30 menit sudah Sia menunggu Helen yang katanya kan datang menjemput. Sia sendiri terlihat anggun dibalut dress merah muda. Rambutnya ia gerai dengan ujung bergelombang, cukup menutupi rusuk wajahnya yang di sana terpoles make up tipis saja.
Akhirnya, yang ditunggu pun datang. Terlihat mobil hitam milik keluarga Helen berhenti di depan rumah. Sia segera masuk ke dalam mobil, mendapati hanya ada Helen dan pak supir di dalam.
"Loh? Auntie Dewi sama Uncle Simpson mana?" Heran Sia sembari celingukan.
"Mama sama papa nggak bisa ikut. Soalnya ntar jam 8 ada kegiatan di sekret sanggarnya papa." Jawab Helen.
"Lah? Jadi, dinner-nya gimana dong? Batal?"
"Jadi kok, jadi."
"Gimana ceritanya?" Sia menaikkan alis pertanda bingung. "Katanya makan malam keluarga. Pertemuan dua keluarga."
"Nggak papa, kita aja yang mewakili. Ya kan?" Helen antara lesu dan senang. Tapi segera ia tersenyum sumringah. "Jalan pak." Ujarnya pada pak Ojan di depan.
Di pertengahan jalan, Helen kembali angkat suara. "Nah, sebelum benar-benar nyampe di sana, gue mau ngasih lo wejangan-wejangan."
"Apaan?" Sia penasaran. "E-eh, tapi nama sepupunya Helen siapa? Sia lupa."
"Namanya Rahardi. Panggil aja Raha."
"Oh."
Helen pun melanjutkan. "Jadi, ntar kalo ketemu sepupu gue itu lo jangan malu-maluin ya? Lo harus jaga sikap, jaga lisan juga. Harus good manners deh, pokoknya! Bisa?"
"Siap bos!" Seru Sia semangat 45.
"Satu lagi," sela Helen cepat. "Ngomong sama dia lo kudu formal. Jangan ngomong sembarangan karena dia itu bukan orang sembarangan."
"Iya deh iya. Lagian Sia kesana kan, cuma pengen makan. Mayan lah makan makanan Jerman. Gratis pulak." Sia bicara tanpa menatap Helen melainkan memperhatikan apapun yang mobil ini lewati. Sia menurunkan kaca mobil di dekatnya lalu menikmati angin malam yang menyapu wajah seketika.
"Non, tolong tutup kacanya soalnya AC lagi nyala." Tutur pak Ojan di depan.
Sia manyun lalu kembali menaikkan kaca hingga tidak ada lagi angin malam yang masuk. "Yah padahal bentar lagi kita lewat di area kaki lima. Kan lumayan kalo aromanya masuk ke mobil kita."
****
Mobil yang mereka tumpangi kini memasuki pelataran sebuah gedung. Sia dan Helen turun dari mobil, dan Helen tercengang sebentar. "pak," panggilnya pada pak supir. "Ini pak Ojan nganternya bener, kan?"
"Maaf, maksudnya non?" Kernyit pak supir bingung.
"Ini beneran restoran baru? Kok kayak udah lama, ya kesannya?"
"Sepupu Helen beli restoran bekas kali." Cerocos Sia di sampingnya.
"Eh sembarangan lu ya!" Helen menatap Sia sinis lalu keduanya masuk ke dalam restoran bernuansa negeri Tirai Bambu itu. Helen celingukan di tengah ruangan, tidak tahu harus apa sementara pak Ojan tidak bisa ditanyai lagi karena tugasnya hanya mengantar sampai di luar.
Helen mengambil ponselnya lalu menghubungi Raha.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada ...
"Pech haben!" Helen mengumpat seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
Di samping Helen ada Sia yang melongo. "Barusan Helen bilang apa?"
Helen menatap Sia sebentar, "pech haben."
"Artinya?"
"Anjir."
"Oh." Sia manggut-manggut. "Kenapa?"
"Nomornya nggak aktif." Helen masih celingukan. "Raha mana, coba? Om Galih juga! Ini bener kagak, sih?"
"Kayaknya salah alamat, deh Hel." Sia memandangi restoran yang dekorasinya lebih mirip nuansa Tiongkok daripada nuansa Jerman. "Kata Helen si Raha-Raha itu punya restoran Jerman, kan? Ini kenapa?"
"Ya gua mana tahu!" Helen makin bingung.
Tiba-tiba seorang pramusaji datang menghampiri mereka berdua. "Selamat datang, nona Helen dan nona Sia." Sapanya tersenyum ramah.
Baik Helen maupun Sia sama terkejutnya. "Mbak tahu nama kita?" Helen yang angkat bicara.
"Iya mbak. Oh iya, pak Raha sudah menunggu kalian di atas."
"Di atas?" Helen bertambah bingung.
"Mari mbak, ikut saya." Sang pramusaji pun membawa keduanya menuju ke balkon.
Sesampainya di sana, Helen dan Sia dibuat takjub oleh apa yang mereka lihat saat ini. Balkon yang letaknya di sisi kanan resto ini sekilas nampak temaram, namun dipenuhi oleh lilin-lilin kecil yang dideret sedemikian rupa ditambah lampu-lampu kecil yang melilit terali balkon tersebut. Di tengah balkon berukuran sedang ini ada sebuah meja makan berkapasitas 4 orang.
Dan sosok Rahardi yang sejak tadi dibicarakan duduk di sana, memasang senyum terbaik yang ia punya.
Helen tersenyum sumringah namun ketika ia duduk di kursi meja makan, ia menatap Raha dengan ekspresi bingung. "Om Galih mana?"
"Kamu sendiri, mama sama papa kamu mana?" Raha balik nanya.
"Loh, bukannya aku udah ngasih tahu kalo mama papaku nggak bisa datang?"
Raha pun tersenyum mengacak-acak kecil poni Helen yang kini duduk di dekatnya. "Kalo gitu papaku juga nggak bisa datang."
Helen menahan diri untuk tidak tertawa dan masih mempertahankan raut bingungnya. "Maksud kamu?"
"IT'S A SURPRISE?" Raha balas memandangi Helen penuh kemenangan. Mendengar itu, tawa Helen pecah dilanjut cibiran khas darinya untuk Raha.
"Dasar. Jangan bilang kalau mama dan papaku tidak bisa hadir karena settingan dari kamu?" Helen mencubit lengan Raha gemas.
Raha pun tertawa dan kembali mengacak-acak kecil poni Helen yang memang menjadi kebiasaannya sejak dulu. "Kamu sudah besar sekarang."
"Oh tentu." Helen tersenyum angkuh. Ah, Helen baru sadar kalau Sia sedari tadi hanya bengong di pintu. "Sia, sini." Panggil Helen.
Sia pun mengangguk malu-malu kemudian duduk di dekat Helen, persis di seberang Raha. Sia menunduk dan ketika ia mendongak, tatapannya bertemu dengan tatapan Raha.
Sia langsung membuang muka.
"Kenalkan, dia temanku." Helen berujar. "Sia, ayo kenalan."
Sia menerima uluran tangan Raha. "Hello mister. My name is Sia Tadirana Just call me Sia."
Raha tersenyum singkat. "Raha."
"Oke, Raha. Kamu sukses ngerjain aku. Haha. Surprise bodoh." Helen kembali bicara sementara di dekatnya Sia malah terlihat celingukan.
"Sia, hei," panggil Helen. "Kamu cari siapa?"
"Ah? Oh, itu.. Sepupu Helen mana? Kok belum datang?" Ekor mata Sia masih saja bergerak mencari orang yang ia maksud. Mendengarnya, baik Helen dan Raha sama-sama terkejut sedikit.
Helen menunjuk Raha. "Si, ini dia sepupu gue." Bisik Helen namun masih dapat didengar oleh Raha.
"Apa?" Sia mengerjap. "Dia sepupu yang Helen maksud? Rahardi itu?"
"Hai." Raha menampakkan senyum manisnya. "Saya sepupunya Helen."
Lagi-lagi Sia tercengang. "Jadi ini yang-"
Helen langsung menginjak kaki Sia tanpa sepengetahuan Raha. "Ngomong yang formal." Bisik Helen pelan sekali.
Sia pun tersenyum dongkol dan menatap Raha dengan air muka tak enak. "Jadi anda yang bernama Rahardi?" Tanya Sia tak percaya. Dan yang ditanya mengangguk tentu.
Sebenarnya Raha dan Helen sedikit terkejut mendengar gaya bicara Sia. Menggunakan anda, itu terlalu formal. Namun Sia tak peduli. Kata 'anda' meluncur sendiri di bibirnya.
"Iya. Saya Rahardi. Panggil saja Raha."
"I-iya." Jawab Sia seketika lemas. Akhirnya terjawab sudah pertanyaannya sewaktu pertama kali melihat pria ini di sini. Tadinya Sia berpikir, kenapa ada bule? Dan, kemana si Rahardi? Ya karena Sia mengira sepupu Helen yang bernama Rahardi itu tidak lain dari orang-orang Indonesia kebanyakan. Tapi rupanya, Rahardi yang dimaksud Helen ini ternyata lebih nyegerin.
Yaampun. Namanya Rahardi. Tapi muka kek perpaduan Leonardo Dicaprio sama Justin Bieber. Hm.
Batin Sia seketika. Sementara Raha lalu mempersilakan keduanya menikmati makanan yang tersaji.
Dan oho, Sia baru sadar akan surga duniawi di depannya itu. Ia pantas meneguk ludah sembari memperhatikan makanan itu dari ujung pukul ujung.
Sedang di sampingnya, Helen yang sibuk mengaduk pasta-nya menyempatkan diri menyikut lengan Sia yang masih melongo terpesona. "Si, makan."
"Aduduh ini keknya enak banget." Madah Sia bernada gemas. "Bisa dibungkus nggak, ya?"
Raha tersedak mendengarnya.
"Kenapa? M-minum dulu." Helen menawarkan air namun Raha mengibaskan tangan pelan, dan kini malah menatap Sia. Sadar ditatap seperti itu, Sia langsung berdehem dan mulai memakan makanannya. Raha terkekeh singkat.
"Oh ya, Helen. Maaf saya sudah berbohong tentang kepulangan saya. Sebenarnya, saya baru dua hari di sini." Raha akhirnya jujur pada Helen. "Dan sebenarnya lagi, tidak ada restoran Jerman seperti yang saya bilang. Saya hanya ingin memberi kesan haha."
Helen hanya bisa bergeleng kepala mendengarnya. Beruntunglah karena Helen menganggap ini semua candaan. "Das macht nichts. Kali ini kumaafkan. Jangan buat aku kesal lagi, Raha. Bercandamu tidak lucu."
"Iya iya. Nie mehr." Raha terkekeh melihat ekspresi setengah kesal yang Helen pasang.
"mister," sebut Sia tiba-tiba.
Seketika hening. Raha dan Helen sama-sama menunggu apa yang akan Sia katakan.
"Saya mendengar perbincangan kalian. Dan, saya mendapat satu kesimpulan. Bolehkah saya mengutarakan kesimpulan tersebut?"
Ngomong sama ni orang kayak jadi moderator diskusi, ya? Cape deh.
Batin Sia tak kerasan menggunakan bahasa formal.
"Iya, apa kesimpulannya?" Raha menatap Sia lurus-lurus.
Sia pun menggaruk tengkuknya sebentar lalu menjawab, "jadi tidak ada makanan Jerman di sini. Iya, kan?"
Helen membulatkan mata lalu terbatuk setelahnya. Di bawah sana, kakinya menendang kecil betis Sia membuat yang ditendang meringis. "Helen ngajak gelut, ya?"
Raha mengernyit tak paham. Sia pun buru-buru mengembalikan situasi ke mode formal. "Maafkan saya."
"Iya tidak masalah." Balas Raha. "Oh ya, kamu benar. Tidak ada makanan Jerman. Haha maafkan saya karena secara tidak langsung saya telah membohongi kamu juga."
"Eh, tidak papa kok mister, tidak papa. Suer dah." Sia menepuk sendiri mulutnya. "Maksud saya, serius tidak papa. Lagipula, makanan di sini enak semua kok."
"Haha terimakasih sudah mengerti. Dan, tolong berhenti memanggil saya mister seperti itu. Umur saya masih 23, kita hanya beda beberapa tahun."
Sia tersenyum dongkol mendengarnya. Ia pun buru-buru bangkit dari duduknya, berdiri lalu membungkukkan badan. "Maafkan saya mister."
Hening.
"Maksud saya... Maafkan saya."
"Panggil saja Raha." Raha mempersilakan Sia kembali duduk.
Sia pun duduk. "Iya... Raha."
"Nah, ayo makan lagi." Raha menuangkan minuman ke gelas Sia tanpa di suruh. Helen? Jangan tanya. Mengingat situasi serba awkward tadi, rasanya Helen ingin pergi ke Saturnus sekarang juga! Helen malu. Meski bukan pertama kalinya ia malu karena ulah Sia, sih.
"Raha," panggil Helen guna mengalihkan topik.
"Hm?"
"Kamu akan tinggal di sini, atau akan kembali lagi ke Berlin?"
Raha menelan kunyahannya baru menjawab. "Saya akan kembali ke Berlin."
Helen terlihat tidak senang mendengarnya. "Kupikir semuanya akan seperti 6 tahun yang lalu."
"Tidak bisa, Helen. Kehidupan saya ada di Jerman. Saya memang lahir di sini, tapi sebagian besar hidup saya di sana. Bahkan sebelum mama dan papa saya bercerai saya memang lebih banyak di sana, kan?"
"Ja." Jawab Helen terlalu singkat.
"Wieso meine cousine ist traurig?" Raha terkekeh singkat seraya menarik pangkal hidung Helen, membuat yang diperlakukan demikian terkekeh minta dilepaskan.
Selanjutnya mereka membahas hal-hal lain entah apa itu Sia tak peduli. Tugas Sia di sini hanya satu. Yakni, fokus makan.