Weekend telah tiba. Hari di mana kaum pekerja bagai kuda menjalankan ritualnya yaitu hibernasi. Itu hanya berlaku bagi kaum jomblo seperti Zela Syinjin dan yang merasa saja ya. Kalau sudah punya status atau hubungan tanpa status beda lagi urusannya. Seperti Joni Ricardo ini. Pagi-pagi ia sudah memilih-memilah baju yang cocok untuk di kenakan. Untung kacanya tak bisa bicara, jika bisa. Apa kabar nasib Joni?. Bisa jadi orang yang mematut-matut baju ini kena sleding.
“Jon mau ke mana?”
“Biasa Ma anak muda. Hehehe”
“Hmmm hati-hati. Salam buat Zela ya. Suruh main sini udah lama sekalin dia gak main. Apa kalian berantem”
“Iya Mama nanti aku bilangin Zela kalau ketemu. Joni pergi dulu ya Ma”
“Eh? Apa maksudnya tuh? Apa dia gak mau ketemu Zela?”
Joni mendengar pertanyaan sang ibu hanya tersenyum tak ingin mejawab.
Lalu Joni menuju garasi mengambil mobil ke sayangannya dan mejalankan dengan bersiul ria. Pasalnya, ia akan mengenalkan kekasihnya kepada Zela. Bukan kekasih. Lebih tepatnya calon istri. Joni bukan tipe lelaki zaman sekarang yang kencan terlalu lama tapi tak memberi ke pastian. Ia akan mencoba membuka hatinya untuk gadis lain. Meskipun hatinya hanya untuk Zela seorang. Sudah sering ia melempar kode untuk menghalalkan Zela. Tapi anggapan Zela itu hanya candaan belaka. Kemudian Zela akan mengalihkan pembicaraan.
Joni telah sampai di komplek gadis yang selama ini ia dekati. Mobil jaz biru mengklason. Lalu sekurity membukakan pintu gerbang. Kedatangannya sudah di sambut oleh seorang gadis sambil tersenyum manis.
“Ehm. I like you style” bisik gadis itu.
“Seriusan? Terima kasih. Oh di rumah ada siapa?”
“Mama sama Papa ada kok”
“Arum. Ini siapa?”
“Bang Joni Ma”
Lalu Joni mengulurkan tanggan kepada Mama Sinta dan Papa Pranaja. Joni minta izin untuk membawa Arum pergi jalan-jalan. Joni tipe lelaki tanggung jawab. Jika ia ingin mengajak anak orang, maka ia mempunyai tekat minta izin langsung kepada orang tuanya. Ia tak suka dengan ide Arum janjian atau ketemuan di pinggir jalan. Menurut Joni itu risiko yang signifikan. Cenderung menjadi sasaran empuk emak-emak tetangga komplek yang suka komentar dengan maha kebenarannya. Setelah mengutarakan niatnya, Joni pamit kepada kedua orang tua Arum.
“Wah Bang Joni keren banget. Orang pertama yang menghadap ke orang tuaku”
“Hehehe. Masak sih?”
“Iya Bang. Mama aja sempet muji Bang Jon loh. Eh tunggu deh, kita mau ke mana?”
“Ke suatu tempat, nanti juga tau”
Hening. Tak ada lagi topik pembicaraan. Mereka asyik dengan pikiran masing-masing hanya terdengar deru mesin di antara mereka. Sesekali Arum melirik ke sebelah kemudi lalu ia tersenyum bahagia. Ia tak percaya dengan karakter Joni. Menurutnya, Joni sangat berbeda dari mantan-mantannya. Waduh. Sepertinya Arum mempunyai stock mantan banyak ya.
“Kita sudah sampai”
“Ini rumah siapa Bang? Rumah kamu?”
Joni hanya menggeleng dan tersenyum.
“Cici guweh. Om Jonjon bertamu. Lu di dalamkan? Bukain dong”
Sang empu rumah tak bergeming dan juga tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam.
“Ehm. Gak ada orangnya kali Bang”
“Ada kok. Pasti dia masih ngorok. Hehehe”
“Siapa dia? Kok bang Joni tau banget kebiasaannya”~ Arum.
“Hello... bangun dong...’
Tiba-tiba engsel pintu bergerak. Joni tersenyum bahagia. Tapi membuat Arum penasaran dengan si pemilik rumah ini. sang empu rumah keluar dengan penampilan khas orang bangun tidur. Ia berjalan malas sambil garuk-garuk rambutnya.
“Huuuwaamm. Ngapain ke sini Om?”
“Main aja sih. Lu baru bangun”
“Hmm”
“Dih! Jorok banget sih jadi cewek”~ Arum.
Medengar benak seorang gadis. Ia menyipitkan mata dan menoleh ke samping Joni. Zela mengernyitkan dahi. Heran. Dan juga was-was dengan kata-kata Joni tempo lalu. Jika ia akan mengenalkan seseorang kepadanya. Zela mempersilakan tamunya. Lalu ia membuka tirai dan jedela supaya berganti ventilasi.
“Jeny itu siapa gadis yang bersama Joni?”
“Aku gak tau Taufan. Memangnya kenapa?”
“Jeny mari siap-siap tutup telinga”
“Loh kenapa begitu pak tua?”
“Sepertinya itu pujaan hati Joni”
“Jangan asal bicara pak tua. Bukankah hati Joni untuk Zela seorang”
“Hahaha. Taufan. Taufan seiring waktu hati manusia bisa berubah”
Zela yang mendengar desas-desus para makhluk itu melotot tajam. Melihat ekpresi kurang sedap itu, mereka lansung enyah dari peredaran Zela.
“Om Jon cari sendiri apa yang ada di kulkas, Oke. Gue cuci muka dulu”
“Sumpah kok ada model cewek kek dia. Siapanya Bang Joni sih dia. Om. Om emang dia ponakkannya? Tapi setahu gue Bang Jon anak tunggal. Gak punya sepupu atau keponakan yang seumurannya? Terus ini siapa?”~ Arum.
Kepergian Zela memberi kesempatan Arum untuk bertanya gadis itu. Entah, efek apa yang membuat Joni begitu antusias menceritakan Zela. Hingga membuat Arum tak sanggup menahan nyeri di dada. Jelas sekali jika Joni tak hanya menganggap Zela sahabat. Arum tak sanggup lagi untuk mendengar cerita Joni. Ia mengajak Joni untuk segera jalan-jalan. Katanya sebelum moodnya hilang.
“Eh. Udah mau pergi? Buru-buru amat Om Jon?” heran Zela.
“Hehehe. Iya sebenarnya kita cuma mampir aja sih. Sekaligus mau ngenalin calon istri gue” sambil terkekeh dan salah tingkah.
Seperti kesamber petir di siang bolong. Lutut Zela lemas, apa kabar hati? Jangan bilang baik-baik saja. Bagaikan belati menikam hati. Sangat dalam. Nyeri. Sesak. Ah sulit sekali untuk di rangkai dengan sebuah kata-kata. Hanya Zela yang merasakan getirnya sebuah rasa yang terpendam selama ini. Bayangkan saja jika seseorang yang sudah begitu dekat denganmu, tiba-tiba mengenalkan wanita lain untuk menjadi pendampingnya.
Sedangkan Arum. Ia nampak begitu bahagia dengan ucapan Joni yang notabene lelaki idamannya. Zela bagikan arca hidup. Ketika dua insan yang sedang kasmaran undur diri, ia hanya menyunggingkan senyum kecut. Zela kehilangan keseimbangan dan tersungkur kelantai. Tanpa diundang air mata membanjiri pipinya.
Melihat pawang rumah, para makhluk mengelilinginya dengan tatapan iba. Kondisi seperti ini mengingatkan mereka ketika sang pawang di tinggal oleh nenek tercintanya tiga tahun yang lalu. Mereka merasa lebih baik jika sang pawang mengumpat sesuka hati dari pada seperti ini.
“Joni. Gue ikhlas lu nikah sama pilihan hati lu. Gue ikhlas lu ninggalin gue. Tapi kenapa? Hiks. Kenapa dada gue nyesek Jon? kenapa?. Gu... hiks gue gak ingin nangis tapi kenapa? Kenapa air mata sialan ini terus keluar?.
Mungkin gue terlalu menyayangi lu. Gue tau Jon, lu suka gue. Tapi gue gak berani jalani. Karena gue gak punya keluarga yang lu idamamkan selama ini. Lu butuh kehangatan seorang ayah, yang ingin lu ajak bermain catur, bola dan apalah keinginan lu. Kalau elo sama gue. Sudah pasti gue gak bisa janjiin itu semua.
Dan faktor pendukung buat gue buka mata. Tanpa lu tahu gue mendengar pikiran lu. ‘cewek yang gak bisa lihat aneh-aneh’ sedangkan gue? paket komplit orang gak normal” monolog Zela panjang lebar sambil memukul-mukul dadanya dan kilasan kali pertama bertemu dengan Joni ia putar.
Flash back;
Setelah libur panjang semester genap semua siswa maasuk kembali dengan rutinitasnya dalam menggali ilmu. Sebuah tradisi di semua skolah jika memasuki tahun ajaran baru.. Yaitu Masa orientasi Sekolah untuk meyambut murid baru atau suatu ajang pengenalan sekolah. Begitu pula dengan SMP Pancasila.
“Hei gue Joni Ricardo. Lu siapa?” ucapnya sambil mengulurkan tanggan.
“Zela. Gini aja ya. Kan kita gak muhrim. Hehehe” menelangkupkan tanggan ke dada.
“Hehehe. Oke. Suatu saat pasti muhrim kok” celetuknya.
“Jangan. Bahaya. Gue bukan seperti manusia kebanyakan” Balas Zela Lesu.
"Masak” kekeh Joni.
Hari berganti hari. Waktu terus berjalan. Tanpa sengaja mereka selalu bersama. Dari belajar kelompok. Masuk eskul yang sama. Ikut olimpiade. Dan kegiatan yang selalu melibatkan mereka. Makhlum mereka tergolong kategori murid pandai. Hingga pada suatu saat Zela medelagikan untuk bersahabatan supaya lebih enak ngobrolnya atau bisa saling terbuka dalam bertukar pendapat.
“Gue setuju”
“Deal Om Jon”
“Ih gue masih muda. Jangan manggil gue Om”
“Iye gue tau. Tapi tampang lu kek om-om”
“Hahaha sialan lu. Serah lu dah Ci”
“Kok Ci?”
“Iya Cici guweh. Hehehe”
“Tapi gue bukan orang cina tuh”
“Hmmm gue kira lu keturunan cina. Mata lu sipit sih. hehehe”
“Tau dah serah lu”
Semejak itu mereka selalu bersama. Bagaikan bak pinang belah dua.
Flash back end.
“Sudah berakhir Ze. Cukup di simpan sebagai kenangan. Mari kembali dengan kehidupan sebelumnya. Dunia penuh kebisingan dan penglihatan mengerikan” Zela mengusap air matanya dan berjalan mencari makan.
Sepertinya cacing di perut mulai beraksi. Untuk saat ini ia butuh sebuah kedamaian. Bukan kebisingan seperti ini. Belum lagi para makhluk yang sliweran membuat matanya lelah. Gemuruh benak orang di luar semakin membuat kepala Zela ingin meledak. Lemas tak punya tenaga. Ia menyandar ke tiang listrik. Mendadak pandangannya kabur dan semua menjadi gelap. Tubuhnya lemas. Ia pingsan.
***
Thanks masukannya kaka, siap edit :)
Comment on chapter Episode satu