“Lo harus punya akun sosial media mulai sekarang!”
“Tapi gue malas ngurusinnya.”
“Tapi lo harus punya, biar Rain senang!”
“Akun personal asli gue aja nggak keurus!”
“Ini demi Rain!”
“Tau ah. Pusing!”
Revi berdecak, memandang cewek di hadapannya dengan sengit. “Nggak mau tau. Lo harus buat akun, terutama twitter dan instagram. Dan mulai saat ini, lo jadi orang yang update. Khususnya, tentang novel ketiga lo.”
“Tapi, kan, lo tau sendiri, naskahnya bahkan belum sampai lima bab. Gue aja masih belum tau kapan itu novel selesai,” balas cewek itu, frustrasi.
“Ya terus?”
“Gue nggak mau bikin para pembaca jadi ngerasa dikasih harapan!”
Revi berjengit. “Kok harapan? Lo, kan, udah janji dan sepakat buat lanjutin trilogi terakhir itu?”
“Iya. Tapi tetap aja. Kalau didesak para pembaca nanti, yang ada gue malah terburu-buru dan hasilnya kacau!” sungutnya.
“Tapi kalau Rain yang minta gimana?” goda Revi, lantas menyeringai. “Gue tau lo nggak bakal sanggup buat nolak. Ingat yang mbak Tika bilang minggu lalu?”
“Kalau bisa sebulan selesai.”
“Yep!” Revi tersenyum puas. “Sebulan lagi UTS. Gue yakin, sekolah lain juga pasti UTS di bulan yang sama. Habis UTS, pasti libur dua minggu. Ada waktu buat ikut acara meet and greet.”
“Maksud lo?”
“Gue bakal memperkenalkan pada dunia, siapa itu Pelangi Putih.”
Revi melempar senyum penuh arti sebelum akhirnya berlalu.
***
Ujian Tengah Semester tinggal dua minggu lagi, tapi Dean, Farhan, dan Yanuar sudah uring-uringan.
“UTS bentar lagi. Abis itu, libur sebentar, masuk lagi, terus UN! Mampus lah gue!” gerutu Dean.
“Makanya, jangan ngurusin cewek mulu!” ucap Willy, membuat Dean sewot.
“Diam lo, jones!”
“Masih mending Willy, jomblo tapi pintar. Lah elo, udah cewek nggak punya, otak juga nggak ada,” balas Nathan, pedas.
Sementara yang lain berdebat, Rain masih asyik berkutat pada ponselnya. Cowok itu bahkan tersenyum-senyum sendiri. Membuat Yanuar yang duduk di sampingnya saat itu, mengernyit aneh.
Sebenarnya, Yanuar penasaran. Tapi kebab di tangannya terlalu lezat untuk diabaikan hanya karena keanehan Rain. Pada akhirnya, Yanuar hanya mengangkat bahu dan membiarkan Rain tidak jadi terusik dengan rasa ingin tahunya.
Di tempatnya, Rain bersyukur karena para sahabatnya tengah sibuk berbincang dan berdebat kecil hingga tidak menyadari kekehan kecil Rain yang lepas dari mulutnya.
Ting.
Sebuah direct message di akun instagramnya kembali muncul. Ibu jari Rain pun bergegas membukanya.
Oh, kamu baru-baru ini baca karya saya? Pantas novel-novel yang kamu punya cover baru semua XD
Entah magic seperti apa yang Pelangi Putih ciptakan hingga mampu menyihir Rain dan membuat cowok itu mengulum senyum senang hanya karena emoticon “XD” dari cewek itu.
Ya, Pelangi Putih ternyata memang berjenis kelamin perempuan. Penulis itu sendiri yang mengakuinya. Karena di awal percakapan mereka, Rain sempat memanggilnya dengan “mas” yang langsung dibantah oleh Pelangi Putih. Cewek itu pun tidak ingin dipanggil “mbak” karena ia juga masih sekolah. Tidak berbeda jauh dari Rain.
Hmm, sepertinya Revi merupakan keturunan cenayang. Rain masih mengingar betul bagaimana Revi—dengan sok tahunya—mengatakan bahwa Pelangi Putih adalah perempuan. Ternyata, dugaan Revi adalah benar. Hebat!
Rain baru saja mengirimi foto dirinya sedang memegang dua buah novel karangan Pelangi Putih. Ia ingin kiriman itu dapat memotivasi Pelangi Putih untuk melanjutkan naskah ketiganya secepat mungkin.
Usai kedua ibu jarinya mengetik balasan, Rain langsung menyentuh send icon.
Rainggara: Iya. Saya emang pembaca baru kamu. Telat banget ya.
PelangiPutih: Hahaha nggak masalah kali. Saya malah senang kalau pembaca saya semakin bertambah. Apalagi punya pembaca yang antusias kayak kamu.
Dada Rain berdebar membacanya. Dipuji Pelangi Putih ternyata sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup jantungnya!
Rainggara: Hehehe
Rainggara: Boleh tau nggak, kapan naskah ketiga kamu selesai?
PelangiPutih: Rahasia :p
Rainggara: Yaaaah :(
PelangiPutih: Biar jadi kejutan buat kamu dan pembaca lainnya.
Rainggara: Hmm.
PelangiPutih: Jangan ngambek.
PelangiPutih: Awas ya, kalau cuma gara-gara hal ini, kamu nggak jadi beli novel saya!
Rainggara: Beli kok :3
Rainggara: Bahkan saya mau ikut meet n greet kamu kalau ada nanti.
PelangiPutih: Saya tunggu kamu.
Chit-chat bersama Pelangi Putih ternyata sama seperti membaca novel di jam kosong, alias tidak membosankan! Cewek itu ternyata sangat menyenangkan dan tidak kaku. Rain merasa seperti sedang chatting dengan temannya sendiri.
Terlalu asyik dengan dunianya, Rain sampai tidak menyadari tatapan semua sahabatnya mengarah dan mengernyit aneh padanya.
“Lo chatting sama Revi?” tanya Nathan.
Rain langsung mendongak, menatap Nathan dengan bingung. “Ha?”
Nathan berdecak. “Jangan ngelak.” Kemudian ia mengedikkan dagu ke arah meja yang tak jauh dari tempat mereka di kantin. “Tuh! Lo liat Revi di sana? Senyum-senyum sama hapenya sendiri. Persis kayak lo.”
Rain mengalihkan pandangannya pada Revi. Cewek itu emang tengah tersenyum-senyum sendiri pada layar ponselnya. Tapi itu, kan, hanya kebetulan!
“Bukan sama Revi. Nih, kalau lo nggak percaya!” ucap Rain seraya menunjukkan tampilan direct message instagram di layar ponselnya pada Nathan. “Gue lagi chat sama penulis novel yang gue suka. Makanya gue senang!”
Nathan tidak lagi memperdebatkannya. Ia hanya saling melempar lirikan pada para sahabatnya sebelum akhirnya mengangkat bahu. Mencoba tidak acuh.
Di tempat tidak jauh dari mereka, Anya menyikut Revi yang tengah tersenyum-senyum sendiri dengan ponselnya.
“Lagi chat sama Rain ya lo?” tanya Anya, penasaran.
Revi langsung menoleh dengan kening mengernyit. “Rain?”
Anya manggut-manggut. “Tingkah kalian sama.”
Revi menelengkan kepala. “Maksudnya?”
“Kalian sama-sama main hape sambil senyum-senyum sendiri! Gimana gue nggak nebak begitu? Secara, lo juga dekat sama Rain,” jelas Anya.
Sedikit banyak, Anya telah Revi ceritakan soal hubungan cewek itu dengan Rain. Tidak ada yang spesial. Revi dan Rain hanya berteman biasa. Keduanya bertemu karena ketidaksengajaan saat Revi tengah dihukum dan Rain berada di tempat yang tak jauh dari sana, sendirian. Mereka pun bisa dekat karena sama-sama menyukai novel. Hanya itulah yang Revi ceritakan pada Anya.
“Bukan. Gue lagi chat sama teman lama gue kok,” balas Revi, asal. Karena sesungguhnya, ia tidak ingin Anya mengetahui, dengan siapa dirinya sedang chatting saat ini.
Anya hanya mengedikkan bahu. Ia tahu, percuma mendesak Revi bercerita. Sahabatnya itu hanya akan memberi tahunya ketika dirasa Anya berhak tahu. Dan Anya mencoba menahan diri untuk tidak memaksanya.
***
“Gue pikir, cuma novel yang bisa buat lo senyum-senyum sendiri kayak orang sinting.”
Rain tidak merespons. Cowok itu masih asyik menggulir layar ponselnya. Membaca ulang chit-chat dirinya dengan Pelangi Putih.
“Oke, kacangin aja terus,” sindir Revi yang sanggup membuat Rain menoleh dan menyimpan ponselnya dalam saku seragam.
“Sori,” ringis Rain, kecil. “Gue lagi chat-an sama Pelangi Putih tau,” jelasnya.
Revi mendengus seraya memutar bola matanya. “Kayak nggak ada waktu lain aja. Kalau ada gue, stop dulu chat-annya, bisa?” sewot Revi.
“Iya, udah jangan marah,” cicit Rain, melihat Revi yang masih setia membuang pandangan.
“Lain kali, utamain yang dekat dulu. Jangan yang jauh,” tegur Revi.
Rain hanya manggut-manggut, mengiyakan. Meskipun ia tidak paham betul apa maksud dari kalimat tersebut. Ia hanya tidak ingin berdebat apalagi ribut dengan makhluk bernama perempuan. Cukup Raya yang membuatnya pusing!
“Kenapa lo keluar kelas? Nggak takut ketauan guru?” tanya Revi.
Saat ini memang sedang diadakan rapat guru hingga satu jam ke depan. Tapi bukan berarti semua murid dipersilahkan keluar kelas apalagi nongkrong di kantin! Para wali kelas telah memberi peringatan pada masing-masing siswanya untuk menetap dan menunggu dengan sabar di kelas.
“Kelas ramai banget kalau nggak ada guru. Berisik,” sahut Rain. “Lo sendiri, kenapa?”
“Gue sih mau ke toilet tadinya. Terus ngeliat lo jalan ke arah sini. Yaudah, gue ikutin,” jawab Revi, sekenanya.
Rain hanya tersenyum mendengarnya. Entah mengapa, cowok itu merasa jika kini, “di mana ada Rain, di situ ada Revi”, begitupun sebaliknya.
Revi sadar jika Rain tengah mengamatinya dalam diam. Ia hanya berpura-pura sibuk menyisir pandangan dan menatap apa pun di halaman belakang sekolah yang seolah tampak lebih menarik saat ini. Menghalau debaran absurd di dadanya yang rata. Duh, jantung gue! Gerutu batinnya.
Dari hasil observasi Rain barusan, cowok itu baru menyadari bahwa Revi ternyata cukup manis. Meskipun rambut panjang Revi saat ini tengah dikuncir asal-asalan, tapi hal itu justru memberi nilai lebih. Revi tampak menarik dengan penampilan apa adanya.
Hanya satu kekurangan cewek itu. Kuku jemarinya!
“Cewek kok kukunya panjang-panjang sih?” protes Rain.
Revi langsung berjengit mendengarnya. “Lah? Wajar itu mah. Jaman sekarang, cewek kukunya panjang-panjang. Biar jari-jarinya kelihatan lentik!” kilahnya.
Rain menggeleng. “Nggak. Nggak bagus. Jorok tau. Kumannya ngumpul di sana semua!”
Baru Revi akan membalas, cowok itu segera bangkit dan berlari meninggalkannya. Membuat rahang Revi kontan jatuh, tercengang. “Kok gue ditinggal?” pekiknya, jengkel.
Namun, dugaannya salah. Rain tidak benar-benar meninggalkan Revi karena tidak sampai lima menit, cowok itu telah kembali dengan sebuah benda mungil di tangannya.
“Sini, mana tangan lo,” seru Rain seraya meraih tangan Revi tanpa persetujuan cewek itu. “Biar gue potongin, yah. Cewek itu nggak baik kukunya panjang. Kayak setan tau,” tegurnya, lembut.
Meskipun kedua matanya menatap Rain penuh protes, Revi tidak menolak apalagi berusaha untuk menarik tangannya. Ia biarkan cowok itu memotong kukunya dengan hati-hati.
Bukan tanpa alasan Rain melakukan hal tersebut. Selain karena ia menyukai kebersihan dan kerapian, Rain juga pernah mendapati luka di pipi Raya karena ulah adiknya itu sendiri. Sama seperti Revi, Raya pun senang memelihara kuku panjang karena alasan yang sama pula dengan cewek itu. Namun, begitu Raya menyadari jika dirinya sering tercakar oleh kukunya sendiri saat tertidur, adiknya itu pun langsung memotong kukunya dan mulai terbiasa dengan kuku pendek.
Dan Rain tidak ingin hal itu terjadi pada Revi. Entah mengapa. Rain tidak tahu.
“Selesai!” seru Rain, gembira. “Nah, mulai sekarang, lo harus kebiasa sama kuku pendek. Potong sedikit-sedikit kalau udah mulai panjang. Oke?”
Revi hanya termenung, sedih, meratapi potongan-potongan kukunya yang terjatuh di atas rerumputan.
***
Ketukan lembut pada pintu kamar, membuat Revi menyahut. Siapa lagi kalau bukan mamanya?
“Masuk aja, Ma. Nggak Revi kunci.”
Sesuai perintah Revi, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan pun masuk ke dalam dan duduk di pinggir ranjang Revi. Marisa, mama Revi, tersenyum memandangi Revi yang masih asyik berkutat dengan laptopnya di meja belajar.
“Kamu nggak tidur? Besok UTS, kan? Udah belajar untuk besok?”
Revi mengangguk. “Udah. Tapi cuma ngulang-ulang sedikit. Revi paling nggak bisa kalau belajar buat ulangan. Kan, Mama tau sendiri.”
Marisa tertawa kecil. Revi memang unik. Berbeda dengan anak pertamanya, Revani yang gemar belajar, Revi justru sebaliknya. Anak itu tak jarang merasa kesulitan mencerna apa yang tertulis di buku cetak, bahkan catatannya sendiri. Anehnya, nilai-nilai Revi tidak pernah di bawah KKM. Tapi tidak juga pernah mencapai 90 ke atas! Revi paham betul jika nilai-nilai yang diperolehnya sudah ditambah dengan nilai “kasihan” dari guru-guru.
Prinsip Revi ketika ujian: “Yang penting LJK jangan kosong!”. Baginya, bodoh boleh, tapi jangan kelihatan! Malu banget kalau teman-teman sekelasnya sampai melihat Revi mengumpulkan kertas bersih!
Intinya, isi saja asal-asalan. Kalau perlu, tulis ulang soalnya di lembar jawaban. Yang penting penuh. Maka guru pun akan respek sama kalian!
Marisa tidak pernah memaksa Revi untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Ia bahkan tidak keberatan jika Revi melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan sekolah. Revi memang tidak sepintar Reva, tapi anak bungsunya itu tidak jarang membuat guru-guru terkejut dengan jalan pikiran dan penalarannya yang kerap kali out of the box. Itulah alasan mengapa Revi justru tidak bisa mengerjakan ulangan dengan baik kalau “belajar”. Ia tidak ingin teori-teori dalam buku menentang penalarannya saat sedang mengerjakan ujian.
“Kamu masih mau lanjut main laptopnya? Mau Mama buatkan teh manis?” tawar Marisa seraya bangkit, menghapus jaraknya pada Revi.
Revi menggeleng dan mendongak pada Marissa yang berdiri di sampingnya. “Nggak usah, Mah. Ini juga Revi mau udahan. Bentar lagi Revi cuci muka sama gosok gigi.”
Marisa tersenyum seraya mengacak pelan puncak kepala Revi. “Yaudah. Mama tidur duluan, ya?”
Revi mengangguk dan mengamati punggung Marisa yang berlalu dalam diam. Cewek itu mengembuskan napas begitu Marisa telah menghilang di balik pintu. Di sana, di dalam hatinya, masih terdapat rasa nyeri tiap kali melihat Marisa.
Pandangannya pun beralih pada pigura berukuran kecil yang terpajang di atas nakas di samping tempat tidur. Revi tersenyum sendu menatap foto seseorang yang teramat disayanginya. Seseorang yang kini telah hidup dalam damai di surga.
“Hai, Pelangi. Apa kabar?”