"Give me a chance, I can change".
Karena begitu banyak pertimbangan atau lebih tepatnya pergunjingan mengenai kehidupanku, aku memutuskan untuk mecari pekerjaan. Awalnya aku merasa ragu bukan hanya karena aku sudah lama tidak berkecimpung didunia kerja melainkan karena aku takut jatuh cinta kembali. Aku takut akan jatuh, karena cinta kembali kehatiku. Perasaan yang selalu aku pupuk dan tumbuh ini akhirnya tidak pernah berbunga dan mekar dengan indah, bahkan tidak terlihat sedikitpun kuncup hanya ada daun dan tangkai. Tahun bergantu tahun, musim berganti musim namun tumbuhan itu lagi dan lagi tidak pernah menunjukkan wujudnya. Aku terus menunggu karena tumbuhan itu tidak sedikitpun berniat untuk layu.
3 tahun telah berlalu dan selama itu pula aku akhirnya bisa menikmati dunia kerja bahkan kini aku telah naik pangkat. Aku rasa bekerja bukanlah sesuatu yang buruk dan aku senang menjalankannya, ternyata selama ini pikiranku salah. Mungkin saat itu aku benar-benar sangat kesal karena terlalu mencintai Katana dan membuat pikiranku menjadi kacau sehingga sesuatu yang baik disekitarku aku melihatnya selalu buruk. Mungkin aku yang sekarang sudah mulai bisa membuka hatiku untuk wanita lain meski bukan untuk cinta yang lain, hal itu membuatku sedikit demi sedikit mengikis rasa rinduku pada Katana. Yang jelas sekarang aku merasakan dunia kerja ini benar-benar bisa menjadi tempat untuk mengalihkan pikiranku yang lain, kesibukkan ditempat kerja tidak sedikitpun memberikan celah atau waktu untuk memilikirkan hal lain. Aku senang karena akhirnya teman-teman dan keluargaku sudah tidak lagi memberikan wejangan ataupun gunjingan kehidupan mengenai statusku yang pengangguran, tapi kenyataannya tidak semudah itu setelah aku menyelesaikan rintangan ini ada saja rintangan lain yang sedang menungguku.
Semuanya kini mulai tampak berbeda baik kehidupanku, pemikiranku dan semua yang ku lihat disekitarku. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya umur, kami semua mulai disibukkan dengan pekerjaan, meski tidak sesering dulu tapi kami semua selalu menyediakan waktu untuk bertemu. Tidak seperti sebelumnya karena aku memiliki waktu yang bebas, aku bisa pergi ataupun datang semauku dan melakukan apapun yang ku inginkan. Aku merasa perubahan tidak hanya datang kepadaku melainkan dengan mereka semua, khususnya sifat mereka yang memang sudah dari awal sangat dewasa dan memiliki impian yang menakjubkan. Bisa dibilang hal itu juga yang membuatku berubah atau lebih tepatnya aku merasa perasaanku selalu mendapat ancaman baik itu dari kisah cinta ataupun kehidupanku.
Aku pikir aku sudah merasakan kebahagian dan tidak ada ringtangan lain lagi, tapi ternyata aku masih saja salah. Beberapa undangan pernikahan sudah mulai sering berdatangan kerumahku. Kakakku sudah mulai sering menanyakan kepadaku untuk segera menyusul jika tidak dengan Katana lebih baik untuk mencari wanita lain. Untuk ujian kali ini aku bersyukur karena Toto dan Asbul masih senasib denganku alias masih jomblo, setidaknya ada teman. Toto aku lihat sepertinya ia tidak terlalu memikirkan masalah pernikahan entah karena ia telah dijodohkan atau karena ia merasa mudah mendapatkan, bagaimanapun jika aku jadi perempuan aku pasti menyukainya, karena luar dalam ia sangat baik, tampan dan pekerja keras. Begitupun dengan Asbul yang sangat perhatian dan sayang, tapi karena hal itu ia sering diputuskan, kebanyakan dari mereka hanya memanfaatkan Asbul saja. Sedangkan aku masih tidak berubah dalam pandanganku, aku masih sering mengingat Katana tapi entah mengapa kini aku merasakan sesuatu yang berbeda pada Katana. Padahal 1 tahun terakhir ini aku sering berjumpa dengannya, entah itu untuk urusan pekerjaan atau tidak sengaja bertemu. Aku benar-benar. Namun aku tidak menampik entah mengapa aku merasakan rindu setiap kali aku tidak bertemu dengan Thanny, aku juga tidak mengerti apa mungkin aku merasakan jatuh cinta kembali walau bayangan Katana masih selalu berada dilangit-langit pikiranku.
Aku belum menceritakan perasaanku ini kepada mereka berdua, entah apa lagi yang akan mereka katakan dan pikirkan tentangku karena perasaanku yang mulai memudar dari Katana. Bisa dibilang saat ini aku lebih menginginkan Thanny. Tapi aku masih belum bisa mengartikan jika ini adalah cinta. Aku tidak mengerti dengan diriku terkadang aku merindukan Thanny dan Katana sekaligus. Aku memang serakah tapi itulah yang dikatakan oleh hatiku. Bahkan aku tidak berani menatap terlalu lama jika berada didekat Thanny aku selalu canggung, tapi untungnya sikapku tertutupi oleh sifatnya yang energik, ceria dan itu sangat membantuku karena semua permasalahanku teralihkan olehnya.
“Eh.. Thanny?” tanyaku melihat keberadaannya disebuah café, tempatku biasa membeli kopi. “Sedang apa kau disini?”
“Cari jodoh,” celetuk Thanny. “Memangnya harus ada alasan aku kesini?” jawabnya bingung karena memang tidak perlu alasan untuk kesini. “Aku memang sering kesini, apalagi ketika dulu aku membuat skripsi. Disinilah tempatku bersemayam.”
“Masa…?” ujarku memiringkan kepala mengingat yang dikatakan Thanny barusan, karena seingatku aku tidak pernah sekalipun melihatnya. Mungkin karena aku kesini hanya pada jam istirahat.
“Setiap kali aku membeli kopi aku pasti kesini tapi aku tidak pernah keberadaanmu," kataku terus basa basi, aku senang dengan keberadaannya dihadapanku tapi rasanya aku ingin cepat-cepat kembali. Tubuh dan hatiku sudah mulai tidak bisa bekerja sama jika terlalu lama dekatnya.
“Mungkin kita tidak jodoh,” ujarnya memalingkan wajah kejendela sembari mneyerupur es kopi.
“Kau bisa saja, memangnya kau ingin berjodoh denganku?” wajahku merah padam terkejut tiba-tiba aku mengatakan hal itu. kalau lagi nafsu, logikapun tidak terkendali. Rasanya dulu aku tidak seperti ini.
Thanny tersenyum manis sembari memandangku. “Akhirnya kau sedikit terbuka, apa teman-temanmu di kantor tidak pernah berhenti memberikanmu asupan gizi berbau dewasakah?”
“Kau mengejekku?” tanyaku senang meski setiap kali yang ia ucapkan sering membuat jantungku berhenti tapi terkadang ucapannya bisa membuatku tenang.
“Owh aku selalu lupa memberikanmu ini," Thanny merogoh tasnya dan memberikan sebuah bungkusan.
“Apa ini?” tanyaku.
“Buka saja.”
“Bukankah ini…," aku tidak menyangka jika Thanny masih menyimpan buku katana yang dulu pernah kubeli untuknya tapi ketika itu aku juga lupa memberitahunya dan aku tidak pernah membahas lagi karena aku pikir dia juga sudah melupakannya.
“Aku pinjamkan buku pertamaku. Buku kedua itu aku yakin milikmu. Karena ketika itu aku tidak jadi membelinya, mustahil jika itu milik Amy, Asbul dan Kak Rey apalagi milik Ibuku, yang tahu hal itu hanya kau saja dan yang menaiki mobilku hanya orang-orang yang dekat denganku jadi itu tidak mungkin milik orang lain dan tidak mungkin Toto jugakan,” ujarnya.
“Aku sudah tidak membutuhkannya,” ujarku padanya.
“Buang saja… aku juga sudah tidak membutuhkannya,” ujar Thanny sedikit dingin meski dalam hatinya ia tidak pernah rela untuk membuang buku yang sudah banyak ia koleksi.
“Kau yakin aku boleh memilikinya.”
“Untuk saat ini, tapi jangan kau buang jika kau sudah selesai membaca kembalikan padaku."
“Lahhhh… katanya kau akan membuangnya,” ujarku sedikit aneh dengan ucapannya yang ia jilat sendiri.
“Tidak jadi daripada dibuang lebih baik aku sumbangkan,” Thanny berkilah secepat kilat,
“Baiklah kalau begitu aku pinjam” kataku Seraya membuka bekal makan siangku.
Thanny menatap Intens ke arah bekalku yang memang selalu aku buat sendiri dirumah dan Jarang beli di luar."Telur balado."
"Iya, memang kenapa dengan telur baladoku?" kataku aneh.
"Kalau sekarang di rumahmu akan kurang pas itu makanan," katanya semakin membuatku bingung.
"Itu makanan favoritku, tapi kalau aku buat sendiri rasanya selalu aneh. Karenanya Ibuku selalu memasang peringatan untuk ku di dapur," katanya melas.
"Kau juga suka Telur balado?" Kataku sumeringah.
"Aku lebih suka Tahu balado."
"Akan aku buatkan untukmu. Ini juga makanan favoritku."
"Kok bisa masak?" Katanya terkejut.
"Memang apa yang aku tidak bisa" banggaku.
Tani tersenyum aneh, " kalau untuk itu aku tidak ingin menjawabnya. "
"Biasanya aku mau masak kalau hatiku sedang merasakan Anomali, apalagi dulu... Aku tidak percaya kau suka Tahu balado, Katana menyukai Kentang balado sedangkan aku Telur balado. "
"Oke... Janji kau akan masakan untuk selamanya."
"Hhhh...," hanya suara itu yang bisa aku Keluarkan Seraya memiringkan kepalaku.
Jam istirahat sudah selesai bahkan rasanya sangat cepat dari biasanya. Aku baru saja menaruh pantat dikursiku dan benar saja aku sudah merindukannya lagi padahal baru saja bertemu, mengapa aku selalu saja menahan rasa rindu ini. Jika terus begini aku bisa terkena penyakit dalam bahkan lebih dalam, karena cinta dari dokterpun belum tentu bisa menyembuhkan penyakitku ini. Aku tidak bisa terus begini aku begitu tersiksa sekali. Waktu sudah memberikanku detik dimana aku harus berubah dari segi kehidupanku. Meski aku tidak pernah mendapat balasan dari dari perasaan Katana tapi aku tidak pernah sedikitpun menghilangkan perhatian dan memikirkan, terkadang aku merasakan sebenarnya ia juga menyukaiku tapi itu hanya tebakanku saja tebakan yang sangat aku yakini. Dalam beberapa kesempatan akupun berusaha menyatakan perasaanku tapi jawaban darinya tidak pernah berubah, tidak mengiyakan dan tidak juga menolakku. Ia hanya tersenyum. Senyum yang hanya ia tahu sendiri maknanya.
Mungkin perasaanku ini harus menyerah kepada Katana, jika berpikir positifnya selain fisik ada beberapa dari Katana yang tidak semua wanita miliki, meski ia bukan tergolong dari orang yang berkecukupan, ia seolah sudah memiliki rumusnya sendiri untuk mencukupi kehidupannya. Rasanya semua yang ada pada wanita, ia memilikinya tapi yang ada pada dirinya belum tentu semua wanita miliki, kalaupun ada pasti itu tidak banyak mungkin sangat sedikit di dunia ini. Membicarakan semua tentangnya aku selalu memastikan jika diriku mengetahui tentang dirinya tapi kenyataanya ia seperti orang asing bagiku. Seperti orang yang hanya tahu nama tapi tidak mengetahui secara fisik dan mengenali wajahnya.
Bertahun-tahun aku sudah memendam rasa ini, perasan yang tidak pernah kunjung tersampaikan dan terbalaskan. Mungkin Tuhan sedang menghukumku karena aku telah melakukan kesalahan. Tapi jika ku ingat aku tidak pernah sama sekali membuat kesalahan. Karena aku bukan tipe orang yang suka cari ribut dan mendengar omelan. Rasanya tidak mungkin jika aku bisa menjadi orang seperti ini. Aku tidak pernah sekalipun membebankan perasaanku pada apapun, semua bisa dengan cepat kuselesaikan dan membebaskan hidupku kembali tapi selama ini aku benar-benar terkurung. Ia sangat spesial bagiku karenanya aku tidak rela melepasnya tapi tetap saja ia bukanlah benda yang bisa kusimpan, ia bisa bernapas dan memiliki perasaan. Benar-benar berat selalu berpikir tentangnya.
Tidak berselang aku masuk kerja sudah sering mendapatkan perhatian dari teman wanita di kantor bahkan sampai ada yang menyatakan cinta kepadaku. Aku terus menerus menolaknya tanpa berpikir. Sampai pada akhirnya aku memajang fotoku bersama Trio Aretha dan Trio Tiasto, kebetulan Thanny berada didekatku dan aku menyatakan jika Thanny kekasihku, walau Thanny tidak didekatku tetap saja aku akan memilihnya, meski itu hanya bohong tapi setidaknya aku tidak lagi menyakiti orang yang tulus menyukaiku. Sepertinya Tuhan juga bisa aku ajak kerjasama, seolah Thanny juga memiliki antena, ia tahu saja jika aku sedang memikirkannya alias membutuhkannya. Tidak lama ia akan menghubungiku meski itu hanya untuk menjadi supirnya atau menanyakan sesuatu yang tidak penting.
“Heyyy… sedang apa kalian serius sekali,” tanyaku pada Toto dan Asbul plus Tito yang semenjak berbisnis sering sekali main kesini, bahkan aku lupa kapan terakhir ia bermain dengan wanita dan pastinya dekat dengan Toto. Kalau dilihat mereka membuatku ingin tertawa sampai gigiku rontok melihat keakraban mereka entah mengapa rasanya sangat aneh sekali.
“Aku rasa yang aneh itu kau…!” ujar Asbul dengan wajah yang meleleh. “Cie… cie... yang sudah beli ini itu, yang sudah nabung."
180 derajat wajahnya kembali ceria, sumeringah dan berbunga-bunga. Hanya Asbul yang bisa melakukan hal itu. Entah berapa wajah yang bisa ia buat dan sembunyikan. Aku langsung duduk dihadapan mereka yang sedang sibuk mencari ide untuk menu baru tahunan yang hanya ada di bulan pada saat liburan sekolah, yang tidak lain untuk menarik pelanggan. Kalau masalah bisnis hanya mereka yang tahu bahkan yang awalnya tidak terlalu besar kini tempat itu sudah besar 3 kali lipat karena banyaknya pengunjung yang betah lama-lama disana, meski terkadang ada beberapa pengunjung yang hanya duduk untuk numpang Wifi gratis dan membeli minum 1 gelas yang tidak pernah habis kecuali jika ingin pulang. Jadi inget dulu pengalaman.
Konsepku mengenai bisnis Tholinson akhirnya mereka pakai dan benar saja hampir semua media social lebih banyak foto-foto tentang konsepku. Aku memang seharusnya senang karena banyak diminati orang tapi setiap kali kesana aku lebih suka gaul dengan nenek-nenek atau ibu-ibu. Bukan untuk menghindari para pemudi tapi karena orang tua lebih jujur mengenai rasa minuman ataupun makanan dan itu bisa aku gunakan untuk konsep tahunan, tapi jika aku sedang waras. Kalau tidak, aku malas sekali untuk ikut campur.
“Eh tahu tidak kemarin istri temanku lahiran. Aku menjenguknya kerumah sakit, anaknya nangis benar-benar lucu dan gemesin,” ujar Asbul
“Auramu sangat gelap bul,” celetuk Tito.
“Lihat anaknya yang lucu jadi pengen gendong emaknya” ujar Asbul lunglai.
“Eeeeeee.…”
“Aku juga jadi ingat sama atasanku. Dia bilang jangan cari istri yang pintar cari uang,” kataku.
“Baguskan… Kalau istri bisa sekalian cari uang. Ngitung-ngitung untuk menabung,” ujar Toto bingung, wajahnya persis denganku ketika aku mendengarnya juga.
“Menurutku juga begitu, tapi ternyata masih ada lanjutannya, “Jangan cari istri yang pintar cari uang. Mau disembunyikan di laci, kaos kaki, peci, kuaci, panci bahkan sampai lubang kunci pasti akan ditemukan”."
Buakaakkkakkkaakkkk… Mereka semua tertawa kompak membuatku terkejut, rasanya ketika aku mendengar hal itu tidak tertawa seperti itu.
“Aaaaaaaaaa…” Asbul tiba-tiba merengek. “Mengapa kau tiba-tiba membahas tentang istri. Aku ingat ibuku yang menyuruhku cepat menikah”
“Ya…ya... Kau selalu dimamfaatkan kasihan sekali. Tapi entah mengapa aku senang melihatmu seperti ini," ledekku dengan wajah memelas.
“Setidaknya aku sudah berusaha untuk mencobanyakan?, akhirnya aku tahu jika dia bukan yang terbaik. Yah… jika tidak pernah usaha, karenanya tidak pernah dapat jawabannya,” ledek Asbul badas.
“Ya sudah sih… Dulu itu ada pepatah "kalau cinta ditolak dukun bertindak, sekarang cinta ditolak dealer bertindak, urusan kelar",” celetuk Tito yang memang tidak pernah merasakan seperti yang kami berdua rasakan.
“Pepatah dari antah berantah, itumah pepatah dari pengalamanmu,” ujar Toto
Aku ikut merengek karena aku juga disuruh cepat menikah oleh kakak iparku. Mungkin ia sudah bosan dengan hawa keberadaanku. Pir—pun kini sudah mau sekolah jadi lucunya mulai hilang dan sering melawanku, namun jika butuh ia selalu datang kepadaku, jika tidak aku ladeni emaknya yang datang mengancamku. Namun aku sedikit tenang karena hanya kakakku yang seperti itu, setidaknya kini Asbul senasib denganku jadi tidak akan menindasku habis-habisan, aku ingin membalas dendam dan bergantian menceramahinya, tapi sayangnya tidak ada yang bisa aku banggakan di depan Asbul. Kamipun merengek berpelukan memikirkan nasib kami berdua.
Mata sikembar Tholinson langsung melirik tajam kearah kami berdua dan kami membalas tajam lirikan mereka.
“Kalian ini kenapa membuatku takut?” ujar Tito dengan nada kasihan namun wajahnya sangat jelas menyiratkan ledekan.
“Huhuuu… Enaknya kalau punya wajah tampan,” ujar Asbul masih tambah merengek
“Aku juga tidak kalah tampan dengan mereka,” jawabku ikut merengek. “Tapi dia kaya."
“Baik." kata Asbul.
“Pekerja keras.” Kataku.
“Orang tua yang hebat." tambah Asbul lagi.
“Aaarrrrggghhhh… kalian pasti bisa dengan mudah mendapatkan cewek. Kalau tidak nyari sendiri minta bantuan Emak-Bapak juga pasti dapat.” Kataku.
“Cari wanita itu mudah,” ujar Tito dengan tampang yang memang ingin dimusnahkan.
“Yang penting itu hatinya bukan wajahnya,” tambah Toto sok alim.
“Alahhhh… bohong banget."
Mendengar suara yang tidak asing itu membuat kesedihan kami langsung lenyap dan digantikan dengan tombol “Takut”. Tiba-tiba kak Rey datang tanpa pemberitahuan dengan wajahnya yang angker dan itu semakin pasti dengan ucapannya barusan. Melihat tampangnya yang masih didepan pintu seakan cahaya mataharipun enggan untuk masuk kedalam Reot ini.
“Hati dari Antah berantah “Yang paling penting itu hatinya bukan wajahnya”” ledek Kak Rey dengan horor dan mulut yang dimonyongkan. “Memangnya ketika kalian melihat wanita, yang pertama kali kalian lihat itu hatinya pasti wajahnya ya kan?. Gimana mau melihat hatinya, kalau wajahnya tidak standard kalian pasti akan langsung menjauhinya. Yang ada juga kenal terlebih dahulu."
"Benar juga. Kalau tidak kenal, kita tidak akan tahu. Aku juga mau punya istri yang bisa segala hal. Masak, mengurus anak, mengurus suami, mengurus rumah dan lainnya." ujar Tito.
"Kau mencari pembantu, pengasuh atau mencari istri," sambar Kak Rey semakin garang.
Jika melihat kak Rey kami semua langsung tunduk bak anak kecil yang dimarahi ibunya. Semua langsung membungkam mulut kami semua. Aku tahu ini pasti akan berlangsung lama, apalagi keberadaan kak Rey pasti akan membuat dada Asbul kembang kempis, tidak lama juga kembar Tholinson akan menjaga jarak dengan mereka, karena tidak lama juga pertempuran akan terjadi. Mereka pasti sedang menyiapkan senjata dan tameng andalan mereka. Jadi aku lebih baik mengungsi sebelum peperangan benar-benar terjadi.
Keren kak
Comment on chapter 01. Seperti Puzzle