Bab 3
Karena yang aku tahu, aku sudah memperjuangkanmu sebisaku. Sisanya itu adalah urusanmu dan hatimu.
• • •
"LOVE, besok lo harus dateng. Harus!"
Adiba mengangkat kepalanya dari buku sketsa di depannya, menatap Cello yang sekarang duduk di sampingnya mengusir paksa Wilda yang mulanya duduk di sana.
"Bentar deh," Adiba menggaruk alisnya, lalu membenarkan rambutnya yang rusuh mentupi pandangannya karena terlalu lama menunduk, asyik dengan dunia menggambarnya. "Dateng kemana sih?"
"Besok jam tujuh malam, Mama ngadain acara—"
"Ya ampun, ulang tahun tante Riana!" pekik Adiba heboh, matanya melebar membuat Cello terkekeh melihat reaksi gadis itu. "Mama kamu bikin pesta?"
"Bukan pesta Love, cuma acara syukuran kok. Tadinya juga mau mengundang keluarga besar aja, tapi Mama nyuruh gue ngajakin temen-temen buat ikut gabung, biar rumahnya rame, katanya." pandangan Cello yang semula lurus ke depan, berpindah menatap Adiba. Lalu sudut bibir bocah laki-laki itu terangkat, menciptakan seulas senyum. "Maklum, kan Mama dua tahun terakhir harus giat cuci darah. Mama jarang di rumah, lebih sering di rumah sakit. Mama mungkin kepingin ganti suasana, rumahnya rame sama orang yang lagi panggang barbeque, sosis, jagung. Pasti seru!"
Adiba mangut-mangut, agak menyesal menjadikan Riana sebagai topik perbincangan. Meskipun Cello masih bisa menunjukkan senyumannya, namun pandangan matanya tidak pernah bohong. Anak mana yang tidak sedih melihat Mamanya sakit. Cello khawatir karena sampai saat ini belum juga ada pendonor ginjal yang cocok dengan Riana, apalagi melihat kondisi perempuan paruh baya itu semakin melemah. Membuat Cello terluka.
"Inget ya, lo harus dateng. Karena ini bukan permintaan, melainkan perintah." Cello menarik napas, bangkit dari duduknya. Tangan kanannya terulur mengusap pucuk kepala Adiba.
"Haha, tergantung Wilda sama Shiren datang apa enggak."
"Nggak. Lo harus datang Love. Karena lo spesial. Kalo yang lain mah, bodo amat. Nggak datang malah syukur, gue nggak tekor. Abis mereka rakus banget."
"Ih, jahat banget!" Adiba mencubit pinggang Cello. Membuat sang empunya mengaduh kesakitan, tapi tetap saja dia tertawa. Sampai akhirnya suara berat dari daun pintu itu menginterupsi mereka.
"Cell, ke ruang musik sekarang. Udah ditungguin!"
"Oh, oke!" Cello meredamkan tawanya. "Gue ke ruang musik dulu ya, mau ngurusin pendaftaran anggota baru BlackBlue." Cello berlalu dari hadapan Adiba, sebelum punggungnya menghilang dari balik pintu kelas. Cello berbalik, dengan intonasi super semangat, dia berkata. "Love, bilang ke tetangga lo itu, Irene. Gue tunggu di ruang musik."
"Besok? Dan gue nggak ada bayangan, kado apa yang cocok buat Tante Riana." Adiba mengacak rambutnya frustasi.
"Dib, lo kenapa?" tanya seorang gadis yang duduk di pojok kelas. Cewek itu tidak lain adalah Shiren, teman dekat Adiba.
"Bau-baunya sih, Adiba lupa sama hari ulang tahun Mamanya Cello. Ya kan?" Wilda ikut nimbrung, dan lagi-lagi tebakannya tidak salah sasaran. Dasar cenayang. Batin Adiba menggerutu.
"Ren, Da. Apa kalian nggak kepingin jatuh cinta? Biar nanti kita galaunya bisa barengan."
"Kalo gue mah, nggak dulu, makasih tawarannya." jawab Shiren kelewat jutek.
"Gue mau cari cowok kayak di novel-novel. Sukanya tarik ulur perasaan. Kalo cowoknya kayak Cello, gue nggak bisa jatuh cinta. Soalnya dia terlalu baik sama gue. Jadi kesannya gue itu nganggep dia Abang sendiri."
Adiba meringsut meletakkan kepalanya di atas meja, pipinya menempel pada buku sketsa di depannya. "Emang jatuh cinta bisa milih-milih ya?" kata gadis itu lirih, mirip seperti gumaman saja.
Ternyata jadi secret admirer itu enggak enak. Apalagi cewek seperti Adiba yang hanya pintar dalam berkata-kata namun ia tidak pintar untuk bersuara. Ia hanya pintar menyembunyikan tanpa berani menunjukkan.
Adiba memejamkan mata, menikmati perasaan bersalahnya karena mengikut sertakan rasa cinta ke dalam persahabatannya dengan Cello.
Terlalu banyak yang ingin kusampaikan, tapi terlalu sakit untuk diucapkan.
• • •
KRISTAL—ketua kelas XI IPA 5, itu sedang sibuk mengerjakan tugas yang diberikan Bu Niken, yaitu mengurusi data-data murid yang seharusnya dikerjakan oleh sekretaris. Sayangnya sekretaris sedang sibuk membantu wali kelasnya itu membereskan dokumen di kantor guru. Jadilah ia sendiri memeriksa perlengkapan data di dalam kelas. Duduk di atas kursi guru, mengabaikan anggota kelasnya yang asyik saling oper bola basket di dalam kelas.
“KALO ADA YANG PECAH, TANGGUNG SENDIRI BIAYANYA!” sekali lagi Kristal memperingatkan, walaupun sebenarnya dia tau peringatannya itu seperti tanda lahir di pantat, ada tapi terabaikan.
“Kita lagi latihan buat ujian praktik minggu depan Pak Ketua Kelas!” sahut Resa enteng.
Kristal berdecak, memutar bola matanya malas. “Seenak jidat kalian aja lah.”
Terdengar debrakan keras dari arah pintu, kemudian muncullah Shiren dan Wilda yang berteriak histeris dengan suaranya yang nyaring. "Ih, jangan main bola di dalam kelas." Shiren mencubit pinggang Ilham saat bocah laki-laki itu menabrak bahunya.
"Kristal mana sih? Ini kelasnya dikondisikan dong!" cerocos Wilda.
"Udah, sampe bibir gue jontor juga mereka nggak mau dengerin gue." Kristal menanggapi dengan santai, seraya melanjutkan pekerjaannya. "Capek gue jadi ketua kelas."
"Siapa suruh lo jadi ketua kelas." balas Wilda sengit.
"Lo pikir gue mau jadi ketua kelas?”
“Permisi gue mau lewat,” Adiba berjalan melewati teman laki-lakinya yang asyik salling lempar bola basket, tanpa takut sewaktu-waktu bola itu mengenai kepalanya. Karena sifat anti sosialnya, Adiba jadi kurang peduli dengan sekitarnya—tidak, lebih tepatnya tidak mau ikut campur masalah orang.
Adiba mempercepat langkah kakinya menuju tempat duduknya, ketika sampai ia lekas menempelkan bokongnya dengan nyaman ke permukaan kursi. Berniat merampungkan desain baju yang akan ia konsultasikan kepada desainer terkenal, kenalan Bundanya. Gadis berambut coklat itu mengeluarkan satu set cat cair. Dengan menggunakan kuas, tangannya terampil memulas sketsanya ditemani musik yang mengalun dari headset putih yang tertancam di ujung bawah handphonenya itu.
Karena asyik dengan dunianya, tanpa Adiba tau bola basket yang seharusnya Ilham lempar ke Resa, keluar dari garis edarnya. Memantul, menghantam cat warna milik Adiba hingga tumpah ke buku sketsa di depannya. Untung saja refleks Adiba itu bagus, jika tangannya tidak cekatan menangkap bola itu mungkin tidak hanya cat warna yang menjadi sasaran, tapi juga menghantam wajah Adiba.
Adiba bergeming di tempatnya. Tubuhnya sempat menegang karena terkejut, matanya bergerak memindai karyanya yang kini pora-poranda karena ulah Ilham dan Resa.
"Dib, lempar bolanya."
Adiba mengeram. "Enggak! Kalian sadar nggak, main bola di kelas itu merugikan orang lain. Kalo udah kaya gini, kalian bisa ganti?"
"Alah, lo kan pinter gambar. Gambar ulang aja, gampang kan. Nggak usah membesarkan masalah."
"Tapi—"
"Sini-in bolanya," potong Resa cepat.
"Enggak!"
"Sini," giliran Ilham yang merampas bola itu dengan paksa dari tangan Adiba. “Dasar keras kepala!”
Adiba masih kukuh mempertahankan benda bulat itu. Ia berinisiatif mengembalikan bola basket itu ke gudang, dimana peralatan olahraga disimpan di dalamnya. Tapi, sialnya pegangan Adiba pada bola itu mengendor saat Ilham menarik lengannya dengan kasar. Kalian pasti tau apa yang terjadi selanjutnya, pekikan panik dari teman sekelas Adiba terdengar nyaring, disusul dengan suara pecahan kaca.
Benar, bola itu melenting ke jendela, keluar dari kelas. Adegan itu sangat cepat, membuat kaki Adiba seketika melemas seakan tempurung lutunya terbuat dari agar-agar. Dunia cewek berambut coklat itu seakan melambat, apalagi ketika menyadari Bu Karen—guru BK yang terkenal killer berdiri di ambang pintu kelasnya.
Tangannya yang gemetar, mengepal di sisi tubuh gadis itu mengakibatkan buku tangannya memucat. Pandangannya agak membuyar, ingin menangis. Namun ia tahan sekuat mungkin hingga dadanya sesak, seperti terhimpit baja tebal.
Adiba masih ingat dengan jelas, Cello pernah berkata kepadanya. Lain kali lo nggak boleh nangis lagi, harusnya lo lawan mereka. Namun, melawan mereka adalah kesalahan, seharusnya Adiba diam jika tidak mau tekena masalah.
Cello, kamu dimana? Aku takut.
Bu Karen membenarkan kacamatanya yang melorot, kemudian bersuara dengan intonasi dingin. "Yang merasa salah, ikut saya ke BK. Sekarang."