Aku harap kalian tidak berpikiran macam-macam denganku. Aku tahu, membawa Kesya ke rumahku adalah hal yang cukup berani apalagi sampai dia menginap di rumahku. Dan tidak usah ditanya lagi, tentu saja beribu pertanyaan datang dari ayah, ibu, dan juga adikku yang menyebalkan itu.
Kesya sempat terkejut mendengar pernyataanku. Dengan cepat dia menolak secara halus tawaranku itu. Tapi aku tetap pada pendirianku dengan mengatakan kalau aku akan menginap di rumahnya jika ia tetap bersikeras tidak ingin ikut bersamaku. Akhirnya dengan berat hati, Kesya mengangguk pasrah dan mengikuti kemauanku.
Ibuku langsung menghampiri kami saat aku dan Kesya memasuki ruang keluarga. Dengan tatapan penuh tanya, ibuku menjewerku dengan sekuat tenaganya.
“Aduh, Ma. Sa…saakittt.” Rintihku.
“Apa-apaan ini Devan?" bentak ibuku kemudian mendekati bibirnya ketelingaku. "Kamu nggak ngamilin anak orang kan?” bisik ibuku-dengan suara yang cukup keras untuk ukuran bisikan-dan aku yakin Kesya mendengarnya karena kulihat ia tertawa setelah ibuku menjauh dariku tanpa melepaskan jewerannya.
“Ma, jangan ngaco deh!” aku berusaha melepaskan jeweran ibuku yang menyakitkan itu.
“Kamu yang ngaco. Tadi pergi kamu bilang mau belajar, tapi kenapa pulang-pulang malah bawa gadis sama barang-barangnya segala!”
Aku menggeleng “Ma…”
“Devan?” ayahku menghentikan ucapanku kemudian berjalan mendekati ibuku. “Papa kan sudah bilang, walaupun kamu cowok harus tetep jaga pergaulan. Jangan sembarangan.”
Ibuku mulai terisak dan memeluk ayahku. Ya Tuhan, drama pun dimulai hari ini.
“Maaf sebelumnya om, tante.” Ucap Kesya. Kedua orangtuaku menoleh kearahnya dengan tatapan yang sulit kuartikan.
“Tolong jangan salah paham dulu, saya nggak dihamilin Devan kok.”
Seketika pipiku memanas, kenapa cewek ini berani-beraninya bicara secara spontanitas seperti itu.
“Saya Kesya tante, temen Devan yang dulu ada di panti asuhan.” Kesya menyalami ibu dan ayahku secara bergantian.
“KAK KESYAAAAA????” teriakkan adikku langsung memenuhi ruangan. Tania langsung menuruni anak tangga dengan kecepatan kilat. Aku menggelengkan kepalaku sembari menahan malu, apa keluargaku memang raja dan ratunya drama?
Tania langsung memeluk Kesya dengan erat. “Kak Kesya, aku kangen tau!” ucapnya.
Kesya membalas pelukan adikku. “Kakak juga kok Tania.” Jawabnya.
Ibuku melepaskan pelukannya dan mulai berjalan mendekati Kesya. “Oalah, iya. Papa sini deh,” ibuku menarik ayahku mendekati Kesya.
“Ini gadis yang waktu itu aku ceritain ke kamu, yang kata Tania dia calon pacarnya Devan itu. Cantik kan, Pa?” ucap ibuku secara histeris.
Oke, kali ini urat maluku sudah tidak tertahan lagi. Apa-apaan sih ibu dan adikku ini, menggosipkan aku dibelakang. Dan kulihat ayahku juga mulai manggut-manggut sembari tersenyum kecil. “ Cantik kok, Ma. Cocok jadi mantu.”
“Ma, Pa please stop deh dramanya. Jangan bikin aku malu kayak gini.”
“Udah deh, Devan. Mama udah tau semuanya. Tania udah cerita kok kisah cinta kamu ke mama sama papa. Jadi kamu nggak usah malu-malu kucing kayak gitu ya sayang.”
Aku menatap jengkel adikku yang terkikik senang disebelah Kesya. Dasar bocah sialan, habis kamu nanti dik!
“Ayo nak kita duduk dulu, kasian tamu masak nggak dipersilahkan duduk. Ayo, ayo.” Ayahku mendahului duduk di sofa dan diikuti oleh kami berempat.
“Jadi dalam rangka apa Kesya malam-malam kesini, Devan?” tanya ayahku to the point.
Aku dan Kesya saling pandang dan aku memberinya anggukan isyarat agar aku saja yang mengarang cerita kali ini. Aku tidak mungkin mengatakan kejadian yang sebenarnya ke kedua orangtuaku dan Kesya pun tidak ingin siapapun mengetahui masalah ini. Dan aku sama sekali tidak bermaksud untuk membohongi kedua orangtua yang sangat aku hormati, tapi demi kebaikkan bersama hal ini terpaksa aku lakukan. Maafin Devan ya ma, pa.
“Jadi gini, tadi pas mau nganterin Kesya pulang dari belajar ternyata pintu rumahnya dia kekunci. Terus waktu Kesya berusaha menghubungi orang rumah ternyata kedua orangtuanya ada panggilan mendadak ke Bali dan kunci rumahnya malah kebawa kesana. Jadilah Kesya nggak bisa masuk kedalam rumah dan akhirnya aku ngajak dia untuk nginep disini.” Ujarku.
“Yeayyyyy Kak Kesya mau nginep disini ya? Nanti tidur bareng aku aja kak, kamarnya adem kok.” Ucap Tania bersemangat.
Kesya hanya tersenyum menanggapinya.
“Oh gitu toh ceritanya, mama pikir kamu ngamilin anak orang terus kamu ajak pindah kesini. Eh tunggu dulu-.” Ibuku menghentikan ucapannya dan menyelidiki kami berdua.
“Tadi kamu bilang rumahnya kekunci, tapi kenapa Kesya bisa bawa tas pakaian kayak gini? Kamu nggak lagi bohong kan Devan?”
Skakmat! Entah kenapa ibuku bisa seteliti ini. Kesya melirikku sekilas, kulihat kekhawatiran mulai muncul di wajahnya.
“Aku nggak bohong kok, Ma. Emm, jadi… oh iya, tadi itu kita mampir ke rumah Vina sebentar buat minjem seragam sekolahnya buat dipakek Kesya. Dan syukurnya Vina punya lebih, jadilah kita pinjem seragam dia. Dan untuk buku pelajarannya sendiri, Kesya memang kebetulan bawa semua buku untuk besok waktu tadi kita belajar bareng makanya sekarang kita rempong gini.”
“Kalau gitu kenapa nggak nginep di rumah Vina aja?” tanya ibuku lagi. Oh God, ibuku ini benar-benar jeli sekali.
“Tadi di rumah Vina lagi ada acara keluarga, Ma. Itu aja Devan nggak enak ganggu dia, dikasih pinjem seragam aja udah syukur banget.” Ucapku sedikit gugup. Semoga kali ini ibuku bisa menerima alasanku ini.
Ibuku mengkerutkan keningnya dan manggut-manggut. Kuharap tidak ada pertanyaan menjebak lagi.
“Yaudah, sesi introgasinya mama cukupkan sampai disini aja. Kalau gitu Kesya langsung ke kamar Tania aja ya. Sudah malam juga.”
Aku dan Kesya bernapas lega berbarengan.
Kesya menundukkan kepalanya ke kedua orangtuaku. “Sebelumnya mohon maaf merepotkan tante sama om. Saya berterima kasih sekali udah diizinin nginep disini.” Ucapnya.
“Sama-sama sayang. Anggap rumah sendiri ya, jangan malu-malu” ucap ayahku.
“Semoga nyaman ya, Kesya.”
Kesya menganggukkan kepalanya. Aku tersenyum, kurasakan Kesya melirikku sekilas sebelum akhirnya diseret oleh Tania.
“Tania naik dulu ya ma, pa. Good Night!” ucapnya bersemangat.
Tania menyeret Kesya dengan cepat. Mereka menaiki anak tangga dengan sedikit berlari dan langsung memasuki kamar Tania. Dasar adikku itu, aku rasa dia terlalu hiperaktif.
Saat mengomeli adikku dalam hati, ku rasakan hawa dingin menggerayangi tengkukku. Ku perhatikan sekitar tapi tak menemukan apa-apa. Perasaan lagi?
“Devan?” panggil ayahku.
Aku segera tersadar dan menoleh kearah ayahku. “Ya?”
“Pokoknya kamu harus selalu ingat pesan papa, jaga pergaulan kamu diluar sana ya.”
Aku mengangguk. “Iya. Papa bisa pegang kata-kata Devan kok.”
“Denger ya Devan, mama bakalan selalu awasin kamu. Pokoknya jangan sentuh-sentuh sebelum kalian sah, ngerti?” sela ibuku penuh semangat tapi tegas, benar-benar mirip dengan sikap adikku.
“Jangan gitu deh, Ma. Aku sama Kesya nggak ada hubungan apa-apa kok, mama jangan buat gosip yang enggak-enggak deh.”
“Yah mama harap kalian bisa lebih dari sekedar temen sih. Udah deh, kamu juga naik sana ke kamar. Bawain juga itu barang-barang Kesya, adikmu saking semangatnya sampai nggak biarin Kesya bawa barang-barangnya dulu.”
Aku melirik tas milik Kesya di atas sofa kemudian tertawa kecil. “Yaudah deh ma, pa. Devan keatas dulu ya, Good Night.”
Aku mencium kedua pipi ibuku dan menyalami ayahku sebagai ucapan terimakasih karena telah mengizinkan Kesya menginap disini. Dan kuharap suatu hari nanti dia akan tinggal disini untuk selama-lamanya.
*************
Ku perhatikan Kesya melalui kaca spion. Ku lihat pandangan kosong dari matanya, senyumannya pun seakan sirna walaupun pagi ini hari sangat cerah. Darahku berdesir, aku tidak bisa membiarkan hal-hal buruk kembali terjadi kepadanya. Kejadian dua hari yang lalu harus menjadi yang terakhir dan tidak ada lagi teror-teror aneh yang akan menghantuinya. Aku harus bisa mengungkap terror ini segera.
Kemarin saat hendak minum ke dapur, kulihat kamar adikku terbuka cukup lebar. Karena penasaran, aku pun memberanikan diri untuk masuk kedalamnya. Ku lihat Kesya sedang menatap keluar jendela dengan gelas berada di tangannya. Dengan perlahan, aku berjalan mendekatinya dan saat menyentuh bahunya ia hampir saja menjatuhkan gelas yang di pegangnya. Untung saja gelas itu tidak sampai jatuh ke lantai dan menimbulkan kegaduhan.
"Sumpah, lo ngagetin gue." ucapnya dengan nafas tersengal-sengal.
"Sorry, gue nggak ada maksud apa-apa kok. Lo sendiri ngapain belum tidur jam segini?" tanyaku.
Kami berbicara dengan suara sekecil mungkin, agar tania tidak terbangun.
Kesya membalikkan badannya menghadapku. "Cuman haus aja, terus nggak bisa tidur. Yaudah, gue liat pemandangan aja dari atas sini."
"Disini nggak ada pemandangan kali, Sya. Jalanan kosong mungkin ada." candaku.
"Lo pikir bintang dan bulan di langit itu bukan pemandangan? Sinar bintang dan juga bulan benar-benar menyejukkan gue. Disaat hati gue sedang rapuh, hanya mereka berdua yang bersedia menemani gue tanpa ada rasa pamrih sedikitpun."
"Apa lo segitu kesepiannya ya? Bahkan dari ucapan lo. gue ngerasa hanya bulan dan bintang yang lo punya di dunia ini."
Kesya tertawa tanpa suara. "Yah, begitulah keadaan gue. Jangan kasian, tapi gue menikmati kesendirian ini kok."
"Tapi lo harus mempunyai suatu hubungan, Sya. Lo harus berani memulai yang baru."
Kesya menggeleng. "Gue belum siap, Van." Ia menatapku dengan mata sendunya. Aku suka mata itu saat melihatku. Ku harap dia akan selalu melihatku seperti itu.
"Gue akan selalu nunggu lo siap, Sya." Ucapku tiba-tiba. Aku sendiri pun tidak sadar saat mengucapkan kalimat itu.
Kesya masih menatapku tanpa menjawab pernyataanku. Ia tersenyum. "Makasi, Van." kemudian berbalik kembali menghadap jendela.
"Oh ya, gue mau minta maaf soal sikap keluarga gue tadi. Ku rasa mereka sedikit berlebihan." ucapku mencairkan suasana.
"Keluarga lo asik, bahkan gue berharap bisa punya keluarga kayak gini." jawabnya sembari tertawa.
"Ya, tapi lumayan bikin sakit kepala." kekehku juga.
"Syukuri, Van. Lo masih mending, daripada orangtua gue yang kerjaannya cuman keluar kota atau keluar negeri terus. Waktu sama gue sama sekali nggak ada."
Aku tersenyum dan mengangguk. "Gue selalu bersyukur untuk itu kok, Sya. Makasi atas nasehatnya."
Kesya tak menjawabku. Kami berdua hanyut dalam pikiran kami masing-masing. Hingga akhirnya bel tengah malam dari jam tua di ruang keluarga menyadarkan kami. Aku langsung pamit kepada Kesya untuk kembali ke kamarku begitu juga dengan Kesya yang berjalan menuju tempat tidur adikku.
Malam yang singkat, tapi memiliki banyak kenangan untukku bersama Kesya.
Pikiranku kembali tersadar ke dunia nyata. Walaupun sembari mengingat memori kemarin, akhirnya kami sampai di sekolah dengan selamat. Ku parkirkan motorku di tempat biasanya. Sekolah masih cukup sepi karena kami memang sengaja datang lebih awal untuk memperkecil kemungkinan gosip-gosip yang sering ku dengar jika sudah berdua dengan Kesya.
“Makasi ya buat semuanya.” Ucap Kesya. Aku yang baru saja menaruh helmku segera menoleh kearahnya.
“Sama-sama, Sya. Yang penting lo aman, gue nggak mungkin tinggalin lo sendirian dan gue nggak akan bisa maafin diri gue sendiri kalau sampai terjadi sesuatu yang mengerikan terhadap lo.”
Kesya menghembuskan nafasnya. “Gue harap ini nggak berlanjut, Van.” Tubuh Kesya mulai terguncang. Ia menunduk dalam dan meremas roknya pelan. Aku segera menghampirinya.
“Sya, lo kenapa?” aku berusaha menenangkannya tapi Kesya tidak menyahutiku. Tanpa peduli apapun, aku segera menariknya ke dalam pelukkanku.
“Sya, lo yang tenang ya. Gue janji bakalan nyari tau siapa dalang di balik teror yang menimpa lo ini.” Aku mulai mengusap pelan rambutnya. Ini kali kedua aku melihatnya menangis seperti ini. Dan sepertinya kali ini dia benar-benar tidak bisa mengontrol kesedihannya. Padahal kemarin malam pun ia terlihat sangat tegar.
“Gue nggak pernah nyari masalah sama orang, Van. Gue selalu menutup koneksi gue ke orang lain. Tapi kenapa gue malah dapet hal-hal aneh kayak gini.” Isaknya.
Hatiku kembali terasa sakit. Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan. Aku sendiri tidak tega jika melihatnya terus seperti ini.
“Kesya,” aku melepaskan pelukanku. Kesya menatapku dengan wajahnya yang pucat. Aku segera menghapus sisa-sisa air mata yang ada di sekitar mata dan pipinya. Dan ku rasa kemarin dia hanya tidur sebentar saja, karena lingkar hitam mulai muncul di bawah mata sendunya itu.
“Jangan lo buang sia-sia air mata lo yang berharga ini. Karena apa? Orang yang udah ngelakuin semua kejahatan ini bakalan bersuka cita saat melihat lo nangis. Lebih baik lo simpen air mata lo untuk nanti lo pakek buat menangis bahagia saat orang yang ngelakuin ini mendapatkan hukumannya di dalem penjara.”
“Bicara itu gampang, Van. Lo nggak ngerti kalau ada di posisi gue.” Ucapnya sepelan mungkin. Ia memperhatikan sekitarnya begitu juga denganku. Ternyata lapangan parkir mulai di penuhi orang.
“Untuk saat ini gue emang nggak ngerti, tapi suatu saat nanti gue akan berusaha untuk mengerti gimana rasanya ada di posisi lo.” Ku raih tangan Kesya untuk menjauhi tempat kami berdiri. “Mending sekarang kita ke kelas.” Ajakku
Kesya mengangguk menyetujui ajakanku. Kami segera berjalan menuju kelas. Selama perjalanan Kesya tak berbicara sepatah katapun. Aku pun tidak ingin mengganggu ketenangannya, karena mungkin saja dia sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri bersama pikirannya.
“Van?” panggilnya menahanku. Kami segera menghentikan langkah kami.
“Ya?”
“Gue mau ke toilet dulu ya, kayaknya gue harus cuci muka sebentar.” Ucapnya sembari merogoh tasnya dan mengambil saputangan di dalamnya.
“Yaudah gue anterin.” Aku siap untuk mendahuluinya namun segera di tahan.
“Eh, jangan. Lo duluan aja ke kelas, malu kalau diliatin banyak orang lo ngikutin gue ke toilet.” Jawabnya
Ku gelengkan kepalaku. “Gue nggak peduli omongan orang, Sya. Tenang aja, gue nggak takut image gue rusak kok.” Ucapku sembari tertawa kecil.
Kesya meninju lenganku pelan, ku lihat semburat merah mewarnai pipinya ditambah senyuman di bibirnya. “Ish, lo jangan sok kegantengan gitu deh. Serius gapapa, gue bisa sendiri. Lo duluan aja ke kelas.”
“Yakin nggak mau di temenin orang sok ganteng yang sebenarnya memang ganteng ini?” godaku.
Kali ini Kesya tertawa. “Yakin! Dan asal lo tau, lo itu…”
Kesya mendekatkan bibirnya ke telingaku dan membisikkan sesuatu. “memang ganteng.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, ia langsung berjalan dengan cepat meninggalkanku yang masih terpaku di tempat. Astaga, untuk pertama kalinya aku di gombalin seorang cewek? Bukan pertama kali sih, Vina dulu sering menggombaliku seperti Kesya tadi. Tapi saat Kesya yang mengatakannya entah kenapa rasanya berbeda. Hatiku rasanya berdebar lebih cepat dan wajahku memanas.
Ah, sudahlah. Aku harus kembali fokus ke dunia nyata. Jangan biarkan dunia imajinasiku malah membuatku senyum-senyum sendiri yang akhirnya dianggap tidak normal oleh orang-orang yang melintas didepanku.
“WOY!!!!!” teriak seseorang sembari menepuk bahuku.
Aku terlonjak kaget. Ku dapati Edo cengar-cengir di sampingku saat ku beri dia tatapan membunuh.
“Apaan sih lo, berisik banget pagi-pagi!” bentakku. Tanpa mempedulikannya lagi, aku pun berjalan mendahuluinya.
“Eh, bro. Jangan gitu dong. Siapa suruh senyam-senyum sendirian di koridor kayak orang kesambet. Lo sadar nggak sih, adek kelas pada ngeliatin lo tadi?” tanyanya kemudian saat berhasil menyusulku.
“Masa sih? Mungkin mereka aja yang terlalu terpana melihat gue pagi ini.” Jawabku sekenanya.
Dengan cepat, ku rasakan sesuatu menghantam kepalaku hingga badanku ikut tersungkur kedepan. Aku mengerang kesakitan dan menatap Edo kesal. “Lo gila, ya? Sakit bego!” bentakku sembari mengusap pelan kepalaku yang terasa sakit.
“Lo bisa nggak sih nggak terlalu kege-eran?”
“Gue nggak ge-er, itu fakta! Lagian lo pukul gue pakek apaan sih? Sakit bener coy!”
Edo terkikik. “Nih,” dia menyodorkanku sebuah tas kertas berwarna biru. “Nyokap gue beliin lo ini sebagai hadiah.” Ucapnya.
“Wih, nyokap lo emang the best lah. Omong-omong isinya apaan?” tanyaku.
“Liat aja sendiri.”
Aku segera membuka tas yang diberikan Edo. Di dalam tas itu berisi kotak kayu berwarna hitam berukuran sedang. Ku tatap Edo dengan jengkel. “Pantesan berasa, lo pikir kayu kena kepala rasanya kayak bantal?” tanyaku.
Untuk kedua kalinya Edo tertawa senang. “Emang sejak kapan kayu rasa bantal? Yang ada kayu rasa besi baru masuk akal.” Jawabnya.
“Yaudah, thanks ya bro. Tapi dalam rangka apa nih nyokap lo beliin gue hadiah?”
“Katanya ucapan terima kasih karena akhirnya nilai gue semakin membaik dari tahun-tahun sebelumnya.”
“Yaelah bro, itu usaha lo kali bukan karena gue. Kalau itu alasannya, kayaknya gue nggak bisa nerima hadiah ini.” Aku menyodorkan kembali tas itu kepada Edo.
Edo menggeleng dan merangkulku. “Santai aja kali, anggap aja ini sebagai bonus buat lo. Biar lo tau aja, isi kotak itu jam tangan. Kenapa? Itu supaya lo bisa menghargai waktu dengan sebaik-baiknya.”
“Maksud lo?” tanyaku dengan tampang tak mengerti.
“Maksud gue biar lo nggak ngaret aja, goblok! Lo kan tukang ngaret. Lo pikir biasanya gue sama Denon nggak bosen apa nungguin lo di lapangan kalau kita janjian?” Edo tertawa dengan ucapannya, tapi aku tidak.
Pikiranku kembali terngiang tentang persahabatan kami bertiga. Jujur saja, aku rindu Denon. Kekonyolannya, kejahilannya kalau deket Vina, debatnya, semuanya. Aku rindu masa itu.
Aku menghembuskan nafasku pelan. “Denon apa kabar?” tanyaku.
Edo menghentikan tawanya. Ia menoleh kearahku. “Baik, ya cuman itu. Akhir-akhir ini dia susah dihubungin. Bahkan kita udah nggak satu motor lagi.”
“Sorry, bro. Kayaknya ini semua gara-gara gue. Gue yang buat persahabatan ini hancur.” Sesalku.
Edo menepuk-nepuk bahuku. “Udahlah, ini bukan seratus persen salah lo kok. Mungkin aja ini cobaan, kita jalanin aja kedepannya kayak gimana.”
Aku mengangguk. “Ya, semoga aja kita bisa kayak dulu lagi. Dan nggak akan pecah belah lagi seperti sekarang.”
“Semoga, bro.” balas Edo.
Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kedepannya jalan persahabatan kami. Ya, semoga saja persahabatan kami bisa kembali normal tanpa persoalan apapun itu.
Semoga.
***************