Pelangi Putih. Semua yang gemar membaca novel fiksi remaja, pasti mengetahuinya. Pelangi Putih merupakan salah satu penulis teenlit yang karyanya paling dinanti. Novel perdananya yang berjudul Mentari di Balik Mendung, menempati rak best seller di hampir seluruh toko buku.
Para penikmat novel Mentari di Balik Mendung menyukai Pelangi Putih karena gaya bahasanya yang ringan, namun memiliki makna yang berat. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sana. Selain itu, Mentari di Balik Mendung juga mampu membuat pembaca tenggelam dalam kisah yang tertuang.
Kepopulerannya di karya pertama, membuat Pelangi Putih sukses menduduki tempat sebagai penulis best seller begitu novel keduanya yang berjudul Gulita di Balik Bintang terbit.
Sayangnya, setelah buku keduanya sukses, Pelangi Putih justru menghilang. Banyak para penggemar yang kecewa karena dibuat penasaran dengan kelanjutan cerita dari Aldi dan Langi, tokoh utama dalam novelnya. Tidak sedikit yang berpikir jika sang penulis telah kehabisan ide atau tiba-tiba mandek. Tidak sedikit pula yang berpikir jika sang penulis tidak berniat melanjutkan kisah Aldi dan Langi kembali.
Tidak ada yang tahu, siapa sebenarnya Pelangi Putih. Tidak ada yang tahu bagaimana rupa dan nama aslinya. Pelangi Putih tidak pernah mencantumkan identitas dirinya, sedikit pun, di dalam profil pengarang.
Di profil pengarang pada buku kedua Pelangi Putih, hanya tertulis: Pelangi Putih merupakan penulis muda yang hobi menulis. Bahkan, di novel perdananya tidak tercantum lembar khusus profil pengarang!
Penulis Misterius.
Begitulah sebutan yang diberikan para penggemar untuknya. Karena sampai saat ini, tidak satu pun orang yang mengetahui “siapa” itu Pelangi Putih kecuali Aldi dan Langi sendiri.
***
“Gue pengin belajar nulis deh.”
Revi lantas menoleh padanya dan tersenyum. “Serius? Wow!”
Rain manggut-manggut. “Pengin aja. Soalnya, kan, gue sering berkhayal. Jadi, kalau nggak disalin rasanya…” Rain mengangkat bahu. “Sayang.”
“Ngomong ‘sayang’-nya jangan dipisah dong,” goda Revi, membuat Rain kontan memalingkan wajah. Salah tingkah. “Gue bersedia kok ngajarin lo. Kalau mau sih,” tawar Revi.
“Emang lo bisa nulis?” tanya Rain, skeptis.
“Weits!” sergah Revi. Cewek itu kemudian menepuk-nepuk dadanya yang rata dengan bangga. “Jagonya nih! Belum tau aja lo, tulisan gue nggak kalah bagus sama Pelangi Putih.”
Rain berdecih. “Sombong banget sih!” gerutunya, membuat Revi terkekeh. “Kalau emang gitu, kenapa nggak coba kirim ke penerbit?”
Revi pun meringis seraya menggaruk pelipisnya. “Takut ditolak.”
Jawaban itu membuat Rain tertawa mengejek. “Katanya lebih bagus dari Pelangi Putih,” cibirnya. Entah mengapa ia merasa tidak senang jika ada orang yang menyetarakan diri atau bahkan merendahkan penulis favoritnya meskipun secara tidak langsung.
“Eh, gue nggak bilang lebih bagus, ya! Gue bilangnya, nggak kalah bagus!” elak Revi.
“Sama aja tau!” balas Rain, sewot.
“Beda!”
“Sssst!!!”
Mulut Revi dan Rain kontan terkatup rapat mendapati nyaris seluruh pasang mata di perpustakaan, menatap keduanya dengan pandangan terusik.
“Elo sih!” desis Rain, nyaris tidak terdengar.
“Kok gue?!” pekik Revi, tertahankan. “Kan, elo yang ngajak gue ke sini!”
Rain lantas berjengit. “Dih? Siapa yang ngajak lo? Kan, tadi gue cuma bilang mau ke perpus buat nyari bahan makalah. Tapi elonya malah ngikut ke sini.”
Revi pun mendengus. “Abisan, gue bete. Mau jajan, masih kenyang. Mau nongkrong doangan di kantin, pasti ramai.”
Sebelah alis Rain terangkat. “Biasanya, kan, kantin juga ramai?”
“Iya. Tapi Anya lagi malas ke kantin. Jadi, gue juga ikutan malas ke sana,” kilah Revi, berbohong.
Terang saja ia berbohong. Kalau jujur, Revi bisa dikira cewek gatal nanti! Pasalnya, mustahil kalau Anya “malas” atau bahkan “tidak mau” ke kantin. Sahabatnya itu, kan, paling bosan berada di kelas. Namun, demi menemui Rain, Revi tega mencampakkan Anya dengan terburu-buru meninggalkan kelas saat bel istirahat kedua berbunyi. Membuat Anya kontan mengutuk dan menyumpahi Revi saking jengkelnya.
Rain hanya mengangkat bahu kemudian menutup buku-buku referensi di atas mejanya. “Yaudah. Mending sekarang lo ajarin gue,” ucap cowok itu lantas tersenyum miring, menantang. “Buktiin ke gue kalau tulisan lo sebagus Pelangi Putih.”
“Gampang!” sahut Revi, pongah. “Siniin laptop lo.”
“Bentar. Gue close dulu,” balas Rain sebelum cowok itu menggeser laptopnya ke hadapan Revi yang duduk di sampingnya. “Tuh.”
Kening Revi pun mengernyit dalam. “Ngapain Ms. Word-nya lo close juga sih?” gemasnya.
“Emang pakai Ms. Word?” tanya Rain, polos.
“Ya lo pikir aja dong. Masa mau nulis di powerpoint?!” balas cewek itu, keki. “Buka lagi Ms. Word-nya coba.”
Dengan patuh, Rain mengikuti perintah Revi. Telunjuk cowok itu bermain-main di atas kursor sebelum tampilan Ms. Word kembali menguasai layar laptopnya. “Udah. Terus?”
“Ya, tulis.”
“Ha?” pekik Rain tertahankan. “Apa yang diajarin kalau gitu?!”
Revi berdecak. “Maksud gue, lo tulis dulu apa yang lo khayalin. Nanti gue cek.”
Rain lantas memberengut. “Nggak bisa.”
“Belum juga dicoba, udah pesimis duluan!” Revi mendengus. “Gini lho mikirnya, ‘lo mau atau nggak’ bukan ‘lo bisa atau nggak’. Ubah mindset lo sekarang. Be positive!”
Revi tidak menyadari jika ucapannya barusan mampu menciptakan seulas senyum di wajah Rain. Sangat manis. Sampai-sampai cowok itu juga tidak sadar jika kedua matanya tidak luput memandangi sisi wajah Revi yang asyik mengutak-atik format Ms. Word di laptopnya.
Rain berdeham kecil saat kesadaran mulai menguasainya. “Ngapain?”
“Ngatur formatnya,” jawab Revi sekenanya. “Usahain kalau nulis, formatnya yang rapi.”
Rain segera mengambil alih laptopnya dan mengecek apa saja yang diubah oleh Revi. Ukuran font diubah menjadi 12 dengan jenis Times New Roman. Penjajaran paragraf diubah menjadi justified, serta jarak spasi sebesar 1,5 lines.
Nggak sekalian margins atas-kiri diubah jadi 4 dan 3 senti untuk bawah-kanan?!
“Ini kayak format mau bikin makalah tau!” protes Rain.
“Komen aja lo, kayak netizen!” sergah Revi. “Rata-rata penerbit itu emang pakai format begini, soalnya terkesan rapi. Kalau nulis atau baca tapi formatnya asal-asalan dan kelihatan berantakan, kan, orang juga malas kali.”
“Tau dari mana?” tanya Rain, skeptis. “Lo, kan, belum pernah coba nerbitin?”
“Yaaah, belum pernah coba, kan, bukan berarti buta soal beginian. Gue tuh kadang suka iseng-iseng baca blog penerbit mayor,” jawab Revi.
“Tapi bosan tau lihatnya!” Rain lantas mengganti font tersebut dengan jenis Adobe Garamond Pro. “Nah, bagusan gini nih! Ini font yang dipakai di novel-novelnya Pelangi Putih. Bukan Times New Roman!”
Meskipun mirip, tapi Rain tahu betul jika font dalam buku Pelangi Putih bukanlah berjenis Times New Roman seperti yang ia gunakan di setiap tugas makalahnya!
Diam-diam Revi tersenyum. Sekagum itukah Rain pada Pelangi Putih sampai-sampai tipe font yang digunakan dalam novelnya pun ia hafal? Gils! Revi saja kalah.
“Lagian, rapi itu, kan, relatif. Formatnya kayak gimana pun kalau nyaman begitu, mau diapain?” lanjut Rain.
Revi mengedikkan bahu. “Terserah sih. Gue juga sering gonta-ganti font kalau bosan.”
Rain tersenyum puas mendengarnya. “Oke. Terus, gue harus apa?”
“Coba lo tulis dulu. Apa aja yang ada di pikiran lo, tuang ke situ.”
“Gue nggak ngerti cara nulisnya. Pemahaman kosa kata gue tuh minim tau!”
Revi berdecak. “Nggak usah mikir nulisnya mesti gimana. Nulis itu kegiatan buat menuang ide, bukan menguras pikiran! Anggap aja lo lagi nulis diari. Pakai bahasa seadanya aja, nggak usah berpaku sama gaya bahasa penulis lain.”
“Jatuhnya kayak ngasal dong?” cicit Rain, cemberut.
“Baik atau bagus itu hasil dari proses. Pelangi Putih pun pas awal nulis pasti nggak sebagus sekarang,” ujar Revi kemudian bangkit dari tempatnya. “Udah, coba tulis dulu. Nanti gue cek.”
***
Rain menggaruk kepalanya, frustrasi. Sinting! Ia mungkin percaya bahwa menulis bukanlah hal yang mudah. Tapi ia sama sekali tidak menduga jika menulis ternyata sesulit ini!
Cowok itu lantas menoleh dari balik bahunya dan mendapati Revi tengah asyik membaca majalah sekolah di salah satu lorong perpus di belakangnya. Ralat. Bukan membaca. Hanya melihat-lihat.
Kemudian Rain melirik arloji di tangannya dan mendesah. Jam istirahat kedua akan habis sebentar lagi, tapi yang sudah ia tulis bahkan belum mencapai tiga baris. Satu paragraf pun belum jadi!
Merasa diperhatikan, Revi pun menoleh. “Udah?” tanyanya, seraya meletakkan kembali majalah tersebut ke tempat semula sebelum ia kembali duduk di kursinya.
Rain menggeleng, lesu. “Buat narasi dua baris aja nggak selesai-selesai,” akunya. “Nulis itu susah banget ternyata.”
Revi tersenyum. “Kan, gue bilang tadi. Kalau mau ada hasil ya harus lewatin proses. Lagian, bukan cuma nulis kok. Semua hal juga susah dan butuh latihan.”
“Emang lo juga begitu pas awal-awal?” tanya cowok itu, polos.
“Kalau gue sih udah berbakat dari lahir. Jadi, nggak gitu susah. Tinggal ngasah dikit,” jawab Revi, sengak. Benar-benar membuat Rain ingin menggigit cewek itu sekarang juga!
“Malesin banget sih!” gerutu Rain, mencibir. “Jadi, orang yang nggak punya bakat kayak gue, nggak bisa?” jengkelnya.
“Bukan gitu. Kan, gue bilang, ‘kalau lo mau, lo pasti bisa’. Yang lo butuhin cuma belajar lebih giat dan usaha yang lebih besar dari gue. Bukan berarti lo nggak bisa. Karena tulisan gue aja pas pertama kali nggak langsung bagus. Gue tuh tadi cuma mau bilang kalau lo jangan mudah pesimis. Nggak ada hal yang instan di dunia ini,” tutur Revi lantas mengangkat bahu. “Mi instan aja perlu dimasak dulu sebelum dikonsumsi.
“Lagian, banyak kok orang yang sukses tapi bakatnya bukan di bidang yang sama,” lanjut cewek itu. “Yang penting niatnya. Ingat aja kalau hasil nggak pernah mengkhianati usaha.”
Ucapan itu lagi-lagi membuat senyum manis Rain terulas. Dua kali, tanpa cowok itu sendiri sadari, dirinya tersenyum karena Revi.
Dan cewek itu hanya dapat meneguk ludah diam-diam, salah tingkah.
“Ngapain lo lihatin gue sambil senyum-senyum gitu? Awas naksir!” gurau Revi, mencoba menetralisir atmosfer di antara keduanya.
Senyum Rain kontan menguap. “Kepedean banget sih, ish!” desisnya.
Revi pun berusaha memaksakan tawa kecil keluar dari mulutnya meskipun perasaan kecewa tiba-tiba saja hinggap di dada akibat respons Rain. Sialan!
Tidak ingin berada dalam situasi canggung terus menerus, Revi pun mengambil alih laptop Rain dan mengecek hasil tulisan cowok itu.
“Bagus kok,” pujinya, bersungguh-sungguh. “Cuma perlu diasah lagi aja.”
Senyum Rain kontan merekah. “Serius?”
Revi mengangguk. “Lumayanlah untuk pemula.”
Semangat Rain yang sempat meredup pun kembali terbit. Pujian Revi sanggup menjadikan Rain termotivasi dan tidak lama kemudian, cowok itu kembali asyik menuang apa pun yang terlintas di benaknya. Membiarkan Revi mengamatinya dalam diam.
Namun, kegiatan barunya tersebut tidak bertahan lama. Karena esoknya, Rain berhenti menulis dan kembali fokus membaca.
Menghabiskan novel kedua Pelangi Putih yang tidak kunjung selesai dibaca. Huh!