Basecamp
Dera mengambil beberapa butir kentang dari timbangan lalu memasukkannya ke dalam tas belanja yang ia pegang dengan tangan kirinya. Ia menengok ke dalam tas belanja. Sudah ada beberapa macam camilan dan buah di dalamnya. Dera mendaratkan dua tas belanja di tangannya ke tanah. Ia regangkan otot-ototnya yang mulai kaku. Tangannya mulai terasa kebas. Ia gerakkan jari jemari kecilnya. Ia duduki bangku panjang di bawah pohon. Keteduhan di bawah pohon itu bagaikan hujan pertama di bulan September yang membasahi tanah kering. Setelah satu jam mengelilingi pasar, akhirnya ia bisa duduk sejenak di bawah rindangnya pohon randu.
“Vi, ngapain kita beli bahan makanan sebanyak ini? Sebenarnya kita mau kerja atau pesta?”keluh Dera.
Devi menasehati, “Bos Dera harus traktir kita sekali-kali. Sebagai ketua tim, lo harus bertanggung jawab atas kesejahteraan anggota.”
Dera menunjuk empat tas belanja yang tergeletak di hadapannya, keempatnya terisi penuh, “Lihat tuh! Empat tas. Penuh. Ini namanya ngrampok!”
Devi terkekeh, “Bos Dera ngeluh karena belanjaannya habis uang banyak atau karena berat?”
Dera tersenyum tipis, “Lo tahu aja, Vi. Bukan masalah uang, gue lagi males bawa barang berat.”
“Ya udah. Minum es tehnya terus balik ke rumah Bos.”
Dera meminum habis sisa es teh di dalam cup plastik yang ia pegang. Ia memandangi sekelilingnya. Ada satu titik yang menyita perhatiannya. Seorang pemuda tidur telentang di depan sebuah ruko yang sedang tutup. Ia mengamati pemuda itu dengan lebih saksama. Pemuda itu berbadan tegap, rambutnya cepak, dan tubuhnya tinggi. Pakaiannya lusuh, namun masih utuh, tidak compang-camping. Pemuda itu sesekali tertawa sendiri. Ia bertepuk tangan beberapa kali. Terkadang ia berjalan memutari parkiran lalu duduk kembali di sembarang tempat.
“Katanya itu orang gila baru di pasar. Sayang orangnya nggak waras. Padahal badannya berotot, tinggi pula.” Kata seorang wanita paruh baya kepada temannya yang duduk di samping wanita itu.
Kedua ibu rumah tangga itu duduk di bawah pohon yang sama dengan pohon yang meneduhi Dera dan Devi, tetapi mereka duduk di bangku yang berbeda. Seorang laki-laki tua mendatangi mereka dan bergabung ke dalam perbincangan, “Mungkin dia jadi gila gara-gara gagal jadi polisi. Zaman sekarang, jadi polisi memang susah.”
Dera menghampiri pemuda gila yang sedang dibicarakan. Dia berjongkok di depan orang gila yang tengah duduk di parkiran sepeda motor. Dera meletakkan sebungkus nasi di depan orang gila itu. Pemuda itu memakannya tanpa ragu. Dengan lahapnya ia habiskan nasi bungkus dari Dera.
“Kamu cari apa di sini? Mau saya bantu nggak? Mungkin kita mencari benda yang sama?”tanya Dera.
Orang gila itu tertawa, lalu ia bertepuk tangan. Setelah mengacak-acak rambutnya, pemuda itu akhirnya mengeluarkan suara, “Sa-ya ma-u ca-ri da-un. Da-un yang ba-nyak.”
Pemuda bertubuh tegap itu menjawab pertanyaan Dera dengan mengeja kalimatnya seperti balita yang sedang belajar membaca. Dera tertawa melihat tingkah orang gila itu. Ia menyodorkan ranting kepada pemuda itu. Dera lalu mengeluarkan ponsel dari kantongnya. Orang gila berwajah lusuh itu menuliskan beberapa huruf di tanah.
“H-B-G-D-I-A-E-E-G-G-G”Devi mengeja huruf-huruf yang berbaris di tanah.
Dera memotret kode itu dengan ponselnya. Di sisi lain, Devi masih bingung dengan sikap Dera. Pemuda itu juga aneh. Dia terlalu bersih untuk ukuran orang gila.
Setelah selesai memotret, Dera berdiri lalu berterima kasih dengan senyum lebar di wajahnya,“Oke. Makasih. Kalau saya butuh bantuan kamu atau saya tahu sesuatu, saya akan hubungi kamu.”
“Bos, ngapain lo ngomong sama orang gila?”
“Dia bukan orang gila sembarangan.”jawab Dera dengan senyum misterius di wajahnya. “Vi, lo perlu belajar banyak dari senior.”lanjutnya.
Devi masih menatap Dera dengan tatapan bingung. Dera hanya tertawa dan berlalu. Dia berdiri lalu mengambil tas belanjanya. Devi yang tak perduli lagi dengan kebingungannya segera mengambil dua tas belanja yang masih tersisa dan menyusul Dera menuju tempat parkir.
***
Malam sudah semakin larut. Bulan dan bintang telah berdampingan di langit. Mata Dera pun telah beradu. Ia meringkuk dengan nyamannya di bawah selimut. Tubuhnya tiba-tiba bergerak. Seseorang menggoncang tubuhnya dengan perlahan. Lama kelamaan tubuh Dera diguncang dengan cepat. Pada akhirnya ia terpaksa bangun. Ia melihat orang yang membangunkannya dengan tatapan kesal.
“Bangun, Ra! Udah malam.”
“Dimana-mana orang itu nyuruh tidur kalau udah malam. Lo malah nyuruh gue bangun! Baru juga tidur 10 menit.”
“Mau gimana lagi? It’s time to work. Kita ini kelelawar. Malam cari makan, pagi tidur. Setidaknya lo bisa tidur, meskipun cuma 10 menit. Yang lain malah nggak tidur sama sekali.”
“Iya. Iya. Gue tahu! Mana yang lain?”
“Di depan TV.”
“Oke. Lo duluan aja. Gue mau cuci muka dulu.”
Dipta menuruti perintah Dera. Ia keluar dari kamar Dera lalu menghampiri rekan-rekannya yang berkumpul di depan TV. Tak lama kemudian, Dera keluar dari kamar mandi. Ia masih memakai piyama tidurnya. Ia terlalu malas untuk berganti pakaian lagi, baru 10 menit ia memakai piyamanya. Ia perhatikan pakaian yang dikenakan teman-temannya. Semuanya memakai piyama, termasuk Dipta.
Dera terkekeh, “Kalian juga pakai baju itu waktu periksa gudang?”
“Nggak. Kami baru aja ganti baju.”jawab Devi singkat tanpa memperhatikan kehadiran Dera. Ia masih sibuk dengan kertas-kertas di tangannya.
“Pff. Kita kaya mau pesta bantal aja, pakai piyama semua.”
“Ra, bahas pesta bantalnya nanti aja. Kita mulai aja sekarang.”
Dera mengangguk. Ia duduk di karpet, sama seperti teman-temannya. Ia menata kertas-kertas di tangannya. Ia lihat satu persatu dari depan sampai lembar terakhir. Ia mengetuk-ngetukan kertasnya di karpet. Dera memandang wajah dari teman-temannya. Memastikan seluruh rekannya telah hadir.
“Jadi, kalian udah tahu gudangnya yang mana?”Dera memulai diskusi.
“Iya. Tadi gue sama Dini udah periksa gudang tua di pinggir kota. Semua distributor yang selama ini kita pantau, pasti selalu ke gudang itu setiap malam Minggu.”Devi menerangkan.
“Malam Minggu? Berarti malam ini?”Dipta ikut meramaikan diskusi.
“Iya. Tadi gue baru aja lihat aktivitas mereka.”Devi menambahkan.
Dion tak mau kalah. Ia menjajarkan beberapa foto di karpet. Kalo distributor yang gue awasi, mereka ke gudang tua itu setiap malam Selasa. Ada juga yang ke sana setiap Kamis sore.”
“Kesimpulannya, kemungkinan gudang itu markas mereka. Semua distributor yang kami awasi dapat barang dari gudang itu.”Dika menyimpulkan.
“Hasil kerja lo apa, Ra? Bukannya lo sibuk pacaran sejak datang ke tempat ini?”sindir Dipta.
“Lo kaya nggak kenal gue aja. Gue itu profesional. Tenang aja, gue bisa bagi waktu.”Dera membela diri.
Dera meletakkan peta di tengah-tengah perkumpulan itu. Ia melingkari dua buah titik di peta dengan marker merah. “Ini kebun mereka. Dari luar, kelihatan kaya kebun bunga biasa, tapi ternyata ada pagar di dalam pagar.”
Orang-orang di samping Dera hanya bisa ternganga melihat kemampuan pemimpin mereka. Meski ia memiliki banyak aktivitas, ia bisa menemukan informasi dengan mudah. Ia sering pergi kencan dengan pacarnya, namun ia tetap profesional. Gadis berwajah imut itu kurang tidur bahkan sering tidak tidur, tetapi ia masih saja sehat dan bugar.
Dipta tertawa kecil melihat reaksi anak buahnya, “Kalian tahu julukan Dera apa?”
“White Tiger.”jawab Dini singkat.
Dipta menggeleng, “Bukan.”
Devan mengerutkan keningnya, “Kalau bukan itu, terus apa?”
Dipta memunculkan tawa usilnya, “Kucing.”
Teka-teki Dipta membuat teman-temannya bingung. Bahkan Dera sendiri tidak mengerti dengan maksud ucapan Dipta.
“Sejak kapan gue dijuluki kucing?”tanya Dera heran.
Dipta memasang wajah sok misteriusnya, “Para ketua tim yang ngasih julukan itu. Lo dijuluki kucing soalnya lo suka lompat sana-sini. Pagar, atap, pohon, semuanya lo panjati. Lo juga paling ahli menyelinap. Yah, kaya kucing mau maling ikan asin gitu.”
Dera mengangguk paham, “Julukan gue banyak juga ternyata. Ada lagi nggak?”
“Udahlah, bukan hal penting juga. Lanjut aja!”perintah Dipta.
Devan memulai diskusi lagi, “Kenapa kebun yang satunya jauh dari gudang? Salah satu kebun ada di dekat gudang tua yang kita curigai sebagai markas mereka.”
“Berarti mereka punya dua markas. Mereka dikenal sebagai kelompok elit. Nggak mungkin bosnya ada di gudang itu.”Dipta memberikan petunjuk.
“Menurut gue, markas utama mereka ada di dekat kebun yang jauh dari gudang itu.”Dera mengemukakan hipotesisnya.
“Berarti lo harus selidiki lokasi itu lebih detail lagi.”perintah Dipta.
“Udah.”
Jawaban Dera membuat rekan-rekannya kembali terheran-heran pada kecepatan Dera. Kapan dia melakukan semua itu? Pertanyaan itu tentunya ada di benak Dion dan teman-temannya. Kemampuan Dipta dan Dera memang tidak perlu diragukan lagi.
“Gue udah selidiki aktivitas di sekitar kebun. Masalahnya nggak ada yang mencurigakan.”
Dipta tersenyum licik, “Mereka memang terkenal sebagai kelompok yang pintar sembunyi.”
Malam semakin larut, namun lampu di rumah Dera masih menyala. Pembicaraan ketujuh orang itu masih terus berlanjut. Bahkan tengah malam telah berlalu tiga jam yang lalu. Akan tetapi, mereka masih terjaga. Lembaran-lembaran kertas bertebaran di karpet.
***
Tok...Tok...Tok...
Arif mengetuk pintu berwarna coklat itu. Gagang pintu masih belum bergerak. Ia mengetuknya lagi. Masih belum ada reaksi. Ia mengetuk pintu itu hingga lebih dari tiga kali. Akhirnya, pintu mulai bergeser, namun tidak terbuka lebar. Arif hanya bisa sedikit mengintip ruang tamu. Seseorang muncul dari balik pintu. Saat melihat wajah orang yang membukakan pintu, amarah langsung menguasai dirinya. Sebab, orang itu bukanlah seseorang yang ia harapkan.
Dipta berdiri dengan mata kantuknya. Ia melihat Arif dengan tatapan kesal, karena tidurnya telah terganggu. Arif menatap laki-laki itu dengan wajah marah. Siapa yang tidak marah saat tahu pacarnya bermalam dengan laki-laki lain? Terlebih lagi Dipta mengenakan piyama. Pikiran aneh mulai memenuhi otak Arif. Ia tidak bisa berpikir jernih saat itu. Hanya ada satu hal yang ia pikirkan, memukul laki-laki itu.
“Ngapain lo di sini?”tanya Dipta dengan nada kesal.
Arif tersenyum sinis dengan wajahnya yang dingin, “Gue juga punya pertanyaan yang sama.”
Dipta menguap, “Ngapain lagi? Tidur. Lo nggak lihat baju gue?”
Kini Arif tertawa sinis, “Siapa yang nggak tahu kalau lo tidur di sini? Maksud gue, kenapa lo tidur di rumah pacar gue?”
Dipta mulai memahami situasi. Ia mengerti kesalaponselahaman Arif. Ia berusaha menahan tawanya, namun pada akhirnya ia tetap tertawa.
“Ah, gue tahu. Lo pasti mikir yang bukan-bukan. Dasar otak mesum!”ejek Dipta.
Dipta membuka pintu lebar-lebar, “Kalau lo mau cari Dera, masuk aja!”
Arif masuk ke dalam rumah. Lirikan tajam ia lancarkan pada Dipta di saat ia melewati pintu. Hal itu ditanggapi dengan tawa kecil Dipta. Ia tidak menyangka bahwa seorang Komandan Resimen Mahasiswa sekaligus pacar Dera itu mudah cemburu. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah pasangan yang masih hangat itu.
Arif sudah ada di rumah Dera. Saat melintasi ruang tamu, tidak ada hal yang aneh di tempat itu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin Dipta tunjukkan. Saat memasuki ruang tengah, barulah ia mengerti alasan Dipta tertawa. Di depan TV, ada tiga orang laki-laki yang tengah tidur pulas. Ia mengingat nama dua laki-laki yang tidur di bawah, Dion dan Dika. Ia juga ingat nama laki-laki yang sedang tidur di sofa, Devan. Dua orang perempuan keluar dari kamar Dera. Mereka berbaring di karpet dan menyelimuti diri mereka dengan selimut tebal. Pastinya selimut itu berasal dari kamar Dera. Juga dua buah bantal yang mereka bawa.
Arif memperhatikan sekelilingnya. Kertas bertebaran dimana-mana. Bungkus camilan berserakan tak beraturan. Beberapa camilan masih ada di dalam bungkus dan sebagian hanya tinggal kemasannya saja. Ada laptop di samping sofa. Laptop itu sudah dimatikan, namun masih setengah terbuka. Gelas-gelas kosong ada di sana-sini. Beberapa gelas masih ada isinya. Ia bisa melihat sisa kopi dan teh di gelas-gelas transparan itu. Ada beberapa botol soda dan air mineral yang telah berkurang isinya, bahkan ada yang hanya tinggal tempatnya. Mereka seperti baru saja melakukan pesta tadi malam.
Dipta menyusul Arif. Ia duduk di samping Dika yang masih terlelap. Dion dan devan terbangun. Di sisi lain Dini dan Devi belum tidur.
“Semuanya, tidur! Udah pagi.”perintah Dipta sembari kembali ke posisi tidurnya
“Ra, kertasnya masih berantakan. Urus pacar lo sebelum gue tendang dia keluar!”teriak Dipta sebelum ia memejamkan matanya.
Dera keluar dari kamarnya dengan gontai. Ia mendorong Arif masuk ke dalam kamarnya. Pintu kamar itu dibiarkan terbuka, agar tidak ada kesalaponselahaman. Dera menunjuk kasurnya, kode agar laki-laki itu duduk di kasur. Arif naik ke tempat tidur dan duduk di sana. Seperti biasanya, Dera memposisikan dirinya dengan nyaman di pangkuan Arif.
“Ra, biasanya cowok yang tidur di pangkuan cewek. Kenapa gue yang selalu jadi bantal?”protes Arif.
“Kapan-kapan gue yang jadi bantal, kalau gue nggak capek.”jawab Dera setengah tertidur.
Arif mencubit pipi Dera yang chubby, “Dasar pipi balon tukang tidur.”
Dera menahan tangan pacarnya saat laki-laki itu hendak mencubitnya untuk yang kedua kalinya. Dera tertawa, “Orang-orang manggil gue pipi bakpao. Cuma lo yang manggil gue pipi balon.”
Arif tersenyum melihat wajah manis Dera saat tidur, “Yah, anggap aja itu sebutan khusus dari gue. Udah, tidur sana!”
Dera menarik hidung Arif, “Makanya lo jangan berisik! Jangan keluar dari kamar gue!”
“Kalau gue kesemutan gimana?”
Dera menepuk-nepuk posisi kosong di sebelahnya, “Tidur di sini.”
Arif membelai rambut Dera. Gadis itu langsung terlelap seketika. Ia tidak tahu apa yang dilakukan pacarnya bersama orang-orang yang sedang tidur di depan TV. Apapun itu, ia tidak ingin mengusik mereka. Tubuh dan wajah mereka memperlihatkan rasa lelah.
***
“Rif, bangun! Ayo sarapan!”suara lembut Dera menyusup ke telinga Arif.
Arif membuka matanya, sedikit demi sedikit. Dari posisinya, ia bisa melihat jam dinding yang menunjukkan waktu pukul 10.00. Ia tidak ingat bahwa ia sudah pindah posisi. Kelihatannya ia berbaring di kasur saat ia mulai mengantuk. Bau harum memenuhi ruangan. Ia beranjak berdiri. Saat keluar dari kamar, ia mendapati pemandangan berbeda dengan pemandangan yang dilihatnya sebelum tidur. Ruangan yang tadinya sangat berantakan, kini begitu rapi. Tidak ada satu pun sampah yang tersisa. Dera membawa Arif ke meja makan. Ia mengambilkan nasi dan beberapa lauk.
“Hai, bro. Udah bangun?”sapa Devan.
Arif tersenyum, “Kelihatannya gue yang terakhir bangun.”
“Lo selalu bilang kalau gue itu tukang tidur. Lo sendiri, udah dibangunin berulang kali nggak bangun-bangun.”cibir Dera.
“Habisnya nyaman tidur di samping lo.”goda Arif.
Dera tersipu malu, “Beneran?”
“Berisik kalian! Makan!”perintah Dipta.
Semua orang langsung diam seketika. Dera dan teman-temannya bisa mengerti tabiat buruk Dipta. Rasa lelah membuat Dipta jadi mudah merasa kesal. Meski Arif tidak mengerti dengan hal itu, namun ia tetap diam. Semua orang di meja makan melahap makanan mereka. Tanpa suara tentunya. Bahkan tidak ada suara dari sendok dan piring mereka. Setelah makan, Dera dan teman-temannya berkumpul di teras rumah. Arif yang tidak terlalu mengerti situasi hanya duduk dengan santai.
“Kalian tahu apa yang harus kalian kerjakan. Kalian bisa pergi sekarang.”perintah Dera.
Dera mengalihkan pandangannya ke Dipta, “Dan lo, terserah lo mau ke mana.”
“Kenapa gue dikasih kebebasan? Lo nggak berani nyuruh gue?”tanya Dipta yang tidak ingin diperlakukan berbeda.
“Lo mau tahu alasannya? Pertama, karena gue sangat menghormati lo. Kedua, lebih baik macan disuruh cari mangsa daripada cari barang.”
“Lo sendiri mau ke mana?”tanya Dipta. Ia melirik ke arah Arif. “Sama pacar lo.”lanjutnya.
Dera tersenyum, “Gue sama Arif mau jalan-jalan ke kebun bunga. Sesekali boleh lah kucing jalan, nggak lompat-lompat mulu.”
Jawaban Dera disambut anggukan dari teman-temannya, tanda bahwa mereka memahami maksud perkataan Dera. Mereka pun pergi dengan sepeda motor masing-masing. Arif dan Dera paling akhir berangkat. Sebab Dera perlu memgunci pintu dan mengamankan semua barang-barang penting di brankas yang tersembunyi di dalam rumahnya. Bagi Dera dan teman-temannya, barang-barang itu lebih penting dari emas. Sebab seluruh kerja keras mereka tertuang di benda-benda itu.
***