KAICHOU
"Katakan, sebenarnya sihir apa yang sudah kau lakukan padaku? Kenapa aku menyukaimu?"
- Eza Harudi -
****
Senyuman gadis itu tidak bisa Eza lupakan. Setiap saat mampir di otaknya, sekedar lewat atau bermain-main cukup lama.
Tanpa sadar bibir Eza melengkung ke atas begitu ingatannya kembali pada kalimat unik si gadis, 'Seribu kurang seratus, bukan seribu namanya.' Eza cekikikan di tempatnya bila ingat hal tersebut.
Gadis itu, yang membuatnya mati gaya di tengah rapat OSIS untuk acara Festival Musik sekolah yang akan diadakan tiga minggu lagi.
Beberapa anggota OSIS yang ikut rapat memperhatikan Eza, heran. Butuh sekian menit sampai Eza sadar telah jadi pusat perhatian karena tersenyum sendiri. Dhani menghentikan lamunan dengan menyenggol lengan Eza.
"Hei boy, kebangetan lu. Orang lagi rapat malah cekikikan sendiri. Ngapain sih, oy?" celetuk Dhani.
Sedari pagi Eza sering tidak konsentrasi, seperti memikirkan sesuatu. Dhani berbaik hati menggantikan Eza memimpin rapat. Ia wakil yang sempurna.
"Sori, sori... lanjut Dhan!"
Eza pura-pura serius dengan mengamati daftar peserta yang siap mengisi acara Festival Musik. Ada sederet nama di kertas. Ia berlagak membacanya.
Dhani menggeleng, bola matanya berputar, masa bodoh dengan ketuanya yang mulai sinting.
Tiba-tiba dahi Eza mengerut begitu melihat tulisan di selembar kertas rundown acara.
"Eh, Dhan... Bagian opening udah ada yang isi?" tanya Eza memotong presentasi rapat yang dipimpin Dhani.
"Iya, pilihan pak Irdan. Katanya dia bisa nyanyi, suaranya bagus."
Pak Irdan adalah guru kelas musik, sekaligus pembimbing OSIS. Festival Musik adalah tanggung jawabnya juga. Eza sempat berdiskusi perihal posisi opening yang masih kosong. Rupanya beliau mencarikan solusi dengan menunjuk satu nama.
Feya Ryuuna. Kelas X-3.
Eza merasa tak asing dengan nama itu. Dahinya mengerut, tatapannya mengawang-awang berusaha ingat. Sampai akhirnya Dhani bantu mengingatkan.
"Masa kagak tahu, dia si murid baru dari Jepang itu," jelas Dhani.
Demi apa, Eza senang luar biasa. Seperti anak kecil disodorkan eskrim gratis. Bola matanya membulat, bibir mengulum senyum simpul, serta dada berdebar tak karuan.
"Ooh, terus... kapan technical meeting sama para pengisi acara?" Kentara sekali Eza menantikan pertemuan dengan si gadis jepang.
"Sampe bosen gue ngulang-ngulang dari tadi. Apa sih boy, lu girang ya karena yang ngisi opening itu si murid baru?" Dhani mencibir.
"Engga... em... Dikit sih!"
"Nah kan gue bilang juga apa, lu bakal jatuh cintrong sama dia." Dhani terkekeh dan menunjuk hidung Eza.
Suasana rapat jadi tidak kondusif. Terutama anggota OSIS perempuan yang menggilai ketua-nya, mereka terhenyak saat tahu idolanya mulai perhatian pada satu gadis. Mereka cemburu.
"Ketua suka sama Feya si murid baru?" salah satu dari mereka mulai buka suara.
Baru kali ini Eza mendengar nama gadis itu disebutkan. Dengan itu saja dadanya sudah berdebar hebat.
Feya... Feya... Feya Ryuuna. Ah, namanya saja cantik.
Eza menyapu ekspresi seluruh anggota OSIS dengan kedua matanya. Ada rasa penasaran tersampaikan. Beberapa di antaranya rasa cemburu. Eza terkekeh.
"Ini kenapa jadi bahas beginian, sih? Lanjut lagi rapatnya, lah!" sahut Eza berusaha menutupi.
"Eh, situ yang mulai duluan," gemas Dhani.
Eza tertawa. "Oke, aku minta maaf. Bisa kita lanjut lagi rapatnya?"
Rapat dilanjutkan dengan perhatian penuh dari Eza. Satu informasi yang ia tangkap, bahwa secepatnya akan bertemu dengan gadis pujaan.
Pulang sekolah. Jadwal technical meeting dipercepat jadi pulang sekolah.
***
Gadis itu bener-benar datang. Ia duduk di kursi paling pinggir yang disiapkan OSIS di ruang musik. Ia sedang sibuk menjilati es krim yang dibawa sebelum meeting mulai.
Saat pertama ia datang Eza sudah menyoroti tiap gerak-geriknya. Cara jalannya yang seperti menari, gaya duduknya yang mengayun-ayun kaki, ataupun ketika matanya berkeliling menyapu segala penjuru ruangan. Entah kenapa Eza menyukai segala hal yang ia lakukan. Gadis itu sudah jadi magnet baginya.
Acara technical meeting dimulai, intinya adalah tentang bagaimana membuat Festival nanti sukses dengan bantuan penampilan epik dari para pengisi acara.
Sengaja Eza yang membagikan kertas rundown. Klise, ia mengharapkan satu interaksi dengan gadis bernama Feya Ryuuna. Dan di sinilah Eza. Berdiri di samping kursi Feya, tangannya menyodorkan kertas. Senyum terkembang memicu balasan senyum serupa dari Feya.
Feya menundukkan kepala saat Eza memberikan kertas padanya.
"Arigatou, kaichou!" (1) serunya bersama suguhan senyuman manis. Eza nyaris kepayang, senyum itu berhasil melumpuhkan otak dan syarafnya.
"Kaichou?" ulang Eza dengan dahi mengerut. Itu taktiknya, salah satu cara untuk berlama-lama di dekat Feya.
"Haik, Kaichou artinya ketua. Ga keberatan kan aku panggil Kaichou?"
Jangankan Kaichou, dipanggil sayang juga Eza tidak akan keberatan.
"Ya, ga apa-apa." Eza membangun imej cool di depannya, padahal dadanya menggebu.
"Eeto~ Kaichou~ sebenarnya suaraku ga bagus-bagus amat. Aku cuma sering nyanyi di karaoke. Irdan sensei terlalu melebih-lebihkan. Aku ga percaya diri di atas panggung," keluh Feya sembari berbisik.
"Hm... dicoba aja dulu. Besok kita mulai latihan gladikotor. Nanti ada tim yang menilai kamu layak atau engga buat jadi pengisi acara," jelas Eza.
"Kalo ga layak gimana?"
"Kok pesimis gitu?"
"Habisnya... aku takut kalo sendirian di atas panggung." Feya berekspresi seperti anak kecil merajuk. Eza gemas bukan main.
"Kaichou~" Feya mendendangkan nada panggilannya. Eza mulai terbiasa. "Mau ga, temenin aku di panggung?"
"Temenin apa? Aku ga bisa nyanyi, loh!"
"Bukan nyanyi, tapi piano." Feya mengacungkan telunjuk seperti memberi ide. "Aku dikasih tahu Irdan sensei kalo Kaichou bisa main piano. Ah, sugoi~ (2) aku suka laki-laki yang bisa main piano."
Udara di sekitar Eza terasa panas. Seketika hatinya melambung dengar ucapan tak bertujuan itu. Pertama kalinya Eza bersyukur sudah belajar piano dari musisi yang ia hormati. Setidaknya ada satu bagian darinya yang disukai Feya.
"Mau ya, Kaichou?" pinta Feya dengan mata berbinar seperti anak anjing.
"Kita lihat nanti aja ya, sekarang kamu ikuti meeting aja dulu," ucap Eza kalem.
"Haik, wakatta!" (3) seru Feya bersama anggukan semangat nan lincah.
Eza kembali ke mejanya di depan podium ruang musik. Ia menjelaskan rincian acara pada semua yang hadir di sana. Sesekali saat ia menerangkan, matanya berlari pada Feya. Eza tersipu sesuai porsinya, tanpa mengurangi sosok wibawa yang jadi dambaan sebagian gadis di sekolahnya.
Acara telah selesai. Satu persatu berpencar keluar ruang musik. Eza menandai Feya yang bersiap-siap. Eza menghentikan langkahnya dengan tepukan ringan di pundak.
"Mau pulang bareng?" tawar Eza.
Serius, Eza sudah yakin dengan pilihannya. Karena mulai detik itu Eza berjanji akan melancarkan pendekatan pada Feya. Ia jatuh cinta pada gadis dengan senyum memikat ini.
Feya mengangguk. Satu langkah untuk dekat dengannya berhasil ditembus.
Mereka berjalan keluar gerbang sekolah, berkata basa-basi sekedar tahu sifat masing-masing. Yang Eza yakini adalah semakin ia dekat dengan gadis ini, semakin ia menyukainya. Feya adalah penyihir hatinya, karena lewat satu kedipan saja, Eza sudah tersihir untuk menyukainya.
Mereka ada di parkiran sedang mengeluarkan motor Eza dari antrian.
Kemudian, seorang laki-laki dengan wajah kuyu melintas di hadapan mereka. Eza memperhatikan laki-laki itu, ia mengenalnya. Dia adalah Rean, teman sekelasnya yang selalu kelihatan mengantuk. Rean berjalan dengan langkah kaki sedikit terseret. Dan tanpa sadar Feya memperhatikan laki-laki itu secara serius.
Ada yang aneh dengan garis muka Feya. Matanya terbelalak seperti melihat hantu. Mulutnya menganga. Hingga laki-laki itu menjauh pun pandangan matanya tak pernah lepas.
Eza menyaksikan bagaimana wajah Feya berubah serius karena seseorang.
Eza tidak bodoh, hanya melihat sekilas saja ia sudah mengerti. Feya menyukai Rean. Ada ungkapan, seorang wanita yang melihat wajah pria secara berlebihan, adalah ciri dia menyukainya. Persis seperti apa yang Feya lakukan barusan.
Siapa yang tidak suka dengan wajah tampan Rean, ia miliki campuran Eropa-Asia yang kental, hidung mancung, kulit putih pucat seperti porselen, rambut lurus tetapi sedikit berantakan, badan tinggi gagah, serta yang istimewa adalah bola matanya. Warna amber, emas dan kekuningan yang mirip seperti mata serigala. Sekali ia menatap, syarafmu akan lumpuh tak berdaya.
***
F I N
Kamus :
(1) Terima kasih, ketua!
(2) Wah, keren
(3) Aku mengerti
Arigatou @dede_pratiwi
Comment on chapter Prolog