Setelah memarkir vespa merah di depan Tata Usaha aku tergesa berjalan ke depan ruang guru. Di depan ruang guru kedua mataku teliti melihat nama guru piket hari ini. Hmm ternyata Bu Ayuning, guru Kesenian kelas 10. Setelah itu sigap aku melangkah masuk ke ruang guru, menuju meja piket paling ujung dekat pintu kedua. Sebenarnya bisa sih lewat luar, tapi kejauhan karena harus memutari kolam dulu. Jadi aku pakai yang ekspres saja, masuk ke ruang guru, melewati beberapa meja guru, barulah aku sampai di meja piket yang ternyata kosong.
“Haaa ke mana lagi Bu Ayuning ini.” Ucapku dalam hati sembari kedua mataku bergerak mencari Bu Ayuning.
Saat itulah suara seseorang dari belakangku membuat keningku merapat “Zifan, mau ketemu siapa?”
Sigap aku balik badan, kemudian sejenak mengangguk pada Bu Siwi dan berkata “Mau ketemu Bu Ayuning, guru piket hari ini Bu.”
Sejenak Bu Siwi terlihat melihat jam tangannya, lalu berkata “Kamu baru datang?”
“Hmm iya Bu.” Setelah itu tanpa banyak berkata aku menyodorkan kertas berisi keterangan aku datang terlambat ke sekolah. Dengan kening merapat Bu Siwi membacanya sembari sesekali mengangguk-anguk pelan.
“Oooh, ya sudah ambil saja di meja kertas Ijin Masuk Terlambat, trus isi, nanti letakkan lagi di meja sama surat keterangan ini. Bu Ayuning mungkin sedang ke belakang.” Kata Bu Siwi sembari menyodor kembali kertas tadi.
“Baik Bu.”
Setelah Bu Siwi pergi, aku mengambil kertas ijin masuk terlambat di meja. Sigap tanganku merogoh bulpen dari dalam tas, kemudian tergesa mengisi kertas itu. Hingga selesai juga mengisi kertas “Ijin Masuk terlambat”, lalu menaruh kembali di meja bersama surat keterangan datang terlambat, tapi tanpa sengaja tanganku menyentuh maouse dari sebuah laptop di meja piket.
“Haaa ribet amat mau masuk sekolah aja.” Sejenak aku membuang nafas, kemudian menyelipkan bulpen dalam saku baju. Saat itulah pandanganku tertuju pada layar laptop yang menyala di meja piket. Layar laptop yang menampilkan sebuah tulisan “Seni Lukis di Awal Permulaan Islam yang diambil dari beberapa sumber seperti dari buku-buku Imam al Gazali “Ihya’ Ulumuddin dan Kimiya-i-Sa`adah ” itu ternyata menarik hingga membuat keningku merapat tipis.
Dengan rasa penasaran tanganku sedikit mengarahkan layar laptop pada wajahku, kemudian aku membaca tulisan itu. Hingga aku pun mengerti bahwa melukis pada permulaan Islam sangatlah pesat, terbukti dari beberapa istana Kerajaan atau dinasti memiliki lukisan-lukisan yang hingga kini bisa dilihat di dinding-dinding istana.
Saat itu juga otakku menangkap perkataan Ibu. “Lalu kenapa Ibu bilang melukis itu haram? Setahuku Ibu juga pernah bilang kalo jarang mudah bilang ini haram dan itu haram, ini halal dan itu halal. Manusia tidak berhak menghalalkan dan mengharamkan, selain Allah.”
Dengan penasaran aku kembali membaca tulisan di laptop dengan kening bertambah tebal. Seolah ilmu yang baru kutahu tentang melukis, tapi juga membuatku semakin penasaran dengan perkataan Ibu padaku.
“Kamu siswi kelas 11?” Suara seseorang di sampingku, yang ternyata adalah Bu Ayuning.
“Oh, iya Bu. Mmm saya tadi cari Ibu, guru piket hari ini. Saya mau melapor, kalau saya datang terlambat ke sekolah, karena tadi ada kepentingan.”
“Sudah nulis di kertas ijinnya?”
“Sudah Bu, surat keterangan datang terlambatnya juga sudah di meja. Saya permisi dulu Bu, terima kasih.”
Setelah itu aku tergesa keluar ruang guru, berjalan dengan jantung sedikit berdebar. Entahlah, kenapa jantung ini mendadak berdebar, padahalkan aku nggak macem-macem tadi. Cuma baca tulisan aja yang diambil di kitab Imam al Gazali. Saat itulah keningku merapat, mengingat nama Imam al Gazali, nama yang sering kudengar, tapi aku nggak tahu lebih. Mungkin dia salah satu pemikir Islam di masa permulaan Islam berkembang.
Mendekati kelas 11.7 seperti biasa sorot mataku mendahului langkahku, melihat kesibukan di dalam kelas. Ternyata nggak ada guru yang mengajar, hanya terlihat semua siswa/siswi mencatat materi PKN di papan tulis sembari diselangi dengan coletahan. Masuk ke dalam kelas 11.7 sigap beberapa siswa/siswi mendongakkan kepala dari kursi hanya untuk melihatku, beberapa masih serius mencatat dan beberapa asik bicara. Dari kursi belakang Hisyam juga mendongakkan kepala melihatku, kemudian dia tersenyum.
Melewati meja guru mendadak langkahku terhenti, saat itulah sejenak aku menoleh pada kursi Elok yang kosong. Menyusul kemudian keningku merapat tipis, hanya ada Divi yang duduk di samping kursinya.
“Ke mana si Elok?” Ucapku pelan dengan kening merapat.
Dengan hembusan nafas akhirnya kualihkan kedua mataku lagi, terlihatlah Riska dan Tara bangkit dari kursi mereka di nomor tiga dari depan, satu deret denganku. Sembari menyedekapkan tangan di hadapanku, mereka memandangku tajam dan sinis. Hanya Hisyam yang terlihat panik saat melihat Riska dan Tara berdiri di hadapanku. Dan rupanya siswa/siswi di kelas ini juga ikut memandangku tanpa beranjak dari kursi mereka, tapi nggak ada ketegangan di wajah mereka seperti pada wajah Hisyam.
“Apa ada masalah?” Aku santai dengan wajah datar.
“Gue kira lo udah pindah lagi, kenapa lo balik ke sini lagi?” Tara ketus.
“Asal lo tahu ya kita nggak suka sama lo dan kita bakal ngelakuin sesuatu buat lo, supaya lo bisa inget selamanya.” Suara Riska tinggi.
Sejenak aku mengangguk pelan. “Oke, aku akan pakai bahasa kalian.”
Tipis kupaksa wajahku tersenyum pada Riska dan Tara masih tersenyum sinis sembari menyedekapkan kedua tangan di dada. Dengan berat aku menghela nafas, lalu berkata “Gue yakin kalian berdua sering nge-bully temen-temen kalian, yang nggak kalian suka dengan alasan kalian nggak suka sama mereka.”
Sigap pandanganku bertambah tegas pada Riska dan Tara, dan tegas juga melanjutkan “Dan asal lo tahu gue nggak pernah takut sama lo berdua, gue heran ternyata makhluk kayak elo masih ada di sekolah, lo berdua itu pinter cari muka. Gue nggak tahu sebenernya apa yang ada di otak kalian sampai-sampai kalian nyegel orang yang nggak kalian suka sebagai orang yang salah. Kalian bakal nyesel, kalo kalian masih terus kayak gini. Kalian tahu kenapa? Karena kalian udah nyia-nyiain hidup kalian untuk membenci dan memusuhi orang yang nggak punya salah sama kalian. Dan nanti kalian bakal dapat balasannya.”
“Udah minggir! Gue mau lewat.” Suaraku tegas sembari berjalan menabrak mereka, hingga Riska dan Tara pun jatuh ke samping. Sigap mereka balik badan.
Keras Riska bilang “Eh tunggu! Lo jangan sok bijak sama kita, lo aja sering gonta-ganti sekolah, lo sering dikeluarin dari sekolah, dan alasannya cuma satu lo sering berantem. Jadi lo jangan sok nasehatin kita buat jadi orang bener.”
Tegas aku menghentikan langkahku, lalu balik badan dan kembali memandang tegas mereka. Sejenak aku tersenyum kecil, mengangguk pelan, kemudian berkata “Oke. Gue bakal ngomong sama kalian berdua dan semua anak di kelas ini, kalian juga bisa nyebarin apa yang gue omongin sekarang.”
Lagi-lagi dengan berat aku membuang nafas, melepaskan semua amarah yang tertahan di dada. Tegas aku berkata “Gue memang sering berantem, dan itu alasan gue sering dikeluarin dari sekolah. Dan cuma satu alasan yang nggak semua orang tahu. Gue berantem karena mereka yang cari masalah sama gue, mereka yang cari ribut sama gue dan mereka yang nantangin gue, mereka yang nggak suka sama gue dan nge-bully gue. Gue nggak terima sama perlakuan mereka, gue ngajar mereka sampai masuk rumah sakit. Dan jangan sampai lo berdua masuk rumah sakit.”
Suaraku semakin tegas di ujung perkataanku sembari tajam menatap Riska dan Tara. Membuat kelas kelas ini mendadak nggak bersuara sedikitpun, sementara semua siswa/siswi masih memandangku. Tegas aku balik badan, lalu duduk di kursi belakang. Dengan wajah panik Hisyam memandangku. Sementara itu perlahan wajah Riska dan Tara sedikit menegang, tapi tetap aja masih sinis memandangku.
“Eh ada Kepala sekolah.” Teriak Ketua kelas sambil melongok keluar jendela.
Sigap siswa/siswi di kelas ini duduk di kursi masing-masing. Sejenak Riska dan Tara masih tajam memandangku, lalu mereka cepat duduk di kursi tengah. Setelah kelas ini tenang Ketua kelas menghampiri mejaku dan Hisyam, berdiri di samping meja sebelah kiri di dekat Hisyam. Sejenak Ketua kelas memandangku yang nggak memandangnya.
“Ada apa Zam?” Tanya Hisyam sambil menoleh pada Ketua kelas.
“Aku cuma....mau kasih tugas buat Zifan, tadi kan Zifan belum datang.”
“Oooh.” Hisyam mengangguk-angguk.
Sejenak aku melihat Ketua kelas yang masih tersenyum memandangku. Kemudian Ketua kelas berkata “Hai mmmm aku Dizam, mmm ini tugas Kimia dari Pak Dodi.”
Setelah itu dia menyodorkan selembar kertas ke hadapanku. Tanpa tersenyum aku menerimanya, tapi ternyata Dizam masih berdiri dan masih tersenyum melihatku.
“Cuma ini kan?” Aku mengerutkan dahi sembari sejenak melihatnya.
“Oh iya, cuma itu kok.” Jawab Dizam dengan terkejut, lalu tersenyum.
“Mmmm pasti ada apa-apanya nih.” Hiyam tersenyum kecil melirik Dizam.
“Oh enggak kok, ahmm nggak ada.” Dizam terbata-bata. Setelah itu dia cepat pergi ke kursi di deretan paling Selatan di sebelah tembok.
“Eh Zifan, kamu dari mana sih? Jam segini baru datang! Emang kamu pikir ini sekolahan Kakekmu.” Tanya Hisyam tegas.
“Apa nggak bisa kalo nggak ada pertanyaan?” Aku santai tanpa tersenyum.
Membuat kening Hisyam berkerut rapat, kemudian menggelengkan kepala.
Fighting^^
Comment on chapter Kenapa Begini!