12 jam sebelum penyergapan...
Arif terus mengetuk pintu rumah Dera. Masih tak ada jawaban dari dalam. Ia menelfon Dera hingga puluhan kali. Tak ada satupun yang dijawab. Ia kembali ke dalam mobilnya. Dilihatnya pesan-pesan yang ia kirim ke Dera. Tak satupun yang dibalas. Media sosialnya juga masih offline sejak kemarin. Arif meletakan ponselnya. Ia pejamkan matanya sejenak.
Drrrttt....Drrrrtttt...Drrrttt....
Arif langsung menyambar ponselnya, “Halo, Ra.”
Orang yang menghubungi Arif tertawa kecil, “Hahaha. Kamu pasti lagi bingung nyari Dera.”
“Lo sendiri dimana Lev? Dera nyari lo dari kemarin.”
“Aku tahu Dera ada di mana. Aku tunggu di markas Menwa sekarang.”
Tanpa berpikir panjang, Arif langsung tancap gas menuju kampus. Setelah memarkir mobilnya, ia berlari menuju markas. Rida dan Niko berjaga di depan pintu masuk. Arif menghampiri mereka dengan tergopoh-gopoh.
“Kalian lihat Levi nggak?”tanya Arif dengan nafas terengah-engah.
“Levi di ruang komandan.”jawab Niko dengan tatapan bingung. Dalam hati ia ingin menanyakan apa yang terjadinya kepada Arif, tetapi ia tahu betul bahwa pertanyaannya tak akan dijawab oleh komandannya.
Arif berlari menuju ruang komandan. Levi tengah duduk di kursi. Arif menghampirinya.
“Jadi, di mana Dera?”tanya Arif tanpa basa-basi.
Levi tersenyum, “Aku suka sifat kamu yang to the point begini. Aku juga nggak punya banyak waktu. Jadi, aku akan jelasin langsung ke intinya. Dengerin baik-baik! Mungkin kamu bakal kaget, tapi tolong jangan tanya macam-macam. Kamu akan dapat penjelasan setelah semua ini selesai.”
Wajah Levi terlihat benar-benar serius. Arif tahu bahwa ada suatu hal yang terjadi. Ia pun segera mengangguk dan membuka pendengarannya lebar-lebar.
“Pertama, kamu harus tahu kalau Dera itu bukan mahasiswa, dia agen dari BIN. Sekarang, dia dan rekan-rekannya diculik sama kelompok mavia. Pemimpin mereka namanya Marco. Kalau Dera nggak mau nyerahin bukti-bukti yang mereka kumpulin, Marco akan bunuh semua agen Tim D malam ini. Dera disekap di rumah tua bergaya Eropa. Masalahnya, rumah itu punya sistem keamanan yang sulit ditembus. Tapi, aku yakin kamu bisa atasi masalah itu. Sayangnya kita punya masalah lain. Ada mata-mata mereka di kepolisian. Kita nggak bisa minta polisi nyergap tempat itu. Karena itu, malam ini kita akan jalanin Rencana Z, atau bisa dibilang Plan Zero. Kamu bawa pasukan Menwa dan sergap tempat itu. Kamu harus bawa semua anggota. Jumlah mavia di markas mereka ada sekitar tiga puluh. Rekan ku yang ada di divisi intelijen akan gunain kesempatan ini buat nangkep mata-mata di kepolisian. Aku akan berusaha lindungi Dera. Ada pertanyaan terkait misi?”jelas Levi panjang lebar.
“Gue yakin para mavia itu punya pistol ilegal. Lo tahu sendiri cuma ada dua pistol di markas ini. Selain itu, para mavia itu akan curiga kalau gue matiin semua kamera pengawas.”
“Soal itu, jangan khawatir. Aku udah ganti pistol mereka dengan pistol yang isinya biji baja. Memang bisa bikin kulit berdarah kalau sampai kena, tapi bukan luka berat. Kalian bisa pakai sesuatu untuk lindungi tubuh kalian. Masalahnya Marco masih pegang pistol asli. Aku yang akan urus dia. Aku akan kasih foto dia ke kamu, pastiin semua anggota Menwa untuk jaga jarak aman sama dia. Soal kamera CCTV, aku akan kasih obat tidur ke mereka yang ada di ruang pengawas. Setelah itu, aku akan kunci ruang pengawas biar nggak ada orang yang bisa masuk. Ah, aku baru ingat. Gimanapun caranya, pasukan menwa harus udah masuk ke dalam rumah itu setelah aku ngasih kode. Kamu harus ingat hal ini baik-baik.”
“Kode apa?”
“Tiga suara tembakan.”
Arif mengangguk paham. Ia tak punya waktu untuk terkejut. Ia harus segera memikirkan rencana. Levi memberikan foto Marco pada Arif. Setelah itu, ia langsung pergi dari tempat itu. Arif mengambil ponselnya dan segera mengumpulkan semua anggota Menwa di markas.
***
Dua jam sebelum penyergapan....
“Malam ini, kita harus melakukan misi yang berbahaya. Saya sudah jelaskan situasinya. Sekarang, kita akan menyusun rencana. Kita bagi pasukan ke dalam dua kelompok. Sub pasukan putra akan menjadi penyerang. Sub pasukan putri harus segera membebaskan para sandera setelah kita berhasil masuk. Niko sebagai Komandan Sub Pasukan Putra setelah ini segera koordinasi pergerakan Sub Pasukan Putra. Melani sebagai Komandan Sub Pasukan Putri segera susun rencana pergerakan Pasukan Putri. Kita akan melakukan serangan terbuka. Mereka membawa pistol berisi bji baja. Memang tidak menimbulkan luka berat, tapi akan mengakibatkan luka ringan jika terkena kulit. Karena itu, kita akan pakai tas ransel besar sebagai perisai. Kalian paham?”
“Siap! Paham!”jawab seluruh personil Resimen Mahasiswa dengan kompak.
Semua personil Menwa segera menaiki mobil yang telah disediakan oleh Levi. Mereka berangkat menuju markas musuh dengan diam-diam. Mobil diparkir agak jauh dari markas musuh. Mereka pun harus berjalan cukup jauh menuju rumah tua bergaya Eropa itu. Setibanya di sana, mereka segera melumpuhkan penjaga yang ada di luar gerbang rumah. Arif mengendap-endap menuju gerbang utama. Ia mengeluarkan laptopnya. Dengan jari-jemarinya yang lincah, ia meretas sistem keamanan di rumah itu. Ia membuka pintu gerbang yang telah terhubung dengan sistem keamanan di laptopnya. Ia juga memeriksa keadaan melalui semua kamera pengawas.
Salah satu kamera pengawas terhubung dengan ruang tempat Dera disekap. Arif menyadari keadaan di dalam rumah mulai genting saat Levi mengeluarkan pistolnya. Arif segera memerintahkan pasukan untuk mendekat ke ruangan itu dengan diam-diam. Ruangan itu terhubung dengan teras rumah melalui pintu utama. Delapan orang bersonil telah berdiri di depan pintu utama, mereka siap mendobrak pintu itu setelah mendengar kode dari Levi.
Sementara itu, situasi di dalam rumah semakin memburuk. Levi menodongkan pistolnya tepat di depan mata Dera. Ia memberikan sebuah kode dengan mengetukan ibu jarinya di pistol. Ia mengetukan jarinya tiga kali lalu berhenti. Kemudian ia mengetukan jarinya lagi dua kali. Setelah jeda selama tiga detik, ia kembali mengetukan jarinya empat kali. Itu adalah kode 3-2-4 yang berarti ‘Aku sekutu’. Dera mengangguk paham dengan sangat pelan agar tidak ada yang curiga.
Levi bersiap menarik pelatuknya. Ia merubah arah bidikannya ke gembok yang terpasang di rantai. Ia menembak gembok itu tiga kali. Dera pun dapat terlepas dari rantai yang melilitnya. Dera memasang kuda-kudanya. Ia tak tahu apa rencana Levi, yang jelas ia harus bertarung dengan tangan kosong. Levi melempar pistol dengan tangan kirinya. Meski agak terkejut, Dera tetap menangkap pistol itu dengan tepat. Dera dan Levi saling membelakangi satu sama lain. Mereka menodongkan pistol ke arah para mavia. Kedua perempuan itu dikepung oleh para mavia bersenjata.
Setelah mendengar suara tembakan tiga kali, pintu utama yang sungguh besar itu segera didobrak. Hal itu membuat kaca jendela yang ada di kanan kiri pintu ikut pecah karena resonansi dari pintu. Pasukan Menwa segera menyerang. Dengan kemampuan bela diri mereka, para mavia berhasil ditaklukan, setelah melalui pertarungan sengit tentunya. Arif mencari Dera di ruang utama. Tak ditemukan kekasihnya di dalam rumah itu. Ia mendengar suara sirine ambulan dari arah belakang rumah. Ia berpikir bahwa ada kemungkinan Dera terluka. Ia segera berlari menuju halaman belakang rumah itu. Dilihatnya Dera yang tengah berdiri di tengah para polisi yang berlalu lalang. Ia sungguh senang melihat pacarnya tak terluka hingga tak mampu bergerak.
Dera melihat Arif yang berdiri mematung. Ia dapat melihat kekhawatiran Arif yang terukir jelas di wajah pacarnya itu. Dera berlari menghampiri Arif. Mereka berdua hanya saling tatap selama beberapa menit. Kebingungan terlihat di wajah kedua orang itu. Mereka sama-sama harus menjalankan rencana yang sangat dadakan hingga tidak sempat mencerna situasi yang ada. Meski Arif tidak begitu tahu mengenai identitas Dera, ia tak mau peduli dengan hal itu. Ia peluk Dera erat-erat setelah hatinya mulai tenang.
***
Dua hari kemudian...
“Dipta! Dipta! Buka pintunya!”
Dera terus menggedor pintu rumah Dipta. Si pemilik rumah keluar dengan sempoyongan. Rambutnya masih acak-acakan. Dipta menguap beberapa kali. Terlihat jelas bahwa lelaki itu baru saja bangun tidur.
“Lo ngapain sih, Ra? Pagi-pagi udah berisik.”
“Sekarang udah jam 4 sore, Dipta.”
Dipta menguap lagi, “Buat gue hari libur itu serasa pagi terus. Lagian hari ini hari terakhir kita bisa santai-santai. Besok kita udah harus balik.”
“Soal pulang, gue nggak bisa pulang besok.”kata Dera dengan nada lirih.
Dipta menaikan suaranya satu oktaf, “Dera, kenapa lo suka banget bikin gue dalam masalah? Kenapa nggak bisa pulang? Kenapa?”
“Gue mau cari Arif.”
“Emang dia kemana?”
“Gue terakhir kali ketemu dia waktu kita diculik itu. Kemarin gue ke rumahnya, terus Oma Sinta bilang dia pindah kuliah ke luar negeri. Gue udah coba hubungi dia berkali-kali, tapi nomornya udah nggak kedaftar lagi. Gue udah cek rekaman CCTV di bandara, tapi dia nggak pernah ke situ. Gue khawatir kalau dia diculik sama anak buahnya Marco.”
“Jadi, maksud lo, kemarin lo yang diculik, sekarang dia yang diculik?”
Dera mengangguk. Dipta merespon jawaban Dera dengan tawa terbahak-bahak.
“Nggak mungkin. Marco sama anak buahnya udah kita tumpas sampai ke akar-akarnya. Lo sama Arif itu emang lucu. Harusnya lo yang ninggalin dia di sini, tapi malah lo yang ditinggal pergi tanpa pamit.”
“Dasar rese! Gue lagi serius malah bercan...”
Drrt...Drrt...Drrt...kukuruyuk...kukuruyuk...kukuruyuk...
Bunyi telfon itu menyelamatkan Dipta dari omelan Dera. Nama Dion terpampang di layar ponsel Dera. Dengan sigap gadis itu menjawab panggilan Dion.
“Dion, gimana? Lo udah selesai ngecek CCTV di stasiun?”
“Gue nemuin jejaknya Arif. Dia naik kereta ke Jakarta.”suara Dion terdengar dari ponsel Dera.
“Oke. Gue ke stasiun sekarang.”
Dera melenggang pergi tanpa berpamitan ke Dipta.
“Ra, lo mau ke mana?” tanya Dipta.
“Balik ke Jakarta.”
Dipta terkekeh, “Tadi bilangnya besok nggak bisa pulang, sekarang malah balik duluan. Dasar Dera. Bodo ah. Mending gue tidur lagi, masih pagi.”
***