Meski dia tahu Ra tidak begitu populer, dia tetap tidak mengira reaksi mereka akan sekeras itu.
Sudah ada lima anggota OSIS yang hadir di kelas XI-12 (padahal rapat harusnya sudah mulai sepuluh menit yang lalu). Dua di antara mereka langsung menarik perhatian Kay.
Seorang laki-laki setengah-duduk di meja guru, dengan satu tangan mengaiti saku jinsnya. Meskipun posisinya agak membungkuk, terlihat jelas bahwa dia berbadan jangkung. Kulitnya putih bule, rambutnya yang agak ikal berpotongan pendek standar dengan poni yang jatuh melengkung-lengkung di dahi dan berwarna terang. Dia hanya mengenakan jins belel dan parka serta sepatu kets putih, tetapi entah mengapa nampak sangat trendi. Mungkin karena badannya yang tinggi dan atletis? Mungkin karena senyum cerah di wajahnya? Atau mungkin karena dia jenis orang yang bersinar, tak lebih dan tak kurang.
Satu orang lagi adalah seorang perempuan yang merefleksikan pose si cowok. Dia juga tinggi, mungkin lebih tinggi dari Ra. Rambutnya panjang tergerai, lurus dan lembut seperti di iklan sampo. Ada tahi lalat di dekat mata kirinya. Kulitnya sawo matang. Dia mengenakan sweter marun dengan lubang leher yang lebar, memperlihatkan tali singlet hitam yang melintangi bahunya. Legging hitamnya memamerkan kakinya yang ramping dan jenjang, berpadu apik dengan sepatu converse berleher tinggi yang sewarna dengan sweternya.
Dua orang ini, berhadapan dengan kaki terjulur ke depan, bagaikan kopian potret sampul majalah remaja yang di-paste di latar ruang kelas yang membosankan.
Tapi, bukan cuma itu yang menarik perhatian Kay, melankan juga betapa berbedanya isi hati mereka. Bagaikan siang dan malam. Bagaikan lahar dan gletser.
Sementara si cowok senyum lebar mengangkat satu tangannya untuk memberi salut kepada Ra, si rambut panjang langsung berdiri sambil bersidekap.
“Ngapain lo ke sini?!” hardiknya kasar. Mata sipitnya tajam memicing. Suaranya sekerontang tubuh kurusnya. Tenggorokan Kay sampai meradang mendengarnya. Udara berubah jadi volatil; rasanya bunga api bisa memercik kapan saja. Kay diam, tidak berani bergerak. Bernapas pun dilakukannya perlahan. Dia takut satu tindakan tanpa perhitungan darinya membuat sesuatu terbakar.
“Hai, Ren,” sapa Ra santai.
“Nggak ada yang butuh lo di sini. Minggat, sana!”
Ada dua laki-laki lagi di ruangan ini, keduanya saling mendekatkan kepala dan berbisik-bisik. Mereka menganggap pemandangan si rambut panjang vs Ra sebagai tontonan seru. Kay mungkin bakal sependapat dengan mereka kalau dia tidak merasa ada listrik yang melecut-lecut di kulitnya. Dia pikir dia sudah terbiasa menghadapi cewek emosional. Ternyata hidupnya memang baru selebar daun kelor.
“Ren, nggak usah gitu lah,” kata si jangkung trendi. Dia menegakkan badan untuk menghadap Ra, senyum lebarnya memamerkan deretan gigi putih berkilau. Saking putihnya, mungkin lebih cocok jadi model iklan pemutih pakaian daripada pasta gigi. “Hei, Ar. Bisa dateng rupanya!”
Kay mengerutkan hidung. Cowok yang sulit dibaca. Sinyal-sinyal dari arahnya samar sekali, tenggelam oleh kebencian si kakak rambut panjang yang lebih ganas daripada asam sulfat. Tapi satu hal yang pasti: ketenangannya sesejuk air kulkas. Agak terlalu dingin, membuat Kay bergidik. Tapi itu tidak aneh sama sekali. Ekspresinya, paling tidak, sangat ramah dan penuh suka cita. Bahkan Kay tidak yakin Kak Erhu saja bisa sesenang itu bertemu Ra.
Orang ini tinggi sekali. Mungkin lebih tinggi dari daun pintu. Kay sulit mengestimasi kalau orangnya terlalu tinggi.
“Kebetulan lagi luang,” jawab Ra sok iyey.
Kak ‘Ren’ spontan protes.
“Lo ngapain ramah-ramah sama dia? Usir buruan, sebelum yang lain dateng!”
“Santai, Ren. Lagian dia kemari karena gue yang ngundang.”
Kak ‘Ren’ tercengang. Bukan dia saja. Cewek yang duduk di belakang Kak ‘Ren’ mengeluarkan bunyi mencicit. Dua cowok lainnya ternganga.
“Lo ngundang dia?! Lo udah gila ya?”
“Iya kayaknya, kemaren lupa minum obat, hahaha…”
Si Bule ini rada geser juga, pikir Kay. Ditilik dari selera humornya, cukup beralasan kalau dibilang si kakak gigi berkilau ini bisa mengimbangi karakter Ra.
“Gue lagi nggak pengen bercanda!”
“Gue juga lagi nggak pengen bercanda, Ren. Jadi jangan bikin gue ngegaring, plis,” kakak gigi berkilau memasang wajah memelas yang lebih cocok disebut wajah kelaparan.
“Lo ngundang dia buat apa sih?!”
Suara Kak ‘Ren’ makin lama makin tinggi sehingga mau tak mau Kay menutupkan tangan ke telinganya. Paling tidak kemarahan Kak ‘Ren’ tidak berkobar seperti Lyra. Atau mungkin dia belum semarah itu. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa benar-benar marah. Apapun itu, Kay mensyukurinya.
“Ya karena dia bakal ikut kepanitiaan bazaar,” kata kakak gigi berkilau enteng. Jawabannya ini langsung ditanggapi yang lain.
“Apa? Lo serius, Kat?”
“Kalo gini sih, belom apa-apa udah pasti gagal.”
“Kalo mau, lo suruh dia jadi panitia pas acaranya udahan aja!”
“Wah, boleh juga tuh,” kata Kak ‘Kat’ ceria. “Ar, lo jadi seksi pembubaran aja, mau nggak?”
“Katoooo!” kata Kak ‘Ren’ putus asa.
“Udah, udah, kalian nggak usah ricuh dulu. Untuk saat ini, biar Aria ikut rapat dulu aja.”
“Gue nggak sudi ada di satu ruangan sama dia,” geram Kak ‘Ren’. “Antara dia pergi, atau gue!”
“Lo keterlaluan, Ren,” tegur Kak Kato. “Gue tau lo punya masalah sama Aria, tapi itu urusan pribadi lo, dan gue nggak mau hal itu mengacaukan acara kita. Be professional. You’re better than this.”
Wajah Kak ‘Ren’ seperti baru ditampar.
Sementara itu, para panitia cowok berdiskusi dalam bisikan yang terdengar.
“Gile… Kato ngebelain Aria. Lo rekam nggak? Hot news iniii…”
“Waduh, sori man, lupa gue…”
“Nyalain hape lo, buruan…”
Sebelum sempat melaksanakan niat mereka, pelototan Kak ‘Ren’ terhunus ke arah mereka, menjanjikan penderitaan kalau mereka merekam insiden ini. Keduanya langsung diam.
“Jadi,” cewek bertubuh mungil, bangkit dari tempat duduknya, “kamu lebih milih Aria daripada pengurus OSIS yang lain?”
“Pi, nggak gitu,” kata Kak Kato dengan ada membujuk. “Gue cuma merekrut orang yang kapabel. Apa masalahnya?”
“Masalahnya,” kata Kak ‘Ren’ keras, “dia nggak kapabel apa-apa selain ngerusak usaha keras orang lain. Lo udah lupa? Kalau ada dia, kepanitiaan ini nggak mungkin jalan. Acara lo udah gagal bahkan sebelum dimulai!”
“Lo menganggap dia nggak kapabel karena lo belum memberi dia kesempatan, Ren.”
“Bullshit!” Kak ‘Ren’ menukas. “Gue nggak perlu memberi pengkhianat seperti dia kesempatan apa-apa!”
“Ren—“
“Oke deh, aku pergi aja,” celetuk Ra.
Kak Kato menoleh ke arahnya begitu cepat. Yang lain ikut terperangah. Kay meragukan telinganya sendiri.
Ra mengalah?
… ini beneran Ra kan? Apa seseorang menculik Ra dan menyamar sebagai dirinya? Jangan-jangan terjadi waktu Kay berbelok ke toilet tadi?
“Kebetulan aku memang masih ada pekerjaan, jadi daripada nontonin kalian berdebat, mending aku ngerjain hal yang lebih produktif.”
Kay melongo. Mereka kan berdebat karena kamu muncul tanpa peringatan?!!!
Ucapannya membuat Kak ‘Ren’ tidak bisa lagi membendung emosinya. Gadis jangkung itu langsung maju, tangannya terjulur ke depan dan mencengkeram kerah blus Ra, menariknya sampai hidung mereka nyaris beradu. Jari-jarinya yang kurus panjang seperti kaki laba-laba terlihat mengepal dengan mantap.
“Heh, nggak usah sok, lo! Lo pikir lo siapa?!”
“Ren!” tegur Kak Kato, cepat-cepat menengahi mereka.
“Kamu pengen aku pergi kan? Aku udah mau pergi, kenapa kamu malah marah?” kata Ra, suaranya masih begitu santai, sementara lawan bicaranya sudah sampai berurat-urat.
“Gue udah muak denger omong kosong lo!”
“Ngomongnya nggak usah teriak-teriak. Aku nggak budek.”
“Elo—“
“Ren!!!” jerit cewek bertubuh mungil yang sejak tadi diam saja, sambil melompat dan memeluk tangan Kak ‘Ren’ yang terangkat. “Ren, jangan! Nanti kamu yang kena masalah!”
“Lepasin gue! Biar gue kasih cewek keparat ini pelajaran!”
“Ren, lepas, Ren!” bujuk Kak Kato, memegangi tangan Kak ‘Ren’ yang masih menggenggam baju Ra.
“Gue udah muak liat muka dia. Biar gue permak sekalian! Lepasin gue!”
Kenapa Ra diam saja? Justru karena dia hanya diam menatap Kak ‘Ren’, Kak ‘Ren’ semakin menjadi-jadi. Bukankah seharusnya dia membela diri? Atau paling tidak melepaskan dirinya dan segera hengkang. Mengapa dia seperti menantang Kak ‘Ren’ untuk memukulnya?
“Don, Riz, bantuin dong!” pinta Kak Kato kepada dua cowok yang sampai sekarang masih terpaku, bingung. Begitu dipanggil, keduanya lantas bergerak.
Kay merasa dia juga harus melakukan sesuatu. Ra mungkin layak dipukul (berdasarkan cerita Kak Erhu, dia sudah terlalu sering membuat orang naik darah), tapi Kak ‘Ren’ bisa jadi hanyalah seorang siswi baik-baik yang kalau bukan karena Ra, tidak akan sampai bersikap begini. Kasihan sekali kalau dia harus menodai rekam jejaknya karena ulah seseorang yang sedikit menyebalkan.
Maka Kay menautkan jarinya di antara jemari Ra, menarik perhatiannya, sementara Kak Ren meronta dari pegangan teman-temannya.
“Ra, ayo,” katanya pelan.
Ra menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
Cengkeraman Kak ‘Ren’ akhirnya terlepas.
Kay cepat-cepat menarik Ra keluar dari ruangan itu. Kali ini dia berlari, sehingga Ra yang terseret-seret mengikutinya. Kay berlari seperti orang dikejar anjing, tunggang-langgang tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya.
Begitu sadar, mereka sudah kembali di ruang UKS, membungkuk bertumpu di lutut, terengah-engah.
“Ra! Apaan barusan itu? Kok serem!” lengking Kay.
Ra menegakkan tubuh, menengadahkan wajah untuk menarik napas.
Dia mengangkat bahu. “Begitu deh, Rena orangnya emang temperamen.”
“Terus kenapa kamu diam aja?”
“Kamu mau aku nampar dia duluan?”
“Bukan gitu! Tapi kenapa kamu nggak segera pergi? Kalau kamu beneran ditampar gimana?!”
“Tenang, aku nggak bakal ngebales kok.”
“Bukan itu masalahnya!”
Ra menelengkan kepalanya, mengerjap-ngerjap.
“…apa?” tanya Kay waswas.
“Kamu kuatir aku ditampar?”
“Saya bilang gitu kan dari tadi?!”
Ra tiba-tiba tertawa. Awalnya hanya tawa ringan, lama-lama semakin keras. Sampai membungkuk-bungkuk, memukul paha, bahkan sampai napasnya mendecit.
Apa yang lucu sih? Ditertawakan karena membuat lelucon yang tidak lucu saja sudah tidak menyenangkan, apalagi ditertawakan karena khawatir. Memangnya orang khawatir itu lucu?!!!
Ra menepuk pundak Kay, masih terkekeh-kekeh. Bahkan air matanya sampai keluar.
“Apa sih?!” solot Kay, menepis tangan Ra. “Nggak ada yang lucu!”
Ra menggeleng. “Aku ketawa bukan karena ada yang lucu kok… mppfff… hahahaha…”
Kay merasa lelah, merasa menua dengan cepat. Meskipun efek kilas baliknya tadi sudah benar-benar hilang, sekarang dia down karena alasan yang sama sekali berbeda. Mungkin sebaiknya tadi dia pulang saja. Bahkan untuk Ra, menertawakan kepedulian orang lain sudah keterlaluan.
“Nggak kok, Key. Aku nggak ngetawain kamu,” kata Ra lagi. “Aku justru ngetawain diri aku sendiri. Mungkin bener kata Bu Erhu. Aku bisa belajar banyak dari kamu.”
Kay mengangkat satu alis, tidak mengerti.
Tangan Ra, yang tadi ditepisnya, mengacak rambut Kay.
“Makasih udah mengkhawatirkan aku, Key.”
Lalu, senyumnya merekah.
Bukan senyum yang penuh tawa, tapi senyum yang lembut dan tulus. Senyum yang membuat kedua matanya melengkung menjadi bulan sabit, membuat pipinya merona seperti bunga mawar yang baru mekar, dan—
—membuat hati Kay berdesir.
Seharusnya dia tadi pulang saja. Dekat-dekat dengan Ra tidak baik untuk kesehatan mentalnya.
#
Kay menggenggam kedua tangannya. Bola matanya bergulir ke kiri dan ke kanan dengan gelisah, tidak ingin melihat kemana pun. Keringat mengucur melewati pelipisnya. Wajar saja, karena ruang duduk ini seperti sudah direnovasi menjadi oven raksasa.
“Jadi,” kata Kak Erhu lambat-lambat. “Darimana aja. Kamu.”
Pertanyaannya dilontarkan dengan nada datar terkendali, yang membuat Kay semakin gelisah. Semakin lama Kak Erhu menahan kemarahannya, semakin hebat ledakan yang akan terjadi nantinya. Kay hanya bisa berdoa dia masih hidup untuk melihat matahari esok.
“S-s-sekolah,” jawabnya dengan tergeragap. Saking gugupnya, ketika mengeluarkan bunyi ‘s’ ludahnya sampai muncrat keluar.
“Ngapain.”
“C-curhat-r-room.”
“Kenapa. Telepon. Mati.”
… Kay tidak punya jawaban.
Detik-detik berlalu. Irama detak jam dinding terdengar seperti penghitung mundur bom waktu.
Kak Erhu menarik napas dalam-dalam. Tanpa sadar, Kay mengikutinya. Sesaat, semuanya terasa seperti gerak lambat. Tangan Kak Erhu naik ke pinggang, dadanya mengembang, kemudian bibirnya terbuka…