Read More >>"> Warna Untuk Pelangi (Hanggara) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Warna Untuk Pelangi
MENU 0
About Us  

Affan tidak bodoh. Ia tidak mungkin menyuruh Revi turun di rumah Rain dan meminta Rain untuk mengantar cewek itu kalau jarak rumah keduanya cukup jauh. Cowok itu sudah hafal akan daerah rumah para sahabatnya, termasuk perumahan tempat Rain tinggal. Oleh karena itu, saat Revi menyebutkan alamat rumahnya, sebuah ide pun terlintas di benak Affan.

Mobil Affan berhenti tepat di depan pagar rumah Rain. Mempersempit risiko keduanya akan kebasahan.

“Taruh sepatunya di situ aja.”

Revi langsung terburu-buru melepas sepatunya dan meletakkannya di rak berukuran rendah, seperti yang Rain lakukan sebelumnya.

Usai melakukannya, Revi bergegas mengekori Rain. Cewek itu mengernyit saat Rain justru membawanya ke kamar. Sialan! Mendadak pikirannya jadi macam-macam!

“Duduk aja dulu. Gue mau ambil minum. Lo mau minum apa?” tanya Rain seraya meletakkan ranselnya di bawah meja belajarnya.

Rain tidak memiliki “niat” buruk apa pun dengan membawa Revi ke kamarnya. Ia tidak punya pikiran lain selain memperlakukan Revi sama seperti para sahabatnya—yang telah menganggap kamar Rain sebagai kamar mereka sendiri. Ia tidak berpikir untuk menjadikan cewek itu sebagai pengecualian.

“Ng… apa aja deh. Yang berwarna juga boleh,” jawab Revi.

“Warna bening nggak apa-apa?”

Sebelah alis Revi terangkat sejenak sebelum akhirnya tersenyum masam. “Gue udah yakin sih. Pasti lo cuma punya air putih.”

Rain tersenyum kecil. “Nyokap lagi dinas ke Medan selama seminggu. Jadi, nggak ada yang baru di kulkas.”

Ucapan Rain justru memancing rasa penasaran Revi. “Terus, lo tinggal sendirian?”

Rain menggeleng. “Sama adik gue.”

“Berdua doang?”

Rain mengangguk, sebelum akhirnya pamit ke belakang untuk mengambil minum.

Revi menatap pintu kamar Rain yang tertutup dengan kepala meneleng. Sejujurnya, ia masih ingin bertanya-tanya. Tapi mengingat bagaimana responss Rain yang selalu menjawabnya dengan kedua mata menghindari Revi, membuat cewek itu enggan kembali membuka mulut. Ia takut jika Rain merasa tidak nyaman dan justru terusik dengan kehadirannya.

Revi mendudukkan dirinya di pinggir ranjang Rain. Pandangannya beralih pada jendela kamar Rain yang berembun. Affan benar. Sampai sekarang, hujan masih setia membasahi bumi dengan derasnya.

Cewek itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Sebenarnya, Revi sendiri sih tidak masalah berlama-lama di rumah Rain. Tapi, bagaimana kalau Rain berpikir sebaliknya? Revi benar-benar tidak ingin Rain bermasalah dengan kehadirannya.

“Tegang banget. Santai aja. Anggap rumah sendiri.”

Suara Rain yang tiba-tiba, membuat Revi nyaris terjungkal dari tempatnya. Cewek itu langsung mengelus dadanya yang rata. “Ngagetin aja!”

Rain menjulurkan segelas air berembun untuk Revi. “Nih. Minum.”

“Hujan-hujan kok minum air dingin,” protes Revi seraya menerima gelas tersebut.

“Emang kenapa?” tanya Rain dengan sebelah alis terangkat. “Mau gimana pun cuacanya, gue tetap minum air dingin.”

“Pasti lo suka ice cream, ya?”

Rain menggeleng. “Lebih suka susu beku.”

Revi tersenyum mendengar kembali fakta yang unik dari Rain. Cowok di depannya ini benar-benar spesial.

Revi tertegun sejenak ketika Rain tiba-tiba tengkurap di sampingnya dan mulai sibuk membaca novel. Apalagi kalau bukan karyanya Pelangi Putih?

“Novel dia lagi?”

Rain mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.

“Lo baca satu novel tuh bisa berapa hari deh? Kok, nggak habis-habis?” tanya Revi, penasaran.

“Tergantung. Paling cepat, gue bisa baca novel cuma dua hari.” Pandangan Rain lantas beralih pada Revi. “Tapi kalau gue suka banget, gue bisa irit-irit bacanya. Takut keburu habis.”

Revi mengulum senyum. Menahan tawa yang siap menyembur dari mulutnya. “Paling cepat dua hari ya.”

Rain lantas mengernyit. “Emang lo berapa? Sehari?”

“Empat jam.”

“Ha?!” Rain langsung terduduk di tempatnya. “Empat jam? Apa yang bisa dinikamatin kalau begitu?!”

Revi mengangkat bahu. “Ceritanyalah.”

Rain menggeleng kuat. “Nggak mungkin! Kesannya buru-buru gitu. Gimana bisa nikmatin cerita?”

“Ya terserah lo kalau nggak percaya mah.”

Jawaban tak acuh Revi justru membuat Rain mencondongkan badannya dan menatap cewek itu dengan sebelah mata menyipit. “Atau mungkin, lo bacanya di-skip-skip?”

Revi terkekeh mendengar dugaan yang tepat sasaran itu. “Iya. Tapi kalau ada bagian yang aneh doang kok.”

Rain menelengkan kepalanya. “Aneh gimana?”

“Yaaah. Yang terlalu cheesy atau nggak penting, dan lain hal sebagainya.” Kemudian Revi mengernyit, mendapati wajah Rain yang memerah. “Lah, lo kenapa?” Dan cewek itu tertawa geli. “Pasti mikir yang nggak-nggak, ya?”

“Nggak, kok. Apa sih!” kilah Rain, berbohong. Pasalnya, ia sangat menyukai hal-hal yang cheesy sekalipun dibuat terkesan berlebihan oleh sang penulis. Namun, Rain malu untuk mengakuinya.  “Udah ah. Gue mau lanjut baca.”

Cowok itu kembali tengkurap dan larut dalam bacaannya. Diam-diam Revi menghela napas. Dikacangin lagi deh.

Selagi Rain asyik membaca, Revi bangkit dari tempatnya dan berjalan mengelilingi kamar Rain yang luasnya tidak jauh dari kamarnya.

Rain memiliki kamar yang cukup rapi untuk ukuran cowok. Bahkan lebih rapi darinya. Buku-buku pelajaran tertata rapi di meja belajar. Di belakang pintu kamarnya tidak terdapat satu pun pakaian yang menggantung asal, seperti halnya di kamar Revi. Selain itu, kamar Rain yang bernuansa biru muda tersebut tidak terpajang satu pun poster aneh-aneh di dindingnya, seperti kamar remaja laki-laki pada umumnya. Hanya ada foto keluarga berukuran sedang yang terpajang di atas rak khusus novel.

Di dalam foto itu terdapat Rain dan dua perempuan yang diduga adalah ibunda dan adik cowok itu sendiri. Revi tersenyum memandangi Rain yang terlihat gagah dengan pakaian formal, duduk di antara ibu dan adiknya.

Revi menghampiri rak khusus novel tersebut dan melihat-lihat koleksi Rain. Meskipun rendah, rak itu cukup panjang. Memberikan kesan jika novel-novel milik Rain sangat banyak jumlahnya.

Revi tersenyum mengamati novel-novel itu telah tersampul. telunjuknya menelusuri setiap novel, sampai akhirnya berhenti pada novel pertama milik Pelangi Putih.

“Kok nggak ada namanya?”

Pertanyaan Revi membuat Rain menoleh. “Nama apa?”

“Nama lo.” Revi mengalihkan pandangannya dari novel dan menatap Rain dengan kening mengernyit. “Lo nggak pernah namain novel lo, ya? Kan, gue bilang waktu itu. Namain novel-novel lo, biar kalau hilang, orang gampang ngembaliinnya.”

“Tulisan gue jelek.”

“Terus?”

“Ya nanti jadi nggak rapi. Kesannya, jadi kayak kotor,” elak Rain.

Revi mendengus sebelum akhirnya meraih pulpen Rain di atas meja belajar. “Gue tulisin, ya,” ucap Revi, dengan nada yang tidak membutuhkan persetujuan. “Nama lengkap lo siapa?”

Mendengarnya, Rain langsung melempar pandangan skeptis. Meski begitu, ia tidak melarang tindakan Revi dengan menyebutkan nama lengkapnya. Ia tahu. Sejelek-jeleknya tulisan cewek adalah sebagus-bagusnya tulisan cowok. Biasanya sih begitu. Awas saja kalau tulisan Revi justru lebih parah darinya! Rain bakal minta ganti rugi. Titik!

Rain Hanggara.

Revi tersenyum. Ia mulai menorehkan tinta hitam pada kertas berjenis bookpaper itu dengan perlahan. Jemari lentiknya tampak piawai mengukir nama lengkap Rain, seolah ia tengah melukis sebuah kaligrafi.

Diam-diam Rain mengintip kegiatan Revi dari balik novelnya. Cowok itu mengangkat alisnya, mendapati Revi yang tidak kunjung selesai menamakan satu buah novelnya.

Seakan mengetahui pikiran Rain, Revi mendongak dan memperlihatkan hasil tulisannya. Cewek itu tersenyum manis. “Nih, bagus nggak?”

Melihatnya, Rain ikut tersenyum. “Bagus,” pujinya, bersungguh-sungguh.

Tulisan yang dibuat Revi tidak asal. Entah memang tipe tulisannya seperti itu atau Revi sengaja memperindahnya, membuat tulisannya tampak seperti font Vladimir Script dalam Microsoft Word. Yang penting, Rain senang karena Revi tidak “mengotori” novelnya.

***

“Gue mau tau dong, siapa aja penulis favorit lo?”

“Banyak.”

Jawaban Rain membuat Revi cemberut, tak puas. “Yang paling lo suka deh.”

“Hmm…” Rain menerawang dengan sepasang alis bertaut. Tampak berpikir keras. “Siapa ya?”

“Yang lagi benar-benar lo sukain banget sekarang,” ucap Revi, gemas.

“Sekarang?”

“Iya.”

Rain tersenyum manis seraya menerawang. “Pelangi Putih.”

Itu. Itulah jawaban yang ingin Revi dengar dari pertanyaannya. “Yang bukunya nggak habis-habis lo baca itu?”

Kali ini Rain yang cemberut. “Bukunya terlalu bagus buat dihabisin langsung. Gue sengaja baca irit-irit. Bahkan suka gue ulang-ulang bacanya kalau ada bagian yang bagus.”

Revi hanya ber-“oh” ria sambil manggut-manggut. Berusaha keras menahan senyum.

“Kenapa lo nanya begitu?” tanya Rain.

“Nggak apa-apa. Mau tau aja,” jawab Revi, sekenanya. “Kalau lo sesuka itu sama Pelangi Putih, kenapa nggak mau ketemu orangnya langsung?”

Rain berdecak. “Kayaknya gue pernah bilang deh kalau gue malas ikut-ikut begituan. Ribet. Lagian, pasti banyak juga yang ikut. Gue nggak begitu suka tempat ramai. Bakalan canggung nanti.”

“Hmm…” Revi tersenyum simpul. “Lo tau nggak? Kadang, yang kayak begitu tuh ngaruh lho.”

Dahi Rain berkerut samar. “Maksudnya?”

“Kehadiran satu penggemar aja udah berarti banget buat si penulis sendiri. Mereka merasa karyanya disukai dan nggak sia-sia untuk membuat sebuah karya. Mereka merasa ada yang antusias dan selalu menunggu karyanya terbit. Kemunculan penggemar di hadapan penulis langsung, bisa banget lho memberi motivasi dan energi buat menulis.”

Rain tidak berkomentar. Bahkan setelah Revi selesai berucap, cowok itu masih terpaku menatap Revi dengan tanpa berkedip.

Jemari Revi yang menjentik, menyadarkan Rain dari lamunannya. Perlahan, senyum manis pun terulas di wajahnya. “Kalau buku ketiganya terbit, gue bakal ikut pre order dan meet and greetnya deh!” ucapnya, antusias.

***

Revi melirik jam dinding di kamarnya. Sudah lewat tengah malam, tapi kedua mata Revi masih enggan menutup. Otaknya masih sibuk memikirkan Rain! Sedang apa ya cowok itu sekarang? Tanya batinnya, seperti orang bodoh.

Rain benar-benar membuatnya beralih dari kisah lama. Cowok itu membuat Revi berhasil menginjak halaman pertama pada kisah yang baru.

Tak kunjung bisa memejamkan kedua matanya, Revi pun bangkit dan melangkah ke arah meja belajar. Tanpa ada lagi keraguan, ia menyalakan laptopnya dan membuka salah satu folder yang telah lama tidak tersentuh. Jika diibaratkan makanan, mungkin seluruh file di dalamnya itu telah dipenuhi oleh jamur.

Sekali lagi Revi meyakinkan dirinya. Ya, keputusannya sudah bulat. Ia akan mengakhiri semuanya.

Klik.

Membutuhkan waktu beberapa menit agar semua data di dalamnya terhapus tuntas. The folder has been deleted. Beban dalam dadanya seolah turut menguap bersamaan dengan hilangnya folder tersebut. Revi pun tersenyum.

Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan mengetik sebuah pesan.

Malam. Bisa dilanjut kerjasamanya?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Anne\'s Daffodil
596      404     3     
Romance
A glimpse of her heart.
Camelia
564      310     6     
Romance
Pertama kali bertemu denganmu, getaran cinta itu sudah ada. Aku ingin selalu bersamamu. Sampai maut memisahkan kita. ~Aulya Pradiga Aku suka dia. Tingkah lakunya, cerewetannya, dan senyumannya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi aku tak ingin menyakitinya. ~Camelia Putri
KNITTED
1369      605     1     
Romance
Dara memimpikan Kintan, teman sekelasnya yang sedang koma di rumah sakit, saat Dara berpikir bahwa itu hanya bunga tidur, pada pagi hari Dara melihat Kintan dikelasnya, meminta pertolongannya.
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Never Let Me Down
468      352     2     
Short Story
Bisakah kita memutar waktu? Bisakah kita mengulang semua kenangan kita? Aku rindu dengan KITA
Mysterious Call
460      302     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Photograph
1346      653     1     
Romance
Ada banyak hal yang bisa terjadi di dunia dan bertemu Gio adalah salah satu hal yang tak pernah kuduga. Gio itu manusia menyenangkan sekaligus mengesalkan, sialnya rasa nyaman membuatku seperti pulang ketika berada di dekatnya. Hanya saja, jika tak ada yang benar-benar abadi, sampai kapan rasa itu akan tetap ada di hati?
Ojek Payung
482      349     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
A Slice of Love
262      219     2     
Romance
Kanaya.Pelayan cafe yang lihai dalam membuat cake,dengan kesederhanaannya berhasil merebut hati seorang pelanggan kue.Banyu Pradipta,seorang yang entah bagaimana bisa memiliki rasa pada gadis itu.
KEPINGAN KATA
406      269     0     
Inspirational
Ternyata jenjang SMA tuh nggak seseram apa yang dibayangkan Hanum. Dia pasti bisa melalui masa-masa SMA. Apalagi, katanya, masa-masa SMA adalah masa yang indah. Jadi, Hanum pasti bisa melaluinya. Iya, kan? Siapapun, tolong yakinkan Hanum!