Haruskah
“Ra, lo sekarang kan udah jadi dokter. Bentar lagi juga pendidikan spesialis lo selesai.”
“Trus? Kenapa? Tumben lo tanya begitu.”
“Nggak. Gue cuma pengen bilang gitu aja sih.”
“Nah lo. Aneh banget sih lo. Gaje tau nggak.”
“What? Apa tuh Gaje?”
“Gak jelas.”
Suasana café senja itu terasa makin tidak menentu. Di luar masih gerimis. Namun, angin bertiup lebih kencang sepertinya. Butiran gerimis yang terlihat tipis itu terlihat terbawa angin. Lembut, bagai tirai air yang sengaja dibuka. Tempiasnya pun mulai menyapa jendela kaca di café itu.
Zahra dan Ali yang sedang duduk di bangku sudut café tampak memandang lepas ke luar jendela. Entah mengapa, tanpa mereka sadari, beberapa menit mereka lalui dengan hening. Tatapan mereka sama-sama mengamati hujan yang masih menari-nari tertiup angin. Hingga pelayan café menyadarkan mereka dengan dua cangkir cappuccino panas di nampan.
“Permisi, kak, pesanannya?” sapa pelayan café.
“Oh, iya. Terimakasih.” Zahra menjawab sekenanya.
Zahra memainkan asap yang mengepul dari cangkirnya. Sesekali ia tampak mengusap bibir cangkir yang siap disesapi. Namun, pandangan kosong masih menghinggapi mata indah Zahra.
“Ra, lo kenapa? Sakit?”
“Nggak lah. Emang gue terlihat pucat gitu?” Betapa pun sulit untuk Zahra mengeluarkan kata-kata, ia barusaha menjawab tanya Ali, berusaha menutupi sesuatu yang makin menyesak di dadanya.
“Lo beda banget deh, Ra, dari biasanya.”
“Emang biasanya gue gimana?”
“Lo tu ya, nggak bisa lepas dari senyum, tawa dan mata lo itu ….” Ali menjeda kalimatnya.
Sedang Zahra mengernyit menyelidik, “Kenapa mata gue?”
“Mata lo itu nggak bisa bohong, Ra.”
“Oya?” Zahra tersenyum ringan. “Gimana mau bohong, mata kan emang nggak bisa ngomong. Gokil, lo.”
“Ra, gue tahu kok. Ada yang lo sembunyiin dari gue.”
“Idih, apaan sih, lo. Kan kita nggak lagi main cublak-cublak suweng, Ali. Jadi, nggak ada yang gue umpetin dari lo.”
“Apa? Cublak-cublak suweng?” Ali pun mulai tersenyum. “Apaan tuh?”
“Itu permainan tradisional dari Jawa Tengah gitu. Dulu pas masih kecil, gue sering main gituan sama saudara-saudara gue di rumah nenek.”
“Tunggu! Jadi lo itu dari Jawa Tengah?”
“Ya, gitu deh. Mama kan asli Jawa, nah papa yang orang Jakarta. Terus, papa ditugasin di Cikarang. Ya udah deh, gue tinggal di sini. Ketemu lo!” Zahra menatap Ali.
Entah bagaimana awalnya, kalimat terakhir Zahra membawa mata Ali pun menatap dalam ke matanya. Seakan mereka saling terjebak dalam bingkai ketidakjelasan.
“Terus? Kenapa kalau ketemu gue?” Ali berhasil lepas dari jerat mata Zahra.
“Yaaa, nggak pa pa. Kenapa emang?”
“Kita nih ngomongin apa sih?”
“Lah lo yang mulai. Gue jadi ikutan gaje, kan?”
Menikmati senja bersama Zahra dengan dua cangkir cappuccino panas seharusnya jadi waktu yang luar biasa bagi Ali. Apalagi, irama gerimis yang makin menderu di luar. Kolaborasi yang nyaman untuknya. Tapi entah mengapa, tiap kali duduk berdua dengan Zahra, ada sesuatu yang rasanya meronta dalam dada. Andai Ali tak menahannya, mungkin sesuatu itu pun telah menghambur ke luar dan menyampaikan maksudnya pada Zahra.
“Oya, Ra. Besok pagi, gue balik ke Ausie.”
“Loh, bukannya masih tiga hari lagi? Kenapa ndadak? Lo udah makin nggak betah ya di Indo? Emang ada siapa sih di sana?” Tiba-tiba pertanyaan meluncur begitu saja dari bibir Zahra. Ali yang mendengar pun seolah tak percaya. Sampai sebegitu ekspresifnya respon Zahra dengan kepergiannya.
“Ra! Lo beneran nggak pa pa kan?”
“Ali! Gue nggak pa pa. lo tuh yang kenapa-kenapa.”
“Loh, kok jadi gue lagi, sih?”
“Nah lo. Ngapain lo balik semendadak ini coba?” Zahra kembali menatap Ali. “Pasti ada apa-apa, kan? Ada masalah?” Zahra sungguh pandai menutupi keresahan hatinya. Ia benar-benar tidak mau, Ali melihat guratan gundah di wajahnya. Ia sadar, pertanyaannya tadi bisa saja membuat Ali semakin bertanya-tanya tentang isi hatinya. Tidak! Ali tidak boleh tahu tentang kegelisahan Zahra tentang perasaannya.
“O, kirain.”
“Apa?”
“Ya, kirain lo masih kangen sama gue. Dan lo nggak mau gue balik cepet-cepet. Gitu!”
Deg!
“Astaghfirullahaladzim, bagaimana Ali bisa tahu benar perasaanku. Ya Allah, bantu hamba menutup rahasia hamba, ya Robb.” Zahra menunduk dan berbisik dalam hati. Kali ini terpaksa ia menyesapi cappuccino yang masih sedikit panas.
“Nggak panas, Ra?”
“Nggak.” Zahra menjawab ringan.
“Oya, Ra. Pesawat gue berangkat habis shubuh. Jadi, lo nggak usah anter gue, ya besok.”
“Eh, Ge Er. Siapa juga yang mau anter lo.”
“Ya elah, Ra. Kan biasanya lo pasti anter gue ke bandara. Kok sekarang lo nggak mau anter gue, sih. Tumben. Jangan-jangan … “
“Apalagi sih, Ali?”
“Jangan-jangan lo lagi nggak sholat. Jadi, lo nggak bisa bangun pagi dan lo nggak bisa anter gue. Gitu, Zahra.” Ali meraih kedua tangan Zahra dan menggenggamnya ringan. “Lo suudzon mulu deh dari tadi.”
“Eits, maaf, bukan muhrim.” Zahra menarik kedua tangannya. Padahal, Zahra hanya berusaha untuk menghindari gemetar di tubuhnya. Senja itu, jangankan menyentuh tangannya, menatap matanya saja, hati Zahra berdesir, entah mengapa.
“Eh, iya, maaf.” Kali ini giliran Ali menyesapi bibir cangkirnya. Ali pun seperti hendak menutupi getaran di dadanya yang makin tak karuan saja. Entah apa yang menggerakkan tangan Ali untuk meraih tangan Zahra tadi. Mungkin magnet dari getaran di dadanyalah yang membimbingnya. Haruskah ia katakan saja tentang semua yang tersembunyi rapat dalam hatinya?