Tidak terasa ini adalah hari ketiga dan hari terakhirku bekerja sebagai bodyguard, tapi bagiku itu seperti supir pribadinya. Dipikir-pikir aku juga merasa Toto dan Asbul tidak memberi atau menanyakan kabarku sama sekali selama 3 hari ini, karena aku yang lupa atau mereka yang sombong tapi memang aku belum mampir ke basecamp reot itu semenjak aku bekerja dengan Thanny. Sebelum kerumah Thanny, aku sempatkan untuk mampir ke basecamp reot untuk bertemu dengan meraka. Aku rasa mereka sedang tepar diiringi paduan suara. Ternyata aku salah perkiraan, mereka berdua sedang asyik sarapan pagi dengan menu yang cukup menarik bagiku, bubur ayam dan lainnya. aku yakin pasti Asbul aji mumpung tidak ada aku dan ada yang mentraktirnya.
“Eh… Kirain sudah lupa?” Tanya Asbul sesampainya aku memperlihatkan wujudku.
“Aku usir juga dari reot,” ujarku.
“Jangan gitu donk… maksud aku, kau tidak mengatakan apapun kepadaku mau mampir kesini. Kan makanan ini aku bisa sembunyikan sebelum kau datang” ujar Asbul dengan santainya.
“Bagaimana dengan kerjaanmu Ty?” Tanya Toto yang asyik menyeruput teh manis hangat.
“Ya… sampai saat ini aku masih bisa melakukan apa yang Thanny perintahkan” ujarku.
“Pasti kejut jantungkan?” Asbul tertawa puas.
“Kau kenapa tidak memberitahuku sebelumnya.”aku melempar topi yang tergeletak didepanku. “Aku pergi dulu”
“Tuh anak setor muka doank ya?” kata Asbul. "Kebiasaan buruk Tito sekarang menjadi kebiasaan busuk Lotty, senggaknya Toto nggak buluk lah."
"Tapi kau buduk," puas Toto.
Aku senang dan lega melihat mereka berdua ternyata auranya masih ada dalam reot. Setelah usai berbincang, aku langsung pergi kerumah Thanny untuk melakukan tugas terakhirku entah itu sebagai bodyguard atau sopirnya. Ternyata tidak terlalu membosankan bekerja, mungkin karena aku sudah sangat lama tidak berkecimpung didunia kerja. Namun kini kurasa apapun pekerjaannya bila kita mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati itu akan berakhir menyenangkan atau memang aku baru terpanggil sekarang tapi sepertinya aku sendiri yang memang tidak niat untuk bekerja, atau karena Thanny seumuran denganku. Atau… aku kebanyakan alasan.
“Kau kenapa Thanny? Kau tidak kesambetkan?” ucapku heran melihat wajah sesampainya dirumahnya.
Thanny terus berdiri, ia seolah-olah tidak mendengar ucapanku dan tidak merasakan keberadaanku. Aku terus memperhatikannya yang masih berdiri di teras rumahnya dengan kerutan berlipat ganda diwajahnya.
“Kemarin Amy langsung kau antar pulangnya?” tanyanya membuatku bingung tidak terhingga. Aku tidak mengerti hanya untuk menanyakan hal itu ia harus berpikir sekeras itu. “Oh… ya aku langsung mengantarnya pulang. Kau marah karena aku tidak membangunkanmu?"
“Tidak, pasti dia mengatakan tidak tega membangunkanku” ucapnya mulai santai kembali.
“Hmmm… kau benar,” aku mengangguk dan membukakan pintu mobil untuknya.
Aku masih belum mengerti dengan Thanny. Sepertinya ada pikiran yang masih menganiaya dirinya. Mengapa hari terakhirku bekerja menjadi Sad Ending begini, aku tidak setuju jika harus berakhir seperti ini. Sudah kehidupanku tidak ada manis-manisnya dan sekarang tiga hari itu harus berakhir tragis. Aku tidak ikhlas lahir dan batin. Tapi ada apa dengan Thanny? Apa karena insiden kemarin, tapi aku tidak mungkin bertanya kepadanya, karena aku tidak memiliki hak untuk bertanya, itu masalah pribadinya dan aku tidak ingin mencampuri urusannya. Tapi aku penasaran. Aduhhh… gimana ini jadinya.
“Kau kenapa sich? Apa kau tidak menyukai hari senin?” tanyaku mengalihkan perhatiannya.
“Kau bertanya atau curhat padaku. Bilang saja kalau kau yang tidak menyukai hari senin. Kenapa harus bawa aku?”
Aku menggeleng-gelengkan kepala kaku, “Berat…”
"Kkau tahu tidak…?” Thanny memotong pembicaraanku.
“Tidak.... "Balasku cetar. "Apa yang harus aku ketahui dari yang tidak aku ketahui"
Setelah bertanya Thanny justru terdiam tidak melanjutkan aksinya lagi. Aku menjadi bertambah bingung mengapa ada mahluk seperti dia. Setelah bertanya dengan penasaran justru tidak mengatakan sepatahkatapun.
Keadaannya masih terlihat sama seperti kemarin ketika terakhir aku membawanya pulang. Ia memalingkan wajah ke arah jendela tanpa menoleh ke arahku sama sekali, matanya masih terlihat sembab dan ucapannya masih terdengar lemas meski sikapnya mulai terlihat seperti Thanny yang ku kenal. Aku terus menatapnya dari kaca yang berada di depanku, aku sedikit khawatir padanya, meski Thanny yang kukenal Selama 2 hari ini sangatlah kuat tapi aku takut dia akan menjadi sepertiku.
"Hey Chriss Patt... apa yang aneh sedari tadi menatapku terus, memangnya kau tidak pernah melihat mata orang yang bengkak!!!" bentak Thanny.
"Kau ini terlalu percaya diri" aku menyanggah.
“Mereka selalu mengatakan manusia tidak sempurna namun mereka tidak pernah berusaha untuk memperbaikinya” ungkap Thanny tanpa memalingkan wajahnya.
“Apa… kau merasa menyesal?”
“Tidak sama sekali. Aku hanya kecewa karena mereka adalah teman dan pacarku. Untung saja Tuhan masih melihat dan membimbing disaat aku masih belum mencintai sepenuhnya”
“Kau juga tetap manusia. meski kau menyangkal, keegoisan masihlah tinggi”
“Ya kau benar juga, tapi perasaan… aku masih bisa menahan dan sadar siapa diriku” katanya berpikir.
Aku tertawa kecil mendengarnya. “Jangan pakai perasaan nanti sakit hati. Eh… sudah ya?”
“Sepertinya kita akan terlambat menjemput mimi” ucapnya dengan ketus.
Aku tersadar ternyata aku terhanyut dalam pembicaran ini sehingga aku lupa untuk buru-buru menjemput mimi ke bandara. Pengalaman kerja yang cukup mengesankan. tidak pernah terpikirkan olehku akan senyaman ini dalam bekerja. mungkin aku yang terlalu negatif dan terpaku oleh kehidupanku sehingga aku sulit untuk menemukan kehidupan yang baru seperti manusia normal pada umumnya.
Csssiittt… akhirnya aku sampai dibandara tepat beberapa menit dari jam kedatangan tante mimi. Aku dan Thanny langsung masuk dan tinggal menunggu saja. Namun ternyata Asbul sudah lebih dulu sampai, ia sedang asyik celingak celinguk kanan kiri, tidak lain pasti makanan yang sedang dibidik dimatanya.
“Asbul,…” panggil Thanny. “Laser dari matamu sepertinya selalu berfungsi setiap kali melihat makanan."
Aku tertawa mendengarnya, ternyata Thanny juga mengetahui hal itu.
"Selamat datang Tante," Aku memberikan salam kepada Tante yang baru saja mendarat.
“Hey… kau kesini juga. Aku pikir kuliah” ujar Asbul tanpa memperdulikan ucapan Thanny, “Oh ya Ty. Kakakmu sudah datang”.
"Belum." kataku.
"Siaoa yang bertanya, aku memberitahumu" kata Asbul.
“Darimana kau tahu kakakku sudah kembali?” tanyaku heran karena kakak iparku tidak pernah mengatakan jika kakakku sudah kembali.
“Demensianya kumat, sejak kemarin HPmu terus berdering. Aku tidak mengerti meski kau tidak bekerja HPmu seperti orang sibuk. Buang aja tuh HP ke kantongku” kesal Asbul.
“Kalau begitu jenguk kakakmu cepat, mimi biar nanti Asbul yang mengantar” ujar mimi ikut khawatir.
“Baiklah kalau begitu aku duluan. Terima kasih.” aku pamit dan berlari. Aku ingin sekali bertemu dengan kakakku yang sudah meninggalkanku kurang lebih seminggu. Rasa cemas dan khawatir ini sangat meresahkan hati dan pikiranku. Aku takut terjadi sesuatu pada kakakku satu-satunya, karena hanya dia yang kumiliki. Aku tidak mendapat kabar jika kakakku datang dari luar negeri, melihat keadaan kakak iparku yang terlihat baik-baik saja seharusnya kakakku datang dengan membawa kabar baik.
Sesampainya dirumah aku langsung masuk membanting pintu tanpa mengucapkan salam dan berlari menuju kakakku. Aku benar-benar khawatir dan merindukannya. Keponakanku langsung menjerit dan menangis karena kedatanganku yang mengejutkan dan membuat es krim yang dipegangnya jatuh. Kakak iparku bak Sniper melihat kedatanganku yang tidak sopan. Sedangkan kakakku sedang asyik membuka kopernya. Mata kakak iparku yang setajam pedang menghampiriku dan memukuliku karena membuat anaknya menangis. Aku tidak memperdulikannya, aku langsung memeluk kakakku karena datang dalam kondisi yang baik. Aku sangat bersyukur dan menitikkan air mata melihat wujudnya ada didepanku.
“Aduhh.. aw… aw… kak sakit”
Kakak iparku terus mengoceh sembari memukuliku.
“Ada apa denganmu?” Tanya kakak bingung dalam pelukanku, mungkin bisa dikatakan dengan wajah yang sedikit menggelikan karena pelukanku yang entah tahun berapa terakhir kali melakukan hal ini.
“Aku bersyukur kakak sudah sembuh dan baik-baik saja," Aku memeluknya semakin erat dan keponakanku tidak mau kalah ia menangis semakin kencang.
“Apa maksudmu?” kakakku semakin bingung dan menjauhkanku. Ia menghampiri anaknya dan menenangkannya.
“Aku mendengar kakak sakit dan dirawat diluar negeri.” ucapku spontan.
“Siapa yang mengatakan hal itu. Kakak keluar negeri karena urusan pekerjaan,” ujarnya terkejut dan kini membuatku bingung.
Aku mengerlingkan mata sengit menuju kakak iparku.
Kakak iparku tidak kalah bingung dengan sikapku. “Kapan aku mengatakan hal itu?”
“Beberapa hari lalu, ketika Aku bertanya Kak Larry, Kak Dzi menangis dan mengatakan sakit keluar negeri," jelasku pada mereka.
“Aku memang mengatakan jika kakakmu pergi keluar negeri tapi aku menangis karena sakit kakiku terjepit pintu," ujarnya tertawa terbahak-bahak begitupun dengan kakakku
Duaaaarrrr… seketika hatiku merasa kesal karena telah dipermainkan oleh kakakku, mendengar kabar kakakku yang membuatku berpikir tentang alam lain. Aku selalu berdoa dalam cemas semoga kakakku selalu dalam keadaan baik-baik saja. Tapi kecemasanku membuatku ingin marah. Aku pun memalingkan wajah dan kembali ke basecamp. Dalam keadaan kesal, aku terus memasang wajah pertahanan benteng. Duduk disofa memperhatikan Asbul yang secepat kilat kembali ke Basecamp dan Toto. Mereka berdua sedang asyik tarik menarik otot bermain game bahkan mereka sepertinya tidak memperdulikan kedatanganku.
“Ada apa lagi mengapa kau memasang wajah seperti itu?” Tanyanya setelah bosan bermain game.
“Apa jangan-jangan kakak…,” sambung Toto dengan wajah menakutkan.
“Aku di bohongin sama kak Dzi,” ujarku pada mereka yang memasang wajah yang tidak kalah bingung dan aku menceritakan kejadian sesungguhnya dari awal. Mereka yang awalnya serius mendengar ceritaku langsung terjungkal-jungkal menertawaiku. Aku sangat menyadari jika dia merupakan keluargaku satu-satunya yang kumiliki disini. Dia juga yang telah membiayai kehidupanku, dia juga merupakan guruku. Dia tidak pernah melarangku untuk melakukan hal apapun asalkan itu positif dan tidak menyusahkan orang lain, bahkan kakakku tidak pernah sama sekali untuk menyuruhku bekerja kembali selama ini, ia hanya diam dan sesekali menyindirku yang memiliki kemampuan tapi tidak pernah sama sekali digunakan.
Selama ini pula aku tidak pernah mengatakan terima kasih atau maaf secara sungguh-sungguh karena aku tidak sanggup mengatakannya secara langsung itu terlalu menakutkan bagiku. Kesalahpahaman itu benar-benar membuatku takut. Aku takut kehilangan kakakku, apalagi selama ini aku belum pernah memberikan sesuatu dari keringatku. Meski kabar itu membuatku terkejut tapi aku merasa lega karena akhirnya kakakku baik-baik saja, meskipun tidak dengan diriku. Rasanya harga diriku luluh lantah.
Keren kak
Comment on chapter 01. Seperti Puzzle