Malam hari di kota Bandung kali ini nampaknya lebih bersahabat daripada malam kemarin. Tak ada hujan, dan tak ada mendung, malam ini langit nampak cerah, bersih dari awan, dan bertabur bintang-bintang yang diterpa oleh cahaya bulan yang membuatnya nampak bersinar meramaikan malam.
Aku sedang merapihkan rambut didepan cermin--yang ada didalam kamar ku--menggunakan sisir saat Selatan masuk tanpa permisi, dan membuat ku kaget karena mendengar suara pintu yang tiba-tiba terbuka. Ia menatap ku beberapa saat, memperhatikan ku dengan seksama dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, lalu kemudian mulai menanggapi penampilan ku.
"Mau kemana?" tanyanya saat menyadari jika aku kini telah terlihat rapih dibalik baju kaos yang ku padukan dengan kemeja--yang sengaja tak ku kancing--dan celana Jeans berwarna hitam. "Mau latihan nyanyi, ada tugas sekolah," jelasku, lalu kemudian kembali merapihkan rambut ku yang tak kunjung rapih menggunakan sisir.
"Tugas sekolah?" ulangnya sekali lagi seakan ia sedang mengalami gangguan telinga yang membuat ia tak mendengar omongan ku barusan. Aku pun mengangguk, mengiyakan pertanyaan nya, "iya, emang nya kenapa?" tanyaku lagi.
"Nggak apa-apa, tapi, tumben," sambungnya tanpa penjelasan. Ia kemudian menutup pintu kamar ku dan memilh untuk pergi meninggalkan ku seorang diri didalam kamar.
Malam ini adalah malam pertama ku--selama tinggal di Bandung--pergi keluar dari rumah sendirian, berpetualang di tengah semesta Bandung tanpa ditemani oleh Selatan, Rachel, maupun Sailor yang biasanya selalu menemani ku untuk keluar dari rumah.
Tujuan ku keluar kali ini pun bukan sekedar untuk nongkrong bersama kawan di warung kopi, atau menghabiskan waktu diluar rumah dengan berkeliling kota karena merasa bosan, aku keluar karena aku memiliki janji dengan Ryan dan Eris; janji latihan menyanyi untuk ujian pengambilan nilai mata pelajaran seni budaya yang akan diadakan minggu depan.
Awalnya, kami akan latihan di rumah Eris yang terletak di bagian Jl. Jenderal Ahmad Yani, namun rupanya rencana itu tiba-tiba berubah saat Eris mendapat kabar jika dirumah nya sedang ada acara kantor ibu nya, yang membuat kami tak bisa latihan disana, karena sudah pasti akan banyak orang, jadi nya Eris mengabari kami--dengan tiba-tiba--jika latihan kami harus pindah lokasi ke suatu tempat, dan ia menyarankan untuk latihan di salah satu kafe yang letaknya tak jauh dari lokasi ku sekarang, kafe yang berada diujung jalan, dengan nuansa artistik dan suasana yang tenang--aku tahu sebab aku pernah melewati nya--dan akupun tak menolak tawaran gadis itu, malahan langsung mengiyakan nya, sebab aku penasaran dengan kafe itu.
Aku kini telah siap, tinggal memakai sepatu, dan kemudian akan segera berangkat menuju tempat itu, karena jika di tunda-tunda, malam akan semakin larut, dan akan membuat kami semakin memiliki sedikit waktu untuk latihan.
Awalnya aku berencana untuk menumpangi ojek online menuju kafe itu, tapi rencana itu terpaksa ku urungkan sebab Selatan tiba-tiba ingin mengantar ku menuju kafe. Akupun menerima tawarannya dengan senang hati tanpa ada penolakan sama sekali.
"Emang nya latihan nyanyi buat apa sih Tar?" tanya Rachel dari ambang pintu sambil menggendong Sailor dipelukannya sesaat sebelum aku dan Selatan pergi. "Buat ambil nilai," kataku.
"Ohh, jadi kamu mau serius sekolah nih? sampai mau latihan buat dapetin nilai?" tanya nya lagi, tapi kali ini dengan senyum-senyum seperti menggoda ku untuk kembali mengingat perkataan ku beberapa hari yang lalu--tentang masalah percobaan sekolah selama seminggu.
Akupun tersenyum malu tanpa menimpali pertanyaan Rachel, dan tak lama kemudian Selatan yang tadinya sedang memanasi mesin mobil datang bergabung dengan kami. Ia kemudian berpamitan dengan Rachel, lalu kemudian memberi ciuman di kening Sailor, dan selanjutnya berjalan menuju mobil antiknya sambil menarik tangan ku, kami kemudian bertolak menuju kafe itu saat malam tengah memasuki pukul delapan.
~
Nuansa kafe yang artistik serta suasana nya yang tidak terlalu ramai memang cocok untuk menjadi tempat menghabiskan waktu bersama kerabat maupun bersama bayangan. Aku menyukai kafe ini, sebab aku merasakan ada kesamaan yang terjadi diantara aku dan tempat yang baru kumasuki beberapa menit yang lalu ini.
Aku melihat Eris telah duduk manis disalah satu meja yang berada didekat jendela besar saat aku masuk melalui pintu depan kafe. Ia tersenyum saat melihat ku, maka ku balas senyumnya dengan sapaan hangat saat aku tiba di meja nya, "hai," kataku, tak lupa sambil tersenyum. "Udah lama?" sambung ku lagi, lalu kemudian duduk dikursi yang ada di seberang kursi Eris.
"Lumayan lah, lima belas menitan," katanya sambil memberikan ku sebuah papan menu, "nih pesen dulu." Akupun mengambil papan menu itu dan mulai memilih-milih makanan apa yang akan ku pesan. "Kita nggak nunggu Ryan datang dulu?" tanyaku masih sambil memperhatikan nama-nama makanan dan minuman yang di tulis menggunakan bahasa inggris.
"Ryan kayaknya nggak datang," jelas Eris.
Aku mengangkat kepalaku, dan menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Maksudnya?" tanyaku mencoba memastikan.
"Ryan dari tadi nggak bisa di hubungin, aku udah nanya kabarnya ke teman kelas yang lain juga, tapi mereka nggak tahu Ryan ada dimana," jelas Eris yang terlihat seperti kebingungan.
"Ya terus, kamu tau darimana kalau dia nggak datang?"
"Kan Ryan nya nggak ada kabar, jadi mungkin dia nggak datang, tapi lupa ngabarin kita."
"Kita tungguin aja, dia mungkin masih di jalan sekarang, kita pesan makan aja dulu, sambil nungguin dia." Akupun mengembalikan papan menu--yang tadi diberikan oleh Eris--kepadanya.
Tak berselang lama, kami pun menghentikan seorang pelayan yang sedang berjalan didekat kami untuk memberitahukan pesanan kami, pelayan itu kemudian mencatat nya di sebuah memo yang ia pegang, setelah selesai, pelayan itupun pergi menuju dapur untuk memberi tahu tukang masak agar menyiapkan makanan yang kami pesan.
Setelah sang pelayan pergi, aku dan Eris yang duduk berhadapan hanya bisa berdiam diri sambil sesekali saling menatap selama beberapa saat. Mungkin karena merasa tak enak, Eris pun membuma percakapan. "Ngomong-ngomong, kamu pindahan darimana?" tanyanya kepadaku, tapi tatapannya masih mengarah keluar jendela, kearah jalanan yang dilalui oleh banyak kendaraan.
"Jakarta," kataku sambil menatap nya. Ia pun memalingkan tatapannya dari arah jalan kearah ku. "Kenapa pindah?" tanyanya sekali lagi.
Aku tadinya enggan menjawab, dan memilih untuk menjadikan senyum ku sebagai jawaban--yang mengisyaratkan jika hal yang ia tanya adalah hal yang tidak pantas untuk dibahas. Tapi entah kenapa, aku merasa harus menjelaskan alasan kepindahan ku pada Eris, pada teman-teman ku yang lain, karena aku rasa tak ada salahnya menceritakan sedikit masa lalu ku pada mereka, dan setelah di pikir-pikir, aku pun memutuskan untuk bercerita pada Eris.
"I have problem," kata ku singkat tanpa penjelasan. Eris kemudian menatap ku dengan seksama, raut wajahnya mencoba memahami apa isi pikiran ku, sedangkan matanya menatap ku dengan tatapan seperti sedang menunggu penjelasan.
"Tell me, what's your problem?" sambung nya lagi sambil memangku wajahnya dengan sebelah tangan. "Itu nggak penting," balasku sambil tertawa. Eris pun membalas perkataan ku tadi dengan raut wajah jengkel karena merasa di bohongi. "Yaudah sih, nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita," sambung nya lagi. Aku hanya bisa tertawa melihat dirinya yang sedang kesal.
Dan tak lama kemudian, pelayan yang tadi mencatat pesanan kami kini telah kembali dengan membawa beberapa makanan dan minuman yang ia bawa diatas nampan. Ia kemudian menurunkan nampan itu diatas meja, lalu kemudian memberi kami makan sesuai dengan apa yang kami pesan.
Aku memesan ayam lalapan dan es teh manis, sedangkan Eris memesan ayam penyet yang di lumuri dengan sambal rica-rica diatas nya, dan juga sebotol air mineral ukuran sedang.
"Kalau aku boleh nanya nggak?" tanyaku pada Eris sambil mencubit daging ayam yang ada didepan ku.
"Apa?" katanya.
"Kamu musuhan sama Ryan?" tanyaku, yang mengundang ekspresi kaget untuk datang ke wajah Eris. Eris tak langsung menjawab, ia menatap ku beberapa saat dengan tatapan tidak percaya. "Tau darimana?" tanya nya balik.
"Kamu musuhan sama Ryan?" ulang ku sekali lagi. Eris mengangguk, "iya," katanya. "Kamu tau darimana?"
"Bukan darimana-mana," jawab ku, kemudian menyeruput es teh ku langsung dari gelas nya.
"Tapi, kenapa kamu bisa tau?" ulang Eris untuk kali yang ketiga. Aku pun tersenyum mendengar pertanyaan nya, "i can read your mind, Ryan's mind, Aqila's mind, and Rara's mind. Cause, i can read mind of everyone's."
Eris tertawa, "Kamu pikir aku percaya?" tanya Eris merendahkan. Aku pun tertawa pasrah, "Kalau kamu nggak percaya, nggak apa-apa, tapi aku bisa baca pikiran bapak-bapak di belakang kamu," kataku sambil melirik kearah belakang Eris. Mata Eris mengikuti arah pandangan ku, menuju seoarang bapak-bapak berperut buncit dan berkepala pelontos yang sedang menyandarkan badannya di tembok, dan tatapannya sedang fokus menatap layar laptop--walaupun sesekali matanya sering menjadi liar untuk melihat kemana-mana.
"Apa isi pikirannya?" tanya Eris sambil melihat ku serius.
"Mikirin gimana jadinya, kalau kamu jadi istri keduanya," jawab ku sambil terkekeh. Eris pun menatap ku dengan tatapan tak percaya, yang mengartikan seperti kehilangan kata-kata karena merasa jijik sekaligus merasa aneh.
"Gila ih," katanya, kemudian kembali melanjutkan makannya yang tertunda. Akupun sama, kembali mencubit daging ayam milikku, lalu mencelupkannya ke dalam sambal, lalu memasukkannya ke dalam mulut bersamaan dengan nasi hangat, lalu kemudian mengunyah nya sampai halus, dan menelannya. "Gara-gara apa?" tanyaku lagi setelah selesai mengunyah.
"Apa?" kata Eris.
"Kamu marahan sama Ryan."
Mendengar pertanyaan ku, Eris buru-buru menelan makanan yang sedang ia kunyah, lalu kemudian menenggak air mineral untuk membasahi tenggorokannya. "Udah lama kejadiannya, dari awal zaman masuk SMA," jelasnya.
"Ceritain ke aku, mau tau," pinta ku. Eris mengangkat sebelah alisnya sambil menatap ku, "tapi, kamu harus ceritain ke aku, alasan kenapa kamu pindah ke sini." Aku mengangguk setuju untuk kesepakatan itu, dan kemudian Eris mulai bercerita.
"Jadi gini, dari awal masuk SMA sampai sekarang, teman jalan aku itu tetap sama dari dulu, sama Rara, Aqila, si kembar, Adipati, Ed, sama Ryan, kita dari dulu udah sama-sama, udah sahabatan karena kita punya banyak kesamaan dalam banyak hal," jelas Eris. Ia menghentikan omongannya sejenak untuk menenggak air mineral--lagi--dan kemudian melanjutkan ceritanya.
"Awalnya semua normal-normal aja, kita bersahabat karena pure emang mau sahabatan, tapi lama kelamaan, mungkin karena faktor keadaan, sama faktor yang lain, Ryan lama-kelamaan punya rasa ke aku, awalnya aku nggak tahu, dan yang lainnya itu tahu, karena Ryan cerita, tapi lama kelamaan aku tahu juga, karena Adipati nggak sengaja ngomong kalau Ryan ada rasa sama aku pas aku ada di belakang dia, dan itu kita lagi ada didalam kelas, jadinya waktu itu kelas langsung heboh, dan ngegangguin Ryan sama aku. Terus mereka juga nyuruh-nyuruh Ryan buat nembak aku, dan bodohnya, dia bener-bener ngelakuin."
"Terus, kamu terima?" tanyaku.
Eris menggeleng. "Aku tolak, tapi bukan karena apa, aku baru tahu kalau dia suka sama aku itu lima menit yang lalu, terus sekarang dia itu langsung nembak aku, kamu bisa ngebayangin gimana rasanya nggak?" tanya Eris kepadaku sambil tertawa.
Akupun ikut tertawa, "jadi dia marah sama kamu karena kamu tolak?" tanyaku lagi. Tapi Eris lagi-lagi menggeleng. "Dia nggak marah waktu aku tolak, tapi dia marah pas tahu kalau seminggu kemudian aku balikan sama mantan aku, yang kebetulan dia anak band yang jadi saingan The Curious--nama band Adipati, Ed, dan Ryan."
Akupun kembali tertawa saat mendengar penjelasaan Eris barusan. "Yah pantas lah dia marah, kamu nolak dia, tapi kamu terima musuhnya, jatuh lah harga diri dia."
"Tapi aku udah minta maaf, dia juga maafin aku, malahan dia bilang sama aku lupain semua yang terjadi, terus sahabatan lagi kayak dulu, tapi kenyataan nya, dia jadi kayak sekarang." Tak lama kemudian, seorang pelayan datang menghampiri kami untuk memberi tahu pemberitahuan jika kafe sudah akan tutup dalam setengah jam lagi.
"Serius mas udah mau tutup?" tanya Eris seakan tak percaya. Pelayan itu mengangguk dengan yakin, "iya mba, hari ini tutup lebih awal soalnya yang punya kafe lagi kedukaan," jelas sang pelayan.
Kami pun turut mengucapkan bela sungkawa pada sang pemilik melalui pelayan yang tadi, dan karena kami sudah diberi pemberitahuan untuk segera meninggalkan tempat, aku dan Eris pun memilih untuk segera pulang.
"Yah, nggak jadi latihan," kataku sesaat setelah keluar dari kafe. Ryan yang sejak tadi kami tunggu kedatangannya tak juga kunjung datang, entah karena apa, ia menghilang tanpa kabar, ingkar janji kepada kami.
"Kamu juga nggak jadi cerita apa alasan kamu pindah kesini," balas Eris seakan mengingatkan. "Ohia," kataku. "Nanti deh, di kelas."
Sekarang kami telah berdiri di pinggir jalan raya, dibawah sinar lampu jalan yang cukup menerangi sekitarannya. "Kamu pulang naik apa?" tanya Eris padaku. "Jemputan ku ada di sana, kalau kamu mau bareng, nggak apa-apa," tawarnya sambil menunjuk ke sebuah rumah yang ada didekat tiang lampu jalan yang lain.
"Nggak Ris makasih, aku naik ojek online kok."
"Bener nih?" tanyanya mencoba meyakinkan. Akupun mengangguk, "beneran, ini udah di pesan juga," balasku sambil melihatkan aplikasi ojek online itu.
"Oh yaudah deh, aku kesana duluan ya?" katanya, dan ku balas dengan anggukan. "Hati-hati," kataku saat ia perlahan mulai melangkah menjauh. "Eh Eris," panggil ku, membuat sang pemilik nama berbalik untuk melihat kearah ku. Raut wajahnya bertanya, "ada apa?" tanyanya seperti itu Akupun melangkah kan kaki, mendekat kearah gadis itu untuk menyampaikan sesuatu. "Telfon aku kalau kamu udah nyampe dirumah, ya?" Eris pun mengangguk, "oke," begitu katanya, lalu kemudian kembali melangkah kan kaki nya kearah sebuah rumah yang ada di seberang jalan.