Read More >>"> Dia Dia Dia (Dia...) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

“Zifan. Setiap orang punya masa lalu,  begitu juga aku. Seharusnya aku sudah lulus dari SMA dua tahun yang lalu, tapi....aku harus mengulang sekolahku. Karena aku....pernah menjadi pecandu, hingga membuatku....over dosis. Aku membenci diriku dan membenci orang-orang di sekitarku. Aku masa bodoh terhadap diriku dan orang disekitarku. Tapi Allah masih sayang padaku, nyawaku masih selamat. Setelah kejadian itu orang tuaku membawaku ke pesantren, di sana aku direhabilitasi. Setelah lebih dari enam bulan akhirnya aku bisa sembuh dan menjalani kehidupan di pesantren. Aku mulai menata hidupku. Selama hampir satu tahun belajar di pesantren aku mendapat bekal tauhid dan agama. Setelah itu Ibu memintaku melanjutkan sekolah di sekolah yang sama dengan Elok. IIbu khawatir pada Elok, dia....ada masalah dengan ginjalnya, jadi dia....nggak bisa melakukan kegiatan yang berat. Ibu minta aku menjaganya, walaupun setiap pulang sekolah Elok selalu dijemput Pak Asep supir kami. Sementara aku lebih suka naik sepedah gowes. Aku sangat menikmati duniaku sekarang. Terkadang aku juga suka sendiri, saat memandang langit, saat malam tiba, saat itulah aku selalu merenungkan perjalanan hidupku. Dan aku mengerti cinta yang selama ini aku lupakan. Cinta pada Tuhan dan rasul-Nya, cinta pada keluargaku.”

Perkataan Alfian yang masih sangat melekat di otakku itu membuatku berkali-kali menyadari bahwa aku juga harus merubah diriku. Bukan seperti yang aku mau, tapi seperti yang Tuhan Mau. Saat itulah hatiku berbisik lembut “Semoga Tuhan selalu membimbing diriku yang bodoh ini.”

Sejenak aku tersenyum, mengingat yang telah kualami. Namun senyum di wajahku tiba-tiba surut, saat kedua sorot mataku bergerak, tertuju pada kalender duduk di atas meja. Sedikit merapat keningku saat melihat lingkaran merah pada angka 21 di kalender. Ternyata hanya tinggal hari ini pendaftaran terakhir perlombaan melukis, dan batas akhirnya nanti siang. Berat aku menghela nafas, seolah ikhlas kalau Tuhan menakdirkan aku nggak mengikuti perlombaan melukis.

Namun nggak lama senyum di wajahku kembali hadir, saat aku membuka toples persegi panjang berisi apel merah jambu sebanyak 8 buah pemberian Alfian. Dan yang kuingat dari perkataannya tentang apel merah jambu ini adalah “Kamu harus membagikannya pada orang yang menurutmu pantas menerimanya, dan sisakan dua. Satu untukku dan satu untukmu.”

“Baiklah, aku akan pikirkan siapa yang pantas menerima apel ini.”

Teriakan tukang sayur di jalan gang di depan rumah ini menyadarkanku. Sigap aku melihat jam beker di meja, kemudian membawa toples persegi panjang ke lantai satu. Di dapur aku memasukkan toples itu ke dalam kulkas di paling bawah. Namun aku mengambil satu apel saat melihat Ibu di dapur.

Pelan aku mendatanginya dari belakang, dan berkata “Bu, ini buat Ibu.”

Tanpa tersenyum Ibu menoleh, kemudian mengerutkan dahi. Ibu akan bicara, tapi aku mendahuluinya “Aku sayang Ibu. Maafkan Zifan, selama ini...Zifan udah buat Ibu marah-marah dan kesal karena sikap Zifan. Zifan janji akan jadi anak yang baik, Zifan akan buat bangga Ibu dan Ayah. Dan apel ini untuk Ibu.”

Saat itulah senyumku mengembang. Ternyata Ibu juga tersenyum sembari menerima buah apel. Kemudian Ibu memeluku, cukup lama. Pelan dan lembut Ibu berkata “Ibu juga sayang kamu dan maafkan Ibu juga.”

 “Ingat ya Bu, Ibu harus makan apel ini.” Aku tegas.

“Iya. Nanti Ibu bagi sama adik dan Ayah kamu, Ibu nggak mungkin menghabiskan apel ini sendiri. Kamu cepat duduk dan makan.” Ibu tersenyum.

Setelah itu aku duduk di depan meja makan yang sudah rapi. Mulai hari Sabtu ini aku akan ikut makan pagi di meja makan ini, seperti yang Ibu mau. Hingga nggak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki mendekati meja makan ini. Menyusul kemudian Subhan dan Sani duduk sembari sedikit terkejut melihatku. Mereka akan bertanya, tetapi kedatangan Ayah sepertinya membatalkan keinginan mereka.

Tegas Ayah melihatku, kemudian berkata “Kamu sudah...”

“Ayah ayo pimpin doa, nanti kesiangan. Biar Sani dan Subhan nanti diantar Zifan saja.”

“Hore...Kak Zifan yang ngantar Subhan.” Ucap Subhan sembari tersenyum lebar.

“Sani juga.” Sahut Sani keras.

Berat Ayah menghela nafas, kemudian tegas berkata “Ayah tetap tidak akan....”

Kriiinggg....Kriiiing....Kriiinggg....” Suara telepon rumah berdering keras. Hingga membuat Ayah nggak melanjutkan perkataannya.

“Siapa yang telepon sepagi ini? Ah, biar Ibu yang angkat.” Kata Ibu.

“Biar Ayah saja Bu, mungkin itu dari kantor Ayah. Ini kan sudah hampir setengah delapan.” Kata Ayah sembari bangkit berdiri, kemudian mengangkat telepon di dekat tangga.

Terlihat kening Ayah sedikit merapat sembari mengangguk-angguk saat merapatkan gagang telepon ke telinganya. Setelah itu terdengar hembusan nafasnya sebelum menutup telepon dan mengucap “Terima kasih banyak, alhamdulillah.”

Setelah meletakkan telepon sejenak Ayah tertegun dengan kening merapat, kemudian kembali menghela nafas. Tanpa berkata Ayah kembali duduk di depan meja makan. Saat itulah sorot matanya yang tegas memandangku tiba-tiba berubah, sementara sepuluh jarinya terlihat dirapatkan di atas meja makan.

“Zifan.” Ucap Ayah, namun Ayah nggak melanjutkan.

“Kenapa Yah, ada apa dengan Zifan? Apa telepon tadi dari sekolah?” Tanya Ibu.

Sejenak Ayah mengangguk-angguk tanpa menjawab. “Benar Bu.”

“Ayah Ibu, maafkan Zifan. Zifan sudah membuat Ayah dan Ibu kecewa, sangat kecewa sama Zifan. Zifan nggak minta di sekolahkan lagi, di sekolah yang baru. Zifan mengaku salah Ayah Ibu. Dan sekarang Zifan hanya ingin melukis. Zifan ingin jadi pelukis yang bisa mengajak manusia supaya bisa banyak mengingat Tuhan.”

Saat itulah kedua bola mata Ayah terlihat berserakan sembari sesekali memandangku. Pelan Ayah berkata “Kamu tidak salah Zifan. Ayah yang minta maaf, sudah membuang dan membakar semua lukisan dan alat lukismu.”

Dengan raut terjekut Ibu bertanya sembari menatap Ayah “Maksud Ayah?”

Sejenak Ayah menghela nafas, kemudian berkata “Tadi itu telepon dari pihak sekolah. Katanya Zifan tidak bersalah, Zifan tidak melakukan bullying terhadap empat anak kelas 10 dan Elok. Jadi mulai Senin nanti kamu bisa kembali ke sekolah.”

Apa aku nggak salah dengar? Kenapa bisa seperti itu? Aku bisa kembali ke sekolah? Ternyata Tuhan mendengarku.  Alhamdulillah, akhirnya Ayah dan Ibu percaya, semua orang percaya kalau aku nggak nge-bully mereka, dan Elok.

Mendekati setengah delapan pagi, aku selesai mengganti baju memakai celana jeans dan kaos. Nggak lupa aku membawa ransel berisi dua buah apel. Di depan garasi rumah ini aku menghidupkan vespa merah, sementara Sani dan Subhan menanti di teras rumah. Setelah kurasa cukup panas, akhirnya vespa merah ini mulai melaju di bawah sinar matahari yang mulai bertambah terik. Khuhus di hari Sabtu memang anak-anak sekolah masuk lebih siang dari hari biasa.

Nggak lama kemudian tepat di depan Sekolah Dasar vespa merah ini berhenti. Sigap Subhan turun, mencium tanganku dan tangan Sani, kemudian berlari masuk ke sekolahnya. Setelah itu vespa merah kembali melaju menuju sekolah SMP, tempat Sani berlajar. Hingga akhirnya setelah melaju melalui jalan raya dan jalan satu arah, kami sampai di Sekolah Menengah Pertama. Setelah Sani turun aku meminta helemnya. Sedikit ragu Sani memberikan helemnya padaku, sementara aku tanpa banyak berkata menerimanya, kemudian mengaitkan helem di dekat stang.

“Oh iya ini buat kamu.” Aku tersenyum sembari mengeluarkan apel dari dalam tas, dan menyodorkannya ke dapan Sani.

 “Kak Zifan....nggak bercanda kan?”

“Tenang aja ini apel sungguhan bukan mainan, kalo masih nggak percaya kamu bisa gigit sekarang.”

Namun ternyata Sani masih terpaku di sampingku tanpa senyum. Wajahnya terlihat datar, dan malah memelas. Membuatku heran, dan bertanya “Kenapa lagi? Cepat masuk. Apa mau ikut pulang ke rumah lagi sama Kakak?”

 “Ahmmm Sani.....”

“Apalagi? Apa Kakak harus ikut rapat lagi?” Aku santai.

Setelah itu Sani merogoh saku tasnya. Sembari menyodorkan amplop putih padaku Sani berkata “Ini....uang buat Kak Zifan.”

Namun tak segera membuatku menerima amplop putih itu.  Saat itulah Sani kembali berkata “Sani tahu, Kak Zifan pingin ikut lomba lukis dan perlu uang untuk biaya pendaftaran, juga buat beli bahan melukis. Jadi....”

“Sani! Kakak memang perlu uang, tapi Kakak nggak mau menerima uang dari kamu.” Suaraku tegas.

Mendadak Sani terdiam dengan pandangan tertunduk. Kemudian berkata “Sani tahu. Kak Zifan pasti akan menolak, tapi Sani ikhlas ngasih uang ini. Uang ini dari celengan Sani, Sani ingin Kak Zifan Ikut lomba lukis. Dan Kak Zifan harus menang.”

Berat aku menghela nafas, lalu datar berkata “Kakak nggak tahu, mungkin Kakak nggak akan ikut lomba.”

“Kenapa Kak?” Tanya Sani sembari terkejut.

“Kak Zifan harus ikut lomba lukis, Sani tahu Kak Zifan suka banget sama melukis.” Sani tegas.

“Dan nanti Kak Zifan harus kembalikan uang ini sama Sani, jadi anggap aja Sani kasih pinjaman sama Kak Zifan.” Di akhir perkataan Sani tersenyum.

Perlahan keningku merapat mendengar perkataan terakhir Sani. Saat itu juga aku teringat perkataan Alfian “Kalau kamu suka melukis, maka melukislah. Melukis itu makruh, tapi jangan melukis makhluk bernyawa. Kalaupun harus melukis makhluk bernyawa kamu bisa samarkan, jadi wujudnya nggak seperti makhluk bernyawa. Melukislah dengan niat yang benar, untuk agama Allah, untuk mengajak semua orang mengingat Allah. Dan sebutlah nama Allah sebanyak mungkin saat kamu melukis.”

Menyusul kemudian senyum di wajahku mulai kurasa. Tegas aku berkata “Oke. Kak Zifan terima, tapi ini pinjaman.”

Setelah Sani masuk ke dalam sekolah dengan meninggalkan senyum bahagia, akhirnya vespa merah ini kembali melaju dan menyalip beberapa kendaraan roda dua yang lebih lambat jalannya, tetapi tetap hati-hati. Namun sebelumnya aku sempatkan melihat isi dalam amplop, uang pinjaman dari Sani ternyata jumlahnya lebih dari seratus ribu. Alhamdulillah, aku bisa mendaftar di hari terakhir pendaftaran ini dan membeli beberapa bahan melukis, terutama cat minyak. Apakah ini pertolongan dari Allah? Aku sangat bersyukur.

 

                                                                                    ***

Selepas mendaftar dan membeli bahan melukis vespa ini melaju di jalan satu arah. Kemudian beralih ke jalan dua arah. Saat itulah senyum di wajahku sedari tadi nggak lekas surut, membayangkan yang akan terjadi saat aku akan menemui seseorang di tempat mangkal angkot di dekat sekolah. Okelah, dia benar dengan perkataannya “Aku yakin kamu teman yang baik.”

“Apa benar aku teman yang baik? atau apa benar aku sudah menjadi baik sekarang?” Bisik hatiku dengan kening merapat. Hingga nggak lama kemudian vespa merah ini berhenti di tepi jalan dekat trotoar sebelum tempat mangkal angkot.

“Mungkin aku belum bisa menjadi teman yang baik, tapi aku akan berusaha menjadi teman yang baik mulai hari ini.” Ucapku pelan.

Setelah itu pandanganku bergerak meneliti siswa/siswi yang berjalan di trotoar menuju angkot-angkot yang sedang sejenak ngetem untuk mendapatkan penumpang. Ternyata nggak kunjung kutemukan, mungkin memang dia nggak masuk hari ini. Sejenak menoleh ke belakang dengan pandangan bergerak, kemudian kembali meneliti setiap siswa/siswi di trotoar, setelah itu vespa merah ini kembali melaju perlahan.

Hingga vespa merah melewati angot yang mendadak menepi untuk mengangkut penumpang. Saat itulah suara keras terdengar memanggil namaku “Zifaaan.”

Membuatku sigap menepikan vespa, kemudian menoleh ke belakang. Ternyata Hisyam tergesa turun dari angkot, dan sedikit berlari mendatangiku. Dengan terengah Hisyam berkata “Zifan, kenapa masih di sini?”

“Ehmm...” Dengan kening merapat aku memikirkan jawaban dari pertanyaan Hisyam.

“Ini kan tanggal 21, pendaftaran terakhir lomba melukis. Kamu sudah daftar belum? Jangan bilang kamu lupa karena kamu dapat libur satu minggu. Dan kamu akan masuk lagi kan Senin besok?” Hisyam nyerocos.

“Haaa....” Lemas aku membuang nafas. Sepertinya Hisyam akan menjadi teman yang gawat buatku, karena gaya bicaranya yang serba ekspres, nggak ada titik apalagi koma.

 “Ah udah yuk, kuantar pulang.” Ucapku sembari menghidupkan vespa.

“Waaah yang benar Zifan.” Kata Hisyam sembari tersenyum lebar.

“Nggak mau ya udah...”

“Ee eeh, tunggu! Ya maulah....” Sigap Hisyam duduk di belakangku sembari melingkarkan tangannya pada badanku.

Lemas aku menghela nafas, kemudian keningku merapat saat teringat dengan apel merah jambu yang akan kuberikan pada Hisyam. Setelah merogoh apel merah jambu dari dalam tas ransel, aku menyodorkannya pada Hisyam. Dengan heran Hisyam menerima apel pemberianku, lalu bertanya “Zifan. Ini...”

“Itu apel buat kamu.”

“Apel? Buatku?” Hisyam mengulang heran.

Tanpa menjawab aku memutar gas perlahan, hingga vespa merah ini melaju vespa merah. Sementara itu belakangku Hisyam nggak berhenti berkata, tanpa titik dan koma. Sedangkan aku cuma berkali-kali membuang nafas, saat itulah otak dan hatiku nggak berhenti bertanya “Bagaimana supaya bisa menjadi teman yang baik untuk Hisyam yang selalu cerewet? Apa aku harus ikut cerewet juga seperti Hisyam? Atau diabaikan saja? Dan tetap jadi diriku yang pendiam.”

“Haaa baru kali ini punya teman yang cerewetnya minta ampun deh.” Ucapku pelan sembari menggelengkan kepala.

Akhirnya selama perjalanan ini aku lebih banyak menjadi pendengar, sedangkan Hisyam masih selalu bicara. Hingga membuatku bosan mendengar ceritanya dan saat itulah di kepalaku terlintas untuk mengunjungi Elok di rumah sakit. Masih ada satu apel yang kubawa di dalam tas. Dan apel ini untuk Elok saja.

Tanpa berkata pada Hisyam aku memacu vespa merah menuju rumah sakit tempat Elok di rawat. Hingga vespa merah belok ke halaman rumah sakit dan berhenti di tempat parkir. Saat itulah Hisyam yang terkejut bertanya “Zifan. Kenapa malah ke Rumah Sakit? Siapa Yang Sakit? Ibu, Ayah atau....jangan-jangan kamu sakit, trus minta ditemani sama aku?”

“Haaa...” Lagi-lagi lemas aku membuang nafas.

Selesai menyangga vespa dengan besi di kolong motor dan melepas helem, aku berjalan menuju pintu utama Rumah Sakit. Sementara Hisyam sigap mengikuti dan masih selalu bertanya. Masuk ke dalam rumah sakit mendadak terjadi amnesia pada otakku alias otakku sama sekali nggak bisa mengingat di mana ruangan Elok. Hingga aku dan Hisyam terus berjalan dan berjalan sembari kedua sorot mataku meneliti setiap ruangan.

“Zifan, kamu nyari siapa?”

Berat aku membuang nafas, kemudian berkata “Kita jenguk Elok. Elok sedang sakit, dan aku yakin kamu belum menengoknya.”

“Oooh, iya...trus sekarang kita ke mana? Dari tadi kamu nengok sana nengok sini, jangan-jangan kamu lupa sama ruangannya.”

“Oh, enggak....aku nggak lupa. Eh iya, tapi dikit.”

“Kalo gitu kita ke mana sekarang? Kita udah muter-muter nih.” Suara Hisyam tegas.

“Ah masak sih? Perasaan kita baru masuk.”

Mendadak Hisyam menghentikan langkah, kemudian menghela nafas dengan berat sembari mengelus dada. Setelah itu Hisyam menggelengkan kepala, lalu memaksa senyum dan berkata “Hmmm....sebagai teman yang baik aku akan coba untuk sabar.”

“Zifan, sekarang kamu ingat-ingat dimana ruangannya?!” Hisyam tegas.

“Oh iya emmm ke sana, iya di sebelah sana.” Aku menunjuk dengan tangan.

“Bener?” Hisyam mengulang tegas. Namun aku nggak menjawab. Sementara kedua sorot mataku bergerak mengamati rumah sakit ini.

“Zifan.” Suara Hisyam keras.

“Iya ke sana.” Aku tegas sembari kembali berjalan lebih dulu. Sigap Hisyam mengikuti.

Entahlah apa yang terjadi dengan otakku saat ini. Aku benar-benar lupa ruangan Elok, tapi aku nggak bilang sama Hisyam.  Tapi seingatku aku hapal betul ruangannya, atau....Elok yang pindah ruangan. Ah! Aku tanya aja sama perawat, kamar Elok yang menderita kelainan ginjal.

Tergesa aku menemui seorang petugas rumah sakit di meja depan. Sementara Hisyam langsung menggerutu “Zifan, katanya kamu nggak lupa! Gimana sih?!”

“Aku kena amnesia dadakan, makanya lupa mendadak.”

Membuat kening Hisyam merapat di belakangku. Di hadapanku seorang petugas rumah sakit tersenyum dan bertanya “Ada yang bisa dibantu?”

“Mbak. Saya mencari ruangannya Elok, pasien di rumah sakit ini. Dia dirawat karena menderita kelainan ginjal.”

“Sebentar saya cari dulu di daftar pasien inap.”

Sejenak aku mengangguk pelan dengan kening sedikit merapat sembari membaca nama petugas di depan dada, Lastri. Nggak lama kemudian Perawat berkata sembari sesekali melihat daftar pasien rawat inap di layar komputer “Pasien bernama Elok dirawat di ruang 74, dan sekarang sedang menjalani operasi di ruang operasi.”

“Operasi? Operasi apa Mbak?” Aku dan Hisyam terkejut hampir bersamaan.

“Iya, operasi transplantasi ginjal atau pencangkokan ginjal.”

Saat itulah mendadak aku membatu dengan jantung yang mulai berdetak keras, semakin keras hingga membuat wajahku kurasa menegang. Kemudian hatiku bertanya “Siapa yang mendonorkan? Apa Alfian? Tapi kalau Alfian harus memberikan ginjalnya pada Elok, kenapa nggak dari dulu? Apa penyakit Elok semakin parah?”

“Ada lagi yang ditanyakan?” Tanya Perawat.

“Mmmm kalau boleh saya tahu....siapa pendonornya?”

“Kalau masalah itu hanya Dokter dan keluarga pasien yang berhak mengatakan, saya minta maaf.”

“Ehmm terima kasih, oh iya jadi saya langsung ke ruang operasi?”

“Iya, ruang operasi di lantai 3.”

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Tanpa berkata pada Hisyam aku balik badan dan melangkah menuju lift, sementara Hisyam sigap mengikuti. Masuk ke dalam lift aku menekan angka 3. Hingga Lift tertutup dan bergerak naik. Akhirnya lift berhenti di lantai 3, kemudian terbuka. Keluar dari lift sorot mataku bergerak mencari ruang operasi, setelah itu aku bertanya pada seorang Perawat.

Barulah setelah itu aku dan Hisyam kembali berjalan. Seperti kata Perawat, kami belok kanan, lalu berjalan lurus lagi, dan terakhir belok kiri. Saat itulah mendadak langkahku terhenti, saat kedua mataku menangkap seorang perempuan setengah baya sedang terisak dipelukan laki-laki seusianya. Menyusul hatiku berkata “Mungkin mereka Ibu Alfian dan Ayah Alfian.”

“Zifan, ayo jalan.” Hisyam di depanku.

Entahlah, kenapa sedari tadi jantungku selalu bergetar dan kini mendadak hatiku sangat gelisah saat melihat apa yang ada di hadapanku. Pelan aku kembali berjalan pelan tanpa berkata pada Hisyam dengan sorot mata terpaku tertuju pada orang tua Alfian di depan ruang operasi.

Tepat di samping mereka aku mengucap salam “Assalammualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Jawab Ibu dan Ayah Alfian sembari menoleh.

“Zifan.” Lirih Ibu Alfian dengan air mata masih mengalir deras.

“Maafkan saya Bu, saya baru datang.”

Namun Ibu Alfian nggak membalas, sementara pandangannya kembali tertunduk. Hanya laki-laki di sampingnya bertanya “Maaf, adek ini temannya Elok atau Alfian?”

“Saya....temannya Elok dan Alfian Pak.”

“Saya Amar. Saya Ayah Alfian dan Elok.” Pak Amar mengulurkan tangan. Maka aku menjabat tangannya. Begitu juga dengan Hisyam.

“Apa....beritanya sudah sampai ke sekolah? Dan kalian mendengar tentang Alfian dari sekolah? Padahal kami belum sempat mengabari.”

“Berita apa Pak? Trus kenapa Bapak sebut Alfian? Bukankah Elok sekarang sedang operasi cangkok ginjal?”

Ternyata Pak Amar dan Istrinya nggak menjawab. Saat itulah air mata istrinya malah semakin deras berjatuhan. Sementara air mata terlihat menetes dari laki-laki yang tadi mencoba tegar. Membuat diriku semakin gelisah dengan hati bergetar, hingga perlahan dadaku seakan dihimpit bongkahan batu besar, sangat sesak rasanya. Aku nggak mengerti apa yang terjadi, apa terjadi sesuatu? Sama siapa? Sama Elok? Atau.....

“Apa.....Alfian yang jadi pendonor?” Suaraku agak pelan.

Sejenak Pak Amar dan Istrinya terdiam, kemudian Pak Amar mengangguk pelan dan berkata “Alfian....meninggal tadi jam 11 siang.”

Saat itulah jantungku mendadak seakan berhenti berdetak bersamaan air mata meluncur dari kedua bola mataku tanpa kusadari. Seakan nggak percaya otakku dan hatiku ini berkali-kali membantah, namun ternyata semua itu nggak menghalangi meluncurnya air mata dari kedua mataku. Hingga kurasa lemas badan ini.

 “Tadi malam Alfian kecelakaan. Dia dibawa ke rumah sakit ini. Alfian sempat sadar, dia mengatakan.....” Pak Amar nggak melanjutkan perkataannya bersamaan sir matanya kembali jatuh.

Hanya terpejam diriku saat ini, sementara air mataku nggak berhenti mengalir. Sedih yang sangat kurasa selama aku hidup. Alfian, kenapa pergi meninggalkanku? Kenapa harus seperti ini?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
537      361     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15893      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6675      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1913      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5101      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?