“Aaah …. Udah mager ke sini gue, eh, dosen malah enggak masuk lagi!” keluh Yuna begitu keluar dari gedung kampus, “tahu gini gue bangun siang aja sekalian!”
“Jadi mau … balik ke kosan lagi? Entar siang juga ada kelas lah,” tanggap Michelle.
Di balik keramaian halaman depan gedung kampus, terutama pada pagi yang masih menyingsing, udara dingin tetap berembus menyegarkan atau membuat menggigil tubuh, seluruh mahasiswa masih harus mengumpulkan tenaga untuk memulai kelas sesuai jadwal pada pagi hari, tidak peduli mereka masih mengantuk dan sama sekali belum sarapan.
Langkah Michelle dan Yuna meninggalkan halaman kampus menuju trotoar jalan memicu perhatian dari seorang pemuda yang baru saja menaruh ponsel di sakunya. Pemuda itu tercengang begitu menatap Michelle dari belakang sambil membiarkan embusan angin membantu kekagetannya.
Awalnya dia ingin mengejar Michelle untuk memanggilnya. Namun … setelah begitu jauh, ditambah tidak ingin menganggu perbincangan, pemuda berambut hitam pendek tipis tanpa poni menutupi kening dan berkaos biru abu-abu itu mengurungkan niatnya.
Melihat situasi halaman depan gedung kampus yang ramai meski masih pagi, tentu dia akan berpikir dua kali untuk menyampaikan apa yang dia ingin katakan. Tentu dia mengetahui sebuah insiden besar yang terjadi pada masa lalu tepat di sana.
“Ivan!” sahut seorang pemuda yang menepuk bahunya dari belakang.
Ivan berbalik tertegun sambil menyapa, “Eh? Bayu, lo kagetin tahu!”
“Eh, gue jadi kepikiran, ngelihat Michelle juga, kan? Nah, gue pengen ngomong tentang keputusan lo nih di klub,” ucap pemuda berambut pendek tegak dan bermata sipit yang memakai kaos oblong kuning, “lo sih kemarin bilang ke anak-anak pengen Michelle jadi peran utamanya. Bro, Michelle udah keluar sih.”
“Iya, gue tahu. Sebenarnya … gue udah … pengen dari dulu jadiin Michelle sebagai pemeran utamanya. Ya … lo sendiri tahu sih, Margin udah keukeuh pengen jadi pemeran utama setiap film yang kita bikin.”
Bayu memasukkan tangan pada saku sambil berbicara, “Lo sendiri juga keukeuh pengen Michelle jadi pemeran utamanya lah. Lo yakin nih? Pengen ngajak Michelle balik lagi ke klub film? Pas syuting terakhir … dia bilang udah keluar, terus malah ngancurin kameranya, filmnya enggak jadi. Ya, habisnya gara-gara Margin juga sih. Terus … lo juga kepilih jadi ketua klub baru lah.”
Ivan menubrukkan kedua telapak tangannya. “Oke! Bay, lo bantu gue, kita coba ajak Michelle balik ke klub film. Kalau enggak berhasil, kayaknya … gue harus pertimbangin anak-anak cewek yang lain buat jadi pemeran utamanya.”
“Oh ya, terus … lo udah ada pikiran siapa pemeran utama cowoknya?”
“Nanti casting aja. Besok sore, kita mulai aja!”
“Ivan! Ayo! Dosennya udah ada!” salah satu teman Ivan berseru menemuinya.
“Oh, lo emang enggak ada kelas, Bay?” Ivan bertanya sekali lagi.
“Ya … entar siang sih, pas jam istirahat lagi, gue emang suka datang pagi-pagi banget.” Bayu mengulum senyuman ketika menjawab.
“Gue duluan ya! Dosennya killer banget!” Ivan pamit begitu berlari menuju gedung fakultas.
***
Siang hari menjadi puncak dari keramaian di gedung kampus, banyak mahasiswa berlalu-lalang, keluar masuk, demi mengejar waktu untuk kelas masing-masing atau baru saja menyelesaikan sebuah kelas pada hari itu. Terlebih, sinar matahari semakin menajamkan panas pada udara yang sebelumnya sejuk pada pagi hari.
Kelelahan terlihat jelas pada beberapa mahasiswa di halaman kampus, mau tidak mau keringat harus tumpah dan menetes pada kulit, terutama bagian leher dan wajah. Lebih buruknya lagi, kemalasan menyengat bagi mahasiswa yang harus rela masuk pada siang hari. Bahkan, ada beberapa mahasiswa yang harus repot-repot memfotokopi ringkasan materi dari dosen.
Michelle dan Yuna menjadi salah satu saksi dari keramaian halaman gedung kampus pada siang hari, harus rela terkena sinar matahari ketika tidak ada satu pun pohon yang mengiringi mendekati pintu masuk lobi. Tas ransel mereka terasa seperti beban ketika panas siang hari menyengat.
“Duh, gue sebel sama mata kuliah umum!” keluh Yuna ketika melewati pintu masuk gedung fakultas. “Kan enggak berkaitan sama fakultas kita lah! Ngapain kita ngambil kayak manajemen, terus … apa hubungannya dengan sastra coba! Agama sama Bahasa Indonesia sih wajar, tapi … manajemen lah, enggak nyambung.”
“Udah deh, lo mending ikut aja. Kan lumayan buat nilai tambah, syukur-syukur lo bisa manfaatin buat kerja lah,” usul Michelle ketika mereka menaiki tangga menuju lantai dua.
“Ah! Terus … gue harus kerja di bank gitu? Sesuatu yang ngandalin keuangan? Please deh! Gue anak sastra, kita anak sastra!”
“Eh, Bay, ikutan futsal nanti enggak?” seru salah satu teman Bayu ketika keluar dari salah satu ruangan kelas di lantai dua.
“Uh … nanti lihat situasi dulu deh. Gue juga ada kerjaan di klub film,” jawab Bayu mengikuti temannya menuju tangga.
Entah kebetulan atau bukan, Michelle dan Yuna akhirnya menapakkan kaki pada lantai dua setelah melangkahi anak tangga terakhir. Pada saat yang sama, Bayu dan temannya juga tiba di hadapan tangga itu. Bayu dan Michelle terhenti dan tertegun ketika menatap satu sama lain, tepat di dekat tangga.
“Lho? Michelle,” sapa Bayu.
Mengenali Bayu sebagai anggota klub film, alih-alih membalas sapa, Michelle justru mempercepat langkah melewati lantai keramik putih dan halaman beberapa ruangan kelas. Kecepatannya bertambah seiring terpicunya kembali beberapa kenangan buruk saat berada di klub film, akibat menatap salah satu anggotanya.
“Michelle, tungguin woi!” Yuna menyusul.
Bayu memegang strap kanan ransel biru mudanya seraya mengeratkan pegangan pada punggung. Tanpa meminta izin pada temannya terlebih dahulu, dia ikut mengejar Michelle. Akan tetapi, alih-alih mengikuti kecepatan langkah Michelle, dia melangkah seakan-akan tidak sedang terburu-buru.
Ditatapnya langkah cepat Michelle dan Yuna, Bayu tetap memperhalus langkahnya demi tidak mengundang kecurigaan dari beberapa mahasiswa yang berada di sekitar halaman kelas masing-masing, dia tentu tidak ingin dibilang sebagai stalker orang lain. Dia hanya ingin melaksanakan tugas dari Ivan, sang ketua klub film.
Bayu menghentikan langkah sejenak memandang Michelle dan Yuna memasuki ruangan kelas di hadapannya, salah satu kelas terluas di gedung fakultas. Pintu juga terbuka dengan lebar, bisa terlihat dari hadapan pintu, barisan tempat duduk tersusun rapi seakan-akan mengikuti anak tangga layaknya ruang auditorium. Cat putih dan dua jendela kayu cat cokelat yang tertutup rapat ikut menumpang pada dinding kelas.
Ruangan kelas itu begitu ramai, percakapan demi percakapan dapat terdengar jelas menuju telinga Bayu. Pemuda berwajah oriental itu bersandar pada dinding dekat pintu demi mencuri dengar percakapan, terutama dari Michelle dan Yuna yang menempati salah satu bangku barisan ketiga.
Tatapannya kembali mengarah pada Michelle yang tengah berbicara pada Yuna. Senyumannya melebar ketika menatap wajah mulus Michelle dari kejauhan, berpikir dia benar-benar cocok menjadi aktris utama dalam proyek selanjutnya bagi klub film. Lantas, dia tidak dapat menahan cekikikan menatap Michelle memberi semacam saran dan nasihat pada Yuna.
Tatapannya teralihkan ketika salah satu mahasiswa mendekati pintu kelas seraya ingin masuk. Bayu memperhatikan sang mahasiswa tersebut menatap tajam dengan curiga, dia bahkan membalas hanya menggunakan senyuman dan menundukkan kepala sedikit.
Bayu akhirnya menyingkir dari sekitar kelas itu ketika melihat Michelle bangkit dari bangku, terdengar jelas dia ingin ke kamar mandi. Demi menjaga jarak, dia berbelok begitu jauh sebelum menatap Michelle melewati pintu menuju kamar mandi di dekat tangga.
Situasi telah aman ketika Michelle sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Bayu perlahan melangkah mengikutinya sekali lagi menarik strap kanan ranselnya. Beruntung, dia memasuki kamar mandi perempuan tanpa menyadari bahwa Bayu sedang mengikuti di belakang.
Bayu menghentikan langkah ketika menghadap pintu kamar mandi pria dan bersandar pada balkon tangga. Diambilnya ponsel dari saku celana sambil menunggu Michelle untuk keluar demi menghemat ketegangan ketika bertanya nanti.
Bayu juga menatap ke belakang, terlihat satu per satu dosen menaiki tangga, mencari kelas yang akan mereka ampu mata kuliahnya. Layar ponsel dia lihat kembali sudah menunjukkan pukul 12:31 siang, satu menit setelah kelas berikutnya dimulai sehabis istirahat. Dia sudah tidak ada jadwal mata kuliah pada siang hari itu.
Satu per satu mahasiswa juga terlihat berlarian melewati tangga, khawatir akan datang terlambat menuju kelas masing-masing, terutama mata kuliah yang diampu dosen killer sekalipun. Bayu pun lega begitu menyaksikan kepanikan satu per satu mahasiswa yang telah datang terlambat, dia tidak perlu berlagak seperti mereka untuk sekarang.
Pandangannya teralih ketika mendengar suara langkah kaki dari pintu kamar mandi perempuan. Ditatapnya kembali Michelle sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana kembali. Seperti sebelumnya, Michelle mengabaikannya begitu saja, tanpa menyapa atau menegur sama sekali.
“Eh, Michelle,” panggil Bayu mengikuti langkah Michelle, kali ini dia percepat langkah agar dapat mendekati Michelle. Secara spontan, dia hanya berkata, “Darimana aja? Enggak pernah kelihatan lagi di klub film.”
Canggung sekali, Bayu tahu bahwa Michelle telah keluar dari klub setelah membanting dan merusak kamera saat syuting terakhir proyek film pendek semester lalu. Kalimat yang dia lontarkan seperti rem mendadak demi menghindari sebuah kenyataan secara tak disengaja.
Michelle tetap mengabaikan Bayu begitu saja, mempercepat langkah menuju ruangan kelas berjaga-jaga jika dosen sudah tiba. Ditambah, tekadnya semakin bulat untuk menjauhi setiap anggota klub film, tidak ingin kenangan-kenangan buruk lama terpicu kembali di dalam otaknya.
“Michelle, kalau mau datang ke klub film, sok aja. Kita masih welcome kamu kok.”
Michelle menggeleng sekali lagi mengabaikan perkataan Bayu. Dirinya telah memasuki ruangan kelas, meninggalkan Bayu sendirian di hadapan pintu kelas yang masih terbuka lebar, belum terlihat ada dosen berdiri di dekat meja dan papan tulis.
“Michelle, kalau mau datang, bilang aja ya! Kita masih welcome kamu!” seru Bayu.
Michelle kembali menempati bangku di dekat Yuna sambil mengentakkan kaki. Kekesalan mulai mendidih pada hatinya, telah terganggu oleh ajakan Bayu, apalagi harus sampai stalking.
“Eh, lo kenapa sih? Diamin aja itu teman lo?” bujuk Yuna.
“Dia bilang … mau ngajak gue balik lagi. Enggak ah, gue udah bilang kan. Gue udah keluar dari klub film. Lagian, gue udah nginjak tahun akhir, ya mau enggak mau gue sibuk sama skripsi lah, apalagi mata kuliah yang masih nyisa lho. Udah deh, daripada repot-repot balik urusan gitu, gue mending sibuk ngurusin skripsi aja sama cepat lulus. Gitu aja.”