Aku memiliki banyak teman, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Aku sering berkumpul dan menghabiskan waktu bersama mereka tapi aku tidak pernah terpikirkan ingin menjalin hubungan khusus atau pacaran. Walaupun ada saja teman perempuan yang perhatian padaku, ada juga yang menyatakannya langsung bahkan temanku yang lainnya juga tidak ingin ketinggalan untuk mendekatkanku dengan perempuan yang meminta bantuannya, namun tidak sedikit juga laki-laki yang datang menghampiriku untuk memberi peringatan. Aku hanya bisa bersikap baik dan menghargai mereka. Semua yang kupikirkan tentang mereka tetaplah sama tidak lebih dan kurang dari seorang teman. Aku sadar mungkin mereka sakit hati karena ulahku, tapi aku berusaha untuk menjadi teman mereka, karena sikapku ada beberapa dari mereka bisa kembali menerimaku menjadi teman seperti biasanya dan melupakan kejadian itu.
Tapi semua itu berbeda ketika aku tidak sengaja mengenal seseorang, bahkan aku tidak tahu ada murid seperti dia, meski aku tidak kenal secara pribadi setidaknya untuk siswi pintar seperti dia seharusnya aku tahu nama. Tidak seperti au yang berusaha untuk pintar khususnya setiap kali ada ujian. Saat itulah aku menjadi siswa paling rajin.
Sama seperti teman lainnya, aku juga menggangapnya tidak lebih dari teman biasa dan ia juga hanya menganggapku sebatas teman. Aku mulai mengenalnya ketika kenaikan kelas 2 SMA. Kita memang tidak satu kelas tapi kita sering bertemu diperpustakaan. Awalnya hanya satu kali tapi entah mengapa waktu menjadikan pertemuan itu berkali-kali. Dia merupakan siswi yang pintar, tidak ada yang tidak tahu dirinya dikalangan murid, guru, kantin sekolah, bahkan sampai petugas sekolahpun tahu tentangnya. Sedangkan aku orang yang berusaha untuk pintar khususnya setiap kali ada ujian, saat itulah aku menjadi orang paling rajin demi masa depanku.
Aku mengenalnya ketika kenaikan kelas 2 SMA, kita tidak saru kelas tapi sering berjumpa di perpustakaan. Mungkin karena efek kasihan melihat rambut lepekku karena keringat bercururan, terlalu memaksakan diri untuk mencari jawaban dan pastinya karena melihat wajah tampanku yang pucat bak vampir yang terpapar sinar matahari seketika keriput dan meleleh. Aku yang sedang tertunduk lemah, mendengar langkah sepatu, tak… tuk … tak… tuk… yang terdengar nyaring dan menggema didalam perpus yang sepi. Semakin lama suara itu semakin mendekat dan aku pikir suara itu hanya melewatiku. Ternyata aku melihat bayangan yang terpantul ke meja dan bukuku yang membuatku harus menaikkan beberapa derajat kepalaku. Dia mendekatiku dengan wajah bak pembasmi vampire menanyakan masalahku dan mencoba membantuku mencari jawabannya. Aku melihat sosok Perempuan berwajah angker, dengan mata laser dan berotot kekar sampai urat nadinya terihat jelas berkelok-kelok seperti jalanan semut. Aku tidak mengerti apa maksudnya dan mumpung ada yang menawarkan mengapa aku tidak terima saja. Dia benar-benar membantuku mengerjakan tugas dengan jawaban secukupnya yang keluar dari mulutnya dan aku baru menyadari selama aku mengerjakan tugas, dimeja itu tidak pernah ada orang lain hanya ada aku dan dia. Buku perpus yang aku pinjam berserakan dimeja dan mengganggu wilayahnya.
Awalnya aku hanya bertemu dengan dia satu kali namun entah emngapa waktu menjadikan pertemuan itu berkali kali atau mungkin aku sendiri yang sengaja menginginkan pertemuan itu. Sejak itu aku ingat siapa dirinya, dia adalah siswi dengan nilai terbaik ketika masuk ke SMA ini. Aku tidak mengenalnya karena yang aku tahu dia adalah "Kadira" namun ternyata teman-teman memanggilnya "Nada".
Kamipun sering belajar bersama. Aku memprediksi mungkin semenjak pertemuanku hari itu hatiku benar-benar lumer dan aku mulai rajin ke perpustakaan yang biasanya aku datangi setiap kali ada ujian saja. Aku juga memiliki panggilan sendiri “KATANA” dalam bahasa jepang yang berarti pedang. Katana memang bukan nama aslinya tapi nama singkatan yang sengaja aku buat dari namanya dan sangat pas sekali dengan pendiriannya. Dia juga tidak bertanya apapun, entah dia tidak mengetahui maksudnya atau memang tidak mau mengetahuinya, sampai sekarangpun dia tidak pernah menanyakan maksud dari panggilan itu. Dia merupakan siswi yang aktif tapi hanya dalam pelajaran, dia tidak suka bergabung dalam organisasi kesiswaan seperti OSIS dan yang lainnya padahal ia sering dijadikan kandidat namun sering pula ditolaknya.
Tanpa disadari aku mulai nyaman dengannya dan ketika itu aku berpikir kenyamanan ini hanyalah kenyamanan biasa ketika aku bersama dengan temanku yang lain. Tetapi waktu menunjukan hal lain. Ternyata aku memang sangat menyukai sosoknya, ketika aku tidak melihat keberadaan baik itu diperpus dan dikelas. Aku merasa kehilangan dan mencari sosoknya di sela-sela penjuru sekolah. Aku baru bisa tenang ketika aku mendengar kabarnya langsung dari teman sekelasnya.
Kami berdua semakin akrab dan mulai menunjukkan diri kami masing-masing samapai kelulusan. Tapi ternyata itu hanya pikiranku saja, meski aku sering menghabiskan waktu bersamanya hanya sebagian kecil yang aku tahu darinya. Kalimat terakhir yang ia ucapkan setelah kelulusan membuka mataku akan kenyataan hidupku yang selama ini biasa saja dan mengalir bagaikan air yang mengikuti arus dan aku tidak menyadarinya walau air mengalir dari hulu ke hilir tapi tidak semua berakhir dilautan, terkadang air bisa terpercik, menghantam batu, terjatuh, terjebak dalam kubangan dan lainnya. Sepertinya aku selama ini hanya berada dialiran air yang tenang. Kalimat itu juga mungkin kalimat pertama yang membuatku menganggguk.
Aku dan dirinya memiliki banyak kesamaan, yaitu percaya pada diri sendiri dan tidak peduli apa yang dikatakan orang bahkan makanan favorit kita sama. Aku berusaha untuk menyatakan perasaanku secara resmi, tanpa aku menyatakan aku yakin ia juga tahu perasaanku. tapi lagi dan lagi ada saja kesalahannya karena ternyata kalimat yang sama itu memiliki versi yang berbeda. Perbedaan itu yang membuat kami terpisah setelah lulus dari SMA sampai saat ini. Tidak hanya pemikiran dan sifatnya yang keras tapi sepertinya hatinya juga sudah mengeras dan itu yang ingin aku ketahuinySetiap kali aku tanyakan hanya senyuman penuh makna yang ia tunjukan tanpa memberikan penjelasan apapun.
"Kekerasan" dalam dirinya akhirnya membuahkan hasil setelah ia benar-benar lulus dari SMA. semenjak kelulusan itu kami tidak pernah sekalipun bertemu tatap muka. Ia kembali mengejutkanku dengan kemunculannya dilayar kaca, sampai saat itu aku tidak Percaya bisa menatapnya dari baliho ataupaun papan reklame dengan wajah yang cukup besar. karenanya aku sudah pasti selalu mendapatkan kabar darinya hampir setiap waktu, aku senang karena dirinya baik-baik saja namun disaat bersamaan aku sakit hati karena tidak ada disisinya mendukungnya. Dirinya sudah menunjukan buahnya kepadaku. Dia sudah menjadi orang besar yang selalu wara-wiri dilayar kaca hampir semua stasiun. Tidak ada stasiun TV yang tidak menampilkan dirinya, tidak ada berita yang tidak menyebut prestasinya, dan seolah tidak ada nama lagi yang tidak bisa disebut selain namanya. Tapi dia tetap dia, meski ia sudah tenar dan banyak digosipkan, ia tidak membuatku cemburu tapi justru membuatku kagum karena ia tidak pernah kehilangan prinsipnya, aku bisa melihat dengan jelas hal itu darinya. Dirinya yang membuatku rindu setengah mati dan membuat jiwaku seakan mati perlahan.
Dia dikenal sebagai seorang aktivis sosial. Meski ia bukanlah seorang aktris sinetron, namun ketenarannya tidak perlu diragukan lagi, tidak ada yang tidak mengenal dirinya, sesekali ia pernah muncul di layar lebar. Siswa yang sangat berprestasi dan mendapatkan beasiswa untuk mendapatkan universitas sesuai keinginannya. Aku sangat mengetahui jika dirinya merupakan siswi yang pintar, tidak hanya karena ia sering mengunyah kata-kata didalam buku ataupun karena membantu menyelesaikan tugasku yang berhari-hari sulit untuk dikelarkan. Melainkan Semangat dan perjuangannya sangatlah keras dibanding diriku yang sebelumnya aku pikir hanya aku satu-satunya diantara semua murid yang memiliki hal itu, tapi ternyata aku salah.
Tepatnya kini 6 tahun telah berlalu semenjak aku lulus SMA dan selama itu pula aku tidak bertemu dengannya secara langsung. Begitupun dengan kehidupanku tidak ada perubahan sama sekali yang terjadi padaku, semuanya masih sama. Sama persis tidak ada yang terbuang satupun. Selama itu pula sahabatku memberikanku semangat, omelan dan ledekan tidak terbatas. Sahabatku selalu menyalahkan diriku karena aku tidak pernah mau untuk menjalani kehidupanku yang normal dan semestinya. Tapi ini semua bukanlah kenginanku tapi tubuh ini yang tidak ingin bergerak. Secara tidak langsung aku menyalahkan wanita itu karena telah membuatku seperti ini tapi sahabatku justru berkata lain. karena seharusnya aku membuktikan padanya jika aku bisa lebih baik tanpa dirinya atau ketika bertemu dengannya. Aku dituntut untuk menulis ulang kembali kehidupanku, karena tidak ada yang akan aku dapatkan jika aku terus memikirkannya tana melakukan apapun.
Aku kesal karena yang dikatakan orang menurutku itu salah. “Mengapa harus ada pertemuan jika akan berakhir dengan perpisahan”. Mereka menyesalinya karena mereka merasa sedih. Begitupun denganku, aku juga benar-benar merasa bersedih dan sangat menyesal karena aku harus bertemu dengannya, tapi aku berharap tidak mengenalnya sama sekali dari awal dan tidak ingin bertemu dengannya lagi. Tapi sayangnya selalu ada jalan lain, karena setiap kali aku menutup mata, membuka mata, menutup telinga, membuka telinga, jalan-jalan, makan, mandi, bahkan nyempilpun aku masih bisa melihatnya. Bahkan pertemuan kali ini aku tidak tahu harus senang atau marah.
Ia berlari pelan sembari menggenggam tanganku, tangannya lembut dan hangat. Tapi aku merasa kepanasan dengan situasi seperti ini. rasanya produksi keringatku semakin banyak dan jujur saja terasa kikuk dengan kehadirannya yang begitu tiba-tiba. Ia masih saja memutar kepalanya dan berjalan kesana-kemari. Sepertinya ia ingin duduk dengan tenang, tapi sulit baginya karena penyamarannya telah diketahui. Bagaimanapun ditaman tidak ada celah kosong, bahkan terkadang disemak-semak juga belum tentu ada tempat. Ia mengajakku keluar taman mengarah keparkiran namun sayanganya mobilnya juga sedang dikerumuni oleh beberapa pencari berita, foto dan tanda tangannya.
“Kalau kau tidak keberatan, kau mau ke mobilku. Maksudku mobil temanku," kataku tersipu malu.
Angguknya menyetujui dan aku langsung membawanya ke dalam mobil Thanny. "Aduh… ya betul Thanny, wanita yang kini pergi entah kemana. Aku khawatir dengannya, jika ia mencari keberadaanku yang juga tidak ada dibangku taman itu, tapi aku juga tidak bisa meninggalkannya". Gumamku.
“Huhhh… akhirnya aku bisa duduk dengan tenang juga” peluhnya sembari membuka beberapa helai baju dan penutup kepala yang menyembunyikan identitasnya.
“Hey… kenapa kau diam saja. apakah seperti ini perlakuanmu setelah tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama?” tanyanya yang sebenarnya membuatku juga bingung dengan keadaan ini sampai aku tidak bisa mengatakan satu patah katapun.
“Maaf. Aku hanya terkejut akan bertemu denganmu disini?” kataku yang kuyakin masih belum bisa mengubah keadaan ini.
“Aku selalu menyempatkan waktuku untuk keluar dari aktvitas setiap seminggu sekali melihat hijaunya rumput, birunya langit, putihnya awan, angin yang menyapaku dan panas yang menyengatku," ujarnya mulai sedikit tenang. “Aku yang sekarang masihlah aku yang dulu. Apa kau yang sekarang masih kau yang dulu kukenal?”
Aku kembali dibuat mematung karnanya. Apa dia tidak menyadari karenanya aku masih seperti ini, hanya untuk mencoba melupakannya aku sampai tidak ingin melihat wajahnya di TV, media social bahkan media cetak, meski yang terjadi aku justru sulit melupakannya bahkan sampai saat ini. dia sekarang dihadapaku namun aku tidak bisa berbuat apapun.
“Aku yang sekarang masihlah seperti aku yang dulu, hanya saja waktu yang memisahkan terlalu lama membuatku harus mengingat beberapa bagian yang mulai samar," ucapku tersenyum dengan penuh kebohongan karena kenyataannya aku tidak melupakan sedikitpun tentangnya.
“Aku bersyukur jika kau masih Lotty yang ku kenal,” ucapnya menghela nafas yang terasa berat.
“Selamatnya, akhirnya cita-citamu tercapai. Kau sekarang sangat sukses dan begitu terkenal sampai kau harus sembunyi seperti maling,” aku tertawa mengalihkan pembicaraan, sebenarnya banyak sekali pertanyaan dibenakku yang telah mengganggu selama ini, namun aku tidak mungkin mengatakan padanya apalagi ini adalah pertemuan pertamaku setelah sekian tahun. Bahkan aku tidak tahu mana yang harus kutanyakan terlebih dahulu.
Ia tersenyum kepadaku, aku ingat dengan senyuman itu, dulu itu adalah senyuman yang biasa berujung pada ledekan maut, namun kini ia langsung terdiam.
“Kebanyakan mereka hanya melihat apa yang ingin dilihatnya tapi yang seharusnya mereka lihat, mereka seakan buta. Mungkin saja cita-citaku memang tercapai. Tapi...” ujarnya berubah mimik wajah sedih.
"Jika ku lihat dari wajahmu, mengapa kau tidak puas," tanyaku. "Bagaimanapun dulu keadaan yang memaksamu, keadaan yang menyemangatimu, keadaan yang membuatmu kuat dan keadaanmu pula yang membuatmu berubah. Sehingga kau merasa bertanggung jawab dan akhirnya menjadi kau yang sekarang,” kataku menilik masa lampau.
“Memang benar hanya denganmu aku bisa mengutarakan semua yang ada didalam hatiku, mendengar ucapanmu barusan aku terlihat sangat serakah,” ia menunjuk dirinya sendiri.
“Tergantung… tidak ada salahnya mencoba. Kalau tidak kau coba tidak akan pernah tahu,” ujarku dengan hati yang mengerut karena tidak sesuai dengan yang kulakukan.
“Untuk pertama kalinya aku merasa bangga pada diriku sendiri. akhirnya aku bisa membahagiakan orang yang kusayang,” ia tersenyum dengan tenang.
“Sayangnya tidak ada aku didalamnya” gumamku. “Aku bisa melihatnya setiap kali aku berkunjung kerumahmu meski itupun dengan berbagai alasan yang penuh paksaan” kataku seperti nostalgia. “Kau menikmatinya karena semua yang kau lakukan sampai saat ini dengan caramu sendiri."
“Hahahahaha…” ia tertawa lepas dan membuatku senang. “bagaimanapun juga aku manusia, aku bisa merasa malu setiap kali ada teman yang ingin main kerumahku, kau juga tahu keadaan rumahku seperti apa."
“Kau punya malu juga?” senyumku padanya.
“Bolehkah aku bertemu denganmu lagi," ucapnya dengan wajah penuh harap ataukah aku yang salah melihatnya tapi perasaanku mengatakan hal itu. bagiku setiap hari juga aku tidak akan menolaknya.
“Jika kau tidak keberatan. Aku tidak masalah,” ucapku jual mahal sembari bertukar nomor handphone. Tidak terasa perbincanganku dengannya sangat menyita waktu, hampir 1 jam aku berbincang dengannya didalam mobil sampai aku merasa haus. Selama itu pula aku tidak menyadari jika aku membawa Thanny kesini, tapi ia tidak kunjung menunjukan tanda-tanda kembali, apa ia tahu jika ini bukanlah waktu yang tepat untuk menggangguku, tidak mungkin ia tersesat karena ia yang membawaku kabur kesini, dan aku beruntung karena tindakannya.
Kenyamanan seperti dulu mulai aku rasakan, aku seperti kembali pada masa SMA ketika ia bersamaku. Sejenak kami berdua bisa melupakan siapa diri kami yang sekarang. Meski aku senang bisa berbincang dengannya tapi levelku sangat jauh berbeda dengannya. Aku sedikit minder dengan penampilan dan wawasan yang membuatku semakin tertinggal. Dunia ini terasa menolakku mentah-mentah dan kini secara rohani maupun jasmani aku merasa tolakkan itu menyakitkan, padahal dulu aku sering bersamanya ketika sekolah tapi sepertinya tidak terlalu berefek pada mereka, berbeda denganku yang efeknya masih memberikan radiasi pada hidupku.
“Gila, itu cewek sembunyi dimana? Dilubang semut, disemak belukar atau didalam rawa-rawa,” ujar Thanny membuka pintu tengah dan tidak ditutup kembali. kepala masih memutar kesekeliling memperhatikan orang yang wara wiri. Kedatangan Thanny yang tiba-tiba membuatku tidak bisa menyembunyikannya tapi aku tidak menyangka jika seorang Thanny bisa menunggu 1 jam.
“Kau penggemarnya?” tanyaku sembari meledek Thanny.
“Aku bukan penggemarnya, hanya saja aku suka dengan karakternya,” ujar Thanny duduk namun wajahnya masih memalingkan kearah kerumunan mobil Katana. Ia masih belum menyadari keberadaan Katana yang duduk tepat didepannya.
“Siapa?” Tanya Katana. Mendengar suara wanita wajah Thanny langsung melesat kearahku dengan pandangan bak banteng yang ingin menyerudukku.
“Oh... Oh... Oh... kau meninggalkanku sendiri karena ada maksud tertentu. Apa yang sedang kau lakukan di mobilku? Kau berbuat mesumnya? Ihhh... Gk modal lagi di mobil orang. Nanti kalau di grebek siapa yang tanggung jawab ini mobilku, mana aku belum punya SIM masa mobil dan di sita,” Thanny geram dan langsung menyeret kerahku, wajah macannya langsung mengarah pada suara Katana. “Ka…Ka…Kadira," ucapnya terbata-bata dengan sosok yang telah ia tunggu selama 1 jam, ia tersenyum senang namun tanganya tidak melepaskan kerahku justru semakin ia tarik dan mendekat padanya.
“Ya ampun aku menunggu ditaman sampai keriputpun tidak akan bertemu jika orangnya ada disini," ucap Thanny bisik-bisik sendiri. “Kau membawa kabur dia, kau menggodanya. Ternyata cowok sama saja. Asbul bilang padaku kau menyukai seorang wanita sedari SMA, tapi lihat yang bening sedikit pandangan, hati dan pikiran langsung ngeblur, ABSTRAK,” bentak Thanny dengan mata yang melotot. "Apalagi Kadira seni yang bernilai tinggi."
Ucapan Thanny langsung membuatku skakmat dan wajahku merah ungu. Kalau begini adanya aku tidak bisa mengatakan ataupun bertindak, bahkan aku tidak berani menoleh kearahnya. Mendengar ucapan Thanny, Katana langsung merespon. Ia ikut pindah ke kursi belakang dan mulai asyik berbincang dengannya. Aku mulai menjelma menjadi butiran debu terombang-ambing oleh angin, tidak terlihat dan mendarat ditempat antah berantah.
Keren kak
Comment on chapter 01. Seperti Puzzle