Seorang pria berjas masuk ke dalam sebuah restoran. Pria itu datang bukan untuk duduk kemudian makan, melainkan untuk menemui mr. Galih, sang pemilik restoran sekaligus ayahnya.
Belum sampai di partisi, pria itu disambut baik oleh seorang pramusaji perempuan. "Good morning, sir. Nice to meet you." Sapanya malu-malu.
Lantas yang disapa pun mengulum senyum ramah. "Nice to meet you too."
"Mmm.." Pramusaji ini terlihat ganjen. Dan pria itu yakin, pramusaji pasti mengira dirinya hanya pengunjung makanya pramusaji ini berniat modus. "Welcome in our restaurant business. By the way.. How is your day, sir? Hehehe."
"Pretty good." Jawab pria itu, dan si pramusaji tampak mengernyit bingung namun senyumnya masih mengembang malu-malu.
"P..Pretty good? Apa si mas bule ngatain gue cantik?" Si pramusaji bergumam.
Dan ternyata si pria mendengarnya. "Bukan cantik, tapi maksud saya, kabar saya baik."
"Eh?" Sang pramusaji terbelalak. "Tuan bisa berbahasa Indonesia?"
Pria itu lantas tersenyum sambil memasukkan tangannya ke dalam saku, "tentu." Kemudian berlalu pergi dari situ, meninggalkan si pramusaji yang kini di perutnya beterbangan kupu-kupu.
- - -
Pria itu pun tiba di ruangan yang dituju. Di dalamnya, terlihat mr. Galih menyambut hangat anaknya itu.
"Rahardi anakku. Akhirnya kamu datang juga." Mr. Galih menepuk pundak anaknya seraya mempersilakannya duduk. Dan, pria tadi pun duduk.
Diperhatikannya seluk ruangan ini. Tidak banyak yang berubah. Semuanya sama seperti enam tahun lalu.
"Bagaimana kabar mama mu di Jerman?" Tanya mr. Galih. Jujur ia tidak kerasan menanyakan kabar mantan istri, tapi entah kenapa kalimat ini meluncur sendiri dari bibirnya.
"Mama sehat. Papa tidak usah khawatir."
"6 tahun di Jerman, rupanya kamu masih fasih berbahasa Indonesia." Mr. Galih tersenyum formal.
"Rahardi tidak mungkin lupa, pa."
"Bagaimana kalau kita keliling-keliling dulu? Kamu lihat-lihat dulu, restoran papa sudah banyak berubah semenjak kamu ikut mama kamu pergi. Papa kangen sama kamu, nak."
"Iya, pa."
- - -
Nama aslinya Raha Diano Gilbert. Namun sejak kedua orangtuanya bercerai 6 tahun yang lalu, sang papa tidak mau memanggilnya Raha. Maunya Rahardi. Karena Raha adalah nama pemberian sang mantan istri. Mr. Galih tidak suka itu.
Tapi, lama tinggal di Jerman membuat Rahardi tidak terbiasa dipanggil demikian. Jadi kita sebut saja ia Raha.
Bola matanya hitam legam, sama seperti warna rambutnya. Namun wajahnya tidak mirip orang Asia kebanyakan, wajahnya cenderung kebarat-baratan, mengikuti gen sang mama yang berdarah Jerman-Belgia. Jika melihat sosoknya, orang baru akan percaya bahwa nama lain pria ini ialah Rahardi setelah tahu bahwa ia blasteran.
Makanya si pramusaji yang tadi heran mengetahui pria tampan ini bisa berbahasa Indonesia.
Dan sekarang, Raha yang kita bahas ini sudah berada di mobilnya setelah tadi melepas rindu dengan sang papa. Raha memang sudah dua hari di sini, namun belum juga ia menginjakkan kaki di rumah mr. Galih. Mama Raha melarangnya, ditakutkan mr. Galih menghasut Raha untuk menetap. Dan Raha mencoba patuh pada sang mama, ini pun Raha bersyukur sekali karena diperbolehkan mengunjungi tanah kelahirannya setelah sekian lama.
"Halo," ucap Raha begitu ponselnya mendarat di telinga.
"Iya, siapa ya?" Jawab panggilan di seberang.
Raha melihat ke depan sementara mesin mobilnya belum menyala. "Ini saya, Raha."
"Raha? Kok, pake nomor Indonesia?"
"Ya soalnya sudah ada di Indonesia."
"Beneran?"
Raha tekekeh-kekeh singkat. "Ja. Naturlich."
"Kamu sudah pulang? Kapan?!"
Lawan bicara Raha saat ini bernama Helen. Raha sudah menganggap Helen sepupunya sendiri lantaran mamanya dengan papanya Helen sudah seperti dua orang yang bersaudara kandung. Keduanya sama-sama orang Jerman.
"Sudah seminggu." Bohong Raha seraya menahan tawa. Ia hanya ingin tahu bagaimana reaksi sepupu angkatnya itu kala tahu ia terlambat dikabari.
"Apa? Sudah seminggu dan memberi kabar baru sekarang?"
Raha menahan tawa, lagi. Ocehan Helen adalah hiburan tersendiri baginya. "Helen, ich will treffe."
"Tentu saja kita harus bertemu! Akan kucubit kamu sampai kamu memar! Dasar! Pulang tidak bilang-bilang!"
"Helen, hei. Helen, saya sibuk. Ya sudah, kalau begitu bagaimana jika.." Raha mengetuk-ngetuk jarinya ke dagu sambil berpikir. "Ah ya, kamu pasti tidak tahu kalau saya datang ke sini untuk meresmikan restoran saya sendiri."
"Apa?! Tunggu, tunggu! Restoran? Restoran kamu?" Suara Helen terdengar takjub.
"Iya. Restoran Jerman. Sounds cool, isn't it?" Entah sudah berapa kebohongan yang Raha ucapkan sekarang. "Kamu datang saja, saya mengundang kamu untuk makan malam. Ajak auntie Dewi dan Uncle Simpson sekalian."
"Ah! Kamu sudah sukses seperti yang kamu dambakan. Apa nama restoranmu?"
Raha berpikir keras. Ya, beginilah yang namanya kebohongan. Sekali berbohong, maka selanjutnya akan penuh oleh kebohongan-kebohongan lain. "Namanya... Bratspiegel. Ya, Bratspiegel Restaurant."
"Bratspiegel? Ist das ein Essenvorname?"
Raha tidak mengira kalau Helen akan se-cerewet ini. Raha menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal. "Nein, das ist ein Deckname. Oh ya, nanti saya kirimkan alamatnya. Kamu langsung datang saja, oke? Dinner. Oke?"
"Siap bos!" Seru Helen semangat 45.
Raha pun menutup sambungan lalu beralih menghubungi nomor lain. Kali ini nomor auntie Dewi, mamanya Helen.
"Halo assalamualaikum, tante." Sapa Raha dengan ramah.
"Iya, Raha. Waalaikumsalam. Ada apa? Apa apartement kamu nggak cocok?"Jadi mamanya Helen yang membantu dalam mengurus segala keperluan Raha di sini.
"Tidak ada masalah, auntie. Raha hanya ingin bertanya, jadi auntie belum memberitahu Helen kalau saya sudah di Indonesia?"
"Ahh, itu. Iya, auntie belum ngasih tahu. Soalnya akhir-akhir ini auntie sama uncle jarang di rumah. Ini aja semalam baru pulang."
"Oh iya tidak apa aunt. Jadi, saya tadi sudah menelpon Helen." Balas Raha seraya memandang keluar jendela mobil. "Saya bilang saya akan mengajaknya dinner keluarga, auntie. Tapi saya hanya berbohong."
"Maksud kamu?"
"Ja.. Es tut mir leid, auntie. Saya terlalu suka mendengar Helen mengoceh. Tapi kalau sepulang sekolah Helen mengajak auntie dan uncle ke acara makan malam yang saya janjikan padanya, saya minta auntie buat alasan untuk tidak bisa ikut ya, auntie? Saya hanya ingin Helen yang datang, saya punya kejutan untuknya."
Terdengar gelak tawa di seberang. "Kamu ini ada-ada aja, Raha! Iya, iya. Nanti auntie tolak dan bilang auntie tidak bisa. Auntie jadi penasaran kejutan apa yang kamu kasih ke Helen."
"Hehe danke meine lieblingstante! Salam untuk uncle Simpson. Mama saya di Berlin rindu."
"Danke schon. Iya, nanti auntie sampaikan. Oke Raha." Tutup auntie Mona.
Raha pun tersenyum lalu memutus sambungan, memasukkan ponselnya di balik saku jas yang ia kenakan. Raha mulai menghidupkan mesin mobilnya dan keluar dari pelataran. Namun di pertengahan jalan, ponselnya kembali berdering. Dengan mata yang fokus ke depan, Raha mengangkat panggilan itu seraya memasang earphone. "Iya, Helen?"
"Raha.. Umm.. Itu.." Helen terdengar gugup.
"Ada apa?"
"Begini.. Aku mau bilang kalau.. Temanku boleh tidak, ikut di acara dinner nanti malam?"
Raha mengernyit tak paham. "Teman? Perempuan, laki-laki?"
"Perempuan. Namanya Sia dan dia memaksa ingin ikut. Aku sudah bilang kalau ini pertemuan keluarga tapi dia malah nekat ingin minta izin langsung ke mama."
"Meminta izin ikut pada auntie Dewi, begitu?"
"Iya."
Tanpa sadar senyum Raha tertarik. Sebenarnya, ia ingin memberi kejutan pada Helen. Tapi mengetahui sosok yang dibicarakan Helen sekarang membuat Raha tak habis pikir. Orang macam apa itu Sia sehingga bisa 'tak tahu malu' begitu? Raha penasaran. Juga geli. Dan... Sedikit tertarik?
"Ya sudah, bawa saja kalau memang auntie Dewi mengizinkan."
Helen diam sejenak. Mungkin Helen terkejut mendengar kebersediaan Raha.
"Sudah ya, Helen. Saya sedang mengemudi." Putus Raha secara sepihak. Ia pun mengirimkan pesan suara kepada auntie Dewi,
'Auntie kalau ada teman Helen yang ingin ikut dinner nanti malam, auntie izinkan saja ya. Sepertinya seru kalau saya berkenalan dengan temannya Helen juga.'
Kemudian kembali menyetir dengan pikiran yang tertuju ke nama yang Helen sebutkan tadi.
"Sia." Gumamnya dengan senyum mengembang.