Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Rain memang sudah tidak sabar untuk bertemu langsung dengan Pelangi Putih. Ia bahkan membawa dua novel miliknya dan pulpen warna-warni untuk meminta tanda tangan penulis itu. Sesuai nama penanya, Pelangi, Rain ingin cewek itu menuliskan sebuah catatan untuknya dengan tinta yang berbeda-beda di setiap kata.
Rain tersenyum membayangi Pelangi Putih yang akan protes karena permintaan anehnya itu. Tapi Rain akan memohon bahkan rela memaksanya kalau sampai cewek itu menolak.
Baru beberapa langkah ia memasuki toko buku, rasa percaya dirinya langsung menguap begitu saja. Melihat ramainya pengunjung—yang kebanyakan adalah anak SMP yang masih lengkap dengan seragam Pramukanya—membuat Rain jadi berpikir yang tidak-tidak. Rain tidak sanggup jika harus berdesak-desakan atau berdempet-dempetan! Aish! Rain benar-benar tidak suka keramaian!
Rain berdecak. Tiba-tiba saja ia berharap kehadiran Revi! Tapi apalah daya. Ia tidak mungkin membuat Revi membatalkan janji dengan mamanya hanya untuk menemaninya. Lagipula, ia sebenarnya tidak ingin Revi mengusik kebersamaannya dengan Pelangi Putih.
Diam-diam Rain merasa senang dan puas karena Revi tidak dapat hadir. Pelangi Putih pasti akan tersanjung padanya, dan bukan pada Revi.
“Mas, Mas, tolong antri yah!”
Rain langsung menoleh pada anak SMP yang terlihat jengkel karena ternyata ia telah berdiri di depannya, “menyelak” barisan.
“Oh, sori.”
Rain langsung mundur ke barisan paling belakang dan mengantre di sana. Ia mengembuskan napas. Bersyukur karena “kebingungannya” tadi, justru mengarahkannya pada tempat penukaran tiket masuk dengan kotak makanan—yang Rain yakini hanya berisi lemper atau lontong, pastel atau risol, dan segelas air mineral. Oh iya, sama cabai rawit hijau satu biji!
Yah, pokoknya sebangsa itu!
***
Ternyata ruang yang digunakan untuk acara itu cukup luas. Rain tersenyum puas karena dirinya mendapat tempat duduk di barisan kedua, dekat dengan panggung di hadapannya.
Panggung itu tidak terlalu luas tapi juga tidak kecil. Rain jadi menerka-nerka, berapa banyak penulis datang dan turut mengisi acara? Karena ia tidak begitu peduli dan hanya membaca sekilas list para penulis yang tertera dalam banner acara tersebut di Instagram. Fokusnya hanya pada nama Pelangi Putih yang ditulis dengan font paling besar di sana.
Ya, acara ini memang khusus “menyambut” kembalinya Pelangi Putih sekaligus promosi untuk novel ketiganya yang berjudul Warna di Balik Hujan.
Rain yang baru saja berniat menyantap pastel dalam kotak di pangkuannya, lantas mengurungkan niat begitu sang pembawa acara naik ke panggung dan mengumumkan isi acara.
Rain mendengus saat mendengar nama Pelangi Putih justru berada di akhir-akhir acara. Sialan! Padahal ia sengaja datang tepat waktu demi melihat sang penulis favoritnya itu.
Tidak begitu antusias dengan para penulis yang tengah mempromosikan novelnya di atas panggung, Rain pun hanya sibuk menyantap seluruh makanan dalam kotak. Cowok itu bahkan tidak mendengarkan dengan jelas apa yang disampaikan oleh MC. Pikirannya dipenuhi oleh sosok Pelangi Putih yang wajahnya masih blur dalam bayangannya.
Waktu seakan tahu jika Rain telah bosan menunggunya berputar. Acara puncak yang ditunggu-tunggu Rain—dan banyak penonton lainnya—pun dimulai.
“Baiklah. Karena semua yang hadir di sini sepertinya udah nggak sabar buat bertemu langsung dengan penulis misterius kita, maka saya akan memperkenalkannya pada kalian…”
Rain tidak memedulikan kotak makanan di pangkuannya yang terjatuh. Ia terlalu antusias hingga tanpa sadar mencondongkan badannya. Membuat kepalanya berada di antara kepala-kepala berambut lepek anak-anak SMP di depannya.
“…Seseorang yang teramat dinantikan karyanya. Siapa di sini yang udah baca dua karyanya sebelumnya?” tanya MC yang langsung dijawab meriah dan antusias oleh para penonton.
Rain menyisir pandangan dan terkejut mendapati sebagian besar penonton tengah mengangkat tinggi-tinggi dua novel karya Pelangi Putih. Ternyata, banyak juga yang memiliki novel-novel Pelangi Putih dengan cover lama!
“Woah,” gumamnya. Tiba-tiba saja Rain jadi malu menunjukkan novel-novelnya pada Pelangi Putih nanti.
“Wow! Saya nggak nyangka kalian sesemangat itu menyambut penulis satu ini,” ucap MC lantas berdecak kagum. “Ada yang tahu siapa di balik nama Pelangi Putih? Cewek atau cowok, hayo?” goda MC.
Rain tersenyum pongah saat dua kepala di depannya menggeleng. Tidak hanya mereka, bahkan nyaris seluruh penonton menjawab “nggak” dengan lantang. Rasanya, Rain ingin menyombongkan diri di depan mereka semua kalau ia tahu jika Pelangi Putih adalah perempuan dan keduanya sering mengobrol lewat direct message di Instagram.
Namun, mengingat soal Revi, bahu Rain kembali merosot. Cewek itu saja ternyata lebih dekat dengan Pelangi Putih meskipun kelihatannya tidak. Bagaimana jika ia sudah menyombongkan diri, lalu ternyata ada juga yang lebih dekat dengan Pelangi Putih, bahkan identitas penulis itu?
Kalau sampai itu terjadi sih, Rain berharap bisa menukar posisi wajahnya dengan pantatnya yang semok!
“Oke. Kalau nggak ada yang tahu, mari saya beri tahu…” ucap MC dengan nada menggantung, membuat para penonton—termasuk Rain—gemas karenanya. “Inilah dia…”
“Ish! Lama!” gerutu Rain.
“…PELANGI PUTIH!”
Sorak para penonton dan tepukan yang meriah pun memenuhi ruangan tersebut. Rain menyentuh dadanya yang berdebar kuat. Telapak tangannya bahkan sedikit berkeringat. Sepasang mata yang tak kunjung berkedip itu pun mulai terasa panas.
Tidak lama kemudian, seorang perempuan berambut panjang sepunggung pun naik ke atas panggung dan membungkuk sopan, menyapa para penonton yang menyambutnya dengan antusias.
Sampai tatapan keduanya bertemu. Pelangi Putih tersenyum manis padanya.
***
“Tadi gue lihat Rain nukar tiket.”
“Dia beneran datang!”
“Iya. Makanya lo harus tampilin yang terbaik!”
“Hmm, ini pertama kalinya buat gue.”
“Gue yakin lo pasti bisa!”
“I hope so.”
Revi tersenyum dan menyemangati Pelangi Putih sebelum akhirnya berlalu dari toilet. Ia tersenyum pada seseorang yang telah menunggunya di belakang panggung.
“Kamu siap?”
Cewek itu berdeham. “Siap nggak siap.”
Tika terkekeh. “Harus siap! Anggap aja mereka semua itu teman-teman kamu. Anggap kamu lagi presentasi di kelas,” ucapnya, menyemangati.
Ia mengangguk kecil sampai telinganya menangkap suara MC memanggil namanya. Pelangi Putih pun mengumpulkan kepercayaan dirinya sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri naik ke atas panggung.
***
“Ada banyak perubahan di buku ketiga ini. Meskipun kalian nggak bakal menduganya nanti, saya yakin kalian akan tetap menyukainya,” ucap cewek itu dengan rasa penuh percaya diri.
Rain menyaksikannya dalam diam. Ia terlalu terkejut dengan semua ini.
“Apa yang membuat kamu yakin kalau pembaca akan menyukainya?” tanya MC.
Cewek itu tersenyum teduh. “Ada tokoh baru dalam kisah Aldi dan Langi. Tokoh ini terinspirasi dari seseorang yang cukup berarti bagi saya. Dan kenapa saya bisa yakin, karena tokoh ini adalah penyelamat bagi hidup Langi. Kalian akan jatuh hati pada kebaikannya. Sama seperti saya,” tuturnya.
Rain tidak mendengarkan dengan jelas apa yang diucapkan cewek itu. Amarah sudah mengerubuni dadanya dan ingin segera diluapkan! Akhirnya, begitu sampai di penghujung acara, cowok itu langsung berlalu meninggalkan tempat. Membiarkan sepasang mata bundar menatap punggungnya dengan pandangan bertanya-tanya.
***
“Rain! Rain, tunggu!”
Rain langsung menghindari tangan Revi yang akan menyentuh lengannya. “Apaan sih!” bentaknya.
Revi terkesiap. “Lo kenapa? Kok marah?” tanya Revi.
“Pikir aja sendiri!”
Baru cowok itu ingin berlalu, Revi kembali menahannya. “Hey! Lo jangan marah sama gue tanpa alasan gini dong!”
“Tanpa alasan?” dengus Rain. “Lo tau nggak, kalau yang lo lakuin itu salah?”
“Salah?” Revi mengernyit. “Apanya yang salah?”
Rain menatap kedua mata Revi dengan kilat kecewa. “Lo bohongin gue, Revi. Lo ngebodohin gue,” tukasnya dengan bibir menipis.
Revi mengerjap. “Gue nggak ngebodohin elo, Rain. Nggak sama sekali. Gue cuma berniat ngasih lo kejutan karena gue pikir lo bakalan senang,” jelas cewek itu, kecewa pada dirinya sendiri.
Rain tertawa renyah, menyindir. “Siapa yang senang dibohongin sih, Rev? Gue benar-benar nggak nyangka, lo anggap gue sebodoh itu!”
Revi berdecak. Kesabaran cewek itu mulai habis karena Rain. “Gue nggak ngebodohin siapa-siapa! Drama banget sih lo mikir begitu? Gue sengaja nggak bilang dari awal karena pengin ngasih lo kejutan. Lo, kan, nge-fan banget sama Pelangi Putih, jadi kenapa nggak gue kasih tau di momen yang tepat ini?” Revi berkacak pinggang. “Asal lo tau ya, gue awalnya nggak berniat ngasih tau ke siapa pun soal identitas Pelangi Putih. Gue sengaja nunjukkin diri gue di acara ini demi lo, Rain!” tutur Revi, gemas.
Tatapan kecewa di kedua mata Rain tidak kunjung menguap. Semakin ia mendengar penjelasan Revi, rasa kesal dalam dadanya semakin terasa menghimpit.
“Selama ini gue ngomongin soal Pelangi Putih dan lo cuma pura-pura nggak tau? Jadi, selama ini gue ngomongin soal Pelangi Putih di depan orangnya sendiri?!” Rain mengembuskan napasnya, kasar. “Pasti lo sering banget ngetawain gue, ya?” sindir Rain.
Momen-momen bersama Revi tiba-tiba terlintas di benak Rain. Dimana cewek itu tak jarang bertanya dan memancingnya berbicara tentang Pelangi Putih. Rain tidak jarang memuji-muji Pelangi Putih. Rain bahkan tidak sungkan mengatakan pada Revi, bahwa keinginan terbesarnya adalah bertemu dan mengenal Pelangi Putih lebih dekat lagi. Kalau perlu, mereka berpacaran agar Rain bisa diajarkan menulis olehnya secara gratis!
Sialan! Revi pasti tengah mati-matian menahan tawa saat itu! Ingin rasanya Rain menangis dan mengubur dirinya hidup-hidup saat ini juga saking malunya.
“Lo ngomong apa sih?” tanya Revi, tidak mengerti. Meskipun beberapa kali ia pernah menahan tawa karena ucapan Rain soal Pelangi Putih, tapi hal itu semata-mata karena dirinya senang, bukan karena ingin mengejek cowok itu!
Rain mengibas tangannya ke udara. “Udahlah! Gue mau balik!”
“Eh, kok balik? Lo nggak ikut sesi tanda tangan? Lo bawa novel-novelnya, kan?” cegah Revi. Cewek itu bahkan baru ingat jika dirinya sedang “kabur” dari sesi tersebut. Aih! Tika pasti sedang pusing mencari dirinya.
“Nggak usah,” tukas Rain. “Kalau perlu, gue batal ikut pre order!”
“Mana bisa dibatalin sih?!”
“Yaudah. Kalau nanti udah sampai bukunya, bakal gue buang langsung!”
Revi terkejut mendengarnya. “Jangan kayak anak kecil, ah! Lo nggak boleh benci sama Pelangi Putih! Titik.”
Rain tidak menanggapi. Cowok itu berlalu tanpa berniat menoleh ke belakang.
Revi ingin mengejarnya, tapi panggilan dari Tika membuat sepasang kaki cewek itu terpaku di tempat.
“Kamu ngapain sih di sini? Itu para pembaca udah ngantri. Kasihan lho mereka, dari tadi nungguin kamu. Kamunya malah hilang.”
Revi meringis. “Maaf. Tadi ada urusan sebentar.”
Tika tersenyum, memaklumi. “Yaudah, yuk, balik ke dalam. Mereka udah berdiri di sana hampir setengah jam.”
Revi hanya mengangguk dan mengekori Tika dalam diam.