Read More >>"> Dia Dia Dia (Wajah yang Dingin itu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Di hari yang masih panas ini Alfian mengajakku untuk menjenguk Adiknya yang sedang sakit di rumah sakit. Sempat ragu untuk ikut menengok Adiknya yang nggak kukenal, namun akhirnya aku mengiyakan. Namun, sebelum pergi ke rumah sakit kupikir aku bisa membeli apel atau buah lainnya untuk Adiknya dari uang pemberian Ibu sebelum tadi berangkat. Mengendarai vespa merah ke pasar buah, ternyata membuat jantungku berdebar. Berdebar karena laju vespa yang dikemudikan Alfian.

 “Aku baru pertama kali naik vespa, dan ternyata asik.” Alfian keras sembari tersenyum.

“Tapi bukan pertama kali naik motor kan?” Suaraku keras.

“Kalo iya kenapa?”

“Berarti kamu belum mahir naik vespa, udah aku aja yang megang kemudi.”

Namun Alfian tetap memacu vespa merah ini, seolah nggak mendengarkan perkataanku dan kepanikanku. Saat itulah tiba-tiba rasa bahagia menyelinap masuk ke dalam hatiku tanpa kutahu kenapa bisa seperti ini. Hingga vespa merah ini berhenti di parkiran pasar buah. Setelah melepas helem kami berjalan bersama menuju pasar buah yang nggak pernah sepi pembeli. Masuk ke dalam pasar, terlihat deretan lapak kios yang memajang aneka buah-buahan segar menjadi pemandangan di pasar ini. Kemudian aku berhenti di salah satu lapak kios dan melihat buah-buahan yang dijual. Alfian juga ikut berhenti.

“Adik kamu suka buah apa?”

“Mmm apa ya....mmm apel, dia suka apel merah jambu. Bukan apel merah dan bukan apel hijau.”

Membuat keningku merapat, kemudian bertanya “Apel merah jambu? Emang ada? Kok aku baru dengar.”

Tanpa menjawab Alfian hanya tersenyum. Kemudian pandangannya meneliti. “Kalau di sini nggak ada, kita cari di tempat lain.”

Setelah itu Alfian kembali berjalan, sementara aku mengikuti di belakangnya. Tanpa menoleh padaku dia menggandeng tanganku. Membuatku terkejut sembari melihat tanganku yang masih memakai sarung tangan. Setelah itu Alfian menoleh dan terkejut saat melihat tangannya menggandeng tanganku. Sigap dia cepat melepaskan, sembari berkata “Oh maaf, tadi....mmm.”

“Untungnya Tuhan masih melindungiku dengan sarung tangan ini.” Ucapku.

Alhamdulillah, ingatkan aku bila salah.” Kata Alfian.

Kami berdua kembali berjalan hingga Alfian masuk ke dalam lapak buah-buahan nomor dua dari ujung. Terlihat penjual laki-laki bertubuh gendut dan berkepala botak sedang mengeluarkan buah-buahan dari dalam kotak.

“Assalammualaikum Bang Mamat.” Suara Alfian keras sambil tersenyum.

“Waalaikumsalam....” Jawab laki-laki yang dipanggil Bang Mamat sambari melongok, kemudian tersenyum melihat Alfian. Setelah itu mereka berjabat tangan dan saling memeluk, menepuk punggung.

 “Bagaimana kabarnya Bang? Pasti tambah sehat.” Tanya Alfian.

Alhamdulillah sehat, lama kau tak kemari? Ke mana saja kau?”

“Ada sih Bang, sekarang lagi persiapan ujian untuk ujian terakhir nanti.”

“Aaaah kau ini, masih lama ujian itu.....tak perlu kau belajar dari sekarang, nanti cepat lupa...karena kau tak kemari perkerjaan di sini numpuk. Aku sendiri yang bereskan semua ini, dan cepeknya bukan main.”

“Nggak apa-apa Bang, supaya Bang Mamat bisa lebih kurus. Nanti pasti ada perempuan yang naksir, jadi nggak sendiri lagi.” Alfian tersenyum lebar.

“Aaaah kau ini menyindir aku mentang-mentang kau sudah dapat pacar, kenalkan dong....” Di ujung perkataan Bang Mamat tersenyum.

“Oh iya kenalkan ini Zifan dia.....teman saya Bang.” Kata Alfian. Sembari memandangku Bang Mamat tersenyum, sementara aku menganggukkan kepala.

“Zifan. Ini Bang Mamat, orang Batak yang sukses jadi pengusaha buah.”

“Kau ini, baru punya lapak kecil kayak gini sudah disebut pengusaha.”

“Itu doa saya Bang, jadi aminkan dong.....”

“Oh iya, ayo sekarang kau berdoa lagi aku akan aminkan.” Bang Mamat mengangkat kedua tangan di depan dada.

“Ya Allah. Semoga Engkau memberi kelapangan pada usaha Bang Mamat, semoga Bang Mamat semakin sukses dengan usahanya, punya lapak kios di mana-mana, jadi pengusaha sukses dan soleh, semoga Bang Mamat cepat dapat jodoh yang solehah. Amiiiin.” Alfian mengusap kedua tangan ke wajah.

“Amiiin.” Bang Mamat mengusap kedua tangan ke wajah. Setelah itu Bang Mamat melirikku dan menyikut Alfian.

“Alfian, cantik juga pacar kau ini.....”

“Eeeeh Bang. Bukan yang ini jodoh Abang, cari perempuan lain. Jangan ini.” Lirih Alfian tegas. Membuatku tersenyum kecil, lalu pura-pura batuk.

Membuat Alfian terkeut kaget sembari menoleh. “Oh iya Bang, kita ke sini mau nyari buah apel.”

“Oooh buah apel, pasti yang warna merah jambu kan?” Di ujung perkataan Bang Mamat tersenyum.

Aku yang bingung sedikit tersenyum sembari mengerutkan kening. Aku nggak mengerti maksud apel merah jambu. “Emmh tunggu, apa benar ada apel warna merah jambu? Selama ini aku belum pernah dengar.”

Ternyata malah membuat Alfian dan Bang Mamat tersenyum lebar. Setelah itu Bang Mamat pergi ke deretan buah di sebelah kanan lapak kios, mengambil apel besar, lalu menunjukkannya di depanku. “Ini apel merah jambu. Warnanya sih bukan merah jambu, tapi kalau Alfian ini selalu menyebutnya apel merah jambu. Kalau aku sebut ini apel namanya apel pucat karena warnanya pucat, tapi rasanya manis dan daging buahnya keras, kerasnya tak terlalu keras. Tak sekeras apel hijau dan tak lembek seperti apel merah.”

“Kalau itu sih aku juga tahu.....itu apel kesukaanku.” Aku tersenyum lebar, hampir tertawa.

“Jadi kamu suka apel ini juga?” Alfian cepat menoleh sembari tersenyum.

“Juga?” Aku mengulang.

“Iya juga. Aku dan adikku suka apel ini, cuma kami berdua yang suka. Kalau adik kedua lebih suka jeruk.”

“Tapi aku nggak namakan apel merah jambu, aku selalu nyebut apel bangkok.”

“Kayak ayam saja.....ayam bangkok eh apel bangkok.” Bang Mamat tertawa.

Saat itulah Alfian ikut tertawa. Sementara keningku merapat, tanda bagiku wajar menyebutnya apel bangok. Setelah itu aku membeli apel bangok 1 kilo, sedangkan Alfian membeli Apel merah jambu sebanyak 2 kilo. Membuatku heran, apa benar Afian akan memakan Apel merah jambu sebanyak itu?

Dari pasar buah vespa merah kembali melaju, menyalip kendaraan-kendaraan roda dua yang lebih lambat jalannya. Hingga kami belok ke halaman sebuah rumah sakit. Saat itulah sorot mataku memandang lekat-lekat rumah sakit di hadapan kami ini. Setelah vespa merah berhenti di tempat parkir yang tempat teduh, aku turun dari vespa sembari kedua mataku masih meneliti dari bangunan rumah sakit. Menyusul kemudian hatiku berbisik “Sepertinya aku pernah melihat rumah sakit ini.”

“Zifan, kamu nggak mau lepas helem?” Alfian berdiri di sampingku.

“Oh, iya.” Aku cepat melepas helem, lalu mengaitkannya di vespa. Barulah setelah itu aku mengambil keresek di vespa.

“Zifan, ini keresek apel punya kamu. Itu punyaku.”

Sejenak aku melihat keresek apel di tangan Alfian. “Trus kenapa kamu yang bawa?”

“Soalnya tadi kamu masih berdiri, jadi aku ambilkan punyamu.” Alfian tersenyum.

“Trus keresek apel kamu gimana? Apa mau dikaitkan di sini? Nggak takut hilang? Nanti kalau kamu balik ke sini, pasti cuma kereseknya doang.”

Mendadak Alfian terdiam dengan kening merapat, lalu mengangguk pelan dan tersenyum. “Benar juga katamu, ya sudah keresek apel yang punyaku aku talikan dan keresek apel punyamu nggak ditalikan.”

Kemudian Alfian mengikat keresek apel di tangannya. “Ayo kita masuk.”

“Alfian, kenapa juga keresek apel punyamu harus ditalikan? Kan isinya sama-sama apel? Lagian kan mau dikasihkan sama adik kamu.” Aku tersenyum heran.

 “Kalau punyamu memang untuk adikku, tapi...kalau apel punyaku untuk seseorang.”

“Jadi adik kamu yang sakit ada dua?!” Aku kaget.

“Enggak. Adikku yang sakit cuma satu, tapi apel ini untuk hadiah seseorang. Dan dia nggak sakit.”

“Ya udah yuk.” Alfian berjalan. Sigap aku mengikuti berjalan di sampingnya.

Masuk ke dalam rumah sakit, Alfian berjalan cepat seakan nggak bingung dengan tempat di rumah sakit ini. Sepertinya Alfian udah kenal sama rumah sakit ini. Sembari berjalan sesekali aku menoleh, meneliti setiap tempat yang kulalui. Saat itulah aku meraba-raba pertanyaan hatiku tentang rumah sakit ini.

Tiba-tiba saja saja wajahku menegang saat aku tersadar dan ingat, bawah ini adalah rumah sakit yang dulu pernah kusinggahi. Di rumah sakit ini aku pernah bertabrakan dengan seorang pemuda yang memakai seragam putih abu di pintu masuk rumah sakit. Dan pemuda itu adalah Alfian. Saat itulah dengan jantung berdebar keras aku menoleh pada Alfian. Kenapa bisa kebetulan seperti ini?

“Di sini kamarnya.” Alfian berdiri di depan pintu ruang rawat sembari menoleh padaku dan tersenyum.

Pelan Alfian membuka pintu, lalu masuk ke dalam dan masih menahan pintu supaya tetap terbuka. Saat itulah aku langsung membatu, sangat terkejut hingga keresek apel terlepas jatuh ke lantai dari tanganku. Sigap Alfian menoleh dan mengambil keresek apel.

Dengan jantung yang cepat berpacu mendadak wajahku menegang, saat kedua mataku melihat Elok terbaring di tempat tidur pasien. Dengan wajah memucat dan kedua mata yang dingin Elok memandangku.

“Zifan, kamu nggak apa-apa kan?”

Tanpa menjawab aku hanya mengangguk pelan. Saat ini aku masih nggak percaya dengan yang kulihat, aku melihat Elok. Orang yang pernah di-bully sama Tara, Risak, Vera, Elis dan Lani, tapi aku nggak menolongnya dan malah pergi meninggalkannya. Apa Elok sakit karena kejadian waktu itu?

“Zifan, ayo masuk.” Suara Alfian keras.

“Oh, iya.” Aku tersentak kaget. Kemudian Alfian berjalan lebih dulu, sedangkan aku mengikuti belakangnya sembari menundukkan pandangan.

“Elok. Ini Zifan, teman satu kelas kamu.” Kata Alfian sembari tersenyum, lalu di akhir perkataan Alfian menoleh padaku.

Namun kedua mataku masih tertunduk, nggak memandang Elok. Hatiku benar-benar merasa bersalah dan mungkin aku nggak pantas berada di sini. Perlahan Elok mengulurkan tangan. Membuatku lagi-lagi terkejut melihat tangannya. Namun sebelum menjabat tangannya kedua mata ini bergeser, memandang wajahnya. Wajah yang selalu datar dan dingin itu akhirnya tersenyum, tapi aku nggak mengerti arti tatapan dan senyumannya.

“Zifan.” Suara Alfian agak keras, hingga membuatku tersadar dan melihat tangan Elok masih di hadapanku.

Tanpa berpikir lagi aku cepat menjabat tangannya. Sangat dingin dan basah. Elok pun tersenyum memandangku, namun aku tetap nggak bisa membalas senyumnya. Mungkin karena rasa bersalah yang sangat yang kurasakan.

“Elok, ke mana Ibu?”

“Ibu masih ketemu dokter.” Suara Elok lemah.

Sigap Alfian melihat jam tangan. “Apa dari tadi?”

“Sepertinya.”

“Zifan. Kamu di sini dulu dan tolong temani Elok sebentar, aku mau menyusul Ibu.”

“Oh, iya.” Aku mengangguk.

Setelah itu Alfian meletakkan keresek apel miliknya di kursi di depan tempat tidur pasien, lalu dia pergi keluar ruangan. Sembari memegang keresek apel aku masih berdiri di samping kanan tempat tidurnya. Saat ini Elok masih memandangku, tapi aku nggak memandangnya. Pandanganku hanya tertunduk di hadapan orang yang pernah ingin bicara, meminta tolong padaku lewat sorot matanya saat di-bully Riska dan teman-temannya.

“Aku....minta maaf.” Suaraku pelan.

Namun Elok yang nggak membalas, malah bertanya yang lain padaku. “Kamu bawa apa?”

“Oh iya. Ini....buah kesukaan kamu,biar aku kupaskan.”

Sigap aku meletakkan di meja, lalu mengambil satu apel dan pisau kecil di meja, kemudian mengupasnya. Setelah itu aku memotong-motong apel dan meletakkannya di piring. Sembari menyodorkan potongan-potongan apel aku berkata “Ini, apelnya sudah kukupas.”

Karena tempat tidurnya agak naik ke atas, jadi Elok bisa sedikit menegakkan tubuhnya dan mengambil satu potongan apel. Saat itulah rasa penyesalan bertambah hebat di dalam hatiku, bahkan membuat hatiku bertambah gelisah. Aku nggak pernah seperti ini selama ini. Apa hatiku benar-benar keras selama ini? Tapi aku nggak menyadari? Tuhan, apa ini terguran dari-Mu? Hatiku sangat menyesal.

“Ahmmm aku...boleh tanya?”

“Iya.” Elok tersenyum, setelah selesai melahap satu potong apel.

 Namun mendadak aku terdiam dengan pandangan tertunduk di hadapan Elok yang memandangku. Pelan Elok berkata “Tenang aja, aku nggak sakit karena kejadian di sekolah. Emang tubuhku yang lemah.”

“Aku udah tahu penyakit kamu.” Suaraku datar, kemudian menghela nafas.

“Bukan dari Alfian, tapi....saat Riska nge-bully kamu di kamar mandi. Aku minta maaf, aku....nggak nolong kamu.”

“Kamu nggak salah, jadi nggak perlu minta maaf.” Suara Elok datar sembari mengalihkan pandangan.

“Boleh aku minta apelnya lagi?” Tanya Elok pelan sembari tersenyum.

“Oh pasti boleh.” Aku memaksa senyum sembari menyodorkan potongan apel di piring.

“Kamu pasti penasaran, kenapa aku sering melihatmu. Aku minta maaf, jika kamu nggak nyaman karena aku sering memperhatikanmu, menatapmu tanpa tersenyum.”

Sejenak Elok menghela nafas, lalu tersenyum tanpa menoleh padaku. “Manusia itu memang selalu memutuskan seenaknya, mereka menilai seenaknya dan mereka mencap orang seenaknya, termasuk diriku. Aku mengakui aku salah.”

“Aku berpikir kamu orang yang jahat. Sama seperti Riska, Tara dan teman-temannya. Mereka selalu mengancam anak-anak lemah di sekolah, mereka pintar cari muka dan cari alasan. Aku menebak dari penampilan dan sikap kamu, kamu santai dan masa bodoh, tapi kamu cerdas. Aku yakin kamu akan menggantikan Riska dan keempat temannya di sekolah.”

Sejenak Elok berhenti dan menghela nafas. “Tapi....”

“Tapi kamu benar. Aku memang masa bodoh dan santai, aku suka melanggar aturan, aku suka menghabiskan waktu sendiri dan nggak pernah perduli sama orang di sekitarku, karena itu aku nggak punya banyak teman. Belum lagi aku selalu gonta-ganti sekolah, karena sering dikeluarkan dari sekolah, aku sering berantem. Jadi aku nggak pantas punya teman. Dan karena itu aku juga nggak gampang percaya sama orang.” Aku memotong datar.

Sejenak Elok menoleh padaku, lalu memalingkan wajahnya. “Tapi ternyata aku salah. Semua persangkaanku salah, kamu nggak jahat. Buktinya kamu datang ke sini, menjengukku dan mengupas apel untukku.”

Menyusul senyum hadir di wajah Elok saat memandangku. Membuat hatiku bertambah menyesal dengan yang telah kulakukan saat nggak menolong Elok.

 “Apa kamu sudah lama kenal Kak Fiyan? Kak Alfian.”

“Oh, ehmmm....aku.... aku nggak sengaja ketemu dan kenalan sama Kakakmu. Dan aku juga nggak pernah tahu kalo kamu adiknya.” Aku terbata-bata.

Setelah itu pintu kamar ini terbuka, menyusil kemudian Alfian dan seorang perempuan behijab masuk. Ternyata perempuan itu adalah Ibu dari Elok dan Alfian.

“Pasti temannya Elok ya?”

“Iya Tante.”

“Panggil Ibu saja, biar terasa lebih dekat.” Ibu Alfian tersenyum.

“Oh, iya Tante eh Bu.”

“Bu. Gimana kata Dokter, kapan Elok boleh pulang? Elok pingin cepet sekolah lagi.”

Ibu Alfian nggak segera menjawab. Sejenak menoleh pada Alfian sejenak, lalu Ibu Alfian menghampiri Elok dan berdiri di sampingnya. Sembari membeai kepala Elok sang Ibu berkata “Kata Dokter beberapa hari lagi kamu bisa pulang.”

“Kamu tenang saja, nggak perlu mikir sekolah dulu.” Sahut Alfian.

“Tapi kan Elok bisa ketinggalan pelajaran.”

“Kan ada Zifan yang akan ngajarin kamu, Zifan murid yang cerdas kan?” Di ujung perkataan Alfian tersenyum. Membuatku terkejut sembari  menoleh pada Alfian.

“Iya kan Zifan?” Alfian tersenyum.

“Oh, aku....” Aku bingung.

“Nanti tolong kamu ajarkan Adikku pelajaran yang dia nggak bisa, bisa kan?”

“Waaah beruntung sekali Elok punya teman yang pintar, tapi kok Alfian bisa kenal Zifan?” Ibu Alfian tersenyum.

“Ya masak nggak kenal, kan satu sekolahan.” Sahut Alfian.

“Bu. Fiyan pulang dulu, nanti malam Fiyan sama Ayah ke sini.”

“Iya, hati-hati di jalan.”

Sejenak aku tersenyum sambil menganggukan sedikit kepala pada Ibu Alfian dan Elok. “Bu, Saya permisi dulu.”

“Elok, terima kasih.” Aku tersenyum.

“Sama-sama.” Elok tersenyum.

Sebelum keluar ruangan Alfian mengambil keresek apel yang diikat. Setelah itu kami kembali berjalan melewati lorong rumah sakit. Entah kenapa bisa seperti ini, aku masih nggak mengerti, tetapi aku sangat bersyukur hatiku nggak segelisah tadi. Saat itulah terpikir perkataan Elok padaku yang membuat Elok selalu menatapku. Aku memang pantas ditakuti, aku preman di sekolah karena sering berantem dan nggak mau diatur. Mungkin bukan cuma Elok yang berpikir seperti itu. Kemudian teringat perkataan temannya Elok.

“Anak baru itu, denger-denger pindahan dari Surabaya. Dan dia itu tomboy banget. Dia pindah ke sini gara-gara sering berantem.” Trias menjelaskan.

“Waaaah kayaknya bakal ada preman baru di sekolah kita....” Sahut Hasri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
539      362     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15917      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6676      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1919      822     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5104      1200     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?