“Percayalah, Tuhan akan selalu punya cara yang indah dalam mempertemukan mahluknya.”
×××××
Warung rokok yang letaknya tak jauh dari SMA PERTIWI pasti akan selalu ramai di jam-jam pulang sekolah seperti sekarang. Ada yang mampir untuk membeli minum, makanan, meroko, bahkan yang sekedar nongkrong pun ada.
Warung pak Hadiman ini memang sudah terkenal sebagai tempat tongkrongan anak-anak SMA PERTIWI. Seperti yang dilakukan oleh Deva dan kedua sahabatnya.
“Nih ya, yang namanya cewek itu dikejar, Man! Dikejar! Lo mah dia cuek segitu aja udah nyerah! Payah!” cibir Rendy pada Galih.
“Ck! Gue bukannya nyerah. Tapi ya males juga gue sama cewek modelan si Fitria gitu. Dia tuh ya keliatan banget cuman manfaatin duit guenya doang. Cintanya mah kagak!” keluh Galih yang sontak membuat Deva tertawa.
“Makanya lu cari cewek yang biasa-biasa aja. Ketipu kan lu sama muka cantik!” cecar Deva.
“Tahu ah! Pusing gue mikirin cewek! Mending jomblo sekalian, dah!”
“Bagus tuh! Biar gue ada temennya!” tanggap Rendy cepat.
“Lha? Elo bukannya sama Lucy, kan?”
“Gak. Udah putus semalem. Males gue. Kerjaannya tuh cewek shopping mulu tiap minggu.” Rendy menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah baru sadar dari kebodohannya karena seorang cewek.
Galih menepuk bahu Rendy. “Emang ya, bro ... kalau nasib sesama temen tuh gak beda jauh!” katanya kemudian tergelak karena merasa nasib sialnya tidak sendirian.
“Sialan lo!”
Deva tidak ikut menanggapi. Ia memilih mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tak sengaja, matanya menangkap sosok yang sedang berdiri di samping jalan, sibuk memainkan ponselnya.
Ia mengarahkan pandangannya ke langit. Pada matahari yang berada tepat di atas kepala. Deva tersenyum, kemudian bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis tersebut.
Galih yang menyadari hal tersebut pun langsung menyikut lengan Rendy. “Mau ke mana tuh si bos?”
“Wih nyamperin cewek, bro!” timpal Rendy.
“Siapa ya tuh cewek?”
“Gue juga gak kenal, sih. Tapi semoga aja tuh cewek bukan—” belum sempat Rendy menyelesaikan kalimatnya, Pak Hadiman lebih dulu datang membawa sepiring bakwan yang baru saja diangkat dari penggorengan.
“Tah yang katanya tadi minta nambah. Sok atuh dimakan bakwannya,” kata Pak Hadiman dengan wajah yang selalu sumringah.
“Oh iya, Pak. Nuhun,” balas Rendy.
“Nuhun, Pak.” Galih ikut-ikutan.
Mereka pun mengambil gorengan tersebut dan melahapnya. Bahkan, Rendy seolah lupa dengan kalimatnya yang belum selesai.
Sementara itu, dengan tenang Deva berjalan mendekati gadis tersebut. Berdiri tepat dibelakang matahari. Membuat gadis itu sontak mendongakkan kepalanya. Dari ekspresi wajahnya, Deva bisa melihat dengan jelas kekagetan cewek tersebut.
Deva tersenyum. “Lo bisa lanjutin aktivitas lo. Mataharinya udah gue halangin.”
Seolah tersadar dari kekagetannya, gadis berambut pendek sepunggung dan berponi depan itu pun langsung kembali memfokuskan wajahnya pada layar ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana.
“Udah?” tanya Deva kemudian.
“U—udah, kok. Makasih.”
Lagi, Deva kembali tersenyum. “Sama-sama.” Setelah mengatakan itu, ia mundur selangkah lalu berbalik pergi. Membuat gadis itu mengernyit bingung. Benar-benar bingung.
××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××
*to be continue ...
Please, tinggalkan vote dan kokentar jika kamu menyukai cerita ini.
Salam,
Penulis amatir