Setelah mengantar Subhan dan Sani, vespa merah ini kembali melaju di jalan dua arah, nggak cepat dan nggak lambat. Kemudian belok dan melaju di jalan satu arah, setelah itu vespa merah belok ke pintu gerbang SMU Nusantara 1, melewati Pak Wandi yang tersenyum sembari sigap menyapaku keras “Selamat pagi Neng Zifan.”
“Pagi Pak Wandi.” Suaraku agak keras sembari tersenyum kecil.
Setelah itu vespa merah ini sedikit melaju di jalan yang nggak lebar, tapi cukup untuk jalan satu mobil di dalam sekolah. Ternyata suara vespa yang keras dan berisik ini memecah ketenangan di jalan yang kulalui, bahkan memecah kerumunan kabut pagi ini dan mungkin memecah suasana hati siswa/siswi yang sedang berjalan. Sigap gurat kesal muncul di setiap wajah sembari menoleh dan tegas melihatku memacu vespa. Sementara aku yang menganggap itu wajar, hanya melaju dengan wajah datar tanpa menoleh pada mereka.
Masuk ke dalam tempat parkir vespa merah ini berhenti di samping Fazer 250 cc, jenis motor Road Bike Sport. Setelah mematikan mesin vespa sigap aku turun, lalu menginjak besi di kolong vespa untuk menyangganya. Selanjutnya kedua tanganku melepas helem di kepalaku, lalu mengaitkannya di bawah jok.
Santai aku berjalan sembari sesekali menghisap udara pagi dalam-dalam dengan hidungku dan memandang daun-daun hijau yang basah, semua tampak segar, hingga menciptakan suasana yang sangat tenang dan damai di sekitarnya. Atau mungkin...suasana yang tenang itu ada dalam pikiranku? Dan aku menciptakan sendiri ketenangan itu.
Berjalan melewati deretan kelas 10 sesekali sorot mataku meneliti setiap ruangan kelas yang kulalui. Terlihat sebagian siswa/siswi menatapku heran, tapi aku tetap santai berjalan. Tiba-tiba langkahku terhenti di samping kelas 10.4 seraya sorot mataku tertuju pada empat siswi di dalam kelas yang sedang mem-bully temannya. Perlahan pendengaranku sedikit kuarahkan pada mereka, saat itulah aku berusaha mencuri dengar percakapan mereka.
“Eh Elin! Lo itu harusnya nggak usah belagu di sekolah ini, soalnya kita nggak suka.” Siswi cewek pertama keras dan tegas.
“Iya. Gue juga nggak suka sama lo.” Siswi kedua keras. Siswi ketiga mengangguk dengan sorot mata yang tajam.
“Tapi aku kan nggak ngapa-ngapain.” Elin membela diri dengan wajahnya panik.
“Gaya elo yang kita nggak suka.” Siswi keempat tegas. Dia melotot.
Setelah itu siswi kedua melempar pandangannya keluar jendela, kemudian terpaku padaku yang sedang meneliti mereka. Tanpa menoleh siswi itu berkata pada temannya “Eh eh kayaknya ada yang ngelihat kita, cabut yuk.”
“Siapa?” Siswi pertama tegas. Diikuti ketiga temannya cepat menoleh dan memandangku sinis dan tajam, cuma Elin yang terdiam dengan pandangan tertunduk. Dengan sorot mata yang dingin aku masih memandang keempat siswi di dalam kelas 10.4. kemudian aku membuang nafas sembari memalingkan wajah dari mereka dan kembali berjalan santai.
“Tenang aja....dia anak kelas dua, dan kayaknya anak baru.” Sahut siswi pertama.
Aku semakin heran, kenapa jaman sekarang orang suka cari ribut atau gara-gara, kenapa anak-anak sekolah sering mem-bully temannya. Sebenarnya mereka belajar dari mana? Walaupun aku sering berantem yang menyebabkan aku gonta-ganti sekolah, tapi aku nggak pernah mem-bully. Kalau aku jadi Elin yang dikeroyok sama keempat temannya itu, pasti udah aku hajar mereka. Bukan pakai kuku, tapi pakai bogem. Biar mereka tahu rasanya di-bully! Disakiti, walaupun resikonya aku harus dikeluarkan dari sekolah.
Melewati ruang mading lagi-lagi langkahku kembali terhenti saat lima cewek berdiri di hadapanku sembari menyedekapkan kedua tangan di dada dan menatapku tajam. Saat itulah kesal aku membuang nafas, sementara hatiku berbisik keras “Kenapa lagi sih! Memangnya mereka siapa? Seenaknya bergaya di tengah jalan!”
Dua dari lima siswi cewek di hadapanku adalah teman sekelasku, Riska dan Tara. Tara yang pernah kutendang kakinya saat dia mau menjegalku di kelas dan Riska yang selalu sinis melihatku. Sedangkan tiga temennya yang lain adalah Elis, Vera dan Lani, karena nama mereka tertulis di baju depan.
Sejenak kualihkan kedua mataku karena kesal pada mereka berlima yang jadi patung di hadapanku dengan wajah merasa nggak bersalah. Hingga semakin lama membuatku semakin kesal. Mereka pikir ini jalan punya siapa! Nggak mau minggir!
Ha! Mungkin hanya sampai di sini kesabaranku berhadapan dengan patung seperti mereka. Akhirnya aku kembali berjalan dan menabrak mereka, hingga mereka hampir jatuh ke samping.
“Eh, kalo jalan lihat-lihat dong!” Teriak Riska kesal.
“Belagu banget sih tuh anak baru.” Vera kesal.
“Awas lo ya!” Suara Tara keras. Lani dan Elis mengiyakan.
Seolah nggak mendengar makian mereka aku tetap berjalan santai dan nggak menoleh, tapi senyum tipis muncul di wajahku saat mendengar kekesalan mereka. Bagiku mereka nggak penting, jadi apa pentingnya menanggapi celotehan mereka. Kemudian senyumku bertambah lebar saat otakku menangkap perkataan Ayah padaku.
“Ayah dan Ibu sudah capek selalu dengar kamu berbuat masalah di sekolah, apa kamu pernah menghitung?! Berapa kali kamu gonta-ganti sekolah?! Pindah-pindah sekolah. Dan masalahnya cuma satu, kamu dikeluarkan, selalu dikeluarkan! Karena kamu selalu berantem. Tidak sama cewek, tidak sama cowok, kamu selalu berantem sama mereka. Trus kamu mau jadi apa?! Mau jadi preman?! Kalau mau jadi preman, Ayah tidak akan menyekolahkanmu. Biar kamu merasakan jadi orang bodoh yang selalu diperintah orang, dilupakan dan tidak dihargai. Zifan! Ini terakhir kalinya kamu pindah sekolah, Ayah dan Ibu tidak mau mendengarmu terlibat masalah lagi. Masih untung ada sekolah di Jakarta ini yang menerimamu, karena kamu punya nilai yang bagus.”
“Zifan! Harusnya kamu bisa seperti adikmu. Dia lebih rajin, nggak malas dan nggak tomboy sepertimu.” Aku menirukan suara Ibu, setelah itu aku menggelengkan kepala.
Melewati deretan kelas 11 lagi-lagi langkahku terhenti untuk ketiga kali, sementara pandanganku tertuju pada Elok yang sedang berbincang dengan ketua kelas 11.7 di depan pintu kelas, namanya Dizam. Setelah itu Elok dan Dizam menoleh dan memandangku, tapi wajahku tetap datar memandang mereka. Menyusul hatiku berbisik keras “Zifan, ayo jalan. Memangnya kenapa sama mereka! Biarkan saja.”
Santai aku berjalan lagi dan santai melewati mereka tanpa menyapa, kemudian masuk ke dalam kelas. Ternyata siswa/siswi kelas ini terlihat sangat sibuk bahkan kalang kabut sembari menulis di buku tulis dan berebut buku. Nggak lama kemudian Riska dan Tara tergesa masuk kelas dan cepat ke kursi, lalu cepat mengeluarkan buku.
“Eh, gue nyontek.” Riska merebut buku Susi.
“Tapi aku juga belum selesai.” Kata Susi.
“Iya entar lo terusin lagi, kita nyontek dulu.” Potong Tara.
Dengan berat aku hanya membuang nafas, lalu tersenyum kecil saat tahu rupanya siswa/siswi di kelas ini di sedang sibuk nyontek PR. Sesampainya di kursi belakang aku duduk santai menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Sejenak aku menoleh ke samping kiri, melihat kursi kosong dengan tas di meja. Nggak lama kemudian Hisyam tergesa duduk di kursi sambil membawa buku.
“Eh, kok kamu tenang-tenang aja sih?” Hisyam terengah-engah.
Seperti biasa aku nggak menjawab dan wajahku tetap datar. Hisyam kembali berkata “Oooh aku tahu! Kamu pasti udah selesai ngerjain PR matematika, aku nyontek dong?”
Pelan aku menghela nafas, kemudian menoleh pada Hisyam yang masih menatapku. Santai aku balik bertanya “PR? Matematika?”
“Iya, wah jangan-jangan kamu belum ngerjain juga kayak kita. Kalo gitu ayo cepet kerjain, nih aku kasih contekan, tapi baru ke isi dua soal yang nomor satu sama tiga. Soalnya yang nomor dua, empat sama lima susah banget. Anak-anak juga nggak ada yang bisa.”
Pelan aku kembali menghela nafas sambil mengalihkan pandanganku.
“Eh Zifan! Cepet tulis, nanti keburu bel. Guru matematika kelas 11 itu galaaak banget dan pelit banget senyum.” Suara Hisyam keras.
“Emang PR kapan?” Aku santai.
Sontak kening Hisyam berkerut rapat dengan sorot mata nggak bergerak. Kemudian pelan dia berkata “Dari....Selasa, Senin, Minggu libur, Sabtu, Jum’at, Kamis. Ah! Dari hari Kamis minggu kemarin.”
“Haaa....aku kan baru kemarin di sini, buat apa aku ngerjakan PR hari kamis. Hari kamis itu aku masih di Surabaya.” Di akhir perkataan suaraku tegas.
“Iya juga ya.” Ucap Hisyam sambil mengangguk pelan. Tiba-tiba Hisyam terlihat lemas dan sejenak tertegun seraya sorot matanya memandang langit-langit. Hatiku hanya berbisik tegas “Haaa ada-ada saja!”
Karena penasaran akhirnya aku melirik soal matematika di buku PR Hisyam, sejenak meneliti soal matematika dan soal yang belum terjawab. Setelah membuang nafas, tangan kananku mengambil bulpen di atas buku PR milik Hisam, kemudian aku menulis jawaban soal nomor dua, empat dan lima.
“Ya udahlah, terserah kamu. Aku mau cari contekan lagi.” Setelah itu pandangan Hisyam kembali padaku, melihatku menulis di buku PR miliknya.
Sontak Hisyam terkejut sembari bilang “Eh, kamu ngapain?”
Dengan wajah datar aku nggak menjawab pertanyaannya, tapi tetap menulis jawaban dari soal matematika yang katanya susah. Hingga semakin lama membuat wajah Hisyam semakin tegang melihatku, bahkan sorot matanya selalu bergerak mengikuti bulpen di tanganku. Menyusul kemudian suara bel masuk keras berbunyi. Membuat semua siswa/siswi di kelas ini kaget dan sigap kalang kabut menyelesaikan PR mereka. Selesai mengerjakan soal matematika, kuletakkan bulpen di atas bukunya. Sigap Hisyam mengambil buku miliknya dan membaca jawaban yang kutulis, sangat teliti.
“Ini beneran? Jawabannya?” Tanya Hisyam dengan kening merapat tanpa mengalihkan pandangannya, tapi aku nggak menjawab.
“Eh Zifan, ini beneran jawabannya?!” Hisyam mengulang tegas.
“Yaaa daripada nggak diisi, dibiarin kosong.” Aku santai menjawab.
Mendadak Hisyam kembali tertegun dengan kening merapat, kemudian mengangguk pelan dan berkata “Iya juga sih...daripada kosong, kalau salah juga nggak apa, yang penting ada jawabannya. Daripada temen-temen nggak diisi, nggak ada jawabannya.”
Nggak lama berselang guru yang akan mengajar masuk ke dalam kelas, bersamaan teman-teman cepat berlari ke kursi masing-masing. Sejenak aku memandang guru laki-laki berkulit gelap dan berkumis tipis itu. Hisyam yang juga memandangnya berkata pelan padaku “Dia guru matematika. Namanya Pak Sam, lengkapnya Pak Samsan Sezu. Dan Pak Sam itu guru paling tegas dan disiplin. Dia guru matematika paling ditakuti sama semua anak di sekolah sini.”
Pelan aku mengangguk sembari sorot mataku tertuju pada Pak Sam yang meletakkan buku di meja guru. Setelah itu dia berdiri di depan kelas dan berkata “Pimpin doa dulu.”
“Siap grak. Berdoa, mulai.” Ketua kelas memimpin doa. Serentak semua siswa/siswi menundukkan kepala.
“Selesai.” Ucap Ketua kelas agak keras.
“Assalammualaikum. Selamat pagi anak-anak.”
“Waalaikumsalam...selamat pagi...Pak Sam....”
Terlihat Pak Sam tersenyum kecil sembari memandang seisi kelas. “Sekarang dibuka buku PR-nya di atas meja.”
Pak Sam mulai berjalan memeriksa PR murid-muridnya, dimulai dari deretan sebelah Utara di depan meja guru. Yang pertama adalah meja Elok dan Divi, sejenak Pak Sam teliti melihat jawaban di buku mereka. Kemudian Pak Sam kembali berjalan, memeriksa PR di setiap meja dengan sangat teliti, hingga ke meja belakang. Akhirnya Pak Sam sampai di mejaku, tapi raut wajahnya berubah saat hanya melihat satu buku PR milik Hisyam di atas meja.
“PR kamu mana?” Tanya Pak Sam tegas.
“Belum mengerjakan Pak.” Jawabku santai.
Sigap kedua mata Pak Sam semakin lebar menatapku yang datar-datar aja. Keras Pak Sam kembali berkata “Belum mengerjakan?! Kamu sudah berani tidak mengerjakan PR dari saya! Mau jadi apa kamu! Tidak mengerjakan PR.”
Sementara itu terlihat semua siswa/siswi di kelas ini serentak diam. Sebagian datar memandangku, sebagian menahan tawa dan menatapku sinis. Mungkin wajahku yang datar saat ini bisa sedikit membuatku tegar. Tegar karena baru kali ini aku dituduh nggak mengerjakan PR, walaupun itu benar. Hanya saja hatiku tetap saja yakin, aku nggak salah karena nggak mengerjakan PR Matematika saat aku masih sekolah di Surabaya. Dan itu pikiran yang cerdas.
“Ayo berdiri di depan kelas!” Suara Pak Sam tegas. Disambut kemudian dengan sorakan dari sebagian siswa/siswi kelas ini, sedangkan sebagian lagi memilih bungkam sembari memandangku. Dengan wajah dingin Elok pun ikut memandangku, tanpa tersenyum dan tanpa bersorak.
“Pak Sam. Zifan murid baru Pak, jadi...dia nggak tahu ada PR.” Hisyam terbata-bata.
“Murid baru?” Pak Sam mengulang tegas, kemudian kedua sorot mata Pak Sam teliti melihatku. Pelan akhirnya Pak Sam mengangguk-angguk dan berkata “Ooo ya ya ya saya ingat. Nama kamu Zifan pindahan dari Surabaya, benar kan?!”
“Benar Pak.” Suaraku datar.
Pak Sam kembali mengangguk-angguk pelan, lalu menghela nafas dan tegas berkata “Baik, kali ini saya maafkan.”
“Huuuu.” Semua siswa/siswi bersorak.
“Eh...tenang semua, tapi kalau setelah ini kamu tidak mengerjakan PR lagi pada mata pelajaran saya, maka saya akan menghukum kamu, dan yang lain juga. Jadi kerjakan PR, itu tugas semua anak sekolah. Dan PR itu untuk melatih otak kalian, supaya kalian belajar berpikir, bergerak dan tidak menyerah. Dan ingat kerjakan PR sendiri, jangan nyontek. Kecuali kalau benar-benar tidak bisa, tapi ada syaratnya kalau nyontek, kalian harus punya alasan dan mengerti. Jangan asal nyontek dan menulis jawaban, tapi tidak tahu apa-apa.” Di akhir perkataan Pak Sam memandang tegas siswa/siswi sekolah ini.
“Yaaa Pak Saaam.” Semua serentak.
Setelah itu Pak Sam kembali melihat PR milik Hisyam, cukup lama. Sejenak Pak Sam mengangguk-angguk, kemudian berkata “Hisyam, saya bawa buku PR kamu.”
“Oh, iya Pak Sam.” Jawab Hisyam dengan terkejut, lalu sigap dia mengangguk.
Kemudian Pak Sam berjalan lagi sambil memeriksa setiap buku PR siswa/siswi di kelas ini. Sementara Hisyam yang terlihat ketakutan berkata pelan “Wadduuuh, kenapa Pak Sam cuma bawa bukuku aja? Jangan-jangan...jawabannya salah semua...haaa...alamat niiih kena hukuman...”
Mendengar kekhawatiran Hisyam, aku cuma diam dan duduk santai. Sejenak Elok yang duduk di paling depan menoleh dan memandangku dengan wajah dingin. Membuatku sejenak juga memandangnya tanpa gurat senyum. Setelah itu Elok memalingkan wajahnya ke depan.
“Kenapa sih, dia selalu melihatku.” Suaraku pelan dan kesal.
“Zifan. Apa nggak ada yang mau kamu katakan sama aku?” Suara Hisyam tegas.
Pelan aku menoleh dan nggak segera menjawab, tapi sejenak membuang nafas. Kemudian Hisyam berkata lagi “Harusnya kamu bilang makasih sama aku, aku udah nolongin kamu. Kamu nggak jadi dihukum sama Pak Sam.”
Tanpa memandang Hisyam, aku hanya mengangguk pelan.
“Eh Zifan, ngomong dong? Dari tadi kamu cuma manggut-manggut aja.”
Dengan berat aku menghela nafas, lalu tegas menatap Hisyam. “Kita impas kan?”
“Impas?” Hisyam mengulang dengan kening berkerut. Setelah itu aku mengalihkan pandanganku pada papan tulis.
“Iya impas, tadi kan aku udah mengerjakan PR kamu dan kamu nolong aku. Jadi kita impas kan? Dan malah harusnya kamu yang mengucapkan terima kasih sama aku.” Suaraku santai.
“Haaa....hasil kerjaan kamu kan belum tentu bener, bisa aja salah. Dan kalau ternyata salah berarti kamu punya hutang sama aku.”
“Yaaa udah....nanti aja nagihnya.”
Selesai memeriksa semua PR siswa/siswi kelas ini Pak Sam kembali ke meja guru. Terlihat Pak Sam kembali melihat jawaban Hisyam di buku PR milik Hisyam, lalu memandang semua siswa/siswi. Kemudian Pak Sam berkata tegas “Semua tidak ada yang mendapat nilai 100, kecuali pekerjaannya Hisyam.”
Ternyata membuat seisi kelas ini terkejut, cuma aku santai dengan wajah datar. Bahkan sepertinya Hisyam yang lebih kaget, hingga kedua matanya terbuka lebih lebar. Hisyam pun cepat menoleh padaku dan bertanya “Kok bisa?”
Santai aku menjawab “Mungkin cuma kebetulan....”
Sementara itu sebagian besar siswa/siswi di kelas ini menoleh dan melihat Hisyam dengan sorot mata yang sinis.
“Eh Hisyam. Lo curang ya, nggak mau nyontekin kita.” Sandi pelan.
“Iya nih.” Edo mengangguk tegas. Siswa/siwi yang lain ikut mengiyakan.
“Eh, bukan gitu, aku juga nggak tahu.” Hisyam masih nggak percaya.
Dalam sekejap sebagian besar siswa/siswi di kelas ini saling melempar kata, karena kecewa Hisyam nggak mau berbagi sama mereka. Sementara aku tetap santai sembari memainkan bulpen di tangan kananku. Setelah itu Pak Sam tegas menenangkan keributan kecil dalam kelas ini, kemudian tegas berkata “Hisyam, kerjakan soal nomor 2, 4, dan 5 di papan tulis. Tiga nomor itu yang salah semua, cuma kamu yang benar.”
“Haduuuh gimana nih?” Ucap Hisyam pelan sambil meringis.
“Hisyam.” Suara Pak Sam keras.
“Oh iya Pak.” Hisam kaget sambil bangkit berdiri, lalu dia maju ke depan kelas.
“Boleh saya lihat buku saya Pak Sam?”
“Iya, silahkan.”
Dengan senyum bahagia Hisyam mengambil bukunya di meja guru. Kemudian di papan tulis dia menulis jawaban nomor 2, berikutnya dia menulis jawaban nomor 4 dan terakhir nomor 5. Sejenak Pak Sam mengangguk-angguk sembari pandangannya tertuju pada jawaban Hisyam di papan tulis. Setelah itu Pak Sam berkata “Yang lain tulis jawabannya dan dihapalkan caranya, setiap langkahnya hingga jawabannya benar seperti yang ditulis Hisyam.”
“Iya Paaaak.” Semua serentak.
“Dan kamu Zifan, kamu juga harus tulis di buku kamu, nanti kamu catat soalnya.”
“Ya Pak.” Suaraku datar.
Fighting^^
Comment on chapter Kenapa Begini!