Lisa mengambil cuti selama dua minggu. Ia ingin menyelesaikan masalah pribadinya. Sengaja Lisa tak cerita kepada sahabatnya. Takutnya, mereka akan menyerang Gio. Lisa tahu betul bagaimana karakter sahabatnya itu. Tanpa pikir panjang Nando mengizinkan.
Sang mentari perlahan merangkak ke ufuk barat. Tandanya senja sebentar lagi akan menyapa. Satu persatu pegawai ZJ absen undur diri. Untung saja sang bos tak mengumumkan untuk lembur. Biasanya, jika ia mode marah. Tanpa belas kasihan ia mengumumkan semua pegawai harus bin wajib lembur. Jika tidak, silakan resgin late.
“Zela sekali lagi terima kasih atas pencerahnya tadi” ucap Lisa tiba-tiba membuat Zela kaget. Ia menoleh Lisa.
“Oh. Emmmm. Saya seharusnya minta maaf bu, saya sudah bicara tak sopan pada ibu”
“Hahaha. Lu lucu banget Ze. Gue tahu lu kiku kan ngoman sopan gitu? Keliatan dari gaya bicara lu. Gue akui lu memang beda dari anak remaja kebanyakan. pasti nyokab-bokap lu bangga punya anak kek lu”
Deg.
Zela menghentikan langkahnya. Ia merasa ada yang ganjal di hatinya. Dadanya seolah terhimpit beribu ton bebatuan ketika membahas orang tuanya.
“Ze ada apa? apa ada kal...”
“Enggak kok bu. Tiba-tiba ingat ada sesuatu yang ketinggal”
“Oh gitu. Hati-hati ya. Di dalem udah kosong paling tinggal OB sama satpan aja. Oh iya gue ambil cuti selama dua minggu. See you Zela” ucap Lisa sambil melambaikan tangannya.
Zela langsung berlari menuju toilet. Saat ini ia butuh bilik untuk menupahkan sesak di dadanya. Memang kelihatan ia sangat tegar. Tetapi jika ada yang menyebutkan orang tuanya, entah ia menjadi lemah dan cengeng. Zela terus berlari di lorong-lorong. Ia tak mepedulikan para makhluk yang terus menyapa dan menggodanya. Wah! Sepertinya Zela sudah terkenal di kalangan makhluk di tempat kerjanya.
“Mbak Zela ada apa?” tanay Krisna kaget.
“TOILET OM” sahut Zela cepat.
“Hah? telolet Om? Ih mbah Zela ada-ada saja nih” kekeh Krisna.
“Ngomong sama siapa Kris?”
“Astagfirullahalazim. Mas Jay kaget saya. Kok tiba-tiba mucul di hadapannya” sambil mengelus-elus dadanya.
“Lu nya aja yang pikirannya kemana-mana. Orang kelihatan kok dari arah lu jalan” elak Jay tak ingin di tunding.
“Hehehe. Gitu ya mas. Iya tadi lagi mencernal oomongannya mbak Zela ” jawab Krisna sambil menggaruk-garuk rambutnya.
“Zela? Belum pulang?” heran Jay yang di sambut kerutan dahi Krisna. Seolah mengatakan ‘siapa Syinjin? nama asing. Iyain aja dah takut naik darah kalau bertanya’
“Lagi ke toilet mas”
Jawaban Jay hanya beroh ria sambil menuju parkiran.
Setengah jam kemudian. Zela baru selesai ritualnya. Ia keluar dengan penampilan yang berbeda. Menyematkan kacama hitamnya dan rambut yang semula tergerai indah kini diikat asal-asalan oleh sang empu.
“Wah! Mbak Zela sexy amat ya kalau seperti itu”~ Krisna sambil memandangi Zela dari jauh.
Zela hanya mendengus kasar mendengar benak Krisan. Ia hanya melewati Krisan tanpa tegur sapa. Terlalu malas. Gerak-gerik Zela ternyata ada yang mengamati. Pemilik sepasang mata itu adalah Jay. Ia memakirkan mobilnya di sebelah kanan pintu gerbang perusahannya. Ketika gadis mungil itu keluar, tak sadar ia menyunggingkan senyum lega. Jika saja gadis itu tak keluar maka ia akan menyusulnya ke toilet.
Sepasang matanya terus mengamati gadis itu, hingga menangkap sebuah mobil warna biru menghampirinya dan berhenti di hadapan gadis itu. Lalu keluar seorang lelaki dengan penampilan, lumayan keren menurut penilain Jay. ia memberikan sesuatu pada gadis itu. Melihat adegan yang tak di inginkan menimbulkan gejolak aneh mampir di hatinya seraya mencibir kelakuan mereka. Katanya kekanak-kanakkan mengubar kemesraan depan umum.
***
T Tiba di mansionnya, Jay langsung membuang asal kunci mobilnya. Pikiran ia menerka-nerka siapa lelaki yang bersama Zela. Ia penasaran dengan lelaki itu. Gestus lelaki itu tak asing baginya. Semakin mengingat malah semakin membuatnya tersiksa. Pasalnya, dalam bayangan liar Jay, mereka mempraktekan adengan ciuman.
“Gila. Ini gak goleh terjadi” ucapnya sambil geleng-geleng kepala. Sedang kalut memikirkan gadis mungil itu. Tiba-tiba handphonenya berdering. Reflek ia menggeser layar berukuran 5.6 inci itu kekanan tanpa membaca sang pemanggil.
“Oh My God. Akhirnya anakku mau angkat telfonku” ucap orang di sebrang bahagia. Sedangkan Jay mati-mati merutuki kebodohannya yang main geser-geser tak melihat nama pemanggil. Kalau seperti ini sudah tak bisa lagi lari dari kenyataan.
“Hmmm. Ada sedikit kesalahan jadi ya keangkat”
“Apapun alasanmu Jay, bunda sangat senang kamu mau nerima telfon bunda. Apa kabarmu? Orang rumah kangen Jay. mainlah sebentar saja ke sini”
Diam.
Tiba-tiba ia teringat ucapan Zela . Sebuah tetuah yang mampu menusuk ulu hati. Ia tmembenarkan ucapan gadis itu, tapi juga menyangkal kalau perbuataannya ada usur tertentu hingga sampai hati mengabaikan orang tuanya.
“Hello Jay, kamu masih di sana?”
“Oh. Ehm. Masih Bun. Kenapa?”
“Enggak. Kamu ingetkan lusa ada apa?”
“Emang ad apa Bun?”
“Weh! Kamu benar-benar lupa Jay? ulang tahun ayahmu. Kamu datang ya. Undang juga pekerjamu biar ramai. Ya udah gitu aja ya. We miss you, honey”
Jay hanya menatap layar 5,6 meredup. Ia masih membenci kejadian setahun yang lalu. Alasan terbesarnya menghindari orang rumah. Ketika ia di bujuk untuk menikahi Metra. yang notabene berhubungan dengan gadisnya. Mela. Ia tanpa berpikir panjang langsung menyambar kunci mobilnya dan mengendarai tak tentu arah. Yang penting ia bisa melupakan kilasan-kilsan masa lalu yang menyesakkan dada.
Jay sudah lima kali muter-muter tak tentu arah. tiba-tiba matanya melihat sosok gadis mungil yang menteng sepatunya. Ia sengaja mengemudi secara perlahan. Gadis itu melesat ke sebuah taman nan gelap.
“Hah? Mau kemana dia? Apa dia sudah gila? Apa dia gak takut” komentar Jay sambil menepikan mobil. Dan mengikuti gadis itu. Dalam hitungan detik tubuh gadis itu tak terlihat. Ia clingungan khawatir jika terjadi sesuatu
“Baang nyari siapa bang?” iseng Zela dengan nada horor.
“Oh My God” kaget Jay nyari tersungkur.
“Buahahaha” girang Zela sambil jongkok.
“Puas lu? Ngerjain gue” kesal Jay.
“Ehm. Sorry pak. Saya kira bapak, om Joni” sahut Zela garuk-garuk kepala dan berdiri sambil berjalan menuju tempat yang di inginkan.
“Lu ngapain malam-malam ke sini? bukannya besok kerja?”
“Lah bapak sendiri ngapain nglayap ke sini”
“Kalau di tanya tuh jawab kali. Bukan malah balik tanya. Hobby banget kek gitu”
“Hehehe. Ada nikmat tersendiri pak kalau tanya balik tanya tuh”
Jay urung menyahut. Ia terpesona dengan keindahan taman nan gelap yang menurut Jay menyeramkan di lihat dari luarnya. Justru dalam taman ini lebih indah dengan kerlap-kerlip lampu taman dan di tengah-tengahnya ada danau.
“Indah kan” puji Zela.
“Kok lu tahu tempat ini”
Hening. Zela tak langsung menjawab. Ia hanya memejapkan matanya dan menghirup udara dalam-dalam. Jay yang melihat hanya tersenyum geli dengan kelakuan gadis mungil ini. Tanpa ia sadari ada gejolak aneh tiba-tiba menyerang dadanya. Namun ia abaikan.
“Saya menemukannya sejak masih SD pak”
“Oh. Berarti sering ke sini?”
“Enggak. Kalau gak enak hati aja”
“Berarti sekarang lagi gak enak hati?”
“Eh. Hmmm ya begitulah”
“Sepertinya lu tipe tertutup ya?”
“Maksudnya pak?”
“Gak ada maksud apa-apa kok. Oh iya gue mau tau. Pas interview lu ngomong sama siapa?”
“Yakin bapak mau tau?”
“Yakin”
Zela menjelaskan apa yang terjadi di ruang interview beberapa hari yang lalu. Awalnya ia ragu. Tapi Jay sangat penasaran. Percaya tak percaya Jay jijik ketika mendengar apa yang di lihat Zela. Namun otak Jay memutar memory tempo lalu. Dan ucapan gadis ini yang membuatnya kesal. ‘Nanjis! Gak minat gue apa lagi sisa-sisa setan macem lu’.
“Oh iya pak soal kemarin, saya gak sengaja. Tiba-tiba makhluk itu menyapa saya dan mengenalkan nama-namanya”
“Apa? mereka punya nama?”
“Iya. Namanya tuh Kiki, Nela dan Mela”
Deg.
Reaksi aneh Jay ketika mendengar nama terakhir yang di sebut Zela. Sekettika ia mengingat sosok sang mantan kekasihnya. Zela pernah mendengar nama itu lewat pikiran Jay ingin bertanya tapi urung. Jika Jay tahu tetang dirinya lebih dalam itu akan berbahaya. Zela hanya diam dan memainkan ilalang di hadapannya.
“Apa lu gak takut?”
“Takut apa pak?”
“Hmmmmm. Sumpah gue sebel kalau ada orang moedel lu”
“Hehehe. Sory pak sorry. Udah biasa pak”
“Sejak?”
“Kecil”
Jay menunggu kalimat yang akan keluar dari bibir Zela. Tapi nihil. Lima menit berlalu gadis yang ia tatap malah asyik dengan kegiatannya, melepar-lepar batu kecil ke danau.
“Busyet. Gitu doa jawabnya. Gak mau tanya sesuatu gitu ke gue. Jarang-jarang loh gue duduk bareng gini. Harusnya dia tuh seneng berduaan sama gue. Kan cewek-cewek pingin banget gue ramahin. Senyumin. Baikin. Apa lagi di kencanin”~ Jay.
“Gila pede banget. Sorry pak, gue bukan cewek seperti mereka”~ Zela.
***
Thanks masukannya kaka, siap edit :)
Comment on chapter Episode satu