Bab 2
Jatuh cinta nggak perlu banyak alasan. Nikmati aja!
• • •
ENTAH keajaiban dari mana, Wilda main ke rumah Adiba tanpa memberi kabar terlebih dulu kepada sang pemilik rumah. Jelas itu membuat Adiba kelabakan, bagaimana tidak, ketika ia sedang asyik mengamati lingkungan rumahnya yang basah karena guyur hujan, tiba-tiba ia melihat seseorang berjalan memakai jas hujan berwarna serba hitam dan berhenti tepat di depan pintu rumahnya.
Adiba memicingkan matanya, pandangannya tak mau lepas dari sosok serba hitam itu, ia mengamati gerak dari balik jendela kaca kamarnya. Sangat mencurigakan. Adiba melesat ke meja belajarnya mencari botol parfum berisikan ramuan gas air mata buatannya sendiri-tidak, lebih tepatnya racikannya Cello yang dibuat dari bahan alami, yaitu bon cabe.
Benda pipih yang berada di atas nakas miliknya berkedip disertai getaran yang dihasilkan, pertanda ada pesan masuk.
Wilda: Gue di depan rumah lo Dib.
Hanya melihat pop up Line yang muncul di layar ponselnya saja, Adiba bisa bernapas dengan lega. Padahal Adiba sudah parno sendiri, mungkin jika Cello melihat bagaimana paniknya Adiba barusan, ia bisa ditertawai tujuh hari tujuh malam, digoda habis-habisan karena Adiba suka berhalusinasi yang enggak-enggak efek kebanyakan nonton film.
"Masuk dulu yuk Da!" setelah Adiba membuka pintu rumahnya, ia mempersilahkan sahabatnya itu untuk masuk. Namun ditolak Wilda dengan sopan, dia menggelengkan kepalanya, mengakibatkan air hujan yang tersisa ditudung jas cewek itu berpindah ke wajah Adiba.
Adiba mengusap wajahnya, bibir merahnya mengerucut lucu. Detik berikutnya dia tertawa. "Ayo masuk dulu, nggak sopan bicara di depan pintu."
"Enggak ah," Wilda meringis sesaat, sampai akhirnya ia menyodorkan tas coklat yang terbuat dari mika ke arah Adiba. "Spesial buat lo Dib!"
"Martabak kali ah, spesial." kepala Adiba miring ke kiri untuk menganalisis, lalu miring ke kanan untuk menimang-nimang. Dengan sedikit paksaan, akhirnya Adiba mengambilnya. "Kalo lo lupa, gue ingatkan, gue nggak ulang tahun hari ini."
Wilda tertawa, "Coba deh lo buka dulu."
Kening Adiba mengerut, mengakibatkan alis tebalnya seakan menyatu seperti jembatan. Buku tebal sekitar 500 halaman, bersampul merah hati bersemayam di dasar tas mika yang baru saja Wilda berikan kepadanya. Tanda tanya besar tidak lepas dari kepala Adiba saat buka buku itu, isinya hanyalah kumpulan kertas kosong. Seperti buku diary dengan ukuran jumbo.
"Untuk?" Adiba menatap cewek di depannya yang senyumnya tambah mengembang.
"Tau nggak? Gue pernah nggak sengaja baca pesan lo buat Cello yang panjangnya kayak ekor layang-layang. Gue tau lho, walaupun lo samarin namanya jadi Brutosaurus, Suneo Berak atau apalah, gue tau tokoh fiksi itu, Cello." Wilda ngulun bibirnya untuk dijadikan jeda sebelum ia melanjutkan kalimatnya.
Sedangkan raut wajah Adiba berubah datar dengan mata bulatnya yang mengerjap beberapa kali. Adiba tidak habis pikir Wilda sudah tau sejauh itu tentang perasaannya kepada sahabat laki-lakinya itu. Faktanya Wilda yang super kepo diam-diam membaca tulisan Adiba yang tidak pernah berani ia publikasikan di sebuah situs online menulis dan membaca.
Tidak, lebih tepatnya pesan. Pesan yang membusuk di draf dan Adiba tidak pernah punya keberanian untuk menyampaikan pesan itu kepada tuannya.
"Saat gue ke toko buku, gue sengaja beliin buku itu buat lo. Semoga bisa bermanfaat."
Adiba merentangkan kedua tangannnya bersiap untuk menghamburkan pelukannya ke gadis yang masih berdiri tepat di depan matanya ini. Namun, Wilda langsung menghentikan aksi Adiba dengan mengangkat tangannya. Telunjuknya bergerak ke kiri ke kanan.
"Stop! Gue basah Dib!" seru Wilda dibalas anggukan oleh Adiba. "Udah ya, gue pamit pulang dulu."
"Siapa Dek?" teriak Mayang-Ibunda Adiba, dari dalam rumah.
"Wilda Bun,"
"Temennya diajak masuk Dek. Hujannya makin lebat lho."
"Iya Bun," balas Adiba, kemudian tatapannya kembali jatuh pada Wilda. "Tungguin hujannya agak reda, buru-buru banget sih emang lo mau kemana? Disuruh masuk dulu sama Bunda, minum teh hangat sama makan kue buatan Bunda gue dulu."
"Nggak ah, keburu magrib. Lain kali aja."
"Gue anter ya,"
"Nggak usah, hujan! Gue pulang ya." Wilda menekan kata hujan, membuat Adiba memberengut tidak bisa berbuat apa-apa. Sehabis mengucapkan kalimat itu Wilda kembali berjalan ditengah-tengah hujan yang menimpanya.
Adiba nggak tau itu suatu kebetulan atau memang Wilda itu titisan Roy Kiyoshi. Tapi yang jelas Wilda selalu mengerti suasana hati Adiba, sebelum ia memberi tau ke Wilda. Sahabat itu ikatan batinnya kuat ya Da!
• • •
HARI ini, Cello datang ke rumah Adiba untuk kedua kalinya. Setelah ia memastikan hujan tidak akan turun lagi, Cello mengajak sahabat perempuannya itu malam Senin-an. Berkeliling kota Surabaya, berburu kuliner dan mencari referensi model baju terbaru untuk mengembankan bakat Adiba.
"Dek, buruan. Cello udah nunggu lama lho." teriak Mayang dari ruang tamu, mengobrol dengan Cello.
"Iya, iya, Bundaku bawel banget sih." Adiba muncul dari balik pintu kamarnya. Tatapannya langsung jatuh pada sosok yang duduk berseberangan dengan Ibundanya. Tanpa Cello tahu, wajah Adiba tiba-tiba memanas saat menyadari secara kebetulan Adiba berpakaian senada dengan Cello. Kaos putih dipadupadankan dengan jaket jeans.
"Lucu ya, padahal nggak janjian tapi baju kita bisa samaan gini," kata Cello ketika mereka sudah aman di mobil, memasang sabuk pengaman dan bersiap untuk berangkat menuju tempat perbelanjaan di pusat kota. "Kapan-kapan disengaja ya biar baju kita samaan lagi."
Dan semuanya melambat ketika pandangan mereka bertemu. Karena tertangkap basah mengamati sahabatnya secara diam-diam, Adiba segera membuang muka ke samping, pura-pura menikmati pemandangan kota saat malam dari balik kaca mobil. Sudut bibirnya berkedut, mati-matian menahan senyum.
Selama perjalanan, tidak ada percakapan yang berarti. Hanya candaan ringan yang dilontarkan satu sama lain untuk mengisi keheningan. Sampai akhirnya mobil yang dikendarai Cello melipir ke area parkiran tempat perbelanjaan yang mereka tuju. Seperti yang sudah diagendakan sebelumnya, dengan riang Adiba langsung melesat ke boutique untuk melihat-lihat model baju branded yang lagi hits sebagai referensi.
"Cari makan yuk Love, gue laper." Cello menarik tangan Adiba, menggiring gadis itu ke area makan. Dan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Adiba menurut tanpa ingin memberontak. Kini gadis itu sudah duduk dengan nyaman di tempat yang telah disediakan, sedangkan Cello sedang memesan makanan di salah satu konter.
"Rasa bubble gum habis, nggak apa-apa kan gue beliin rasa taro?" Cello menyodorkan bubble drink ke arah Adiba. Begitu Cello selesai mendaratkan tubuhnya dan duduk di samping gadis itu, ia bertanya. "Besok BlackBlue ada perekrutan anggota baru, lo nggak kepingin daftar?"
"Ya kali aku daftar Cell, tau sendiri aku nggak bisa apa-apa."
"Lo punya kenalan yang bisa gantiin posisi vokalis nggak?"
"Siapa ya," Adiba menggaruk alisnya. "Oh, tetanggaku suaranya bagus. Pernah ikut lomba sampe nasional loh."
Cello membalas tak kalah semangat. "Bagus, tapi satu sekolah sama kita nggak? Kalo nggak mah sama aja bohong."
"Kebetulan iya, dia satu SMA sama kita. Adek kelas, namanya Irine. Nanti aku kasih tau ke dia deh."
"Tolong ya, siapa tau dia tertarik. Soalnya BlackBlue bulan depan mau ikut lomba di Jakarta."
Adiba tersenyum, kemudian mengangguk. "Iya,"
"Gue percaya sama pilihan lo, Love." Cello menarik kursinya lebih dekat ke arah Adiba, menyodorkan bubble drink yang sedari tadi ia sesap. "Mau coba? Enak lho! Biasanya gue nggak mau bagi-bagi soalnya ini kesukaan gue."
Adiba bisa menebaknya, sejelas hitam di atas putih. Coffee caramelo kesukaan bocah laki-laki yang maniak dengan kopi.
Kamu berbagi hal yang kamu sukai hanya kepadaku. Semoga nggak semua orang bisa menikmati sifatmu yang hangat ini ya Cell.