“Tinggal dua orang lagi ya?” ujar Jenni menatap seluruh anggota klub film telah berkumpul di halaman depan kampus, terutama tepat di depan gerbang fakultas.
Akhirnya, hari yang telah ditunggu-tunggu, syuting perdana proyek film bertema bad boy kampus. Hampir seluruh anggota klub film telah menampakkan diri di kampus, bersiap di posisi masing-masing, terutama bagi kru di belakang kamera. Para pemain, terutama Michelle dan Bayu, kembali memperagakan dialog mereka sebagai latihan sebelum proses syuting dimulai.
Ivan melipat tangan di dada menatap portal gerbang lingkungan fakultas yang terbuka. Jam tangan terpasang di tangan kirinya menunjukkan sudah pukul 08:15 pagi, terlambat lima belas menit. Seharusnya, jam delapan syuting sudah dimulai.
Bayu berkomentar, “Tiara sama Priscil ya?”
Ingatan Michelle kembali terpicu begitu Bayu menyatakan dua orang yang belum datang untuk melakukan syuting perdana. Tiara dan Priscil memang hampir tidak pernah menghadiri kegiatan rutin klub film akhir-akhir ini, apalagi semenjak mereka mngolok-olok dirinya saat latihan perdana.
“Udah gue coba hubungin, malah enggak dijawab,” tutur Ryan.
“Ya udah deh.” Ivan menghela napas ketika menghadap seluruh pemain dan kru film. “Gue pengennya semua datang tepat waktu, sebelum jam delapan. Gue udah share di grup, terus mereka juga masih ada di situ lah. Kalau baca, seenggaknya datang lah.”
Ivan sekali lagi menghela napas, mencoba untuk mengalihkan amarahnya menjadi energi penyemangat. Amarahnya yang berasal dari pertengkaran menghadapi sang ayah tentu dia tidak ingin berlanjut selama proses syuting perdana berlangsung. Dia tidak ingin membiarkan keterlambatan Tiara dan Priscil mempengaruhi suasana hatinya.
“Jadi gimana nih? Kita mulai aja?” sahut Jenni.
“Udah deh, daripada ngaret terus gara-gara nungguin mereka datang, mending langsung aja syuting,” usul Wulan menghampiri Ivan. “Kasihan, udah pada rela datang pagi, jam delapan, terus malah ketunda.”
Ivan menggelengkan kepala sejenak. “Iya deh. Kita bakal mulai syutingnya. Semuanya, ke posisi masing-masing.”
Menatap proses syuting perdana baru saja akan dimulai, mengingat kembali latihan perdananya yang hancur berantakan karena ejekan Tiara dan Priscil, Michelle hanya termenung penuh ketegangan di sekujup tubuhnya. Dirinya terkilas apa jadinya jika sekali lagi mengacaukan proses syuting dengan melupakan dialog bagian perannya, Celia.
“Eh.” Bayu mendekati Michelle dari samping kirinya. “Masa tegang kayak gitu sih?”
“Siapa juga yang tegang?” Michelle berupaya untuk menyembunyikan ketegangannya, hanya melalui kata-kata.
Bayu menatap kerutan pada wajah Michelle seperti terangkat ke atas, tidak dapat menyembunyikan ketegangan hanya melalui kata-kata. “Kamu tegang lah. Kamu kayaknya ingat lagi pas latihan perdana waktu itu.”
“Sok tahu ah!” Michelle berkacak pinggang sambil membuang muka.
“Kelihatan lho. Kata-kata bisa bohong, tapi soal wajah, enggak bisa sembunyiin,” Bayu mulai berpesan, “udah deh. Kamu juga udah latihan kan, apalagi latihan bareng-bareng. Enggak usah kepikiran lagi deh pas Tiara sama Priscil ngejek kamu di latihan perdana. Toh, ini juga syuting perdana, kamu juga udah latihan. Kamu pede aja deh. Percaya kalau kamu bisa.”
“Oke, semuanya kumpul dulu! Gue mau ngomong dulu,” suruh Ivan pada seluruh anggota klub film, “bentuk lingkaran atau kotak, pada merapat!”
Tanpa perlu ba-bi-bu lagi, seluruh anggota klub film beralih dari posisi masing-masing untuk mendekat membentuk lingkaran atau bujur sangkar merapat mendengar pembukaan dari sang ketua. Tanpa lagi keluh-kesah atau kekesalan terpendam, semuanya patuh pada sang ketua, tidak ada lagi yang sedang sibuk sendiri dengan saling bercakap atau memainkan ponsel.
“Gue sebelumnya mau ucapin makasih banyak udah pada mau datang ke syuting perdana kita, terus lo udah pada latihan begitu keras, meski tugas harus rela ditumpuk lah. At least lo udah pada rela numpukin tugas cuma buat syuting sama membangun image klub film lebih baik lagi. Hari ini, kita bakal syuting perdana, kita bakal syuting sampai sore deh, kita usahain enggak sampai malam banget, soalnya lo juga pada ada tugas buat besok, kan?”
“Ya iyalah!” ledek Ryan. “Ini tugas buat besok belum gue kerjain malah!”
“Eh, lo gimana sih. Ya, lo harusnya ngerjain tugas dulu lah. Lo sih fokusnya ke mana-mana!” tegur Wulan, membuat hampir seluruh anggota cekikikan.
“Iya, iya, ini gue juga belum ngerjain,” tambah Bayu.
“Oke deh, udahan bahas tugasnya,” Ivan sampai menutup mulutnya sejenak tidak dapat menahan cekikikan. “Lo juga enggak mau pada ngaret, kan? Sampai proses syuting kita sampai ketunda? Oke deh, kalian yang semangat juga. Gue tauh semuanya pasti bisa melalui proses syuting, apalagi ini proses syuting perdana. Semuanya, di posisi masing-masing! Mulai dari pas adegan pertama, Michelle datang telat.”
“Ayo, guys, semangat!” seru Jenni menyemangati.
“Michelle, kamu pasti bisa. Kamu udah latihan, pede aja!” Bayu menyemangati Michelle.
“Michelle sama Bayu di posisi!” sahut Ivan ketika setiap anggota yang menjadi kru di belakang layar telah berada di posisi masing-masing, terutama yang telah memegang kamera menghadap portal halaman gedung fakultas.
Michelle hanya mengangguk menganggapi perkataan Bayu. Dirinya melangkah mendekati portal halaman depan gedung fakultas demi mempersiapkan diri untuk melakukan syuting adegan pertama proyek film.
Michelle menarik napas perlahan demi menenangkan diri. Di dalam benaknya, kembali terputar dua insiden yang membuat dirinya melarikan diri, berawal dari ejekan Margin yang membuat dirinya keluar, hingga ejekan Tiara dan Priscil saat syuting perdana. Dia tentu tidak ingin hal yang sama kembali terulang, yakni mengacaukan semuanya karena entah melupakan dialog atau merasa tegang saat syuting, apalagi take adegan pertama.
Bayu yang telah mengambil motornya dari tempat parkir dengan cepat melewati portal. Begitu melewati Michelle dan yang lainnya menggunakan sepeda motor, dia mulai berputar dengna jarak yang tidak begitu jauh agar dirinya dapat menemui Michelle tepat waktu saat take.
“Oke deh, adegan pertama, take one. Siap ya!” seru Ivan. “Kameraman siap?”
“Oke!” seru sang kameraman mulai mengarahkan kamera membelakangi portal halaman depan fakultas.
“Oke, first scene, take one, action!” seru Ivan memulai take adegan pertama dalam syuting.
Begitu kameraman mulai merekam, Michelle mengambil ancang-ancang untuk berlari seakan-akan sudah terlambat tiba di kampus dan masuk kelas. Michelle sampai harus berakting ngos-ngosan seperti sudah berlari semenjak melewati gerbang masuk universitas.
“Ah! Mampus gue!” jerit Michelle mulai berakting sebagai Celia sambil berlari.
Ivan mengangguk ketika menatap Michelle sama sekali tidak sadar kamera. Baginya, sebagai sutradara, pemain harus terlihat natural selama berakting tanpa sadar ada kamera yang tengah merekam, apalagi menunggu situasi dengan menengok.
Bayu segera memelesatkan motornya demi menemui Michelle di hadapan kamera, untuk mulai berakting sebagai seorang bad boy dalam sebuah film. Begitu mulai mendekati Michelle, dia memelankan kecepatan motornya.
“Telat?” ujar Bayu.
Michelle sebagai Celia ternganga ketika menatap Bayu yang menaiki motor telah berada di samping kanannya. “Iya. Kamu telat juga?”
“Emang kayak gini enggak dibilang telat? Dosen killer?” Bayu menempatkan kaki kirinya pada jalan aspal.
“Iya nih. Kalau telat masuk dikit aja, enggak boleh masuk.”
“Mau dibantuin? Masih lima menit lagi sampai kelasnya mulai kok, tenang aja. Mau saya antarin?”
“Terus kamu juga telat, kan? Dosen kamu enggak killer juga, kan?”
“Eh, dosen kelas saya juga killer pagi ini. Enggak mau sampai enggak boleh masuk kelas, kan?” Bayu sampai menyeringai kembali sambil menatap wajah Michelle. “Udah, saya antar kamu aja sekalian deh. Jalan kaki lebih lama lho.”
“Eh, enggak ah, nanti malah dibilang aneh-aneh lagi!”
“Kalau telat gimana? Terus dimarahin sama enggak dibolehin masuk juga gimana?” Bayu menyeringai lagi.
“Ah! Udah deh, gue ikut deh. Tapi, lo tanggung jawab kalau datangnya emang telat.”
“Iya, iya, pasti ini ngebut kok! Naik gih!”
Michelle pun akhirnya menaiki motor dan duduk tepat di belakang Bayu. Kedua telapak tangannya menyentuh sisi samping jok belakang. Dia menghela napas, berakting khawatir dirinya sebentar lagi akan terlambat masuk kelas.
“Pegangan yang erat! Bakal ngebut nih!” seru Bayu.
Bayu pun akhirnya kembali memelesatkan kecepatan motornya di jalan, mengagetkan Michelle layaknya dia sedang menaiki roller coaster. Dengan itulah, adegan pertama film telah berakhir.
“Cut!” seru Ivan mengakhiri take pertama sebelum Bayu memberhentikan motornya.
“Ah! Ngebut banget sih!” sahut Michelle ketika Bayu berputar dan mengurangi kecepatannya begitu berbalik menuju halaman depan fakultas untuk menemui yang lain, terutama Ivan.
Ivan pun akhirnya mengutarakan pendapatnya sebagai sutradara ketika Michelle dan Bayu telah kembali, “Tadi itu bagus banget, udah jauh lebih berkembang daripada sebelumnya, apalagi pas latihan perdana. Michelle udah kelihatan penjiwaannya.”
Michelle akhirnya menghela napas lega mendapat pujian dari sang sutradara atas kerja kerasnya. Tetapi, adegan pertama baru sebuah awal dari proses syuting film. Sebagai pemeran tokoh utama, Celia, tentu tanggung jawab dirinya begitu besar untuk menyukseskan proses produksi film.
“Jadi ini enggak usah take two nih?” tanya Bayu.
“Kayaknya dua take lagi aja sebelum kita move on ke adegan selanjutnya. Kayak tadi, biar bisa ngambil take mana yang terbaik buat scene-nya,” usul Ivan.
“Boleh, boleh,” tanggap sang kameraman.
“Pada setuju kan, kita ngambil take lagi?” sahut Ivan pada seluruh anggota di sekitar halaman depan gedung fakultas.
Jenni menganggapi, “Iya lah! Kan bisa ada pilihan lah!”
“Setuju!” sahut mayoritas dari anggota klub film.
“Chelle, tuh kan, kamu bagus banget kalau emang pede,” pesan Bayu.
“Ah.” Michelle membuang muka. “Itu dari lo kali.”
“Oke, dari awal!” seru Ivan.
Michelle akhirnya mengulum senyuman mengetahui menghadapi take pertama saat syuting telah sukses, dia berhasil mengerahkan seluruh jiwa pada perannya di dalam proyek film. Proses syuting pun akhirnya masih berlanjut.