SERIBU KURANG SERATUS
"About her that is different, about her who always succeeds to make me smile."
- Eza Harudi -
***
Ketenaran si murid baru telah sampai ke telinga Eza, ketua OSIS di SMA 1. Tak jarang pula ia mendengar para laki-laki di kelasnya memuji kecantikan Feya.
Bukannya Eza tidak tertarik, hanya saja kegiatannya di- OSIS cukup menyita perhatian. Apalagi sebentar lagi ada kegiatan Festival Musik di sekolahnya.
Saat ini Eza sedang berkutat dengan rincian-rincian kegiatan tersebut. Ia menuliskannya di agenda agar tidak mudah lupa.
Dhani menghampiri kegiatan khusyuk Eza di meja OSIS dan mengganggunya.
"Za, udah lihat si murid baru belum? Cantik banget sumpah, gue suka lah sama dia," katanya.
Eza sedikit tidak peduli. Ia hanya menjawab dengan gestur tubuh, mendorong batang kacamata diantara hidungnya. "Hmm..." Itu saja balasan Eza.
Dhani merasa tidak puas, ia mengintip tulisan-tulisan Eza pada agendanya. Namun diperhatikan sedemikian rupapun tidak ada yang ia mengerti sama sekali.
"Isshh, Za! Cantik loh, dia. Suer! Rambutnya gelombang, kulitnya putih, terus bibirnya... ah, bibir tipis kaya gitu paling enak dikecup. Gelo, gue sampe kebawa mimpi, lah!"
Eza masih tidak menggubris. Dhani tidak mau kalah.
"Lu ga penasaran gitu? Cewe kaya gitu bukannya tipe lu?"
"Aku ga punya tipe, Dhan!" jawab Eza sekenanya.
"Tapi gue yakin cewe ini pasti masuk tipe lu. Dia manis, periang, open minded dan Jepang tulen."
"Kaya yang udah kenalan aja."
"Ya udah lah, cewe kaya gitu otomatis masuk di radar seorang Dilian Ramdhani Hakim. Beuh, pokoknya cewe itu cuco banget. Lu ga minat gitu? Kalo lu ga mau, yaudah buat gue."
Eza geleng-geleng. Ia masih tetap menjatuhkan perhatiannya pada agenda, ketimbang Dhani yang memberi informasi penting seputar perempuan.
Bukan Dhani namanya kalau tidak kenal perempuan di sekolahnya. Dari yang tua dan muda, yang cantik yang kurang cantik, yang feminim dan yang tomboy, yang suka k-pop sampai yang suka Justin Beiber, Dhani tahu.
Dan karena pesonanya pula, Dhani pintar menggaet perempuan sesuka hati. Jumlah pacarnya tidak bisa dihitung jari, Dhani playboy kelas kakap.
Dhani tahu Eza terbilang cuek untuk urusan perempuan. Ia gemas menjodoh-jodohkan siapa saja yang kiranya bisa menggoyahkan iman Eza. Laki-laki ini butuh penakluk.
"Ayolah Eza, seminggu ini lu sibuk ngurusin OSIS mulu. Emangnya ga bisa santai sedikit, ya? Ini, kan, jam istirahat!"
"Jangan khawatir, aku akan santai, nanti kalo acara festival udah selesai," balas Eza.
"Gini nih yang bikin tingkat stress anak muda di dunia bertambah, karena orang kaya lu ga bisa menikmati masa muda dengan bener."
Eza mengerutkan kening. Bila tujuan Dhani adalah untuk dapat perhatiannya, maka ia berhasil. Eza menutup agendanya dan memperhatikan Dhani yang sedang duduk di meja. Kedua tangannya menyilang, bibirnya mengerucut. Eza tidak sadar kalau Dhani sudah melakukan itu selama 15 menit.
"Dhan, kok kamu bisa santai gitu sih? Aku kan menunjuk kamu jadi seksi acara. Sampai sekarang belum ada yang mengisi posisi buat opening. Aku bingung mau daftarin siapa lagi yang cocok buat opening," gerutu Eza kemudian.
"Alah, gitu aja repot. Daftarin si Rean aja udah. Waktu SMP dia kan jago piano," saran Dhani, tapi Eza tidak terlihat setuju.
"Emangnya Rean mau?"
"Ya mau, mungkin. Lu ngomong aja sama si Rean, dia sekelas sama lu kan."
Eza menghela napas. Ia menggeleng. "Kalo aku yang ngomong udah pasti dia bakal nolak."
"Loh kenapa, belum juga dicoba. Emang kalian berdua musuhan?"
"Ya... bisa dibilang gitu, sih!"
"Njiir, sumpah lu boy. Kaya bocah aja. Kudu gue yang bilang sama si cowo kulkas itu?"
"Cowo kulkas?" Eza sedikit menyeringai saat mengucapkannya.
"Iya lah, dingin gitu ngalahin freezer. Tahu ga, cewe gue aja bilang muka si Rean kaya ga tidur seribu tahun. Mana ga pernah senyum lagi. Nyeremin!"
"Cewe yang mana, cewe kamu kan banyak, Dhan."
"Eh, njiir. Bukan itu poinnya."
Eza terkekeh melihat Dhani berlagak hendak memukul dengan sikutnya.
"Yaudah sih, kalo mentok banget ga tahu siapa yang nanti tampil, lu aja yang main Za," usul Dhani.
"Aku? Mana bisa."
"Jangan pura-pura lu, gue tahu lu juga bisa main piano. Waktu SMP kan lu terpilih jadi perwakilan musik di sekolah. Masa iya ga bisa main di acara kaya beginian."
"Aku ga akan sempat, Dhan. Tanggung jawabku sebagai ketua pelaksana aja udah bikin repot, apalagi ikut mengisi opening."
"Bisa lah, gue yakin."
Setelahnya tidak ada dialog lagi diantara keduanya. Bukan karena malas untuk bicara, hanya saja jam istirahat hampir usai dan mengharuskan mereka melanjutkan pelajaran, kembali ke kelas sebelum bel berbunyi.
Jam masuk kelas tinggal beberapa menit lagi. Belum juga Eza sampai ke kelasnya, beberapa siswi datang mencegat. Dilihat dari satu garis di dasi mereka, nampaknya anak-anak kelas satu. Belakangan mereka sering berkerumun dan membicarakan Eza. Bisik-bisik tapi berisik, diam-diam tapi jelas.
Bila diingat-ingat hal itu dimulai ketika masa orientasi siswa selesai. Sebagai ketua OSIS ia mendapat banyak sorotan. Padahal Eza tidak melakukan apapun. Tidak berakting marah saat peserta didik tidak membawa salah satu persyaratan. Tidak menebar senyum saat adik-adik kelasnya menyapa. 'Pagi kakak!' Tidak. Ia benar-benar hanya diam. Tapi dengan itu saja Eza bisa terkenal. Wajah tampannya adalah pesona yang mutlak.
"Kak, kita mau masuk OSIS, pendaftarannya masih dibuka, kan?" seorang gadis berponi mendominasi empat siswi yang sekarang mengerubungi Eza.
"Masih sampai sabtu ini," jawaban seadanya.
"Ini kak, formulirnya kasih ke kakak aja, kan?"
"Formulir dikumpulkan di sekretariat, ya!"
"Kalau titip di kakak aja, boleh kan? Boleh ya?"
Eza mendengus seraya mengangkat salah satu alisnya. "Ya udah, mana formulirnya?"
"Oh ya kak? Ada nomor yang bisa dihubungi ga, kali aja ada hal yang mau ditanyakan tentang OSIS, gitu!"
"Kamu bisa hubungi nomor contact person yang tertera di pamflet OSIS." Hal macam ini bukan satu-dua dia alami, sering, tapi Eza menanggapinya dingin.
"Udah ya, aku ke kelas dulu, permisi!"
Eza tidak bisa bahkan tidak mau berhadapan dengan siswi-siswi macam begini. Berisik. Senyumnya mengisyaratkan banyak arti. Juga... agresif. Sedikit info saja, remaja tanggung seusia Eza tidak begitu suka wanita yang agresif. Kecuali dia adalah pasangannya.
"Dadah kakak ketua OSIS ganteng!"
Mereka melambaikan tangan ketika Eza beringsut pergi menuju kelas. Eza membalasnya dengan bibir melengkung ke atas. Tak sadar hal itu membuat ke empat siswi tadi berteriak histeris. Terpesona.
Belum juga langkah kaki Eza genap meninggalkan mereka, ada satu siswi lagi yang membuatnya terhenti. Ia muncul secara tiba-tiba di belokan jalan. Tangan kanannya sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam saku rok abu-abunya. Sedetik kemudian muncul gemerincing saat tangannya mengeluarkan koin dari sana. Koin tercecer seperti saweran.
Gadis itu kalang kabut. Ia menyapu koin tercecer dengan pandangannya. Beberapa koin menggelinding dekat kaki Eza. Gadis itu mendekat. Salah satu kakinya menginjak koin itu, melompat ke hadapan Eza.
Eza tercenung melihat gadis itu seperti sedang atraksi. Gadis itu tidak memperdulikan mata Eza yang melotot karena kaget dengan lompatannya. Gadis itu kemudian memungut koin-koinnya. Satu persatu sampai yang terakhir berada diantara kaki Eza.
"Gomen ne,[1] bisa mundur satu langkah?" katanya sambil mendongak ke arah Eza.
Eza terkesiap. Pertama, karena gadis itu berada diantara kakinya, kedua karena merasa isi perutnya naik sampai ke kepala. Tidak hanya itu, wajah Eza memanas seolah ada kembang api yang meledak di kedua pipinya.
Eza mundur seperti perintah si gadis. Koin terakhir berhasil ia kumpulkan. Gadis itu langsung berdiri. Semburat senyum muncul dari wajah orientalnya.
"Seribu kurang seratus, bukan seribu namanya, kan?"
Hah, dia mengoceh apa?
Eza bergeming. Masih belum sadar dari kejadian tadi. Dia laki-laki normal, seorang gadis berada di kedua kakinya dengan kepala mendongak membuat ia berimajinasi. Imajinasi yang membuat Eza gelagapan.
Seolah tak berdosa gadis tadi melewati bahu Eza. Ia berjalan seperti sedang menari. Berjingkrak-jingkrak girang.
Sedetik kemudian Eza mencocokkan gadis itu dengan desas desus yang sedang beredar. Ia bisa menarik garis merahnya, gadis itu adalah si murid baru.
Eza masih saja mematung di posisinya, mengedip seperti orang konyol. Dadanya tiba-tiba saja berdegup keras, nyaris limbung karena detakan memburu. Eza menarik napas panjang-panjang, menstabilkan keadaan tubuh yang tidak biasa itu.
Ah... mulai gila kamu Za?
***
F I N
[1] Maaf
Haloo...
Sebenernya cerita ini pernah kupublish di Joylada, novel pertama berbasis chat.
Bagi yang sudah tahu, selamat datang, aku baru saja membuat versi narasi dari cerita tersebut.
Buat yang belum tahu, silahkan berkunjung ke sana dan temukan aku dengan judul yang sama.
Hope you like it
Liani April
Arigatou @dede_pratiwi
Comment on chapter Prolog