Revina Dewata atau yang dikenal sebagai Revi adalah seseorang di balik nama Pelangi Putih. Siapa yang menyangka cewek itu ternyata memiliki bakat yang tidak biasa? Bahkan, Anya pun akan tertawa tidak percaya jika ia sampai mendengar kabar itu. Pasalnya, Revi tidak terlihat seperti seorang penulis!
Memang seperti apa sih ciri-ciri penulis? Kalau ditanya begini sih, Anya juga tidak tahu. Tapi yang jelas, Anya tidak pernah melihat Revi sedang melakukan sesuatu hal yang berhubungan dengan “kepenulisan”.
Ingat saat Revi tidak sengaja membawa kabur novel Rain? Anya langsung mengernyit bingung. Ya, itulah sebabnya. Revi tidak pernah terlihat gemar membaca atau menyukai novel di depan Anya, bahkan semua teman-temannya di sekolahnya. Hanya Rain. Dan kalau bukan karena cowok itu, mungkin Anya tidak akan pernah tahu jika Revi gemar membaca novel saat SMP. Begitulah yang Revi katakan pada Anya.
Hobi Revi di sekolah cuma dua. Mencoret-coret bukunya sendiri dan tidur—jika tidak ada guru di kelas. Kalau ada yang bilang Revi itu ternyata adalah seorang pelukis, Anya baru percaya!
Bagi sebagian besar orang, menulis merupakan talenta yang luar biasa. Tidak semua orang bisa. Tidak semua orang mampu membius para pembaca dengan tulisannya. Memang benar kata orang tentang, “don’t judge book by its cover”. Buktinya adalah Revi, cewek biasa di sekolahnya yang ternyata merupakan seseorang di balik penulis best seller.
Revi menelungkupkan tubuhnya di atas kasur. Wajahnya tersembunyi di atas bantal.
Harusnya, hari ini ia senang karena mendapat laporan positif tentang pre order novel ketiganya. Tapi ternyata, kemarahan Rain padanya sangat berpengaruh! Cewek itu bahkan tidak begitu antusias membalas pesan Tika dan malah mengharapkan balasan dari Rain.
Akhir-akhir ini Revi jadi tidak semangat sekolah karena Rain masih menjauhinya. Cowok itu berpura-pura sibuk dengan teman-temannya setiap kali Revi ingin menghampirinya. Revi yang tidak enak mengusik pun mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Rain.
Revi terduduk lesu. Ia masih bingung karena kejutan yang dibuatnya untuk Rain ternyata malah mengejutkannya. Revi benar-benar tidak menyangka, rencananya selama ini ternyata menyakiti dan membuat cowok itu kecewa. Padahal, Revi sudah membayangkan ekspresi kagum dan bangga Rain padanya. Membayangkan jika cowok itu akan bersikap selayaknya Rain di hadapan Pelangi Putih. Revi telah berpikir terlalu jauh karena berani berekspetasi jika Rain akan memeluknya dengan bangga di depan umum dan memperkenalkan diri cowok itu sebagai “teman” dari Pelangi Putih.
Sial! Revi benar-benar galau saat ini!
***
“Kak? KAK RAYIIIIN!”
Rain langsung terburu-buru menuruni tangga saat suara cempreng Raya memanggilnya. “Apaan sih?” sahutnya kesal, begitu sampai di beranda rumahnya.
“Yeh, sewot!” balas Raya lantas menunjuk sebuah kotak di atas kursi beranda dengan ujung sapu ijuknya. “Tuh, ada paket.”
Rain meraih kotak itu dan langsung mendengus melihat nama pengirimnya.
“Kok bete gitu?” tanya Raya penasaran. Biasanya, Rain itu selalu antusias menyambut paket untuknya. Apalagi kalau isinya novel.
Rain tidak menjawab. Cowok itu malah memberikan paket yang dibungkus dengan sampul cokelat itu pada Raya. Membuat sang adik mengernyit, menatap punggung Rain yang kembali masuk ke dalam rumah dengan bingung.
Penasaran, Raya pun menyandarkan sapu ijuknya ke dinding dan membuka paket tersebut.
“OMG!” pekiknya tertahankan. Kedua mata cewek itu berbinar bahagia melihat isi di dalamnya. “Wow, wow, wow!” gumamnya lantas berdecak kagum. “Jadi, Pelangi Putih udah ngeluarin buku ketiga? Gils!”
Raya memang sudah jarang update di twitter, jadi ia kurang begitu tahu akan novel-novel terbaru dari akun penerbit yang mengeluarkan buku Pelangi Putih. Tapi ia tidak menyangka kalau Rain ternyata lebih up to date tentang Pelangi Putih dibanding dirinya. Sampai ikut pre order dengan bonus tanda tangan pula! Padahal, Rayalah yang mengenalkan Rain pada karya penulis tersebut.
Raya tidak punya satu pun karya Pelangi Putih. Tiap kali ia masuk ke toko buku dan melihat novel-novel Pelangi Putih, Raya tergoda untuk membeli. Tapi buat apa? Raya, kan, sudah membaca dua novel penulis itu sampai hatam. Lagipula, Raya bukan tipikal orang yang suka membaca novel berulang-ulang kali—kecuali kalau ia lupa jalan ceritanya. Tapi karya Pelangi Putih mana mudah sih dilupakan?
Ia membaca dua novel karya penulis tersebut dari perpustakaan sekolahnya. Dan siapa sangka, Raya dengan mudah dibuat jatuh cinta pada tulisannya? Gaya bahasa Pelangi Putih yang “gue banget” membuat Raya rela menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan selama berhari-hari. Sama seperti Rain, cewek itu juga selalu mencicil bacaan akan novel yang sangat disukainya. Bahkan, ia bisa lebih lama menghabiskan bacaannya daripada Rain.
Raya berniat menunggu dulu karya ketiga Pelangi Putih terbit, barulah membeli ketiga novel penulis itu sekaligus! Tapi ternyata, novel ketiganya tidak kunjung terbit saat itu. Raya pun berusaha untuk move on dari kisah Aldi dan Langi.
Sampai hari ini tiba. Raya jadi bersyukur karena ia hanya perlu membeli dua buah novel lagi.
Dengan riang, Raya membawa novel tersebut ke dalam kamar dan melupakan sapu ijuk yang ditelantarkan begitu saja. Cewek itu tersenyum puas mengamati koleksi novelnya yang kini bertambah.
***
“Marah sama guenya jangan lama-lama sih. Dosa lho, kalau musuhan lebih dari tiga hari.”
Rain langsung mendongak dari novel di tangannya dan melempar pandangan kesal pada Revi. “Ganggu banget!” sindirnya.
Cowok itu berdecak saat Revi justru duduk di sampingnya dan mengintip-intip novel apa yang sedang dibaca Rain.
“Kata editor gue kemarin novelnya udah dikirim semua. Kok lo masih baca novel orang lain, sih?” tanya Revi dengan sebelah alis terangkat. “Emang paketnya belum sampai?” lanjutnya, gemas melihat Rain yang tidak menanggapinya.
“Udah.”
Revi tersenyum. “Terus, kok nggak dibaca?”
“Udah gue kasih orang,” jawab Rain, enteng.
Senyum Revi langsung menguap. “Kok dikasih orang?!”
Rain tidak menanggapi pekikan Revi yang memprotes. Meskipun tidak melihatnya, Rain tahu jika kening Revi pasti tengah berkerut dalam. Cowok itu bisa merasakan tatapan Revi yang terus menerus mengarah padanya, menuntut penjelasan.
Rain tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang telah memberikan novel tersebut secara cuma-cuma pada Raya, adiknya. Tetap saja, kan, intinya novel itu sudah dikasih orang?
Walaupun ia berusaha tidak peduli, sejujurnya Rain teramat merindukan kisah Aldi dan Langi. Ia penasaran dengan ending-nya yang kata orang-orang di luar ekspetasi, alias benar-benar tidak terduga!
Semenjak membaca karya Rev—ups! Maksudnya Pelangi Putih, Rain jadi mencari-cari novel yang ceritanya mirip-mirip seperti kisah Aldi dan Langi. Bahkan, kalau perlu gaya bahasanya pun mirip seperti penulis tersebut agar Rain bisa mengobati kerinduannya. Tapi tidak mungkin! Kalau ada yang seperti itu sih namanya plagiat!
Konflik yang disediakan di setiap buku, berbeda-beda. Konflik buku pertama lumayan ringan. Hanya konflik tentang hubungan Aldi dan Langi. Namun, di novel kedua, konflik yang disediakan cukup berat. Seolah tidak ditakdirkan bersama, kendala demi kendala datang dan menghancurkan hubungan Aldi dan Langi.
Pada epilog novel kedua, kisah Aldi dan Langi berakhir tragis. Langi menghilang. Dan Aldi tidak dapat menemukannya karena cewek itu sengaja bersembunyi!
Begitulah. Awal yang manis tidak selalu berakhir sama. Akhir yang menyebalkan, bukan? Ditambah—kalau dirinya termasuk dalam “pembaca lama”—harus menunggu bertahun-tahun agar novel ketiga Pelangi Putih terbit. Untungnya, ia pembaca baru. Yaaah, walaupun itu bukan merupakan suatu keuntungan juga sih.
Dan semenjak Rain membaca kisah Aldi dan Langi, entah mengapa cowok itu jatuh cinta pada karakter Langi. Membuatnya tanpa sadar, mengikuti gaya Aldi yang dideskripsikan cukup jelas dalam novel.
Salah satu alasan mengapa Rain senang melepas pasang kacamatanya—padahal minus di kedua matanya sudah mencapai dua setengah—adalah karena Aldi tidak berkacamata. Cowok itu benar-benar nyaris sempurna dalam bayangannya. Persis seperti Johnny Depp waktu muda.
“RAIN!”
Rain menoleh jengkel pada Revi. “Nggak suka!”
Revi langsung bungkam mendengarnya. Dua kata itu bahkan lebih menyakitkan daripada ucapan para haters yang memberi review kejam terhadap novelnya.
Cewek itu hanya terdiam beberapa saat, menatap sisi kanan wajah Rain yang kembali sibuk dengan novel di tangannya, sebelum akhirnya beranjak pergi. Meninggalkan Rain yang berpura-pura tidak peduli.
***
“Gue nggak ngerti, masa dia bisa semarah itu karena hal sepele?” tanya Revi pada Pelangi Putih di hadapannya.
Pelangi menelengkan kepalanya. “Mungkin, bagi dia itu bukan hal sepele?”
Revi manggut-manggut, lesu. “Bisa jadi. Tapi, kelamaan nggak sih dia marahnya?”
Pelangi hanya mengangkat bahu. Ia pun tidak tahu. Sama seperti Revi. Cowok itu juga tidak pernah lagi membalas direct message Pelangi Putih. Rain marah pada Revi. Rain marah pada keduanya.
“Gue harus apa ya?” tanya Revi, terlebih pada dirinya sendiri. “Gue nggak sanggup dijauhin dia,” lirihnya, seraya menunduk. Menatap hampa air yang mengalir dari keran wastafel.
“Atau mungkin, lo harus ngejauh dulu?”
Revi langsung mendongak, menatap Pelangi dengan sebelah alis terangkat. “Sinting! Nggak mungkin bisa!”
“Bisa. Coba dulu jauhin. Kasih dia waktu sampai rasa kesalnya sama lo mulai hilang.”
Mau tidak mau, ia mengakui kebenaran di balik ucapan Pelangi. Sepertinya, cowok itu memang harus dijauhi sementara. Kalau terus menerus Revi hantui ketenangannya, bukankah Rain justru semakin bertambah kesal?
Revi mengembuskan napas, berat. “Oke! Gue coba,” ucap cewek itu lantas tersenyum manis. Diikuti refleksi dirinya dalam pantulan cermin.