"HEYYO SISTA WHAT'S UP!"
"Allahuakbar ngagetin gua aja sih lu, sendok sayur!" Sebut Helen menetralkan perasaannya di pagi ini. Di sampingnya, Sia cengengesan karena sudah berhasil menjalankan misi dadakannya : Membuat Helen bertanduk.
"Bahasa Jermannya selamat pagi apa ya?"
Hari ini Helen dan Sia datangnya bersamaan, dan sekarang mereka berjalan bersisian menuju ke kelas.
"Guten Morgen." Jawab Helen bernada tak ikhlas.
"Morgen? Itu kan personil SMASH kan ya?"
"Terserah." Helen mendahului Sia namun Sia berhasil mensejajarkan langkah mereka lagi.
"Yahh bule Jermannya Sia ngambek. Jangan ngambek, dong. Helen jelek kalo lagi ngambek, noh bibirnya jontor noh."
Helen tak peduli dan saat mereka masuk ke kelas, Sia menyempatkan diri mengatakan, "guten Morgen," pada angin.
"Yakin nih baru kita berdua yang datang?" Sia tercengang melihat kelas yang kosong. "Tumben. Ya sudahlah."
Ia dan Helen duduk di tempat duduk urutan kedua dari belakang. Untuk umur pertemanan, mereka berteman saat awal-awal MOS karena kebetulan saat itu mereka satu gugus.
"Hel, kapan-kapan kalo sepupu Helen ngajak makan lagi, Helen jangan sungkan-sungkan ya ngasih tahu ke Sia?"
"Yeh itu mah maunya elo!" Helen berdecak, mendecaki Sia yang di kepalanya hanya ada makanan, makanan dan makanan.
"Oh ya, btw btw sepupu Helen itu bule lokal juga ya, sama kayak Helen. Kan?" Tanya Sia lagi sembari menepikan tasnya ke bangku.
"Iya. Eh tunggu, bule lokal maksud lo blasteran, kali?"
"Itu deh pokoknya. Tapi ya, dari namanya Sia kira dia bukan bule, lho. Rahardi, Indonesia banget ya kan?" Sambung Sia, nadanya semangat sekali. "Nama Helen kan Helena Glitzern. Pas deh sama muka Helen yang kebarat-baratan. Jadi western-nya kerasa gitu. Yaa meskipun cara Helen ngomong ngalahin slangnya preman pasar tapi se-"
"Ngomong apa lo? Minta ditebas ya?"
"Nah, kan. Apa Sia bilang." Sia menjauhkan dirinya sedikit dari Helen. Untuk jaga-jaga karena Helen ini hanya anggun dari luarnya saja.
"Cantik gini dibilang preman." Sementara Helen merapikan poninya sendiri. "Asal lo tahu ya, Rahardi itu nama pemberian papanya. Nama Indonesianya. Sedangkan di akta kelahiran dan di Jerman, namanya itu Raha Diano Gilbert."
Sia manggut-manggut pertanda paham. "Ohhhh begitu toh. Dia yang Jerman apa nih, mama atau papanya?"
"Nyokapnya."
"Terus, ini pertama kalinya dia ke sini?"
"Kan semalam udah dibilangin, dia di sini itu 6 tahun yang lalu. Setelah bonyoknya pisah dia ikut nyokapnya ke Berlin."
"Ohh. Dia ngapain di Berlin?"
"Bernapas. Ya hidup kek orang-orang, lah."
Sia jadi gemas sendiri dengan jawaban Helen barusan. "Ih! Maksud Sa kuliah kek kerja kek apa kek gitu. Ah."
"Dia udah lulus kuliah. Waktu kuliah dia ngambil jurusan Tata Boga."
"Seriusan Tata Boga? Cowok? Tata Boga?" Sia menganga. "Bagian masak atau make up atau apa spesifiknya?"
"Katanya sih fokus ke urusan makanan. Nah, mau nanya apa lagi lo? Udah buruan mumpung lagi mood." Helen melihat satu persatu teman kelasnya datang. Perlahan-lahan kelas itu pun mulai ramai mengingat jam sudah menunjukkan angka berapa.
"Oke, Sia mau nanya lagi." Lanjut Sia setelah memikirkan pertanyaannya. Hitung-hitung sekedar mengisi waktu di pagi hari ini. "Bahasa Jermannya 'aku' apa?"
Helen menaikkan alis. "Ich. Emang kenapa?"
"Hm. Kalo mencintai?" Lanjut Sia lagi.
"Lieben. Bentar, bentar. Lo suka sama cowok?"
Sia lantas memandangi Helen dengan tatapan risih. "Apaan sih Helen! Sia tuh mau tanya bahasa Jermannya' aku mencintai makanan' apa?"
Helen menghela napas. Berbicara dengan Sia, apapun topiknya pasti ujung-ujungnya akan kembali pada yang namanya makanan. "aku cinta makanan. Ich liebe Essen."
"Ich liebe Essen? Wahaha Sia liebe Essen." Sia bicara sendiri. Helen memutar bola mata malas.
"Apaan sih, Si. Nggak jelas banget pagi-pagi."
"Sabodo. Sia mau nulis kalo ich liebe Essen!" Sia merogoh laci di kolong mejanya. "Kemarin pulpen Sia ketinggalan nih." Namun bukan pulpen yang ia temukan, melainkan sebuah amplop berwarna hitam.
"Apaan nih?" Dikeluarkannya amplop itu dan memperlihatkannya pada Helen. "Punya Helen ya?"
Helen yang ikut penasaran lalu mengambil amplop itu, memperhatikan sisinya sebentar. Kemudian menggeleng, "bukan. Lagian ngapain gue make amplop?"
"Atau barangkali ini amplop surat izin temen kita yang sakit, kali ya?" Tebak Sia seraya membuka amplop itu, penasaran dengan isinya dan penasaran kenapa bisa ada di laci mejanya.
Hingga apa yang ia temukan adalah secarik kertas. Dan di kertas itu ada tulisan yang membuat Sia mengernyit bingung.
"Apa isinya?" Tanya Helen penasaran juga.
"Cuman kertas. Tapi ada tulisannya."
"Coba lihat," Helen merebut kertas itu kemudian membulatkan mata.
ICH LIEBE DICH.
Tulisan yang tertera di sana.