang terbuka.

Segera! Alice meraih belati perak yang berada pada sakunya. Ia tidak punya kesempatan untuk mengambil pasaknya tetapi Alice masih ragu? Apakah ia harus menusuk sosok itu atau tidak? Karena ia tidak merasakan kehadiran seorang vampire disini. Sedetik kemudian Alice berubah fikiran, ia melangkah mendekati sosok itu.

"Siapa?" Alice bertanya, namun sosok itu tidak meresponnya. Masih tetap berdiri membelakangi Alice tanpa bergerak sedikit pun. Udara dingin membuat suasana makin mencekam, sosok itu tinggi dan terlihat seperti bayangan hitam.

"Alice." Alice terlonjak ketika ia mendengarkan sebuah bisikan serak tepat berada di telinganya tetapi ia tidak dapat melihat siapapun disampingnya. Bisikan itu seperti terbawa oleh angin dan menghilang diudara dingin. Alice semakin ketakutan karena sosok hitam itu terlihat samar—semakin lama berkurang dan tidak terlihat seperti manusia lagi. Kini menjadi sebuah titik kehitaman di pekatnya malam.

"Alice" Bisikan itu semakin keras dan berdengung didalam telinganya. Alice berusaha untuk menutupi kedua telinganya.

"PERGI..." Pekik Alice yang terlihat ketakutan.

"PERGI KATAKU!" Teriaknya lagi.

"Alice..." Seseorang mengguncang-gungcang tubuh Alice membuat gadis secara reflek memutar tangan itu dan tangan kirinya menahan leher sosok itu—yang tak lain adalah Ten. Tubuhnya sudah menindihi tubuh Ten, ketika ia mulai sadar siapa sosok dihadapannya ini. Mata Alice melebar dan seketika mengendurkan serangan reflek yang ia berikan kepada Ten. Alice termangu, antara sadar dan tidak? Ia masih berusaha menjernihkah otaknya. Mencerna setiap hal yang terjadi kepada dirinya. Ekspresi bersalah dan takut memenuhi wajahnya. Alice merasakan sesuatu basah mengalir di pipinya. Tidak mungkin bukan kalau ia menangis? Alice benar-benar tak menyangka—mimpi aneh itu membuatnya menangis saat tertidur.

"Kau tidak apa-apa?" Alice yang masih linglung berusaha untuk mendudukkan dirinya dan Ten membantunya. Kemudian Alice memeriksa di sekeliling dan menemukan Sally tertidur di sofa dengan lelap. Alice menghela nafas lega dan Doyoung masih tertidur di bawa dengan TV yang masih menyala. Kini Alice mengalihkan pandangannya pada sosok Ten yang tepat berada disampingnya, setia menunggu Alice untuk mengatakan sesuatu. Alice bingung apa yang harus ia katakan pada pria ini? Ia sudah menyerang pria ini? Mungkin—kalau kesadarannya tidak kembali, bisa saja ia melukainya dan Ten sudah melihat semuanya? Sesuatu yang ia berusaha sembunyikan selama ini dari semua orang. Tetapi, kali ini ia benar-benar tak bisa menutupinya lagi.

"A-aku takut Ten—aku pikir itu nyata. Maafkan aku." Dengan susah payah Alice berusaha untuk mengeluarkan suaranya. Ten mengirutkan dahinya berusaha untuk berfikir, senyum yang selalu mengembang di wajahnya itu lenyap.

"Kau mimpi buruk?" Tanya Ten dengan hati-hati, melihat Alice yang terlihat ketakutan Ten tidak mau membuat gadis itu bertambah takut.

"Ya, ku pikir begitu—tapi itu seperti nyata. Ini tidak hanya sekali tapi berkali-kali." Alice menghela nafas lagi. Ten memberikan segelas air putih agar dapat menenangkan Alice tetapi gadis itu masih terlihat linglung.

"Minumlah ini Alice, ini akan lebih menenangkanmu." Pinta Ten.

"Tidak Ten, a-aku tidak tahu apa yang terjadi? Mimpi itu tetap sama Ten—dulu itu hanya sebuah titik hitam, lalu menjadi titik besar dan kini—kini menjadi bayangan menjadi sosok manusia. Ten—aku takut." Alice memeluk lututnya terlihat begitu ketakutan dan Ten segera memeluk Alice untuk menenangkan gadis itu.

"Tenanglah Alice, tidak ada sesuatu yang terjadi bukan?" Ten mengelus rambut indah Alice.

"Tidak Ten—Aku takut ini sebuah pertanda bahaya besar akan datang. Dulu—aku sering bermimpi buruk dan itu selalu memberikan petunjuk akan sebuah bahaya. Aku tidak tahu para Hunter lainnya, apa memiliki kepekaan ini juga?" Ten menggeleng membuat Alice menangis.

"Benar bukan? Tidak ada yang sepertiku? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadaku." Alice melepaskan pelukan Ten.

"Jangan pernah katakan ini kepada siapapun termasuk itu Sally dan Doyoung. A-aku tidak mau mereka tahu." Ten mengangguk dan Alice menghela nafas untuk menguasai emosinya.

"Sekarang lebih baik?" Tanya Ten dan Alice mengangguk.

"Pasti berat untukmu, menjaganya sendirian?" Ten menatap Alice prihatin.

"Dia telah mengalami banyak hal semenjak kecil, ia terus-terusan terluka karena setiap orang yang berusaha untuk melindunginya, kebanyakan meninggalkannya. Sekarang hanya aku—aku tidak ingin meninggalkannya sedikit pun." Kata Alice sambil menatap Sally yang tidur dengan meringkuk pada sofa panjang nan empuk itu.

Alice meraih tangan Ten dan seketika menatap Ten dengan memohon. "Berjanjilah kepadaku—kau akan melindunginya." Ten terdiam sesaat, Alice masih mempertahankan tatapan memohonnya.

"Tentu—aku akan melindungi kalian." Alice menggeleng.

"Tidak! Apapun yang terjadi kau harus menyelamatkan Sally dulu. Ten ku mohon." Ten mendesah.

"Baiklah...Kenapa kau membuatku seperti ini. Aku sangat menyukaimu." Kata Ten dengan jujur.

"Aku tahu—maka dari itu kau harus berjanji padaku untuk melindunginya apapun yang terjadi. Dia satu-satunya yang membuatku bertahan sampai detik ini Ten." Alice selalu merasa hampa ketika ia tak memiliki apapun yang tersisa ketika kematian Adam. Pria itu seperti penawar racun baginya, menenangkan dan membuatnya nyaman. Tetapi ketika Adam tiada, Alice lah yang harus menggantikan posisinya. Aaron tidak bisa lebih baik darinya karena emosinya yang terus meledak. Ketika Aaron tidak bisa diandalkan lagi—Alice berjuang sendiri untuk melindungi Sally dengan sisa kekuatannya. Pernah ia berfikir untuk menyerah? Tetapi bayangan kesakitan Sally ketika salah satu monster itu menyerangnya, membuat Alice tidak bisa menyerah. Ia harus melindunginya apapun yang terjadi!

"Baiklah—sebaiknya kau tidur sekarang! Setidaknya kali ini kau mendengarkanku." Pinta Ten dengan lembut dan senyum itu kembali. Entah mengapa kini Alice merasa tenang—Alice dapat menemukan sosok Adam dalam diri Ten. Untuk semua itu Alice merasa bersyukur karena Ten dapat diandalkan sekarang.

"Terima kasih". Ucap Alice dengan tulus dan Ten mengangguk sambil tersenyum.

—***—

Sally pov

Aku terbangun di pagi yang cerah dengan udara segar musim semi. Ah—aku tidak menyangka sekarang berada disini? Ditempat kelahiran Alice, mengingat itu? Membuat mataku mencari-cari sosoknya dan aku menemukannya berada di dapur. Ku rasa ia sedang membuatkanku roti bakar dengan telor mata sapi karena aku dapat mencium aromanya sekarang. Dengan bergegas aku menghampirinya, duduk di kursi makan dan meja berbentul oval yang terbuat dari kayu kokoh. Seketika aku mengagumi ukiran klasik pada meja ini. Hm...Rupanya paman Tom memang benar-benar mempersiapkan dengan detail. Ia berusaha keras membuat kami nyaman dengan perabotan yang hampir sama dengan rumah kami dulu.

"Mengagumi sesuatu nona?" Selalu—dia selalu dapat menebak apa yang ku fikirkan. Bisakah sekali saja ia tidak bisa menebak apa yang ku fikirkan?

"Kemana Doyoung dan Ten?" Aku berusaha mengalihkan topic pembicaraan.

"Mereka sudah pergi beberapa jam yang lalu." Jawabnya sambil menyodorkan sepotong roti bakar lengkap dengan telor mata sapi. Kami duduk berhadapan dan ia menatap ku tidak seperti biasanya membuatku bingung?

"Kenapa?" Tanya ku yang tak mengerti dengan tatapannya.

"Hari ini adalah hari pertama kita masuk kuliah." Oh—apa dia mengkhawatirkan sesuatu? Aku baru menyadari mata panda itu? Apa dia semalaman tidak bisa tidur? Seketika aku merasa kesal. Dia selalu saja menutupi semua hal yang terjadi kepadanya tanpa membiarkan aku tahu sedikit pun.

"Katakan? Apa yang kau khawatirkan?" Tanyaku dan aku menatap sedikit ekspresi keterkejutannya. Ini pertama kalinya aku merasa tebakan ku benar. Ia menghela nafas, aku memperhatikannya diam-diam sambil menghabiskan sarapan ku.

"Ada banyak orang disana Sally. Kita tidak tahu yang mana musuh dan teman? Usahan jangan mempercayai siapapun kecuali Ten dan Doyoung. Ku harap kau harus terus berada di dekat kami Sally." Lagi—ia terus mengeluarkan petuahnya yang selalu membuatku kesal. Aku bukan anak kecil lagi dan aku bisa menjaga diriku sendiri.

"Ayolah Alice. Bukankah kau pernah bilang disini aman? Kenapa kau tiba-tiba seperti ini." Ia selalu saja bertindak seperti orang tua. Untuk sikap over protektifnya ini aku benar-benar tak menyukainya. Ia mendesah mengetahui kekesalanku.

"Itu semua untuk kebaikan mu Sally. Ku harap kau bisa memahami apa yang kami fikirkan." Well, ku rasa semua yang ia katakan selalu benar tetapi tetap saja aku mengikutinya datang kemari hanya ingin hidup normal—setidaknya berbeda dari yang dulu. Bisakah itu terjadi? Aku masih memandangi Alice yang mulai memakan sarapannya. Tiba-tiba saja aku mengingat sesuatu? Ah—aku lupa kalau aku telah merencanakan sesuatu untuknya dan Ten. Ku rasa itu baik—ia harus mulai memikirkan hidupnya.

Sally pov end

Sungkyunkwan University

Sally memasuki gerbang universitas barunya dengan hati riang, berbanding terbalik dengan Alice yang terlihat tegang. Alice merasakan aura misterius disekitar bangunan universitas ini, tetapi apa itu? Dia tidak tahu. Ten dan Doyoung duduk di sebuah bangku bawah pohon, mereka melambaikan tangan mereka ketika melihat kedua gadis itu.

"Hi kalian—Kami disini." Teriak Doyoung terlihat begitu semangat membuat beberapa mahasiswa memperhatikannya. Membuat Alice melupakan fikiran anehnya dan Sally mendesah, merasa malu dengan tingkah aneh Doyoung.

"Aku tidak tahu dari mana dia di ciptakan?" Keluh Sally membuat Alice tersenyum.

"Selain polos, bodoh—apa lagi yang dia miliki?" Lanjut Sally, membuat Alice terkikik.

"Setidaknya ia tidak memiliki pikiran picik seperti Aaron." Jawab Alice sambil berjalan mendahului Sally.

"Tetapi tetap saja bukan! Dia menyebalkan." Sally masih bersikukuh dengan rasa ketidaksukaannya kepada pria itu. Putri salju? Bukan itu julukan yang pas untuk Sally? Tetapi gadis bermulut tajam yang berparas cantik bak putri salju, mungkin itu adalah julukan yang pas untuknya.

"Ayo kita ke kelas masing-masing." Ajak Doyoung yang seketika membuat Alice mengerutkan keningnya tak mengerti.

"Tunggu? Masuk kelas?" Doyoung mengangguk.

"Bagaimana kami bisa masuk kelas? Kami belum memilih jurusan?" Pernyataan Alice membuat Ten dan Doyoung tersenyum. Alice menatap heran kedua pria ini dan Sally berusaha untuk menahan senyumnya.

Melihat Alice masih terlihat bingung, Ten menyodorkan sebuah gadget miliknya. "Apa ini?" Tanya Alice yang masih tak mengerti.

"Kau bisa melihatnya disana. Daftar nama mahasiswa per jurusan. Kau masuk di Fakultas ekonomi dengan jurusan Akuntansi."

"MWO? Itu tidak mungkin! Kami masih belum memilih jurusan, benarkan itu Sally?" Alice menatap Sally yang kini berusaha sekuat tenaga untuk tak tertawa.

"Ku rasa kau melupakan sesuatu Alice?" Sally berkata seolah-olah ia mengingat sesuatu. Alice berfikir keras untuk mengingat apa yang ia lupakan.

"Tunggu—kau, itu pasti kau kan? Kau yang bilang ke paman Tom agar memasukkan ku ke jurusan Akuntansi?" dan Sally pun tertawa.

"Ups, ku rasa aku ketahuan." Kata Sally tanpa rasa bersalah. Alice dibuat geram dengan tingkah saudaranya ini.

"SHIT, apa kau ingin mati hah? Kau tahu aku membenci Akuntansi!" Kali ini Alice mengalungkan tangannya pada kepala Sally membuatnya tergapit diantara tangan dan tubuhnya. Sally tertawa tiada henti melihat kemarahan Alice yang terkesan konyol itu dan ini jarang terjadi.

"Alice! Aku tidak bisa bernafas." Mohon Sally dan kedua pria itu hanya terdiam memandangi pemandangan baru dihadapannya ini. Alice melepaskannya dan mendesah.

"Kau harus bertanggung jawab untuk ini!" kata Alice serius.

"Aku tahu kau mengkhawatirkan ku. Tapi, aku akan masuk ke kelas management bersama Doyoung dan kau bersama Ten." Sally masih berusaha untuk menggoda Alice.

"Ten berada dia jurusan arsitektur." Celetuk Doyoung yang seketika membuat Alice terdiam dan mendesah.

"Kenapa? Kau merasa kecewa mengetahui fakta itu?" Goda Sally yang terus menyerang Alice membuat gadis itu benar-benar kesal.

"Hentikan semua ini! Apa kau gila? Aku tidak akan biarkan kau dalam bahaya. Kita harus selalu bersama!" kata Alice dengan tegas tetapi Sally masih dengan sikap tenangnya.

"Ayolah—Kau tidak akan mati hanya dengan Akuntansi. Kau harus berusaha keras Alice! Fighting!!!" Sally meraih tangan Doyoung dan menyeretnya pergi dari hadapan Ten dan Alice.

"HEY! Kau tidak bisa berbuat seperti ini Sally." Pekik Alice yang sudah terlihat sangat kesal.

"Tenanglah, disini sangat aman. Tidak akan ada bahaya yang menghampirinya." Tukas Ten.

"Apa kau yakin disini tidak ada vampire sama sekali?" Tanya Alice menatap Ten tak percaya. Ten terdiam sesaat seolah meyakinkan dirinya, kemudian ia mulai berkata

"Aku tidak bilang kalau disini tidak ada vampire bukan?" Alice mengirutkan keningnya berusaha untuk mencerna apa yang di katakan Ten.

"Jadi?" Alice tidak sabar untuk menunggu perkataan Ten.

"Ada—aku pernah mengatakan kepadamu waktu itu." Alice terdiam sesaat, berusaha untuk mengingat perkataan Ten. Matanya melebar ketika ia mulai mengingat perkataan Ten waktu itu.

"Keluarga Lee? Kau pernah mengatakan itu kan?" Ten mengangguk dan seketika Alice membalikkan tubuh, menghadap ke Ten sepenuhnya ketika ia mengingat semua perkataan Ten semalam.

"Ten—Kau tidak serius dengan perkataanmu kan? Kau mengatakan mereka adalah vampire original? Lalu—bagaimana bisa kau mengatakan Sally akan baik-baik saja?" tubuh Alice menjadi tegang seketika. Ten memegang kedua bahu Alice dan menatapnya dengan penuh keyakinan.

"Dengar! Mereka telah membuat perjanjian dengan para hunter. Mereka tidak akan memangsa manusia di kampus ini atau di manapun." Alice tertawa getir mendengarkan ucapan tak masuk akal dari Ten.

"Apa kau bercanda? Kalau tidak memangsa manusia? Lalu apa yang mereka makan? Darah rusa? Ayolah Ten, itu hanya akan terjadi dalam sebuah film! Realita yang terjadi tidak seperti itu. Aku sudah menghabiskan hidupku selama ini hanya untuk memburu mereka. Aku sangat tahu bagaimana perangai monster itu dan yang kita hadapi sekarang adalah vampire original? Kau tahu itu bukan?" Alice melepaskan kedua tangan Ten yang menempel dibahunya. Ia marah dan merasa cemas, pasti sesuatu berbahaya itu akan terjadi pada Sally.

"Mereka masih tetap meminum darah manusia tetapi mereka membelinya. Keluarga mereka sangat kaya, mereka memiliki sebuah rumah sakit khusus penampung darah." Alice memutar bola matanya merasa semua ucapan Ten benar-benar konyol.

"Dan kau percaya itu?" Alice menggelengkan kepalanya.

"Untuk seorang vampire original yang sudah hidup berabad-abad, ku rasa akan sangat pemilih untuk makanan mereka! Ku pikir mereka lebih suka darah segar di banding darah yang di dinginkan di lemari pendingin. Ten! ku harap kau lebih baik dari Doyoung." Alice terlihat kecewa karena Ten dan Doyoung begitu ceroboh. Merekomendasikan universitas ini dan mengabaikan semua bahaya yang ada.

"Alice! Kau harus mempercayaiku!" Ten menarik kedua tangan Alice dan menatapnya.

"Ayolah Ten, jika kau jadi aku? Apa mungkin kau akan setenang ini sekarang eoh?" Ucap Alice dengan sedikit menahan rasa amarahnya. Ten mendesah—ia terus berfikir bagaimana caranya untuk membuat gadis ini mempercayainya.

"Baiklah—dengarkan aku!" Ten mengambil nafas sebelum melanjutkan perkataannya.

"Mereka memiliki perjanjian dengan leluhurmu." Alice mengangkat satu alisnya kemudian tersenyum. Sekarang—fakta konyol apa lagi yang Ten katakan?

"Sudahlah—aku tidak ingin mendengarkan semua omong kosong itu. Aku dan Sally akan transfer ke universitas lainnya. Tentunya universitas yang tidak ada vampirenya." Kata Alice sambil berjalan mendahului Ten. Lantas pria itu pun mengejarnya.

"Dikampus lain—Kau tidak akan seaman disini! Aku benar-benar perkata jujur dengan perjanjian itu. Kalau kau tidak mempercayai ucapanku? Kau bisa menanyakan langsung kepada Doyoung atau keluargamu." Perkataan Ten membuat Alice berhenti berjalan dan kini mereka saling berpandangan.

"Kenapa aku tidak tahu tentang itu? Dan kenapa kau tahu?" Alice tidak tahu apa yang terjadi? Semenjak kecil, ia sudah diungsikan ke eropa dan dia tidak tahu menahu tentang hal ini.

"Bukannya saat itu kau masih kecil dan mengenai dari mana aku tahu? Tentu saja pengetahuan itu wajib untuk para hunter di sini Alice. Keluargamu adalah pimpinan para hunter disini dan mereka sangat berpengaruh. Mereka memiliki peranan penting dari semua misi hunter untuk membasmi para vampire di sini. Mereka membuat peraturan bagi kami dan mendirikan sekolah itu untuk mendidik para hunter. Tentu saja sejarah itu tidak lupa mereka bagikan kepada kami." Terang Ten panjang lebar yang seketika membuat Alice terlihat muram dan Ten menyadarinya.

"Ada apa?" Tanya Ten penasaran apa yang membuat gadis dihadapannya ini menjadi muram.

"Tetapi kenapa mereka membuang ku? Apa salah ku? Mereka tidak pernah menginginkanku kembali ke korea." Keluh Alice dengan tatapan sedihnya. Tanpa ragu Ten menarik Alice dalam pelukannya, kemudian ia membelai rambut hitam lebat nan indah itu.

"Hei, apa yang kau katakan? Mereka menyayangimu dan juga membanggakanmu." Ten berusaha menghibur Alice. Dengan cepat Alice menggelengkan kepalanya.

"Tidak! Kakek tidak pernah ingin melihat wajahku. Hanya paman yang selalu baik padaku bahkan dia selalu mengirimiku email hanya untuk menanyakan bagaimana keadaanku?" Lirih Alice.

"Aku tahu, Doyoung sudah menceritakannya kepadaku." Terang Ten.

"Wow—apa sedang ada syuting drama romance disini?" Celetuk seseorang memakai kaos abu-abu dengan topi hitam, berjalan melewati mereka. Alice segera melepaskan pelukan Ten dan hendak berlari mengejar pria yang berjalan tak jauh dari mereka. Naluri hunter yang ia miliki membuatnya bereaksi dengan cepat.

"JANGAN!" Cegah Ten yang berusaha menahan Alice. Gadis itu menatap Ten tak percaya.

"Kenapa? Ten dia vampire! Apa kau lupa sumpah kita? Untuk membunuh mereka tanpa memperdulikan alasan apapun!" Protes Alice dan Ten menggelengkan kepalanya.

"Alice! Apa kau lupa dengan ucapan ku? Mereka semua—para vampire yang ada disini terikat dengan perjanjian! Mereka tidak akan memangsa siapapun dan pria itu adalah vampire original." Alice terdiam—tentu ia masih mengingat apa yang Ten katakan! Tetapi, ia belum terlalu terbiasa dengan peraturan baru ini? Membiarkan para monster itu berkeliaran dihadapannya? Benar-benar membuatnya tak tahan—apa lagi ketika dengan mudahnya vampire itu hidup seperti manusia, sama sekali tidak bisa di terima akal sehatnya. Alice tersenyum kecut ketika mengingat data tentang kriminalitas para vampire di Korea. Ia benar-benar baru mengerti, kenapa disini minim sekali tingkat kriminalitasnya. Itu karena mereka semua terikat janji, Alice mendesah berusaha untuk mengontrol emosinya yang semenjak tadi tak menentu.

"Siapa dia?" Alice berhasil menahan diri untuk tak menyerang vampire yang entah pergi kemana?

"Lee Taeyoung. Orang tuanya adalah pemilik universitas ini. Semua orang menghormati keluarga mereka." Alice berdecak, ia merasa semuanya tidak akan berjalan dengan mudah.

"Mereka hanya belum tahu saja! Kalau mereka adalah kumpulan para monster yang siap memangsa mereka kapan pun itu!" Alice terlihat begitu kesal.

"Aku tahu kau tidak bisa menerima semua ini." Ten masih berusaha menenangkan Alice.

"Ten, kau tahu? Aku merasa semuanya benar-benar tidak masuk akal! Ku pikir kami bisa hidup lebih normal disini? Tetapi, disini jauh dari kata normal. Sangat tidak masuk akal jika seorang hunter tidak boleh membunuh vampire yang berkeliaran? Lebih tidak masuk akal lagi kalau manusia akan baik-baik saja hidup berdampingan dengan para vampire?" Alice terlihat lelah secara fikiran. Semuanya begitu membingungkannya. Ia duduk kembali di bangku yang tadi Ten dan Doyoung duduki.

"Ya, awalnya aku juga berfikir seperti itu. Tetapi ku pikir kita harus belajar untuk menerima keadaan ini sekarang Alice." Alice mendesah lagi. Ia tidak mampu mengatakan apapun sekarang, tidak untuk semua fakta yang membuatnya benar-benar terkejut.

Alice pov

Aku berjalan lunglai menuju kelas. Ini adalah hari pertama ku masuk kuliah di tempat baru, seharusnya aku memasang wajah ceria agar dengan mudah aku mendapatkan teman baru bukan? Ya, seharusnya seperti itu! Tapi pada kenyataannya? Ketika aku mengetahui jurusan ku adalah Akuntansi? Seketika semangatku hilang. Why? Kenapa aku harus berhubungan dengan angka-angka yang memusingkan itu? Aku lebih suka berhadapan dengan vampire dari pada dengan angka-angka itu. Dan semua fakta baru itu membuat kepala ku rasanya ingin pecah. Oh my god, sudah berapa kali keluhan itu muncul di fikiranku dan kini aku sudah benar-benar berada di depan kelas akuntansi.

Haruskah aku masuk? Aku benar-benar ragu.

"Bisakah kau minggir?" Suara itu? Aku pernah mendengarnya dan bau menyengat ini. SIAL! Dia vampire, segera aku menoleh kepada pria yang sekarang berada tepat di belakangku. SHIT! Pria yang sama dengan yang ku bicarakan dengan Ten. Lee Taeyoung! Aku melihat senyum liciknya yang ia sembunyikan dari balik topi itu. Tiba-tiba ia mencondongkan mukanya kepadaku, membuatku shock. Monster ini sungguh kurang ajar!

"Aku tahu kau sangat ingin menusukku sekarang, tetapi nona kau harus mengikuti peraturan yang ada jika kau tidak ingin terjadi perang besar disini." BRENGSEK! Aku ingin sekali mengatakan kata itu kepadanya. Memutar kepalanya dan mematahkannya, meskipun itu tidak akan membuatnya terbunuh. Tapi aku sangat ingin melakukannya. Kalau saja aku tidak ingat dengan janjiku kepada Ten untuk menahan diriku dan tak menimbulkan masalah yang akan membuat Sally juga terancam. Aku tersenyum sinis.

"Apa kau berfikir seperti itu? Wow, itu sangat menajubkan kalau terlihat waspada dengan ku." Senyum liciknya lenyap dan ia menunjukkan tatapan menyeramkan seorang monster penghisap darah. Ya! Aku lebih menyukai ia bersikap seperti jati dirinya dari pada ia harus berpura-pura menjadi seorang manusia. Itu benar-benar membuatku mual! Jujur ini hal yang baru bagi ku, bertemu dengan vampire original.

"Begitu kah? Ku pikir kau harus berfikir dulu sebelum kau mengatakan sesuatu nona." Ucapnya yang terdengar seperti sebuah ancaman. Dia benar-benar vampire terarogan yang pernah kutemui.

"Aku sudah memikirkannya!" Tegasku dan ia menyeringai sebelum akhirnya berlalu dihadapanku.

"Cukup menarik." Gumannya yang masih dapatku dengar.

Ku pikir hari ini adalah hari tersial yang pernah ku alami. Jurusan akuntansi, vampire original dan satu kelas dengannya. Jangan salahkan aku jika aku terus mengumpat. SHIT!

"Menyesali sesuatu?" WHAT? Kenapa monster ini duduk di depanku? Apa aku harus pindah? Tidak! Dia akan berfikiran bahwa aku takut padanya! Aku benar-benar tidak dapat focus untuk hari ini. Bahkan ketika aku memilih tempat duduk.

"Kau terlalu percaya diri." Kataku sinis dan ku rasa ia tertawa geli.

"Aku sangat tahu apa yang ada di dalam otak mu sekarang." APA? Dia bercanda kan? Hunter seperti ku memiliki proteksi yang kuat agar tidak mudah terbaca oleh seorang vampire, tapi? Kenapa dia bisa membacanya? Ku rasa ia hanya ingin menggertakku.

"Benarkah? Kalau begitu katakan!" Aku menantangnya. "Aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa membaca pikiranmu? Kau sudah sering kali berhadapan dengan vampire kan? Tetapi ini pertama kalinya berhadapan dengan vampire original sepertiku dan itu cukup membuatmu gugup bukan? Tenang! Siapapun tidak akan berani untuk menyentuh saudaramu yang memiliki Blood Scared dan juga dirimu." SIAL! Dia benar-benar bisa membaca fikiranku.

"Bahkan setiap umpatan yang kau ucapkan. Aku bisa mendengarkan Alice." APA? Ada apa dengan monster ini? Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Aku tak mengerti.

"Ku pikir kita saling terhubung?" Aku tersenyum mengejeknya.

"Tentu saja kita saling terhubung karena aku pemburu monster sepertimu." Kataku dengan jelas dan ia tersenyum lagi.

"Ku pikir kau berusaha menghibur dirimu sendiri karena kalah telak dariku. Ingat! Aku bisa membaca fikiran mu, itu berarti sebelum kau menyerang ku? Aku sudah bisa membuat pergerakan!" SHIT! Aku benar-benar ingin menusuknya dengan pasak perak ku. Mungkin kali ini aku bersabar tetapi aku akan selalu menantikan saat-saat itu. Aku ingin membuatnya tidur selamanya.

Tiba-tiba saja ia menoleh sambil menggeleng. "Kau tidak akan pernah bisa melakukannya!" Baiklah jika apapun yang ku fikirkan bisa ia dengar. Biarkan aku untuk terus mengumpatinya.

MONSTER SIALAN! BAJINGAN! BRENGSEK! BIADAP!

"Hentikan! Sebelum aku melakukan sesuatu kepadamu." Wow! Dia benar-benar mendengarkannya dan aku lupa kalau aku tidak sendiri di ruangan ini. Semua orang berkasa-kusu dan melihatku dengan tatapan ingin tahu? SIAL!

Sebenarnya ada apa dengan ku? Apa aku berusaha untuk berdebat dengan seorang vampire? Vampire adalah monster buas yang tak seharusnya ku perlakukan seperti manusia hanya karena wujudnya seperti manusia bukan? Ayolah Alice, dia seorang vampire bukan manusia seperti mu. Jangan karena parasnya yang terlihat sempurna? Kau mengabaikan fakta bahwa dia monster yang mengerikan! Baiklah, aku tidak akan lemah kali ini dan dia hanya seorang monster yang perlu ku waspadai. Itu saja!

Alice pov end

Sally terus menyeret tangan Doyoung tanpa tahu tempat mana yang akan menjadi kelas selanjutnya. Doyoung menghentikan Sally ketika ia baru menyadari bahwa Sally salah tempat.

"Sally bukan disini, tapi disana!" Tunjuk Doyoung dengan muka polosnya, membuat Sally berdecak.

"Kenapa kau tidak bilang sejak tadi?" Ucap Sally dengan ketus. Sally meninggalkan Doyoung begitu saja membuat Doyoung mengejarnya.

"Tunggu Sally!" Teriaknya ketika ia baru menyadari Sally meninggalkannya. Gadis itu terus berjalan dengan ekspresi kesalnya. Hanya untuk terlepas dari segala perlindungan Alice, ia sampai rela mengorbankan dirinya untuk bersama dengan si dungu Doyoung yang benar-benar membuatnya frustasi kali ini.

Sally duduk disembarang bangku dengan ekspresi kesalnya dan ia tidak menyadari seseorang yang semenjak tadi duduk disampingnya. Pria itu memejamkan matanya, seolah ia menghirup dalam-dalam aroma parfum yang menggiurkan.

"Bagaimana lagi aku harus menghadapinya? Dia benar-benar menyebalkan!" Gerutu Sally, ia tidak sadar jika ada seseorang yang tengah memperhatikannya dan duduk disampingnya saat ini. Dengan kasar Sally mengambil beberapa note dari dalam tasnya dan membantingnya pada meja.

BUK

Sally pun mendesah. Ini adalah hari pertamanya! Tetapi semuanya terasa begitu rumit, Sally merasa kalau semuanya tidak akan berjalan baik.

"Apa kau marah pada sebuah meja nona?" Sally terlonjak, hampir saja terjatuh dari kursinya kalau saja pria itu tak menarik tangan Sally dengan cepat. Untuk beberapa detik mereka saling bertatapan. Sally terpana melihat paras pria dihadapannya ini. Rambut ikal kecoklatan, mata gelap berbinar nan indah dan wajah itu benar-benar seperti pangeran—senyum itu benar-benar memikat. Sally tidak pernah berfikir kalau ada pria asia setampan pria ini. Sally merasa tersihir untuk sesaat sampai sebuah suara mengganggunya.

"Sally..." Nafas Doyoung tersengal-sengal. Sally mendesah karena Doyoung benar-benar menghancurkan moment romantis yang baru saja terjadi antara dirinya dan pria itu.

"Jaehyun oppa!" Sally menoleh dan mendapati seorang gadis memeluk pria yang ia kagumi itu. Yang lebih mengesalkan lagi pria itu hanya tersenyum tak merasa terusik dengan sikap sok manja dari gadis itu. Seketika rasa kekaguman Sally berkurang, ia sadar kalau pria dihadapannya ini play boy.

"Ayo kita duduk disebelah sana." Ajak Doyoung dan tanpa banyak kata Sally menurutinya. Kemudian tiba-tiba Doyoung membisikkan sesuatu kepada Sally.

"Dia keluarga Lee." Sally mengirutkan keningnya tak mengerti dengan ucapan Doyoung yang ambigu itu.

"Maksudmu? Katakan dengan jelas!" Pinta Sally yang penasaran.

"Tepatnya dia adalah vampire original!."

"WHAT? REALLY? Bagaimana kau bisa tahu?" Sally meragukan pengetahuan Doyoung.

"Bukannya Ten sudah mengatakannya kemarin? Kemudian aku membahasnya semalam ketika kalian tertidur!" Sally mendesah dan rasa sukanya terhadap Jaehyun sudah lenyap, bahkan berganti dengan rasa takut. Tetapi ia masih tidak habis fikir, pria setampan Jaehyun seorang vampire? Dunia memang tidak adil, pikir Sally.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Koude
2850      1048     3     
Romance
Menjadi sahabat dekat dari seorang laki-laki dingin nan tampan seperti Dyvan, membuat Karlee dijauhi oleh teman-teman perempuan di sekolahnya. Tak hanya itu, ia bahkan seringkali mendapat hujatan karena sangat dekat dengan Dyvan, dan juga tinggal satu rumah dengan laki-laki itu. Hingga Clyrissa datang kepada mereka, dan menjadi teman perempuan satu-satunya yang Karlee punya. Tetapi kedatanga...
Kamu VS Kamu
1494      824     3     
Romance
Asmara Bening Aruna menyukai cowok bernama Rio Pradipta, si peringkat pertama paralel di angkatannya yang tampangnya juga sesempurna peringkatnya. Sahabatnya, Vivian Safira yang memiliki peringkat tepat di bawah Rio menyukai Aditya Mahardika, cowok tengil yang satu klub bulu tangkis dengan Asmara. Asmara sepakat dengan Vivian untuk mendekatkannya dengan Aditya, sementara ia meminta Vivian untu...
In the Name of Love
630      374     1     
Short Story
Kita saling mencintai dan kita terjebak akan lingkaran cinta menyakitkan. Semua yang kita lakukan tentu saja atas nama cinta
Dramatisasi Kata Kembali
634      312     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Semu, Nawasena
4873      2283     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Zona Erotis
703      453     7     
Romance
Z aman dimana O rang-orang merasakan N aik dan turunnya A kal sehat dan nafsu E ntah itu karena merasa muda R asa ingin tahu yang tiada tara O bat pelipur lara T anpa berfikir dua kali I ndra-indra yang lain dikelabui mata S ampai akhirnya menangislah lara Masa-masa putih abu menurut kebanyakan orang adalah masa yang paling indah dan masa dimana nafsu setiap insan memuncak....
Mawar Putih
1372      711     3     
Short Story
Dia seseorang yang ku kenal. Yang membuatku mengerti arti cinta. Dia yang membuat detak jantung ini terus berdebar ketika bersama dia. Dia adalah pangeran masa kecil ku.
Dua Warna
327      240     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
556      386     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.