Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

“Assalammualaikum.” Suara seseorang di sampingku, tapi aku nggak menjawab dan  menoleh pada suara itu. Menyusul cepat tiba-tiba saja otakku menangkap sebuah nama yang selalu mengucapkan salam saat bertemu denganku. Saat itu juga hatiku berbisik “Alfian, pasti Alfian. Cuma dia yang selama ini selalu mengucapkan salam.”

Tanpa kusadari garis senyum mulai kurasa di wajahku, tapi senyumku terputus saat suara di sampingku terdengar lebih keras “Assalammualaikum.”

Sigap aku mengedipkan kedua mata, menyusul otakku tersadar mengingat perkataan tadi. Kenapa aku bisa memikirkan Alfian? Dia kan nggak sekolah di sini, aku juga nggak tahu dia sekolah di mana? Haaa kenapa aku jadi seperti ini.

Akhirnya aku menoleh pada suara itu, tapi membuat keningku cepat merapat bersamaan pelan mengucap “Dizam.”

Membuat senyum di wajah Dizam semakin lebar. Sementara aku mendadak lemas tanpa senyum. Sembari menghela nafas aku mengalihkan pandanganku. Saat itulah Dizam bertanya “Apa aku ganggu?”

Namun aku nggak menjawab, hatiku malah bertanya “Kenapa sih aku mikirin Alfian? Dia kan bukan siswa sekolah ini. Haaa.”

“Zifan.” Suara Dizam agak tinggi.

“Oh, iya.” Jawabku dengan terkejut.

“Kamu... ehmm sendiri?”

“Ahmm i iya sendiri.”

“Kamu nggak pulang?”

“Ya pulanglah.” Jawabku sembari mengalihkan pandanganku pada tempat parkir yang masih berjubel.

Sejenak Dizam menghela nafas, kemudian memandangku dan bertanya “Oh iya, mmm... aku dengar di kelas hobi kamu melukis. Apa... emmm maksudku... kamu suka melukis di media apa?”

“Di kertas sama di kanvas.” Suaraku datar.

“Pasti...kamu jago melukis.”

Dengan kening merapat aku nggak segera membalas, tapi sejenak menatap Dizam, lalu bertanya “Kok kamu mikir seperti itu?”

“Ya....aku nebak aja, tapi tebakkanku benar kan?” Dizam tersenyum.

“Oh iya kamu...” Kata Dizam sembari tersenyum, tapi perkataannya harus terpotong saat suara klakson dari tempat parkir keras terdengar.

“Oh tempat parkir udah sepi, aku pulang dulu.” Ucapku sembari mempercepat langkah. sigap Dizam mengikuti, menyusulku dan berjalan di sampingku.

Di samping vespa merah, sigap aku memakai helem, lalu menghidupkan vespa merah dan terakhir aku naik. Sementara itu terlihat Dizam udah naik motor Fazer 250 cc jenis motor Road Bike Sport, kemudian memacu motornya dan berhenti tepat di sampingku. Sembari tersenyum Dizam memandangku. Membuatku sedikit kesal, tapi aku mencoba lebih tenang dengan membuang nafas. Tegas aku berkata “Kalo mau pamer jangan di sini, aku nggak tertarik.”

Setelah itu aku melaju dengan vespa merah ini. Sejenak kedua mata ini meneliti kaca spion, ternyata Dizam memacu motornya di belakangku. Keluar dari gerbang sekolah lagi-lagi Dizam masih memacu motornya di belakangku. Membuatku heran dan sedikit curiga, karena kalau mau Dizam bisa memacu motornya lebih cepat daripada vespa jadul ini.

Hingga semakin lama menempuh perjalan ini, aku semakin curiga.“Mau apa sih itu anak dari tadi ikuti aku aja! Jangan-jangan dia mau malak aku.”

Menyusul kemudian Dizam tersenyum sembari memacu motornya di sampingku. Keras Dizam bertanya “Oh ya, kamu mau jemput adek kamu?”

“A! Apa...” Aku keras sambil sedikit menoleh.

“Kamu....mau...jemput...adek...kamu....????” Suara Dizam lebih keras.

“Enggak...” Suaraku keras. Setelah itu sigap aku mendahului Dizam, lalu belok kiri. Ternyata Dizam cepat mengikuti dan kembali memacu motornya di sampingku. Tegas aku melirik Dizam yang terlihat santai memacu motornya, seperti nggak punya salah padahal dari tadi dia mengikutiku.

“Kamu mau sampai kapan ikuti aku?” Suaraku keras.

“Apa....”

Sangat kesal diriku hingga berkali-kali aku menghela nafas sembari menggelengkan kepala untuk mencoba nggak perduli. Namun akhirnya membuatku semakin emosi. Hingga keras aku bilang “Kamu nggak punya rumah ya? mengikuti aku terus!”

“Ya punyalah.” Dizam tersenyum.

“Trus kenapa kamu ikuti aku terus.” Suaraku keras.

“Aku nggak ikuti kamu.”

Dengan berat aku kembali menghela nafas, pertanda aku bertambah kesal bahkan seakan kepalaku mendidih karena kesal. Vespa merah ini sejenak berhenti di perempatan jalan, karena lampu merah. Saat itulah terlihat beberapa pejalan kaki menyeberang. Sementara itu Dizam dan motornya masih di sampingku yang selalu memandang lampu di atas perempatan jalan, menunggu lampu berganti hijau. Hingga akhirnya lampu hijau menyala, membuatku sigap memutar gas, dan akhirnya vespa merah ini kembali melaju.

 Ternyata Dizam sigap juga memacu motornya dan masih melaju di belakangku. Kemudian aku belok ke kanan, menempuh jalan lurus, kemudian belok kiri. Ternyata sigap Dizam juga masih mengikutiku di belakangku. Akhirnya membuat kekesalan di otakku memuncak, hingga sigap aku menepikan vespa di tepi jalan. Ternyata membuat Dizam terkejut sembari cepat menepi, lalu sejenak dia menoleh ke belakang dan melihatku.

“Kamu kenapa sih! Ikuti  aku terus! Jangan macem-macem ya!” Suaraku keras.

“Oh emmm aku nggak ikuti kamu.” Dizam terbata-bata dan kaget.

“Trus kenapa kamu berhenti di sana! Kenapa nggak jalan aja.”

“Oh, mmm.....” Tiba-tiba wajah Dizam terlihat bingung.

Setelah itu aku kembali memacu vespa, melewati Dizam yang terdiam memandangku. Selanjutnya Dizam juga melaju di belakangku. Setelah cukup lama melaju di jalan raya akhirnya aku belok ke gang II. Ternyata Dizam juga ikut belok dan memacu motornya di sampingku. Saat itulah sejenak dia menoleh dan tersenyum sembari memelankan laju motornya. Agak keras dia berkata “Zifan, aku duluan. Rumahku di sana di sebelah Barat mushola, kapan-kapan aku main ke rumah ya...”

Setelah itu sejenak Dizam tersenyum, kemudian memacu motornya, mendahuluiku dengan vespa merah. Sigap keningku merapat dan pelan bertanya “Kok aku baru tahu ada anak di gang ini yang satu sekolah sama aku?!”

Saat itu juga aku tersadar, kemudian kesal berkata “Haaa...ya pasti aku nggak tahu! Aku kan baru tinggal di sini.”

 

                                                                                      ***

Ruang makan yang nggak luas ini sudah terasa hangat dengan kehadiran Ayah, Ibu, Sani dan Subhan yang sudah duduk mengelilingi meja makan. Menyusul kemudian aku duduk di samping Sani. Sejenak Ayah memimpin doa, setelah itu makan malam yang sudah jadi tradisi keluarga pun dimulai. Dengan semangat satu persatu mengambil nasi dan lauknya, namun hanya aku yang paling lambat mengambil. Setelah itu aku makan dengan malas. Entahlah rasanya otakku semakin hari semakin penuh, penuh dengan perlombaan melukis yang perlahan hampir di depan mata, sementara diriku belum berbuat apapun.

“Zifan, makan yang benar. Dihabiskan, jangan buang-buang makanan.” Ibu tegas.

“Iyaaa Bu.” Setelah itu dengan malas aku melahap nasi.

Sembari mengunyah Subhan tersenyum memandangku. Sementara Sani mengerutkan dahi seraya sejenak menoleh padaku. Agak keras Sani berkata “Oh iya Yah, Bu. Kak Zifan tadi nolongin Sani di sekolah.”

Ayah dan Ibu pun mengerutkan dahi. Sementara aku tetap makan dengan malas.

“Nolong gimana?” Tanya Ayah sambil menatap Sani. Ibu mengiyakan.

“Kak Zifan datang ke rapat orang tua kelas 3 di sekolah Sani. Tadi pagi Sani lupa nggak bilang Ayah sama Ibu, trus waktu di sekolah Sani ingat, kalau ada rapat orang tua kelas 3. Jadinya Sani minta tolong Kak Zifan yang ikut rapat.”

Ternyata membuat Ayah dan Ibu tersenyum sembari mengangguk-angguk. Ayah berkata “Tumben Zifan, kamu mau perduli sama adik-adik kamu.”

 “Sudah Yah jangan diledek, malah bagus kalau Zifan udah mau perduli sama Sani dan Subhan.” Ibu tersenyum.

“Trus rapatnya tentang apa? Sekarang kamu ceritakan sama Ayah dan Ibu.” Tanya Ayah padaku, tapi aku yang masih makan dengan malas nggak menjawab, walaupun mendengar suara Ayah

“Zifan, kamu dengar tidak?” Suara Ayah tinggi.

“Iya....Zifan dengar.”

“Sekarang ceritakan tentang rapat tadi.” Ayah tegas.

“Biasa...kalau rapat kelas tiga pasti pemberitahuan, supaya Sani lebih serius belajar.”

“Kok cuma Sani Kak?”

“Kamu kan kelas 3 SMP. Dan kelas 3 SMP di rumah ini cuma kamu.” Aku tegas. Ternyata Ayah dan Ibu malah tersenyum, kemudian mereka menggelengkan kepala.

“Wah Kak Zifan pintar juga ngasih jawabannya.” Subhan tersenyum dan mengangguk.

“Iya deeeh, terserah Kak Zifan.” Sani mengangguk.

“Trus apalagi?” Tanya Ayah.

“Ya biasa, kalo sekolah selalu mengingatkan alias nagih yang belum lunas segala macem tagihan sama anak-anak kelas 3.”

“Tagihan apa lagi? Sani kan baru masuk sekolah di sana.” Ayah mengerutkan dahi.

“Iya, apa kamu diberi rincian biayanya?” Tanya Ibu.

“Iya.”

“Mana Ayah mau lihat.”

“Di dalam tas.” Suaraku datar.

“Ya kamu ambil dong.”

“Nanti aja Yah setelah makan, sekarang makan dulu.” Sahut Ibu.

“Iya Bu. Zifan, nanti setelah makan kamu ambil dan kasihkan Ayah.”

Sejenak aku menghela nafas karena kesal. “Kenapa Zifan lagi sih Yah? Kan yang kelas 3 SMP itu Sani, ya Sani dong yang ngambil.”

“Tapi kan ada di dalam tas kamu, jadi kamu yang harus mengambil.” Balas Ayah.

“Biar Sani aja Yah yang ngambil, benar kata Kak Zifan itu kan pemberitahuan untuk kelas 3 SMP.” Sahut Sani.

“Tuh kan...” Suaraku pelan sambil memainkan sendok dan makanan di piring.

“Kalo gitu biar Sani ambil sekarang ya Kak.” Sani Bangkit dari kursi.

“Iya.”

“Eh Sani habiskan dulu makanan kamu.” Sahut Ibu.

“Nanti Bu cuma sebentar kok, Kak Zifan suratnya di dalam tas kan?”

“Iyaaa.” Jawabku malas. Setelah itu Sani tergesa naik tangga.

“Zifan, makannya yang benar jangan dimainkan seperti itu.” Ibu tegas.

Sedikit cemberut aku melahap makanan di piringku. Ternyata beberapa waktu lamanya Sani belum juga kembali ke ruang makan. Terlihat Ibu yang gelisah selalu melihat ke arah tangga yang ada di sebelah meja makan.  Keras Ibu memanggil “Sani cepat turun, makanannya dihabiskan.”

Tap nggak terdengar Sani nggak menjawab. Saat itu juga tiba-tiba jantungku berdebar keras, mungkin lebih gelisah daripada Ibu. Gelisah memikirkan yang dilakukan Sani di dalam kamarku, padahal selama ini belum ada satupun yang boleh masuk ke dalam kamarku selain Ayah dan Ibu. Ha! Kenapa baru terpikir sekarang Zifan.

Sigap aku melahap makanan di piring dengan membuaka mulutku lebar-lebar, hingga membuat Subhan sedikit terperangah.

“Waaah Kak Zifan cepat juga makannya.” Kata Subhan.

Selesai makan aku menenggak air di gelas, lalu cepat bangkit berdiri. “Ibu Ayah. Zifan udah selesai makan, sekarang Zifan mau ke atas.”

“Zifan. Suruh Sani cepat turun dan habiskan makanannya.” Ibu menatapku.

“Siap Bu.” Setelah itu aku cepat berjalan ke tangga di depan meja makan.

Saat itulah tiba-tiba Sani turun tergesa sembari membawa surat rincian biaya dari sekolahnya. Dengan bahagia Sani tersenyum padaku sambil menunjukkan surat itu padaku, tapi malah membuat keningku merapat karena heran dan curiga dengan senyumnya. Masuk ke dalam kamar aku langsung mendekati kalender duduk di meja belajar. Kemudian sorot mataku meneliti tanggal perlombaan melukis di kalender yang udah kuberi tanda. Perlombaannya memang masih jauh, masih dua minggu lagi, tapi aku nggak mau santai. Cat minyakku sudah mau habis, aku juga perlu latihan melukis di kanvas. Walaupun aku nggak meragukan caraku melukis dan aku udah pernah menjuarai lomba lukis di kanvas, tapi aku tetap perlu latihan, soalnya tema lukisan ditentukan panitia saat lomba.

Masalahnya hukuman dari Ibu menjadi ancaman untukku mengikuti perlombaan itu. itu karena selama ini aku nggak pernah meminta Ibu atau Ayah untuk membeli semua alat dan bahan melukis. Justru aku selalu mengumpulkan uang dari uang jajanku yang nggak pernah kujajankan di sekolah. Itu karena sebelum berangkat sekolah aku selalu makan, trus aku juga selalu membawa minum dalam botol yang selalu disiapkan Ibu. Jadi aku nggak pernah merasa lapar dan haus di sekolah.

Entahlah kenapa aku bisa segila ini untuk menghabiskan waktu, hati, pikiran dan uang untuk dunia melukis. Dunia yang nggak pernah terpikir olehku untuk menjadi tumpuan di masa depanku. Nggak pernah aku berpikir menjadi pelukis terkenal yang menghasilkan banyak karya lukisan dan tentunya uang. Mungkin...bagiku saat ini melukis itu cuma hobi. Dan....mungkin ada benarnya perkataan Ibu, tujuan hidup! Aku nggak memiliki tujuan hidup.

“Haaaa...” Dengan berat aku menghela nafas. Menyusul terlintas di otakku uang yang kugunakan selama ini untuk bisa tetap melukis.

“Oh iya kenapa aku nggak ngambil tabunganku aja, pasti masih ada uang.” Di ujung perkataan aku membuka laci meja belajar, lalu sigap tanganku  mengambil dan membuka buku tabungan. Sigap juga sorot mataku tajam meneliti setiap angka, namun setelah itu wajah dan sorot mataku mendadak lemas.

Sembari menghela nafas panjang akul menyandarkan tubuh pada punggung kursi. “Yaaa....tinggal sisa saldo.”

Sejenak aku diam mengingat. “Tabunganku kan udah kubelikan stander, notebook dan handphone. Haaa Zifan...Zifan boros banget sih kamu!.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Kristalia
6718      1756     5     
Fantasy
Seorang dwarf bernama Melnar Blacksteel di kejar-kejar oleh beberapa pasukan kerajaan setelah ketahuan mencuri sebuah kristal dari bangsawan yang sedang mereka kawal. Melnar kemudian berlari ke dalam hutan Arcana, tempat dimana Rasiel Abraham sedang menikmati waktu luangnya. Di dalam hutan, mereka berdua saling bertemu. Melnar yang sedang dalam pelarian pun meminta bantuan Rasiel untuk menyembuny...
Do You Want To Kill Me?
6057      1717     2     
Romance
Semesta tidak henti-hentinya berubah, berkembang, dan tumbuh. Dia terus melebarkan tubuh. Tidak peduli dengan cercaan dan terus bersikukuh. Hingga akhirnya dia akan menjadi rapuh. Apakah semesta itu Abadi? Sebuah pertanyaan kecil yang sering terlintas di benak mahluk berumur pendek seperti kita. Pertanyaan yang bagaikan teka-teki tak terpecahkan terus menghantui setiap generasi. Kita...
Nobody is perfect
13961      2529     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Somehow 1949
10136      2373     2     
Fantasy
Selama ini Geo hidup di sekitar orang-orang yang sangat menghormati sejarah. Bahkan ayahnya merupakan seorang ketua RT yang terpandang dan sering terlibat dalam setiap acara perayaan di hari bersejarah. Geo tidak pernah antusias dengan semua perayaan itu. Hingga suatu kali ayahnya menjadi koordinator untuk sebuah perayaan -Serangan Umum dan memaksa Geo untuk ikut terlibat. Tak sanggup lagi, G...
Einsam
409      292     1     
Romance
Hidupku sepi. Hidupku sunyi. Mama Papa mencari kebahagiaannya sendiri. Aku kesepian. Ditengah hiruk pikuk dunia ini. Tidak ada yang peduli denganku... sampai kedatanganmu. Mengganggu hidupku. Membuat duniaku makin rumit. Tapi hanya kamu yang peduli denganku. Meski hanya kebencian yang selalu kamu perlihatkan. Tapi aku merasa memilikimu. Hanya kamu.
Langit Jingga
3280      935     2     
Romance
Mana yang lebih baik kau lakukan terhadap mantanmu? Melupakannya tapi tak bisa. Atau mengharapkannya kembali tapi seperti tak mungkin? Bagaimana kalau ada orang lain yang bahkan tak sengaja mengacaukan hubungan permantanan kalian?
I Fallen for Jena Henzie
8582      1895     0     
Romance
Saat pitcher melempar bola, perempuan itu berhasil memukul bola hingga jauh keluar lapangan. Para penonton SMA Campbell langsung berdiri dengan semangat dan bersorak bangga padanya. Marvel melihat perempuan itu tersenyum lebar saat mengetahui bolanya melambung jauh, lalu ia berlari sekencang mungkin melewati base pertama hingga kembali ke home. Marvel melihat keramaian anak-anak tim base...
SarangHaerang
2243      909     9     
Romance
(Sudah Terbit, sebentar lagi ada di toko buku dekat rumahmu) Kecelakaan yang menimpa saudara kembarnya membuat Hae-rang harus menyamar menjadi cewek. Awalnya dia hanya ingin memastikan Sa-rang menerima beasiswanya, akan tetapi buku harian milik Sa-rang serta teror bunga yang terjadi memberikan petunjuk lain kalau apa yang menimpa adiknya bukan kecelakaan. Kecurigaan mengarah pada Da-ra. Berb...
Forestee
491      346     4     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.
Pertualangan Titin dan Opa
3569      1362     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....