“Kadang tanpa disadari, kita masuk pada dunia yang berbahaya. Sedangkan berbalik mundur pun sudah tak bisa.”
×××××
Senin pagi, di SMA PERTIWI
Jam sudah menunjukkan pukul 06.45. Pertanda jika 15 menit lagi upacara bendera akan segera di mulai.
Ada yang sudah berada di lapangan, ada yang masih duduk santai di depan kelas sambil menunggu aba-aba untuk turun ke lapangan, ada yang masih sibuk merapikan dasi dan topi, dan ada juga yang seperti Deva yang masih, bukan lebih tepatnya malah bertengger di gerbang sekolah. Ikut berjaga dengan beberapa anak padahal Deva sama sekali bukan anggota Osis.
Tidak ada yang bisa melarang Deva untuk berada di sana. Mengingat kakeknya— Febian, masih menjadi penyumbang dana terbesar di sekolah ini. Selain itu, semua orang juga tahu, siapa Devano ini. Anak dari orang yang juga sempat menjadi pentolan nomor satu SMA PETRIWI beberapa waktu.
Dari arah selatan, terlihat beberapa anak laki-laki yang berlarian menuju gerbang sekolah. Bisa ditebak mereka adalah anak-anak kelas 10, siswa baik-baik, dan masih taat peraturan. Terbukti, tidak adanya baju yang dikeluarkan, celana bentuk pensil, gaya rambut gondrong, dan sepatu berwarna. Semuanya masih dalam Standar Nasional SMA PERTIWI.
Jangan ditanya bagaimana penampilan Deva. Meski tidak memakai celana pensil dan sepatu masih hitam, ia paling anti memasukan bajunya. Rambutnya juga dibiarkan panjang. Dan akan dipotong kalau bundanya sudah ngomel lebih dari 37 kali.
Seperti biasa, Deva akan memberhentikan mereka dan tidak mengizinkan masuk sebelum syarat yang ia ajukan terpenuhi.
“Berhenti!” cekalnya. “Siapa nama lo?” tunjuknya dengan gerakan dagu angkuh pada cowok berkacamata.
“Yogi, Kak.”
“Lo?” tanyanya kemudian pada cowok yang agak tinggi dari yang berkacamata tadi.
“Nugy, Kak.”
“Dan lo?” Ia menujuk ke arah cowok terakhir berambut cepak.
“Kendy ... Kak.”
“Tahu apa kesalahan kalian?”
“Telat, Kak ....” jawab mereka kompak.
Deva mengangguk lalu tersenyum tipis. “Lo bertiga baca surat Yasiin 7 kali, baru gue izinin masuk!” perintahnya dengan begitu enteng. Seenteng bawa kantong kresek yang tidak berisi.
Egy dan Yuni yang merupakan anggota osis dan kebagian berjaga tentu saja sudah tidak kaget mendengar perintah itu. Kecuali ketiga cowok di hadapan mereka.
“Gak sekalian Al-Baqarah aja, Dev?” sindir Egy pada teman sekelasnya itu. Membuat Nugy, Yogi, dan Kendy mengaduh pesimis. Surat Yasiin saja belum tentu kelar, apalagi Al-Baqarah?
“Wah ide bagus tuh. Ya udah kalian bertiga baca surat Al-Baqarah aja sampe selesai. Buru ta'awud, gue tungguin!” katanya mengubah perintah. Tuh kan, makin parah!
Egy menggeleng-gelengkan kepalanya jengah. Deva memang benar-benar gila kalau sudah mengerjai anak-anak di hari senin seperti sekarang ini. Senin kemarin saja anak-anak yang telat di suruh baca 5 surat pendek lengkap dengan artinya. Memang sih, kelihatannya gampang kalau cuman sekedar baca surat pendek. Dijamin pada bisa. Tapi kalau sudah sama artinya, kan gak semua hafal juga.
Sekolah SMA PERTIWI memang bukan sekolah yang berdominan islami. Program ini juga bukan program sekolah. Program ini dibuat oleh Osis angkatan 3 tahun lalu sebagai bentuk pengurangan keterlambatan siswa setiap harinya dan telah disetujui oleh kepala sekolah.
Program ini tercetus karena selain untuk mengurangi siswa yang terlambat, juga memiliki sisi positif. Setidaknya siswa akan kembali mengingat dan membaca ayat-ayat al-qur'an. Kan lumayan, pagi-pagi udah dapet pahala. Tabungan buat di surga. Juga supaya sekolah mengaji sore selama 6 tahun dulu tuh, ada gunanya sekarang.
Selain itu, bagi mereka yang non muslim akan diberikan hukuman yang hampir serupa sesuai dengan pedoman mereka.
Terbukti, selama 3 tahun belakangan ini ... keterlambatan anak-anak di SMA PERTIWI mulai berkurang sedikit demi sedikit. Kepala sekolah pun sangat mengapresiasi program keja Osis yang satu ini.
Yah, daripada mencoret-coret seragam atau bahkan mengguntingnya, kan? Selain hal itu membebankan kepada orang tua nantinya—karena pasti harus beli seragam baru—, anak juga tidak akan jengah.
Toh kalau yang faedah ada, why not? Begitu kira-kira pemikiran ketua osis kala itu.
“Eh kalian bertiga, sini geser. Udah jangan dengerin omongan manusia satu itu. Cukup baca Al-Fatihah aja 3 kali. Abis itu rapihin pakaian kalian terus masuk. Buruan,” ujar Egy mengambil alih perintah.
“Yun, udah di catet namanya?” tanya Egy pada Yuni.
“U—udah udah, Kak.”
Melihat itu Deva tersenyum santai. “Ah gak asik lo Gy. Gak bisa liat gue seneng lo,” celanya. Dan Egy hanya memutar bola matanya jengah.
Deva terkekeh. Ia mengedarkan pandangan matanya ke arah jalanan sekitar.
Dari arah yang sama, seorang gadis berlari tergopoh-gopoh menghampiri gerbang. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mengalami yang namanya kesiangan. Dan semua itu gara-gara Mario—abangnya, yang tidak mau menunggunya sebentar saja. Apa kata dunia, baru dua hari sekolah di SMA baru sudah telat?
Namun, larinya tiba-tiba saja berubah menjadi langkah pelan saat dilihatnya seorang cowok yang sedang bertengger di gerbang dan menatap ke arahnya. Cowok yang sama yang kemarin menyodorkan punggung untuk sekedar melindunginya dari terik matahari.
Sumpah demi apapun, debaran jantungnya yang kemarin saja belum sepenuhnya mereda. Haruskah pagi ini ia kembali merasakan hal yang sama?
Cowok itu tersenyum dan sontak membuatnya menoleh ke arah dan kiri. Bisa saja kan cowok itu melempar senyum pada orang di belakangnya? Tapi, tidak ada siapa-siapa di sana. Menandakan cowok itu memang tersenyum padanya.
“Gy, yang ini nggak usah di hukum, ya. Cewek gue!” ujarnya pada Egy, membuat gadis di sampingnya menoleh kaget lalu menatapnya seolah bertanya, ‘Hah? Gimana?’
Egy menoleh malas dan mendapati seorang gadis manis berdiri canggung di samping Deva. Egy tahu pasti jika cewek itu bukanlah pacar Deva. Tapi apa pedulinya?
“Serah lu, dah. Udah sana buruan ke lapangan. Upacara mau di mulai tuh. Ganggu kerjaan gue aja lo!” cibirnya yang tidak benar-benar dari hati. Meski kadang Egy memang jengkel karena Deva selalu merecoki tugasnya setiap hari ini, Deva tetaplah teman yang baik bahkan pernah membantunya.
Deva terkekeh lalu kembali mengarahkan pandangannya pada gadis di depannya. “Yuk, masuk.”
“Eh? Ng—nggak, deh. Gue kan telat. Harus—”
“Udah lu ngikut Deva aja. Lagian kayaknya gak ada yang telat lagi. Lo yang terakhir jadi kali ini gue bebasin. Buru masuk, gerbangnya mau gue tutup,” sela Egy cepat.
Merasa tidak punya pilihan, ia pun berjalan melewati gerbang dan mengikuti langkah cowok yang baru saja ia ketahui namanya adalah Deva.
Baru beberapa langkah, Deva menghentikan langkahnya secara mendadak lalu berbalik. “Btw, siapa nama lo?”
“Ha? Gimana?”
“Nama lo?” Deva mengulang kalimatnya.
“Oh. Gue Mega.”
Deva tersenyum. “Ok Mega. Salam kenal dari gue, Deva. Lengkapnya Devano Adiyaksa Faishal. Save baik-baik, ya.” Setelah mengatakan itu, Deva berbalik dan melangkah lebih dulu. Meninggalkan Mega yang seketika mematung di tempatnya.
×××××
“Jadi, cowok yang lo ceritain semalem itu, nama lengkapnya Devano Adiyaksa Faishal?” tanya Mila memastikan. Karena jika sampai pendengarannya benar, ini akan menjadi hal yang berbahaya. Bisa-bisa teman barunya ini akan menjadi korban Deva selanjutnya.
“Iya.” Mega mengerutkan keningnya. “Emangnya kenapa sih sama nama itu? Kayaknya kok horror banget.”
“Emang! Emang horror banget! Pokoknya ya, sebisa mungkin lo harus jauhi cowok itu. Titik!” tandas Mila.
“Iya tapi kenapa? Kalau gue liat dari tampangnya sih, kayaknya dia bukan cowok yang musti dihindari deh,” ujar Mega sambil mengingat-ngingat cowok tersebut.
“Nih ya, dengerin gue.” Mila menyuap nasi goreng terakhirnya, mengunyahnya sebentar untuk kemudian melanjutkan ucapannya. “Lo udah ketemu sama dia, kan?” tanyanya sambil meraih gelas es teh manis dan meminumnya hingga kandas.
“Iya kan gue udah cerita. Gue ketemu dia lagi tadi pagi,” ulang Mega.
“Itulah. Nggak bisa di pungkiri sih, kalau Deva emang ganteng, putih, tinggi, pokoknya pacarable banget deh. Tapi ya, asal lo tahu nih, di balik sosoknya yang hampir sempurna itu ... Deva juga terkenal suka mainin hati cewek. Udah banyak korbannya. Dideketin, dibikin nyaman, dikasih perhatian, dan di saat si korban udah jatuh cinta secinta-cintanya, Deva tinggalin gitu aja. Coba sakit gak tuh? Apa ya istilahnya? PHP! Iya itu! Gila, kan?” papar Mila panjang lebar.
“Masa sih dia orangnya kayak gitu? Impossible, ah.” Mega mencoba menyangkal hal tersebut.
“Ish ngapain gue bohong?”
“Lo tahu si Alsya, kan? Sekertaris kelas kita? Tuh dia salah satu korbannya. Lo bisa tanya dia kalau gak percaya,” tutur Mila kemudian.
Mega diam. Mencoba mencerna pemaparan Mila barusan. Dan ia merasa bingung sekarang. Di satu sisi, ia tidak ingin membenarkan ucapan Mila. Tapi di sisi lain, pertemuannya dengan cowok itu—bahkan dua kali— bukanlah sesuatu yang kebetulan. Apa ini salah satu trik Deva? Seperti yang dikatakan oleh Mila?
“Temen lo bener. Saran gue, mending lo jauh-jauh deh dari Deva. Atau lo bakal jadi korban dia selanjutnya,” celetuk seseorang tiba-tiba.
Mega dan Mila menoleh ke sumber suara dan mendapati seseorang dengan tubuh tinggi dengan mata sipit sedang bersandar pada tiang kantin sambil menggenggam minuman soda di tangan kanan dan tangan satunya ia masukkan ke dalam saku celana.
Cowok itu tersenyum misterius kemudian berlalu begitu saja dari hadapan keduanya.
“Dia siapa Mil?”
“Oh, yang tadi itu? Namanya Davidio. Tapi anak-anak akrab manggil dia Dio. Dia emang nggak suka sama Deva. Bisa dibilang mereka itu musuh bebuyutan. Udah lama malah. Kata anak-anak yang SMP-nya bareng sih, udah dari kelas 3 SMP mereka begitu.”
“Gara-gara?”
Mila menaikkan kedua bahunya. “Entahlah. Nggak ada yang tahu apa masalah mereka sebenarnya. Anak-anak se-SMP-nya pun bungkam. Mungkin ngerasa bukan urusannya. Dan daripada nanti ujungnya kena damprat Deva, jadi mereka lebih milih diem. Deva serem lho Meg kalau udah marah. Gitu deh pokoknya. Saling diem, tapi mata mereka ngibarin bendera perang. Kadang sesekali suka adu jotos juga, sih. Padahal masalahnya spele banget,” papar Mila.
Mega menjadi semakin bingung. Tapi satu yang pasti, kehidupannya di sekolah baru tidak akan semulus seperti saat ia di sekolah lama. Dan ia merasa jika kehidupannya setelah bertemu dua cowok tersebut akan jauh dari kata baik. Padahal ini adalah tahun terakhirnya di SMA.
×××××
Sekolah SMA PERTIWI siang ini terlihat lenggang. Hanya tinggal beberapa anak yang masih berada di sekitaran sekolah, masih menyelesaikan piketnya termasuk Mega.
Kelas XII IPS 4 yang di tempatinya untunglah tidak terlalu jorok, dalam artian sering membuang sampah di kolong meja. Jadi, tidak terlalu capek ketika membersihkannya. Anak-anaknya pun lumayan mudah di atur.
“Dit, ini sampahnya tolong di buang, ya. Biar besok pagi gak usah susah-susah buang sampah lagi,” ujar Mega pada Adit.
“Iya-iya. Abis itu gue balik, kan?”
“Ya entar lah, tunggu kita selesai ngepel dulu. Baru balik!” sahut Briana dari dalam.
“Noh dengerin. Udah buruan sana buang sampahnya,” tambah Mega.
Adit yang sedari tadi bermain ponsel pun, akhirnya pasrah. Menyimpan kembali ponselnya ke saku celana dan menyahut tong berisi sampah. “Emang ya, cewek tuh ribed! Nggak mau ngalah!” dumelnya.
Mega hanya terkekeh. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya menyapu bagian yang akan di pel.
Dari arah samping terlihat Lasti dan Rio berjalan ke arah mega lengkap dengan Lasti yang membawa lap pel dan Rio yang membawa ember berisi air.
“Taro mana nih?” tanya Rio.
“Udah di situ aja.” Lasti menjawab. Kemudian ia melanjutkan. “Meg, bagian ini udah disapuin, kan?”
“Udah-udah. Bisa langsung di pel, kok.”
“Ok. Eh Rio, awas lu kabur duluan sebelum selesai! Pokoknya kalau sampe itu terjadi, liatin uang kas lo gue taikin jadi gocap perminggu!” ancamnya pada Rio.
“Eh astaga ... nih cewek satu ... Nyebut Las, nyebut. Dosa lo meras cowok ganteng kayak gue ....” ujarnya sambil mengelus dada.
Lasti hanya mendelik sebagai respond lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
Sekitar 1 jam-an, akhirnya pekerjaan mereka pun selesai. Setelah menutup pintu kelas dan memakai sepatu, Mega pun bersiap untuk pulang.
“Eh guys, kalian kalau balik duluan aja. Gue mau ke kamar mandi dulu,” ucap Mega pada teman-temannya.
“Kita tungguin, kok. Gak lama, kan?” tanya Briana.
“Nah itu, takutnya lama. Nggak papa kok kalian duluan aja.”
“Beneran, nih?” Kali ini Lasti yang bertanya.
“Iya, beneran. Udah gak papa kalian pulang duluan aja. Noh kalian si Adit sama Rio mukanya udah melas banget pengen balik dari tadi,” kikiknya pelan.
“Ye mereka mah emang ogah piket aja Meg. Cowok kan begitu. Mau enaknya doang,” cibir Lasti.
“Ye apaan lu? Gini-gini gue juga kerja. Bantu buangin sampah. Kurang apa lagi coba?” sahut Adit tak terima.
“Gue juga. Emangnya gantiin air, bolak balik toilet itu gak capek apa? Huh!” timpal Rio.
“Iya pan kudu dipaksa dulu. Kudu diomongin dulu sampe telinga panas baru mau piket. Nya sama bae bohong atuh!” tutur Briana.
“Udah-udah, kok malah ribut, sih? Ya udah gue ke toilet dulu, ya. Kalian ati-ati pulangnya,” pamit Mega pada teman-temannya. Ia pun meninggalkan mereka menuju toilet.
×××××
Mega keluar dari toilet sambil merapikan seragamnya. Ia pun berjalan melewati koridor menuju koridor utama. Namun, baru beberapa langkah, suara deheman seseorang menghentikan langkahnya. Membuatnya sontak berbalik dan menemukan Deva yang entah sejak kapan sudah berdiri di tembok di samping toilet.
“Lho De—Deva ... Lo— Lo ngapain di sini?” tanya Mega terbata. Entah kenapa rasanya masih tidak terbiasa berbicara dengan cowok yang satu itu. Apalagi dengan semua yang diketahuinya secara mendadak hari ini. Hal yang sama, dari dua orang yang berbeda.
“Jauhin Dio,” ucapnya pendek tapi sarat akan perintah. Matanya menajam, menusuk mata Mega.
“Hah? Gimana?”
Deva menghela napasnya sabar. Ia mendekati Mega, membuat jarak diantara keduanya hanya tinggal beberapa jengkal saja.
“Jauhin dia. Jangan percaya sama semua yang dia bilang tentang gue. Atau kalau nggak ....” Deva sengaja menjeda kalimatnya. Menunggu untuk gadis itu bertanya.
“Kalau nggak apa?”
Deva tersenyum misterius kemudian mendekatkan kepalanya tepat di telinga Mega. “Gue cium lo!”
××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××
*to be continue ...
Please, jika kamu menyukai cerita ini, jangan lupa tinggalkan vote dan komentar ya :)
Salam,
Penulis amatir