Revi terkekeh melihat Rain yang tengah memasang wajah bosan di meja seberang. Cowok itu tengah berkumpul dengan para sahabatnya di kantin tanpa semangat. Revi yakin, pasti karena novel karya Pelangi Putih telah habis dibaca.
Di samping Revi, Anya berhenti mengunyah. Sepasang alisnya yang terukir rapi, terangkat tinggi mendapati Revi yang tak kunjung mengalihkan pandangan dari kelompok Nathan yang menempati meja seberang.
“Lo ngeliatin siapa sih?” tanya Anya, penasaran. Cewek itu kemudian menjulurkan lehernya. Mencari-cari siapa yang tengah melucu di antara teman-teman Nathan, hingga Revi tertawa kecil seperti tadi.
Revi langsung menarik rambut kuncir kuda Anya agar sahabatnya itu berhenti memanjangkan lehernya. “Ngapain sih!”
“Elo yang ngapain!” sewot Anya. “Dari tadi gue curhat sampai berbusa ini mulut, lo malah cengengesan sendiri! Siapa sih yang lo liatin? Affan?”
Revi langsung berjengit mendengarnya. “Enak aja!”
Jawaban seperti itu, justru membuat kedua mata Anya menyipit curiga. “Masa sih? Kayaknya, waktu itu ada yang pulang bareng,” sindirnya.
Revi mendengus. Sampai sekarang, Anya masih skeptis dengan jawaban Revi yang mengatakan bahwa dirinya dan Affan tidak ada hubungan apa pun! Semenjak Affan mengajaknya pulang bersama, Anya masih tidak bosan menghantui Revi dengan pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal. Revi sampai pusing mendengarnya! Ia bahkan berniat mencari tahu, siapa orang yang berani-beraninya membuat gosip tentang Affan dan dirinya.
Berbeda dengan Affan yang tidak peduli dengan gosip itu, Revi sangat peduli! Bagaimana kalau Rain menganggap yang tidak-tidak? Revi tidak ingin Rain menjauhinya.
“Nya, udah deh. Gue nggak ada apa-apa sama si Affan!” ucap Revi, berusaha meyakinkan.
“Ya terus, kenapa lo bisa pulang bareng sama dia? Banyak saksi yang lihat lo naik mobilnya, lho!” balas Anya yang dibumbui sedikit nada mengancam. Membuat Revi tidak dapat berkilah.
Revi berdecak. “Kan, dia temannya Nathan. Dan Nathan itu gebetan lo. Ya wajarlah kalau dia nawarin gue tumpangan di saat hujan gede kayak gitu!”
“Affannya sih wajar. Tapi elo?” Anya menggeleng. “Bukan tipikal lo banget kalau nerima tawaran stranger gitu aja, Rev!”
“Affan, kan, bukan stranger!”
“Still.” Anya menyesap es teh manisnya sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap Revi dengan ekspresi tidak-sedang-main-main. “Asal lo tau, ya. Affan itu paling dekatnya bukan sama Nathan, tapi sama Ben, Willy, dan Rain. Sub unit member yang ‘baik-baik’ tuh!”
“Jadi, Nathan nggak ‘baik’ nih?”
Anya langsung menoyor pelan kepala Revi. “Heh! Jangan ngalihin pembicaraan! Kebiasaan,” kesalnya. “Kalau yang nawarin lo si Yanuar, Farhan, apalagi si Dean, baru gue ngerasa rada ‘nyambung’ karena mereka genit sama cewek!” lanjut Anya.
“Kalau ternyata Nathan yang nawarin gue, gimana?” goda Revi.
Alih-alih tersinggung, Anya dengan santai mengibas tangan. “Nggak mungkin! Dia emang kadang bandel, tapi nggak centil kayak Dean!”
Anya memang sebal sama Dean karena cowok itu yang paling genit sama cewek dibanding Yanuar dan Farhan. Dean tahu nama semua cewek di sekolahnya. Khususnya yang cantik dan menarik perhatian cowok itu. Dean pasti langsung mencari tahu nomor ponselnya untuk PDKT.
Sayangnya, Anya tidak membiarkan hal itu terjadi saat Revi menjadi target Dean selanjutnya. Ia langsung melaporkan hal itu pada Nathan. Membuat gebetannya itu memarahi Dean habis-habisan. Melarangnya untuk tidak bermain-main dengan Revi, sahabat Anya.
Tak ingin membuat hubungan Nathan dan Anya rusak, Dean pun mengalah. Lalu Dean hanya bisa berdoa, semoga jodoh Revi nanti sebaik cowok itu sendiri.
Meskipun Revi tidak menyadari, tapi Anya mengakui bahwa sahabatnya tersebut memang manis. Ditambah dengan sikapnya yang terkadang misterius dan tidak tertebak. Tidak sedikit pula teman-teman cowok di kelas mereka yang ingin dekat dengan Revi. Bahkan, cowok terpintar di kelasnya pernah ketahuan oleh Anya sedang cari muka di depan Revi dengan memamerkan nilai ulangannya.
Sayangnya, hal itu merupakan hal tergoblok yang pernah Anya lihat. Bagaimana bisa cowok itu dengan bangga memamerkan nilainya yang bagus ketika nilai Revi saat itu sangat pas-pasan?! Bukannya dikagumi, yang ada cowok itu malah dibenci sama Revi karena dianggap sombong.
Jawaban Anya membuat Revi tersenyum, mengingat hubungan Anya dan Nathan yang unik. Tanpa status, keduanya bersikap seolah telah saling memiliki. Semua orang di sekolah pun tahu. Anya itu punya Nathan. Begitupun sebaliknya.
Kalau dipikir-pikir, hubungan Revi dan Rain yang semakin hari semakin dekat pun tidak jauh berbeda dari Anya-Nathan. Tanpa status yang jelas, Revi dan Rain asyik menjalani hubungan yang mengalir begitu saja. Apalagi semenjak keduanya bertukar nomor ponsel. Mereka pun kini saling mengikuti di Instagram.
Tapi tampaknya, Anya—yang jelas-jelas lebih up to date di aplikasi sosial media tersebut—belum menyadari jika Revi mengikuti akun Rain. Buktinya, cewek itu masih gencar meneror Revi dengan pertanyaan akan hubungannya dengan Affan.
“Kalau lo nggak percaya, tanya aja ke Nathan. Pasti dia juga bakal jawab kalau Affan nggak ada hubungan apa-apa sama gue.”
Salah! Revi salah berbicara seperti itu! Karena setelahnya, Anya langsung menarik Revi menghampiri meja Nathan dan bertanya, “Siapa yang lagi dekat sama Revi?!”
Dan semua telunjuk mengarah pada Rain.
***
Tika tersenyum manis. “Jadi, kamu mau mengubahnya?”
Cewek di depannya mengangguk kecil. Ia memang telah menyerahkan sinopsis buku terakhirnya pada Tika sebanyak empat halaman tempo hari. Dan saat ini, keduanya kembali berjanji temu di sebuah foodcourt setelah sekian lama tidak saling kontak.
“Tapi, apa nanti nggak terkesan bad ending?” Tika lantas menggeleng. “Mm… maksud saya, tokoh Hujan di sini sebelumnya nggak pernah muncul di buku pertama trilogi novel ini. Begitupun yang kedua. Lalu, tiba-tiba Hujan muncul. Kamu yakin, pembaca akan menerima ending-nya?”
“Begini. Sudah banyak review tentang novel-novel kamu sebelumnya. Dan dari hasil yang saya lihat, hingga kini, rating kedua novel itu nggak pernah turun dari empat bintang. Bahkan, novel Gulita di Balik Bintang bertahan dengan rating empat koma delapan, yang artinya nyaris sempurna,” jelas Tika, memberi penekanan pada dua kata terakhirnya. “Maaf, bukan saya ingin membuat kamu down dan mematahkan semangat kamu. Saya hanya berusaha melihat ke depannya. Saya khawatir, ekspetasi besar dari para pembaca untuk kisah Aldi-Langi akan terhempas begitu saja dan membuat mereka kecewa.”
Cewek itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia tersenyum. “Saya menulis karena saya suka. Saya lanjut menulis karena saya perlu bertanggung jawab. Saya hanya akan menulis apa yang saya mau, bukan yang orang lain inginkan.”
Tika menggigit pipi bagian dalamnya. Meskipun masih muda, Pelangi Putih merupakan penulis yang disegani olehnya. Tidak seperti penulis lain yang angguk-angguk saja ketika Tika maupun editor lain memberi saran dan arahan, Pelangi Putih justru bersikap sebaliknya. Cewek itu kerap kali membuat Tika pusing dengan keinginan dan kekukuhannya. Namun, karena hasilnya—yang sangat di luar perkiraan itu—menjadi karya best seller membuat Tika mengalah di setiap perdebatan kecil yang terjadi saat editing novel kedua Pelangi Putih berlangsung.
Akhirnya, Tika mengembuskan napas dan tersenyum melas. “Saya nggak bisa menang lagi dari kamu, bukan?”
Dan Pelangi Putih menyeringai.
***
Sebelah alis Revi terangkat melihat novel asing di tangan Rain. “Novel apaan tuh?”
Rain mengangkat kepalanya dan mengintip Revi yang telah berdiri di hadapannya dari balik novel. “Nggak lupa cara baca, kan?”
Revi terkekeh. Ia memang telah membaca dengan jelas judul dari novel di tangan Rain. Hanya saja, ia ingin mengusik ketenangan cowok itu. “Kok ganti penulis?”
“Maksudnya?”
“Iya. Kok, bukan karyanya Pelangi Putih lagi yang lo baca?”
Pertanyaan Revi sukses membuat novel di hadapan Rain turun ke pangkuan cowok itu. “Kan, udah habis. Novel ketiganya juga nggak pernah ada tanda-tanda bakal terbit,” ucap Rain, lesu.
“Tau dari mana?”
“Gue follow akun penerbitnya di twitter. Mereka selalu update soal novel-novelnya, bahkan yang baru mau pre order. Tapi sampai sekarang, belum ada kabar tentang trilogi terakhirnya Pelangi Putih,” tutur Rain, kecewa.
“Oh ya?” Revi mengusap hidungnya. “Pelangi Putih punya akun twitter nggak?”
Rain mengangkat bahu. “Kayaknya nggak. Soalnya, di timeline akun penerbitnya, nggak pernah mention akun Pelangi Putih. Sementara penulis lain, selalu di-mention akunnya.”
“Hmm…” Revi menelengkan kepalanya. “Emang kalau dia punya akun personal, lo bakal follow?”
“Iyalah!” balas Rain cepat. “Terus gue bakal mention atau ngirim pesan ke dia buat cepat-cepat keluarin buku ketiganya!” lanjutnya, antusias.
Revi justru tertawa menanggapinya. “Mungkin itu alasan dia nggak buat akun. Takut diteror para pembacanya.”
Rain tersenyum. “Mungkin.”
Sebelum Rain sempat membuka kembali novel di tangannya, Revi menahan gerakannya. Membuat Rain mengerling, jengkel.
“Jangan dilanjutin.”
“Apaan sih?” desisnya, protes.
“Gue bilang, jangan dilanjut!” titah Revi, tak beralasan.
Sebelah alis Rain terangkat. “Kenapa emang?”
“Yaaa, jangan dilanjut aja!” kukuh Revi.
“Nggak jelas,” gerutu Rain, lantas menutup novelnya dan berlalu. Meninggalkan Revi seorang diri di halaman belakang sekolah yang panas terik.
Revi mengembuskan napas begitu sosok Rain menghilang di balik tikungan. Cowok itu tidak tahu bagaimana perasaan Revi melihatnya membaca sebuah karya yang bukan milik Pelangi Putih. Revi tidak suka. Revi cemburu.
***
Oy!
Rain mendengus saat membaca pesan masuk dari Revi. Meskipun ia masih kesal dengan cewek itu, tapi ibu jari Rain tetap bergerak membalas.
Rain: ?
Revi: Sori sih yang tadi. Jangan marah ah!
Sebelah alis Rain terangkat membaca balasan dari Revi. Permintaan maaf seperti apa itu?! Tidak ada sopan-sopannya!
Rain: ?!
Revi: Lo dimana? Sini, nyusul gue ke mall dekat sekolah.
Rain: Kok lo bisa di sana? Perasaan baru bell pulang tadi.
Revi: Gue izin pulang tadi. Sakit.
Rain mengernyit. Bagaimana bisa cewek itu sedang sakit sampai meminta izin pulang, tapi sekarang berada di dalam mall?!
Mengabaikan pesan tersebut, Rain memutuskan untuk langsung menelepon nomor Revi. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Rain untuk mendengar nada sambung, karena tidak sampai lima detik pun Revi telah mengangkatnya.
“Halo?”
“Kok sakit malah ke mall?” tanya Rain, tidak menggubris sapaan Revi.
Di seberang, Revi berdecak. “Gue lagi nggak mood ribut. Udah sini, temanin gue main Timezone!”
“Kok Timezone?!” sewot cowok itu.
“Banyak tanya, ya!” dengus Revi. “Nanti gue traktir satu novel!”
Hmm. Tawaran yang menarik. Cowok itu pun tidak perlu berpikir panjang untuk mengangguk setuju, meskipun Revi tidak dapat melihat gerakannya.
“Deal!”
***
Satu hal yang Rain lupa bahwa uang jajan Revi tidaklah seberapa. Bukannya mendapat satu novel gratis dari cewek itu, Rain justru mengeluarkan nyaris seluruh isi dompet—yang berisi uang jajan selama seminggu—untuk membayar makanannya dan Revi di Hanamasa. Sialan!
“Kok bete gitu mukanya?”
Rain berdecak. “Nanya lagi!”
Revi langsung terkekeh. “Siapa suruh mau bayarin. Kan, gue bilang, bayar sendiri-sendiri.”
Revi memang benar. Cewek itu tidak meminta Rain untuk membayar semua pesanan, tapi ego cowok itu tersentil begitu Revi mengeluarkan dompet buluk yang isinya kebanyakan uang berwarna ungu dan cokelat, alias ceban dan goceng-an! Dompet lipat yang berukuran mungil milik Revi itu bahkan terlihat tebal dan berat karena dominan isinya adalah recehan.
Sepertinya Rain harus meminta Raya menyumbangkan dompet-dompet lucunya untuk Revi. Bahkan kalau perlu beserta dengan isinya.
Begitu keluar dari Hanamasa, Revi langsung menarik Rain ke Timezone. Membuat Rain kontan menahan Revi sebelum cewek itu sempat melangkah masuk ke area permainan tersebut.
“Lo, kan, lagi sakit. Jangan main yang aneh-aneh dulu, ah!” protes Rain.
“Siapa bilang gue mau main?” Revi mengangkat sebelah alisnya. “Orang gue mau foto sih!”
Rain langsung bergidik ngeri. “Ih, nggak! Gue nggak mau motoin!”
Rain benar-benar merinding membayangkan dirinya harus menjadi fotografer dadakan untuk Revi! Cukup Raya yang pernah merepotkannya dengan meminta difoto tiap kali adiknya itu melihat spot yang bagus. Masih mending kalau satu foto untuk setiap tempat, Raya mah tidak begitu! Cewek itu seolah tidak pernah puas dengan hasil foto Rain dan meminta kakaknya itu untuk kembali mengulang hingga puluhan kali demi mendapatkan hasil yang terkesan photogenic.
“Eh, mikir aja dong. Masa gue mau berpose sendirian di tempat ramai begini?!” sewot Revi. “Gue mau kita foto di photobox.”
“Kita?” Rain mengernyit. “Sama gue?”
“Sama siapa lagi emang?”
Rain tidak sempat membalas karena Revi telanjur menyeretnya masuk ke dalam box yang sangat sempit dan cukup rendah untuk tubuh menjulangnya.
“Ih! Sempiiit!”
Revi tidak menghiraukan gerutuan Rain. Ia menggesek kartu Timezone-nya terlebih dulu sebelum akhirnya mengutak-atik layar sentuh berukuran 14 inch di depannya.
Begitu angka pada layar mulai berhitung mundur, Revi buru-buru duduk manis di samping Rain dan memaksa cowok itu untuk berpose seperti dirinya.
“Enam kali foto ya. Say cheese!” seru Revi, bersemangat.
Dan Rain hanya tersenyum tegang seperti foto kartu pelajar di keenam foto tersebut.