Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
MENU
About Us  

BAB 10. DI TENGAH AMUKAN SAMUDERA

 

HARI KE-27, MADURA

Aku meringkuk di dalam mobil pick up yang kutumpangi, pipi gatal akibat bergesekan dengan karung-karung gabah. Harto dan Nasuti tengkurap di sebelahku, mengucek mata perlahan setelah puas tertidur sejak meninggalkan Surabaya. Berhati-hati, aku menguak sedikit terpal yang menutupi bak, menyembunyikan kami dari pengawasan polisi lalu lintas. Aku menjulurkan kepala dari sisi mobil, menatap ke depan. Di hadapan kami terbentang Jembatan Nasional Suramadu, jembatan terpanjang di Indonesia yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura. Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian utama yaitu jalan layang, jembatan penghubung, dan jembatan utama.

“Kita kayak penumpang gelap aja, sembunyi-sembunyian gini,” kataku. Harto nyengir, sementara Nasuti membungkuk menahan mual.

Tiba di Bangkalan, Madura, kami meneruskan perjalanan ke Sumenep. Aku berencana mengunjungi Paman Jali yang bekerja sebagai pengusaha dan minta diantar ke Bali dengan kapal pribadinya yang mewah. Selama perjalanan, aku cukup terhibur dengan melihat penduduk berinteraksi. Orang Madura memiliki dialek khas yang medok, dan mungkin agak kasar, sehingga orang luar akan melihatnya seperti semacam pertengkaran. Dari sejumlah 726 bahasa di Indonesia, bahasa Madura menduduki peringkat keempat atas pengguna terbanyak.

Tak lama kemudian kami tiba di rumah Paman Jali yang luas dan megah. Pria berpostur tinggi dan agak gemuk itu menyambut kami ramah. Wajahnya dicukur bersih dan selalu mengenakan sarung jika sedang di rumah.

Dhe’ remma kabereh? Apa kabarmu?” sapanya.

Bheres, saya sehat, Alhamdulillah,” kataku.

“Ayo, silakan masuk,” kata Paman.

Tak lama kemudian Igo dan Inayah menyusul dengan Harley setelah kuberitahu lokasi rumah ini. Kami disuguhi makanan khas Madura yang selalu kunikmati jika berkunjung ke sini, yaitu sate madura yang dibuat dari daging kambing muda dengan sambal kacang jeruk nipis. Hatiku mencelos saat melihat sepupuku muncul. Ruqoyah membawa nampan, menyapa kami ramah dan ikut duduk di sofa. Namun aku merasa serba salah saat dia memandangi Inayah dengan tatapan aneh. Inayah yang merasa diperhatikan membalas dengan senyum salah tingkah. Harto menatap dua gadis itu bergantian, penasaran apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, padahal baru kenal. Igo mencubit Harto, bilang jangan jelalatan.

“Bagaimana kabar ibumu, Nak?” tanya Paman.

“Baik, Paman,” jawabku.

“Alhamdulillah. Kemarin ibumu menelepon, katanya kamu dan teman-temanmu ini berwisata keliling Indonesia, ya? Wah, kegiatan yang menyenangkan. Dulu ayahmu sering sekali mengajak Paman bepergian keluar kota. Waktu masih muda dulu kami senang sekali berpetualang bertiga. Paman, Ayahmu, dan Paman Ilyasa, tiga bersaudara dengan hobi sama. Hanya saja Paman lebih suka jalur laut, makanya sekarang jadi nahkoda.”

“Bagus itu Om,” kata Harto.

“Sanjaya gimana kabarnya, Paman?” aku menanyakan sepupuku yang satu lagi. Aku ingin tahu apakah putra sulung Paman Jali yang selalu necis dan pesolek di depan wanita itu masih bergelut dengan hobinya memasak.

“Dia masih kuliah di Manado, katanya tinggal ACC skripsi. Minggu lalu dia menelepon Paman, katanya dia mulai buka usaha restoran kecil-kecilan di dekat kampusnya. Dia bilang agar Paman tak perlu mengiriminya uang lagi. Paman senang akhirnya Sanjaya bisa mandiri. Sejak dulu, Paman tahu dia punya jiwa wirausaha yang kuat. Oh ya, sekarang kamu SMA kelas berapa, Lutfi?”

“Ah, Paman gimana sih, aku kan sudah lulus kuliah, masa lupa?”

“Maaf, bercanda. Habis wajahmu awet muda sih.”

Teman-temanku tertawa, kecuali Ruqoyah yang memasang ekspresi aneh. Sepanjang obrolan, dia lebih banyak diam, hanya sesekali bersuara, itu pun sekadar bertanya kabar dan pengalaman kami di perjalanan. Ketika Harto bercerita tentang berbagai kejadian seru yang menimpa kami, gadis itu tampak tak bersemangat mendengarnya. Dia malah menatapku, memberi isyarat agar aku mengikutinya ke ruang tengah.

“Kak, perempuan yang duduk di sebelah Kak Igo itu siapa?” dia langsung bertanya setelah kami agak jauh dari ruang tamu.

“Oh, itu Inayah, teman dari Bandung yang tertarik ikut ekspedisi.”

“Iya, aku tahu namanya, tadi kan udah kenalan. Yang bikin heran, kok duduknya dekat banget sama Kak Igo? Padahal bukan muhrim. Apa dia sepupunya Kak Igo?”

Aku menggaruk kepala, salah tingkah. Ini buruk, bagaimana aku harus mengatakannya? Beberapa kejadian terakhir telah menyita perhatianku. Aku sampai lupa kalau sepupuku ini menyukai Igo. Sebelum berangkat ekspedisi, dia memberiku amanah sebagai perantara untuk menyampaikan perasaannya ke Igo, dan selama ini dia mengira aku mendukung kemauannya. Tapi yang kulakukan malah membiarkan Igo menikahi gadis lain. Haruskah kuberi tahu dia? Jika aku menjawab jujur, Ruqoyah pasti akan marah. Atau lebih parah lagi, hatinya hancur.

"Ih, kok malah bengong?” desaknya.

“Eh, iya. Aku mau bilang sesuatu, tapi kau jangan kaget ya.”

“Kenapa Kak?”

Aku diam sejenak. Bagaimana aku mengatakannya? Meskipun fakta ini pahit, mau tak mau aku harus jujur padanya. Lagipula aku tak pernah setuju Ruqoyah menyukai Igo.

"Gimana ya... dia itu istrinya Igo, baru menikah beberapa hari lalu. Ternyata mereka sudah dijodohkan sejak masih kecil. Aku tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa ikut campur keputusan orangtua mereka. Maafkan aku ya.”

"A... apa Kak Lutfi bilang? Maksud Kakak apa?” suaranya langsung berubah, meninggi tak terkendali. Dia pasti kaget, terguncang, sedih sekaligus cemburu. Napasnya naik turun tak terkendali, meskipun samar. Air matanya mulai bercucuran dan bahunya berguncang—dia menangis tanpa suara. Oh tidak, aku menyesal sekali, harusnya kusimpan saja kata-kata itu.

Kak Lutfi bercanda kan? Padahal, aku sudah bilang ke Ustad Faizar. Beliau berjanji akan menyampaikan niatku, meminta Kak Igo agar segera melamarku. Aku kira sudah pasti Kak Igo menerimaku. Selama ini dia baik padaku! Ternyata, Igo... Igo jahat!”

“Itu bukan salahnya, dia tak tahu apa-apa,” kataku, yang mengerti betul bagaimana rasanya. Dulu aku juga pernah mengalaminya, ditinggal kawin gadis yang kucintai. Padahal aku sudah melamarnya duluan, tapi akhwat itu bilang mau fokus kuliah dulu, tak pernah menjawab kalau ku-sms, dan ujungnya malah memilih pinangan lelaki lain yang sudah mapan. Ruqoyah justru lebih beruntung karena belum bilang apa-apa, jadi tak terlalu malu.

“Kalau mau marah, lampiaskan saja padaku.”

Ruqoyah tak menjawab, menutupi wajahnya. Aku mematung, merasa sangat bersalah. Aku memang tak setuju dia menyukai Igo, tapi tetap saja aku kasihan. Harusnya kuhibur dia. Ah, tidak, aku tak boleh menyalahkan takdir. Semua ini memang harus terjadi karena sudah digariskan Tuhan, apapun yang kulakukan tak bisa mengubahnya. Haruskah kuberitahu Igo semuanya? Jika itu pilihanku, bagaimana perasaan Inayah? Haruskah ada yang tersakiti lagi?

“Sudahlah, lupakan saja,” katanya datar, mengusap mata dan meninggalkanku. Aku menelan ludah, mengikutinya ke ruang tamu. Semoga dia tak bertindak bodoh. Untunglah tak ada yang memerhatikan mata Ruqoyah yang sembap karena Harto masih asyik bercerita.

“Oya Om, katanya kalau menjelang Agustusan seperti sekarang ini banyak yang mengadakan karapan sapi ya Om? Saya tak sabar ingin melihatnya. Biasanya saya cuma menonton di iklan-iklan televisi.”

“Oh, kalau kamu mau lihat, kebetulan hari ini ada pertandingan di stadion di dekat sini. Beberapa kota di Madura biasanya rutin menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahunnya. Bahkan ada juga yang mengadakannya setiap pekan. Kalau kalian berminat, mari ikut saya.” Paman berdiri. “Ruqoyah, kamu mau ikut, Nak?”

“Ruqoyah di kamar saja, Ayah. Maaf, lagi nggak enak badan.”

Kami ikut saja saat Paman Jali mengajak ke sebuah stadion di pinggiran desa. Di sana penuh sesak dengan keramaian penonton yang menyaksikan pertandingan. Pada dasarnya, karapan sapi merupakan perlombaan pacuan sapi tradisi Pulau Madura, dengan sepasang sapi yang menarik kereta kayu, sementara seorang joki berdiri dan bertugas mengendalikan pasangan sapi tersebut dalam beradu cepat melawan sapi-sapi lain. Panjang lintasan yang harus ditempuh mencapai seratus meter. Pelaksanaan perlombaan dibagi dalam empat babak, dan biasanya tiap babak berlangsung selama sepuluh detik hingga satu menit. Sebelum acara dimulai, biasanya didahului dengan mengarak sapi keliling arena dan diiringi musik tradisional saronen. Para joki tampak memakai pakaian adat Madura berupa kaus bergaris-garis merah yang melintang horizontal dibungkus kemeja hitam. Mereka juga memakai ikat kepala dan menyelipkan celurit di pinggang mereka.

“Maksud awal diadakannya karapan sapi adalah untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah, khususnya setelah menjelang musim panen habis,” kata Paman Jali. “Meski begitu, banyak juga pihak yang mengecam diadakannya karapan sapi. MUI sudah memberi fatwa haram karena dinilai menyakiti sapi, dan Gubernur Jawa Timur sudah melarang kegiatan ini. Namun tradisi ini masih berlanjut di kalangan peternak sapi.”

Kami duduk di kursi terdepan, menyaksikan ketegangan seorang joki mengendalikan dua ekor sapi sekaligus. Dengan berbekal cambuk, joki itu melecut si sapi dan memaksanya terus berlari. Aku agak kasihan melihat nasib sapi-sapi itu. Akhirnya, Harto tertawa puas sampai terpingkal saat si joki terjungkir dari keretanya dan berguling-guling di tanah. Harto sampai membungkuk kegelian, dan hanya dia yang tertawa di antara sekian banyak penonton.

Setelah puas menonton setengah babak, Paman Jali mengajak kami pulang. Aku mengetuk pintu kamar Ruqoyah, coba menghiburnya. Lagipula ada beberapa hal yang belum kujelaskan. Hatiku mencelos mendapati pintu itu terkunci, emosiku berjumpalitan. Aku khawatir dia bertindak berlebihan setelah pembicaraan tadi.

“Ruqoyah, kau di dalam? Ini aku, buka pintunya!”

Kuketuk berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Terpaksa kugedor lebih keras. Pikiran buruk langsung memenuhi kepalaku, tapi segera kubuang jauh-jauh.

“Ruqoyah, buka pintunya!” teriakku.

“Ada apa sih gedor-gedor? Aku dari tadi di dapur kok,” kata Ruqoyah yang ternyata ada di belakangku. “Sengaja kukunci biar teman-teman nggak slonong-slonong ke kamar orang seenaknya. Biasanya Kak Harto kan yang suka usil begitu.”

Aku berbalik, menggaruk kepala. “Eh, aku pikir kamu...”

“Bunuh diri? Nggak mungkin lah, memangnya aku orang nggak beriman sampai bunuh diri segala? Kak Lutfi kebanyakan nonton sinetron kali.” Ruqoyah setengah tertawa. Matanya sembab dan suaranya terdengar serak, tapi syukurlah dia baik-baik saja.

"Alhamdulillah,” aku mengelus dada, menyesal sudah berpikir yang tidak-tidak. “Ngg, kamu baik-baik saja kan? Aku cuma khawatir kau mengurung diri di kamar seharian. Kamu masih kepikiran soal Igo kan?”

Ruqoyah mengangguk, “Maaf ya soal yang tadi.”

Aku menggeleng. “Justru aku yang harus minta maaf. Aku tidak memberitahu Igo soal perasaanmu, dan aku juga tak bisa mencegah pernikahannya, padahal aku ada di sana.”

“Itu bukan salah Kak Lutfi, mungkin memang sudah takdirnya begini,” lirihnya pasrah. “Menurut Kak Lutfi, apa Kak Igo terlihat bahagia? Apa gadis itu membuatnya senang? Jika dia cocok untuknya, maka tak ada lagi yang kusesali. Aku ikhlas merelakannya.”

Jujur saja, hatiku seperti remuk mendengar ucapan memilukan itu.

A-aku rela melakukan apa saja asal Kak Igo bahagia, bahkan jika harus mengorbankan kesenangan pribadiku. Tolong jangan katakan padanya apapun yang terjadi. Biar kita berdua saja yang tahu rahasia ini. Aku tak sanggup lagi menahan malu. Kesepakatan dengan Ustad Faizar terpaksa dibatalkan. Biarlah rasa ini terkubur untuk selamanya.”

"Tabahlah, mungkin belum waktunya,” hiburku. “Insya Allah nanti kamu dapat ganti yang lebih baik. Lagipula sejak awal kurasa Igo memang nggak cocok untukmu.”

"Iya, aku ngerti kok. Semua sudah terjadi, mau diapakan lagi?” dia menghela napas, menyeka pipinya. “Emm, aku boleh minta nomor HP Inayah? Kak Lutfi punya kan? Aku mau bilang sesuatu padanya, penting sekali.”

“Kenapa nggak bilang sekarang, mumpung ada orangnya?”

Ruqoyah menggeleng. “Aku belum siap mengatakannya sekarang.”

“Ya, ada sih nomornya, tapi apa yang akan kaukatakan? Kau tidak akan melabraknya kan? Sebaiknya jangan deh.”

"Ya nggak lah,” katanya, agak geli. ”Aku cuma ingin berbincang ringan, obrolan antar wanita, dari hati ke hati. Aku hanya ingin berpesan pada gadis beruntung itu, jika dia benar-benar mencintai Kak Igo, maka jagalah dia baik-baik. Kak Igo suka masakan pedas, sering menyendiri untuk mencari ketenangan, dan meski kelihatan cuek, sebenarnya dia suka sekali diperhatikan. Kak Igo juga tak suka disuruh-suruh, jadi jangan terlalu keras padanya. Itu saja yang ingin kusampaikan pada Inayah.”

"Hei, bagaimana kau bisa tahu sebanyak itu tentang Igo?”

"Sebenarnya, aku sudah memerhatikan Kak Igo sejak semester tiga,” bisiknya sambil tersipu, agaknya malu dengan ucapannya sendiri yang kelepasan.

Aku menatapnya prihatin. “Ya, nanti kukirim nomor kontaknya lewat sms. Jangan sedih ya, kau itu wanita yang kuat. Aku yakin kau bisa melewati semua ini dengan mudah. Semua akan baik-baik saja.”

“Ya, syukron katsiron Kak Lutfi, terima kasih,” dia tersenyum, suaranya lebih tegar. Aku menghela napas lega. Ruqoyah bukan gadis cengeng. Dia adalah adik sepupuku yang mengagumkan dan bermental baja. Aku percaya dia mampu menyelesaikan masalah ini sendiri. Aku sadar, diserahi tanggung jawab sebagai ketua UKMI bukanlah sesuatu yang ringan. Ruqoyah memang pantas untuk jabatan itu. Jadi, mana mungkin persoalan kecil semacam ini membuatnya goyah.

*****

HARI KE-28, BALI

Setelah kami menginap semalam, Paman mengantar kami ke tujuan berikutnya, Bali, dengan kapal pribadinya. Igo menitipkan motor Harley-nya di rumah Paman sebelum berangkat. Mungkin dia capek naik motor terus. Sebelum berangkat, Ruqoyah melepas kami di halaman, melambai, lalu masuk dan menutup pintu. Harto menatapnya keheranan.

“Dia kenapa sih? Diam terus dari kemarin, kayak nggak kenal kita aja.”

“Mikirin tugas akhir kali, kita juga dulu begitu kan?” kata Nasuti.

“Bersiap, Anak-anak!” seru Paman, sambil menyetir mobil ke arah pelabuhan yang tak begitu jauh jaraknya dari rumah. Tiba di sana, Paman Jali membentangkan lengan sambil memperlihatkan kapal cepat miliknya. Kapal itu berukuran besar, cukup untuk menampung seratus orang. Biasanya Paman sering mengajakku naik kapal ini ketika musim libur tiba, berkeliling di sekitar selat Madura hingga ke Lombok.

“Wah, meni sae pisan, bagus banget kapalnya,” Inayah terkagum-kagum saat menaiki kapal.“Ehehe, sebenarnya kita mau ke mana, ya? Aku ini sering bengong sih.”

Inayah cengengesan sambil menggaruk kepalanya. Aku bertukar cengir dengan Nasuti. Pantas saja Dokter Isnain kewalahan menjadi pembimbingnya sewaktu gadis ini masih magang. Harto malah berbisik sambil nyengir, “Cantik-cantik oon.”

“Bali Neng,” kata Igo sabar, tersenyum melihat kepolosan istrinya.Entah mengapa, Igo yang biasanya berwajah cuek itu mendadak ramah dan periang di depan Inayah. Melihat keakraban mereka, aku sedikit iri juga rasanya.

Kami berkumpul di ruang nahkoda, mengawasi Paman menyalakan mesin sambil menunjukkan berbagai peralatan pada kami. Ia menjelaskan cara kerja beberapa alat yang diperlukan dalam pelayaran seperti perlengkapan navigasi dan lainnya. Mesin mulai menyala, aku berlari ke buritan dan melongok ke bawah, menyaksikan baling-baling besar berpusar di dalam air, mendorong kapal menjauhi pelabuhan. Setelah itu, aku kembali ke depan kapal dan berdiri di haluan, merasakan terpaan angin.

Ternyata banyak juga pelancong selain kami yang ikut kapal Paman. Aku tak tahu apakah mereka kenalan Paman atau hanya kru kapal biasa. Hanya saja, aku merasa ada beberapa orang yang gerak-geriknya aneh, seperti memerhatikan kami. Aku mengamati mereka dengan waspada. Entah cuma perasaanku atau bukan, rasanya aku pernah melihat beberapa di antaranya. Aku khawatir ada orang-orang misterius yang mengikuti kami ke mana-mana. Ah, kenapa aku jadi paranoid begini?

“Rasanya orang-orang itu mengawasi kita deh,” kataku.

“Itu cuma perasaanmu,” kata Nasuti. “Oh ya, aku masuk dulu ya. Nggak tahan di sini terus, mual-mualku kambuh lagi. Uffff....”

Nasuti kembali ke ruang kemudi dan menemui yang lain, setengah berlari. Dari arah berlawanan, seorang pria yang tampak kerepotan berjalan terburu-buru, tidak memerhatikan jalan hingga keduanya bertubrukan cukup keras. Tas si pria terlontar, isinya berhamburan.

“Ah maaf,” kata pria itu, membungkuk memunguti barang-barangnya.

“Tak apa,” kata Nasuti. “Perlu saya bantu, Om?”

“Tidak usah, terima kasih,” pria itu mengancingkan tasnya dan menegakkan diri sementara Nasuti berlari masuk sambil menutupi mulutnya. Sekilas, pria itu menatapku lurus. Hatiku mencelos. Aku mengawasi pria aneh itu, yang saat ini sedang mengibaskan debu dari bajunya, lalu melangkah pergi. Aku tertegun sejenak, lalu terkejut ketika melihat Paman Jali berjalan ke arahku.

“Lho, kenapa Paman ke sini? Siapa yang mengemudikan kapal?”

“Paman sudah mengajari teman-temanmu dasar-dasar mengemudikan kapal. Tenang saja, kalaupun mereka salah jalur, paling-paling hanya melenceng sedikit.”

Dari jendela depan, bisa kulihat wajah Igo berkeriut kebingungan dengan segala alat-alat aneh di ruang kemudi. Di belakangnya, Harto menepuk-nepuk punggungnya tak sabar. Tampaknya mereka mengemudi bergiliran.

“Para penumpang ini, apa mereka kenalan Paman?” tanyaku.

“Ya, bisa dibilang begitu. Paman baru mengenal mereka beberapa hari yang lalu, sih. Mereka tertarik untuk berbisnis dengan Paman. Alhamdulillah, akhir-akhir ini bisnis Paman lumayan berkembang dan Paman mendapat banyak kolega baru.”

Aku mengangguk, meski perasaan curigaku belum hilang juga.

“Temanmu yang bernama Igo itu, benar dia sudah menikah?”

Aku menghela napas. Akhirnya sampai juga pada topik yang kuhindari.

“Dia sudah dijodohkan ayahnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa, Paman. Maafkan aku. Ruqoyah pasti sedih sekali.”

“Paman mengerti, itu bukan salahmu,” ia menghela napas. “Paman tahu kamu sudah melakukan yang terbaik, tapi siapa sangka, yang terjadi malah di luar rencana kita. Oh ya, kalau boleh Paman bertanya, sebenarnya apa tujuanmu bepergian sejauh ini? Apakah murni karena ingin bertualang, atau karena kau ingin mencari ayahmu?”

Aku menatapnya tercengang, kaget ditanya begitu. “Bukan, Paman. Aku pergi karena ingin membuktikan diri di depan teman-teman. Ada seorang teman yang menantang untuk mengelilingi negeri dalam delapan puluh hari. Selain itu, aku juga ingin mendalami dan mengenal lebih jauh tentang negaraku sendiri. Itulah alasanku, Paman.”

“Oh begitu,” kata Paman, menerawang menatap laut. “Ya, ya, Paman mengerti. Kau mirip sekali ayahmu, sama-sama berjiwa petualang dan pantang menyerah. Ayahmu itu orang baik. Paman tahu dia pergi meninggalkanmu untuk beberapa alasan. Kelak, kau akan tahu mengapa dia melakukan itu. Dia sangat menyayangimu, Nak.”

Paman menepuk bahuku dan meninggalkanku sendiri. Aku menatap awan-awan yang berkejaran, memikirkan kata-kata Paman barusan. Beberapa ekor lumba-lumba berloncatan di dekat kapal, membuatku sedikit terhibur. Aku termenung menatap mamalia air itu berpacu melawan arus. Pikiranku entah mengapa tak bisa lepas dari sosok ayahku.

Aku mengepalkan tinju, menguatkan diri. Tak ada gunanya bersaing dengan ketidakpastian ini. Aku mendongak, mencoba bersemangat. Setelah beberapa jam berlayar, sebidang tanah mulai tampak di kejauhan sebagai garis hitam samar. Teman-temanku bergabung di haluan ketika kapal merapat di Pelabuhan Gilimanuk, Bali.

“Hati-hati di jalan, Anak-anak,” kata Paman Jali ketika kami berpamitan. “Jangan lengah selama berada di tempat wisata. Jangan mudah percaya pada orang yang belum kalian kenal. Kalau perlu tumpangan pulang, hubungi saja Paman, oke? Dan… oh ya, Paman hampir lupa.” Ia mengeluarkan beberapa amplop dan sebuah bungkusan berbentuk kotak seukuran kamus. “Ini ada sedikit rezeki dari Paman untuk kalian, semoga bisa bermanfaat. Dan yang ini titipan dari ayahmu, Lutfi. Beliau meminta Paman menyimpannya, memberikan padamu jika kau ke sini. Jika ayahmu sampai menitipkannya ke Paman, artinya benda ini sangat berharga. Simpan baik-baik, jangan sampai hilang.”

“Ya Paman, terima kasih untuk segalanya,” aku menerima amplop dan bungkusan itu, memutuskan membukanya di rumah bersama Ibu. “Kami pamit dulu, assalamualaikum.”

"Waalaikumsalam."

Kami melambai ketika kapal itu menjauh dengan anggun. Aku melongok isi amplop yang diberikan Paman sebelum pergi, tersenyum gembira. Isinya uang tunai sebanyak lima ratus ribu rupiah. Wah, alhamdulillah. Sejak dulu Paman Jali memang tak pernah hitung-hitungan kalau memberi uang jajan. Bahkan keempat kawanku juga kebagian amplop. Itulah yang membuatku salut dan hormat pada beliau.

Bali di malam hari tampak ramai dengan masih dibukanya toko-toko dan banyaknya pejalan kaki. Kami berjalan-jalan keluar sejenak untuk menikmati suasana malam. Di sana-sini tampak bule-bule berseliweran di bar dan kafe yang bertebaran sepanjang jalan. Hampir setiap malam diadakan pertujukan tari Bali, yang paling terkenal di antaranya adalah Tari Pendet yang biasa dilakukan sebagai upacara pembukaan di pura. Para wanita penari berpakaian adat berlenggak-lenggok sambil membawa sesajen, sehingga terkesan sakral.

Kami juga melihat Tari Barong yang diperankan dua pria, yang satu berperan sebagai kepala dan bertugas mengusung kepala hewan mistik dan seorang lagi bertindak sebagai ekor. Ada juga Tari Kecak yang dilakukan beramai-ramai oleh seratus pria yang duduk mengelilingi api unggun, mengangkat tangan sambil berkata “cak cak cak” dan dipimpin seorang pendeta Hindu berpakaian adat. Kami menyaksikan semua itu dengan ketertarikan yang tak terlukiskan. Bali memang lokasi wisata yang sakral dan berbalut seni.

Esok paginya kami bangun subuh-subuh dan bersiap ke Pantai Kuta. Matahari mulai meninggi saat kami tiba di sana. Seorang petugas parkir berpakaian adat dan memakai tutup kepala putih menyambut kami. Begitu kami tiba di pantai, tak terbayang lagi keindahan yang kulihat di depan mata. Kami semua terpesona. Inilah salah satu pantai paling terkenal di dunia yang sejajar dengan Hawaii. Tempat yang terkenal sebagai wisata bahari ini ramai sekali dipadati turis, baik lokal maupun asing. Tampak payung-payung berdiri di tepian pantai, dan bule-bule berkulit putih tengah berjemur. Di kejauhan, beberapa pria pemberani berselancar menunggangi ombak. Sisanya berenang tak jauh dari pesisir sambil diawasi penjaga pantai. Aku tahu mereka lebih mengenal Bali daripada Indonesia itu sendiri.

Setelah puas di Pantai Kuta, kami juga mengunjungi pantai lain yang terkenal seperti Pantai Sanur, Nusa Dua, Jimbaran, Tanah Lot, dan Pantai Lovina. Panorama Gunung Agung seakan memberi kesejukan bagi kami dan turis lain yang bersantai di Pulau Dewata ini.

“Aduh, di mana ya? Kok nggak ada,” Nasuti menggerayangi saku celananya saat kami kembali ke penginapan, hendak mandi dan keramas.

“Kenapa, ada yang hilang?” tanyaku.

“Foto ayahku. Padahal selalu kutaruh di saku celana.”

“Mungkin jatuh, coba cari lagi di sekitar sini,” saran Harto. “Makanya, barang berharga jangan ditaruh sembarangan. Foto itu sangat berarti bagimu kan?”

Nasuti tampak gelisah. Kami semua menatapnya iba. Betapa tidak, satu-satunya foto ayahnya yang ia miliki, yang selalu dipandanginya setiap malam, tiba-tiba hilang. Aku menepuk-nepuk bahunya, mencoba menghibur.

“Nanti juga ketemu, tenang saja,” kataku.

Nasuti masih menunduk sedih, perlahan mengangguk. Aku menepuk bahunya sekali lagi, mengambil handuk dan bergegas mandi. Sayangnya, tanpa kami sadari, foto itu kini berada di tangan penjahat.

*****

HARI KE-35, PESISIR SELATAN SUMBAWA

Aku berdiri di ujung jembatan kayu yang menjorok ke laut, mengetuk-ngetuk lantai dengan ujung kaki, tak sabar. Tatapanku menyebar ke sekeliling lautan biru, dengan kapal-kapal pesiar yang sesekali melintas di kejauhan dan tampak kecil. Ombak berdebur di dekatku, menghantam tepian karang yang berlubang-lubang. Burung-burung beterbangan bebas mengarungi udara asin, sesekali mendarat di pucuk-pucuk daun bakau untuk beristirahat melemaskan sayap. Aku terus saja menoleh gelisah, menunggu teman-teman yang sedang pergi mencari penginapan. Mereka masih belum kelihatan.

Beberapa hari lalu, kami memuaskan diri mengeksplor Pulau Lombok yang memukau. Mengunjungi Pantai Senggigi, berkeliling Kota Mataram naik cidomo—sejenis delman—hingga mencoba snorkeling sambil menikmati sunset yang indah di Gili Trawangan, ditemani ikan-ikan warna-warni yang berkejaran di antara terumbu karang. Terakhir, kami plesiran ke Padang Rumput Sembalun di kaki Gunung Rinjani. Aku sebenarnya ingin mendaki gunung ini juga, tapi kuurungkan mengingat waktu yang terbatas. Kami menginap di perkampungan Suku Sasak, penghuni asli Lombok yang mayoritas memeluk Islam. Desa ini terkenal sebagai desa lelaki setia karena tak ada penduduknya yang beristri lebih dari satu. Rumah mereka berbentuk panggung, terbuat dari bilik bambu dan beratap ilalang.

Sayangnya kelompok kami harus terpecah lagi. Igo dan Inayah memutuskan tinggal sejenak untuk berbulan madu di resort, bilang akan langsung menyusul ke Kalimantan setelah puas berlibur. Sementara itu aku, Harto dan Nasuti melanjutkan perjalanan ke timur menuju Sumbawa. Dari pelabuhan, kami melintasi jalan sepi melewati Sumbawa Besar, terus ke timur menuju Kota Dompu. Kami bahkan tak berhenti untuk melihat Gunung Tambora yang terkenal dengan letusan dahsyatnya di masa silam itu.

Memasuki daerah pedalaman, bus reyot yang kami tumpangi sangat penuh, hingga kami terpaksa naik ke atap dan berpegangan erat saat bus melintasi sungai dangkal berbatu. Benar-benar turun ke air—mungkin hanya di Indonesia ada bus yang lewat sungai seperti ini. Rasanya menegangkan, aku melongok ke bawah melihat roda bus menggilas bebatuan, mencipratkan air. Warga desa yang ikut nangkring di atap bus tampak tak terganggu dengan guncangan yang ditimbulkan. Bapak tua yang membawa ayam jago di sebelahku malah tertawa, bilang sudah biasa. Sesekali, kami melintas padang rumput ditemani beberapa ekor kuda liar yang berlarian. Pulau Sumbawa memang terkenal dengan kudanya. Dua hari penuh kami tidak berhenti, gonta-ganti angkutan hingga akhirnya tiba di perkampungan nelayan yang sepi di daerah Wane, Kabupaten Bima, Sumbawa.

Iseng-iseng, kuperhatikan seorang anak laki-laki yang sedang memancing tak jauh di sebelahku. Matanya bulat memancarkan keingintahuan besar, rambutnya berdiri semua persis sapu ijuk, dan wajahnya yang polos tampak berkonsentrasi. Ia mengenakan kaus singlet berwarna biru dan celana pendek selutut. Ember di sampingnya masih kosong padahal ia sudah duduk di sana sejak tadi, jauh sebelum aku datang.

“Belum dapat ikan juga ya?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya.

“Hu-uh,” dia mengangguk. Tangannya yang kecil menggenggam alat pancingnya erat seakan takut terlepas.

“Siapa namamu?” tanyaku lagi. Anak itu menatapku, mulai memerhatikan.

“Gun,” sahutnya. “Nama saya Gunawan, tapi panggil saja Gun.”

“Kok seperti nama orang Jawa ya?” aku tertawa, mengelus kepalanya. “Kamu sekolah kan? Kelas berapa sekarang?”

Anak itu menatapku sambil menyeringai jail. “Ra-ha-sia!” katanya sambil tertawa. Aku mengangkat sebelah alis. “Kalau Kakak menang suit lawan saya, nanti saya kasih tahu.”

Aku tersenyum melihat tingkahnya. “Ada-ada saja kamu ini De. Oke, Kakak ladeni kemauanmu. Ayo kita suit, satu... dua... tiga!”

Aku menang. Aku mengeluarkan kelingking sedangkan anak itu jempol. Kali ini dia harus menjawab pertanyaanku. “Kelas lima SD Kak,” katanya, nyengir.

Gun menoleh ke air ketika pancingnya bergerak-gerak, talinya menegang saat ditarik sesuatu dari dalam air yang beriak. Gun tampak bersemangat, ia berdiri dan menggulung tali pancingnya, lalu menariknya ke atas sekuat tenaga. Terdengar bunyi cebur saat seekor ikan meloncat dari kedalaman laut, melayang di udara diiringi butiran air, lalu kembali turun dan memantul-mantul di ujung kait, ekornya menggelepar liar. Tak terkira wajah girang Gun melihat hasil tangkapan pertamanya yang besar.

“Wah, hebat kamu De,” kataku, ikut senang.

Seseorang memanggilku dari belakang, aku menoleh. Sosok Harto dan Nasuti muncul dari kejauhan. Mereka mendekatiku sambil terengah.

“Maaf lama,” kata Harto. “Kami sudah berpencar keliling pantai, tapi belum dapat penginapan yang pas. Agen travel Zhen nggak punya koneksi di tempat ini rupanya.”

“Ya sudah, kalau begitu kita menginap di rumah warga saja.”

Tiba-tiba Gun yang asyik memancing mendekati kami, tampaknya dia ikut mendengar percakapan kami. “Mas-mas ini butuh penginapan murah? Saya bisa bantu mencarikan, tapi suit dulu, ya?”

Aku menyeringai ke Harto, yang mengangkat bahu. Nasuti menggeleng-geleng. Aneh sekali syarat yang diajukan anak ini. Aku terpaksa harus suit lagi dengannya. Aku sampai harus mengulang tiga kali sampai menang. Tiba-tiba saja bocah berambut ijuk ini menarik-narik tanganku, memaksaku mengikutinya. Kami dibawanya ke perkampungan yang tak jauh dari pantai, lalu berhenti di depan sebuah gubuk kayu sederhana. Seorang pria umur empat puluh tahunan tengah merajut jaring di beranda.

“Itu ayah saya,” kata Gun. “Selain bekerja sebagai nelayan, ayah saya juga seorang pembuat minuman keras, lho Kak.”

"Astaghfirullah!” aku berhenti berjalan, mengelus dada.

“Jangan takut Kak, saya cuma bercanda. Minuman keras itu maksudnya es batu Kak, hihihi,” Gun nyengir melihat ekspresi kami. Dia lalu berlari ke ayahnya, membisikkan sesuatu. Pria itu menatap kami sekilas, mengangguk-angguk.

“Kalian butuh penginapan? Menginap di rumah kami saja,” katanya ramah. “Kenalkan, nama saya Suno, dan ini putra saya Gunawan. Kebetulan almarhumah istri saya orang Jawa, sedangkan saya sendiri asli sini, keturunan Suku Bajo. Kalau mau, kalian boleh bayar seikhlasnya saja. Saya sudah cukup senang bisa membantu orang lain.”

Pak Suno masuk ke rumahnya untuk menaruh jala, lalu mengajak kami berbincang di pelataran rumah. Kami sedang menikmati es kelapa muda yang disuguhkan ketika seorang gadis berseragam SMA berlari mendekat. Gadis itu menatap wajah-wajah kami, tampak tak peduli dengan orang asing, lalu merengek pada Pak Suno.

“Pak, nanti belikan Mita HP ya? Mita iri melihat teman-teman punya HP baru. Boleh ya Pak?”

Pak Suno menatapnya kosong, menggeleng. “Lain kali saja ya, Nak. Uang Bapak tidak cukup untuk membeli HP. Tapi Bapak janji akan membelikanmu HP begitu dapat rezeki. Kamu sabar ya.”

Mendadak raut wajah gadis itu berubah suram, kemudian berkata ketus, “Sudah kuduga pasti Bapak bilang begitu. Mita malu punya ayah nelayan miskin!”

“Hei, Mbak, jangan begitu,” Nasuti angkat bicara. Mita mengabaikannya, berpaling angkuh, dan pergi begitu saja dengan dagu terangkat. Gun hanya terdiam melihat kelakuan kakaknya. Nasuti masih memelototi Mita hingga jauh.

“Nggak apa-apa, Mas,” kata Pak Suno sabar. “Itu anak pertama saya, sifatnya memang begitu sejak ibunya meninggal. Dia belum terbiasa hidup susah.”

Pak Suno menceritakan kisah hidupnya, bahwa dulunya ia pernah terlibat dengan dunia hitam. Umur tiga puluh, awalnya ia tak tahu bekerja untuk organisasi apa, saat ia direkrut sekelompok orang dan dijanjikan upah besar. Pak Suno langsung tergiur mengingat kondisi ekonominya yang seret. Ia pun dilatih beladiri dan menembak, lalu dijadikan tukang pukul untuk menggertak pihak yang menghalangi bisnis bosnya. Namanya mulai ditakuti di dunia bawah. Meski begitu ia tak pernah membunuh orang, padahal banyak rekannya yang tak segan menghabisi lawannya. Ia pun sering bertengkar gara-gara itu. Nalurinya mengatakan ada yang tak beres, hingga ia tergerak untuk menyelidiki oranisasinya lebih jauh.

“Dulu saya sempat diposisikan sebagai anggota elit yang dijuluki ‘Jerangkong’. Hanya tujuh orang yang menduduki posisi itu, memimpin ratusan anak buah lainnya. Awalnya saya nurut saja waktu disuruh-suruh bos, karena saya kira beliau orang baik-baik, dan pastinya ada saja yang mengganggu bisnisnya. Namun fakta yang saya peroleh sangat mengejutkan. Siapa sangka, ternyata selama ini saya membantu bisnis pengedaran narkoba.”

Pak Suno blak-blakan sekali menceritakan masa lalunya.

“Organisasi itu sangat rumit, seperti mafia. Ketika saya mengundurkan diri, organisasi itu meminta semua harta saya sebagai imbalan, mengancam agar saya tak melapor ke polisi. Tapi itu cerita tujuh tahun lalu. Kabarnya sekarang mantan bos saya itu sudah dipenjara. Alhamdulillah, sekarang saya sudah taubat dan tak mau dekat-dekat lagi dengan pekerjaan semacam itu.”

“Jerangkong... rasanya pernah dengar di mana gitu,” gumamku.

Setelah perbincangan yang agak berat itu, kami memutuskan jalan-jalan sebentar di sekitar pantai. Hamparan pasir putih yang luas memanjakan mata kami. Laut biru melatari pemandangan ini, dikawal pohon-pohon bakau rindang yang menaungi tepian pantai. Kami berlarian dan menceburkan diri ke air, merasakan ombak menyapu kami. Pasir menempel di baju dan celana, sejenak basah namun langsung kering karena ditiup angin dan terpanggang matahari. Lelah berlari, kami asyik mengumpulkan karang dan membuat istana pasir.

“Aku baru tahu, ternyata yang namanya kuda laut itu kayak gitu ya?” kata Harto, menunjuk seekor kuda jantan yang melintas di tepi pantai.

“Iya, aku juga baru tahu kalau kuda laut itu kakinya dua dan pakai topi,” kata Nasuti, melirik sekilas.

“Itu mah penunggangnya,” kataku, tertawa lebar. “Kira-kira biaya sewanya berapa ya? Sejak kecil aku belum pernah naik kuda.”

Aku dan Harto menghampiri si pemilik kuda, menyewa kudanya selama satu jam dan naik bergantian. Setelah puas berkeliling, ketika ombak surut, kami berlari menuju sebongkah batu yang menyembul di permukaan air, berdiri sejenak sambil merasakan angin, lalu cepat-cepat kembali ke pantai ketika ombak datang menenggelamkan batu tadi.

Ada kejadian menarik saat kami meninggalkan pantai. Saat melintasi sebuah warung, kami mendengar orang-orang meributkan tentang tawanan yang kabur. Kabarnya dua penjahat kelas kakap itu berhasil lolos dari jeruji dan menghilang dari pengawasan sipir di LP. Nusakambangan. Poster pencarian buronan pun disebar karena ada warga yang mengaku melihat dua orang itu berkeliaran di dekat sini. Aku sedikit takut mendengarnya, apalagi Nusakambangan terkenal sebagai penjara elit tempat ditahannya para narapidana mengerikan dengan hukuman berat.

“Katanya, dua penjahat itu turun ke rumah-rumah penduduk,” kata ibu pemilik warung seraya mengelap gelas. “Waktu itu malam hari, ada tiga orang saksi yang melihatnya, tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa karena takut. Mereka bilang, dua orang itu membawa senjata tajam. Buronan ini terkenal sebagai pembunuh keji, makanya tak ada yang berani.”

“Dari sekian banyak pulau, kenapa mereka malah kabur ke Sumbawa?” seorang pria bersarung menyeletuk. “Kira-kira sekarang mereka ada di mana ya?”

“Tak ada yang tahu,” kata pemilik warung. “Yang jelas, sudah berhari-hari mereka kabur, tapi polisi belum berhasil menangkap mereka.”

“Wah, bahaya sekali,” kata seorang pria tua. “Menyeramkan, anak-anak harus tetap di rumah. Jangan dibiarkan bermain di luar, nanti bisa diculik!”

“Pantas saja, waktu saya ke sini tadi malam, rumah-rumah sepi, pintu dan jendela semua ditutup,” kata seorang pria yang tampaknya wisatawan lokal. Pria itu memerhatikan selembar poster buronan di tangannya, lengkap dengan sketsa wajah dua orang penjahat.

“Boleh saya lihat, Pak?” tanyaku.

“Tentu,” katanya, mengulurkan poster padaku. Namun Harto langsung menyambarnya dari tangan si pria, memelototi kertas itu dengan terkejut. Poster itu juga ditempel di mana-mana: di tiang, di tembok, di bilik warung, bahkan di batang-batang pohon. Seekor anjing milik penduduk menyalak di dekat kakiku. Kami refleks melompat takut terkena najis, namun Harto masih bergeming dengan poster di tangannya.

“Kamu kenapa?” tanyaku, heran sikapnya mendadak aneh.

“Lihat ini!” katanya, menunjuk foto si buronan. Aku menunduk untuk melihat dua wajah mengerikan beserta imbalan yang ditawarkan untuk siapa saja yang berhasil meringkus mereka. Yang satu pria berwajah gempal dan sangar, ditumbuhi berewok, dan berambut gimbal, namanya Marsekal Taher alias “Brewok”. Dia ditahan atas kejahatan beberapa kasus pembunuhan dan otak di balik kasus peredaran narkoba berskala internasional. Entah dimana rasanya aku pernah mendengar nama itu. Satunya lagi pria berwajah tirus, bermata cekung dan berambut gondrong bernama Uci alias “Mandra”. Terkenal sebagai pembunuh bayaran keji yang membantai lebih dari 90 orang dan beberapa kali masuk media massa.

“Ya, kami sudah lihat, memangnya kenapa?” kata Nasuti.

Harto memandang kami dengan tatapan aneh, seperti kilat kemarahan yang berbaur kesedihan. Dia menarik napas, tampak kesulitan berbicara. “Orang ini... orang yang bernama Mandra ini... dialah yang telah membunuh orangtuaku! Lihat, matanya picak sebelah dan ada tato angka 666 di dahinya!”

Aku ternganga, terkejut. Nasuti menekap mulutnya.

“Serius?” kataku panik. “Kamu yakin dia orangnya?”

“Aku tak akan lupa wajah pembunuh orangtuaku,” katanya geram. “Gara-gara dia aku harus tinggal di panti asuhan. Gara-gara dia, aku tak bisa lagi merasakan hangatnya pelukan orangtua! Aku tak bisa memaafkannya!”

“Jangan,” kata Nasuti, menyadari apa yang terlintas di pikiran Harto. “Jangan pernah berpikir untuk balas dendam! Orang ini berbahaya, Harto! Kamu bisa terbunuh!”

“Sabar, Kawanku,” aku mengusap punggungnya. “Biar polisi saja yang mengurusnya. Ini bukan bagian kita dan memang di luar kemampuan kita. Kau tenang saja, polisi pasti akan meringkus dan mengembalikannya ke penjara.”

Harto menunduk dalam-dalam. Aku mengusap punggungnya lembut dan mengajaknya kembali ke rumah Pak Suno. Dalam sekejap, suasana sore itu jadi mencekam. Lagipula percuma saja kami ke pantai karena sunset tak terlihat dari tempat itu.

Kami disambut Gun yang menenteng alat pancingnya, berlarian bolak-balik ke kamar untuk memperlihatkan koleksi kerangnya pada kami yang duduk di beranda. Kerang itu disimpannya dalam kotak. Lagi-lagi, kami harus suit dulu untuk bisa melihatnya. Gun selalu minta suit setiap kali kami bertanya sesuatu, dan biasanya kami yang menang. Pak Suno masih meneruskan merajut jaring. Sekelompok gadis usia SMA berjalan melintasi pelataran, salah satunya adalah Mita. Pak Suno melambai padanya.

“Mita, sini sebentar, ajak teman-temanmu mampir.”

Gadis-gadis itu berhenti mengikik. Mereka menatap Pak Suno dengan curiga. Mita tak menunjukkan tanda bahwa dia mengenal ayahnya, seolah Pak Suno ini orang lain baginya.

“Bapak itu siapa? Apa dia kenalanmu, Mita?” kata seorang dari mereka.

“Bukan, aku tak kenal nelayan miskin itu. Ayo pergi, tak tahan aku lama-lama di sini, mau muntah. Rumah ini jorok banget!”

Mereka berlalu sambil tertawa-tawa. Di sebelahku, Nasuti menahan marah melihat sikap Mita yang pura-pura tak kenal dan menghina ayahnya. Gun menatap kosong, Pak Suno mengelus dada sambil beristigfar. Dia berlari mengejar anaknya, memanggil-manggil sampai suaranya serak. Di kejauhan, Mita berhenti dengan malas, agak terpaksa.

“Kalian duluan aja,” desisnya, menyuruh kawanannya pergi. Dia berbalik menghadapi ayahnya. “Bapak mau apa?”

“Apa maksudmu tadi? Berani sekali kamu berkata begitu!”

Mita memutar bola matanya, tampak bosan. “Memangnya kenapa? Memang Bapak itu miskin, kan? Pokoknya, kalau Bapak belum membelikan Mita HP, Mita nggak mau tinggal sama Bapak lagi! Mita nggak ngakuin kamu sebagai ayah Mita!”

Setelah berkata begitu, dia berlari mengejar teman-temannya, meninggalkan Pak Suno yang berdiri membeku. Pria itu tersentak setelah mendapat perlakuan buruk dari anak kandungnya. Kami membimbingnya ke dalam, mendudukkannya di kursi rotan. Pak Suno mengelus dada dan menangis meratapi anaknya. Gun memeluk bahu ayahnya dari belakang, ikut menangis. Kami menatap mereka iba. Mita benar-benar keterlaluan, seperti antagonis di sinetron saja. Itu lho, sinetron tentang rumah tangga berantakan, yang tokoh utamanya selalu menderita karena pasangan hobi selingkuh, mertua menyebalkan, anak durhaka, atau cewek matre penggoda suami orang. Tayangan yang merusak mental, tapi anehnya disukai ibu-ibu.

“Dulu, Kakak tidak seperti itu,” kata Gun lesu, memainkan pancingnya. “Dulu dia periang dan ramah. Kenapa orang mudah sekali berubah?”

*****

Kami mengaji di kamar selepas shalat Isya. Sayang sekali tak ada Igo, padahal suara khas Igo selalu paling menonjol di antara kami, mendayu-dayu dan menyejukkan hati. Kawanku yang mantan juara MTQ itu selalu membaca Al-Qur’an dengan pelan namun tartil, berbeda sekali dengan Harto dan Nasuti yang mengaji seperti balapan, berlomba-lomba siapa yang selesai paling cepat. Tak kusangka, ternyata Inayah juga tidak buruk dalam mengaji. Selain suaranya merdu, bacaannya juga lancar dan tartil. Dengan absennya mereka berdua, pikiranku melayang-layang membayangkan apa yang sedang mereka lakukan sekarang.

Tiba-tiba, kami dikejutkan dengan suara teriakan Mita. Pintu kamar digedor-gedor.

“Woi, berisik!” Mita menyalak.

Kami saling pandang geram. Anak itu bikin ulah lagi. Kami semua berhenti. Nasuti menaruh mushaf dan bergegas membuka pintu, menghadapi Mita yang berkacak pinggang dengan rambut awut-awutan sehabis tidur. Aku bersyukur saat itu Pak Suno dan Gun sedang pergi keluar, jadi kami tak segan lagi menghadapi keangkuhan Mita.

“Apa?” kata Nasuti galak.

“Kalian bisa diam tidak? Berisik tahu!”

Nasuti menatapnya dengan tatapan geram, dadanya naik turun mengendalikan amarah. Gadis itu hanya memakai kaus ketat dan celana pendek di atas lutut, memamerkan pahanya, seperti yang biasa dilakukan mahasiswi kampus kami dulu jika sedang ada di kost. Melihat pakaiannya yang seperti kurang bahan, kami semakin jengkel. Kalau dia saudariku, pasti sudah kukerubuti tubuhnya dengan sarung dan kusuruh ganti baju.

“Kami sudah bayar sewa. Kami akan melakukan apapun yang kami mau!”

Nasuti menutup pintu, lalu kembali mengambil mushaf dan mengaji. Aku baru membuka mulut ketika terdengar suara nyanyian serak di kamar depan, suaranya melengking dan tak enak didengar. Gadis itu bersuara pas-pasan, tapi tampaknya dia terlalu percaya diri dan merasa seperti biduan. Lagunya bukan lagu daerah sini, melainkan lagu tarling khas Pantura Jawa. Kami menyumpal telinga dengan jari, meneruskan tilawah meski rasanya kepala mau pecah. Namun godaan tak hanya sampai di situ, Mita juga menyalakan sound system dan memutar dangdut keras-keras, memekakkan telinga.

“Oh, jadi dia mau cari ribut, ya? Huh, sekalian saja kita timpali!” geram Nasuti.

Menarik napas dalam, kami kompak mengeraskan bacaan Al-Qur’an sampai berteriak-teriak sekuat tenaga. Tenggorokanku sampai sakit. Tak mau kalah, Mita malah memperbesar volume musiknya sampai seisi rumah bergetar. Jadinya Al-Baqoroh versus Goyang Dombret merajalela. Untungnya jarak rumah tetangga agak jauh sehingga tak ada yang datang membawa golok. Meski pertempuran terjadi cukup lama, tak satupun dari kami bersedia mengalah. Ketika tampaknya menyerah, Mita mematikan musiknya dan menggedor pintu.

“Woi, sudah kubilang berisik! Kalian mau kuseret ke laut, ya?”

Kami tak tahan lagi. Aku, Harto, dan Nasuti keluar bersamaan, menyilang lengan di dada dan memelototi Mita. Melihat kami bertiga maju semua, Mita tampak ciut.

“Siapa yang mau kauseret ke laut?” kata Nasuti. Mita diam saja.

“Kenapa, kau kepanasan?” kata Harto. “Ada masalah dengan telingamu? Atau otakmu yang rusak? Kau ini manusia atau setan? Dibacakan Al-Qur’an malah marah-marah. Yang berisik itu kamu!”

Mita tak sanggup berkata apa-apa. Sambil menggerutu, dia melengos pergi. Kami bernapas lega, sekaligus beristighfar memohon ampun atas umpatan keras kami barusan.

*****

Malam itu, kami berangkat ke tepian pantai, bersiap untuk melaut. Kami ikut dengan Pak Suno karena ingin tahu bagaimana rasanya bekerja sebagai nelayan, mencari ikan di malam hari dan diserbu dinginnya angin laut. Gun juga ikut karena memang sudah biasa membantu ayahnya. Pancingnya ia tenteng ke mana-mana, ujung kailnya menjuntai di belakang bahu. Aku ikut membantu mendorong perahu, menceburkan diri ke perairan dangkal dan merelakan celanaku basah selutut. Setelah perahu itu berhasil mengapung di air, kami langsung naik sementara Pak Suno berjaga di belakang sambil menyalakan mesin. Sayangnya mesin itu hanya berasap dengan bandel dan tak mau menyala.

“Maklum, mesin tua. Saya tak punya uang buat beli yang baru.”

Setelah mesin menyala, kami bertolak meninggalkan daratan dan berlayar menuju kegelapan. Hanya ditemani petromaks dan cahaya bulan sabit yang menerangi dari atas sana. Ini pengalaman pertamaku melaut. Aku ingin tahu seperti apa gaya hidup yang dijalani nenek moyang kami sebagai pelaut.

Pak Suno mulai menebar jaring yang dirajutnya siang tadi, bercerita tentang Suku Bajo, nenek moyangnya yang bermukim di atas laut dan terkenal sebagai pelaut legendaris. Di antara kegelapan air, aku melihat riak-riak kecil saat ratusan ikan terjaring dengan mudahnya. Aku kagum mengingat Indonesia adalah negara maritim yang memiliki begitu banyak kekayaan laut. Jaring itu ditariknya dan isinya ditumpahkan ke lambung perahu. Aku ikut gembira saat melihat ratusan ikan menggelepar dan berkecipak kehilangan air. Gun tak mau kalah, dengan joran andalannya dia berhasil memancing beberapa ikan besar termasuk tuna dan lobster karang.

“Hebat, boleh aku mencobanya?” kata Harto.

“Boleh, tapi—”

“Suit dulu? Oke! Siapa takut? Mau suit biasa atau jan ken pon?”

“Apa itu jankenpon?”

“Itu lho, suit Jepang, yang gunting-batu-kertas itu. Ah sudahlah, suit biasa saja.”

Mereka suit dua kali dan lagi-lagi Harto yang menang. Harto tampak senang saat Gun mengulurkan joran. Di sebelah mereka, Nasuti membungkuk dan menjulurkan kepala ke arah laut, membiarkan isi perutnya berjatuhan ke air yang gelap sebagai makanan ikan. Kasihan, tak peduli di darat ataupun di laut, dia tetap saja mabuk kendaraan.

“Ayo terus Kak,” Gun menyoraki Harto ketika tali pancingnya bergerak-gerak, ada yang menariknya dari dalam air. “Dari pengalamanku, aku tahu pasti ini ikan besar!”

Harto berkonsentrasi dan tampak tertantang. Dia menegakkan diri, menggenggam joran erat-erat saat ikan itu mulai melawan. Tarikannya luar biasa, pasti ikan itu besar sekali. Terjadi tarik menarik yang cukup menegangkan antara dua makhluk yang berbeda, manusia dan ikan, satu di permukaan dan satu di air, entah siapa yang akan menang. Harto sampai terdorong maju, terkejut dengan tenaga tarikan si ikan. Perahu kami sampai oleng. Pak Suno membelokkan arah perahu untuk mengikuti gerakan si ikan yang tampaknya menyeret kami. Harto tampak tak mau kalah, aku dan Gun membantunya memegang joran.

Dengan hentakan keras, dia menarik pancing itu ke atas. Kami terpesona sekaligus terkejut melihat sekelebat makhluk besar bersirip melayang di udara, lalu jatuh bergebuk di atas perahu, membuat guncangan yang cukup dahsyat. Seekor ikan tuna sepanjang satu meter tergeletak di depan kami, menggelinjang-gelinjung tak mau diam. Harto tersenyum puas, lalu memeluk Gun dan bersorak keras.

“Kita berhasil! Kita berhasil!”

Aku tersenyum melihat mereka, kemudian menatap ke arah laut, mengawasi dengan teropong. Tampak sesuatu yang aneh terjadi pada udara di kejauhan, hingga bintang-bintang tak tampak lagi. Aku menunjuk, memperlihatkannya pada Pak Suno. Pria itu tampak cemas meski berpengalaman. Aku mulai khawatir. Di hadapan kami, tampak awan hitam bergulung-gulung mengerikan, disertai percikan kilat di antara lapisannya yang gelap.

“Itu apa Pak?” tanya Harto. Raut wajah Pak Suno tegang.

“Badai datang, bersiaplah Anak-anak!”

Kami tak bisa ke mana-mana lagi, bersiap menghadapi amukan badai. Mendadak cuaca berubah buruk dan mengundang badai besar. Aku dan Harto berpegangan ke tepi perahu, sementara Gun mencengkeram haluan dan mencondongkan tubuh ke depan seakan ingin melihat pemandangan mengerikan itu dengan lebih jelas.

Hujan mengguyur, guntur menyambar bersahut-sahutan. Perlahan tapi pasti, perahu memasuki wilayah badai. Gelombang-gelombang raksasa menyerbu, petir menerjang, hujan lebat mendera. Harto menutupi wajah, berteriak-teriak histeris. Nasuti menutupi mulutnya, lalu muntah-muntah, tak kuasa menahan mabuk laut. Perahu terombang-ambing, digoncang amukan alam yang mengganas. Sebagian air laut tumpah ke perahu, beberapa ekor ikan menggelepar di lantai yang dibasahi air. Lalu sesuatu yang lebih buruk datang mendekat. Aku menunjuk ke depan saat sesosok cyclone mendekat, pusaran angin raksasa itu berputar mengerikan seperti gasing super besar.

“Ini baru hidup!” seru Harto. “Menegangkan, tapi seru!”

Gun dengan gagah berani berdiri di depan haluan kapal, satu kaki dinaikkan, seolah tanpa takut menantang badai. Pak Suno berjuang membelokkan arah perahu, tapi mustahil. Perahu menjadi miring, kami terpeleset dan terombang-ambing di geladak, saling pegang dengan awak lain. Badai menggempur selama berjam-jam, membuat kepalaku pusing. Namun badai baru mencapai puncaknya saat di depan kami menghadang sesosok gelombang raksasa, paling besar dari semua yang menerjang sejak beberapa saat lalu. Kami bertahan memegang apa saja ketika air asin membanjiri kami hingga hampir tenggelam. Perahu kami terbalik, aku megap-megap saat melihat dunia berputar dan setengah badanku ditelan lautan gelap dan hitam. Ombak susulan membalikkan perahu kembali ke permukaan. Aku terengah mengambil napas, menoleh untuk memastikan semua selamat. Kulihat Gun memegangi ikan tuna tangkapannya erat-erat, tak membiarkannya lepas.

Merasakan terjangan badai membuatku teringat kisah yang dituturkan Meutia dari Aceh tentang gelombang tsunami. Orang-orang lemah iman pasti menganggap penguasa Laut Kidul sedang murka. Tapi aku tak memercayai kisah tentang Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong atau apapun itu. Bagiku mereka hanya bangsa jin yang menyesatkan manusia dengan mitos-mitos aneh yang dibuat-buat. Segala sesuatu yang ada di bumi, baik di darat maupun di laut semua berada dalam kekuasaan Allah, tak ada satu makhluk pun yang mampu menandingi kekuasaan-Nya. Kami mendayung sekuat tenaga, berusaha menjauhi titik badai. Aku berdiri mengumandangkan azan berkali-kali, berharap mimpi buruk ini segera berakhir.

Akhirnya, setelah beberapa jam yang menegangkan, kami behasil lolos. Cahaya bulan kembali menerobos dari celah-celah awan, menimbulkan segaris sinar redup yang indah. Kami menarik napas lega. Aku dan Harto saling pandang, lalu tertawa karena berhasil menembus dan menaklukkan badai. Ini salah satu pengalamanku yang paling menegangkan. Setelah puas dengan hasil tangkapan besar, kami memutuskan segera pulang. Kami kembali bernapas lega setelah melihat garis pantai tak jauh lagi. Fajar mulai menyingsing.

“Alhamdulillah, dapat ikan besar!” Pak Suno senang saat kami mendarat. “Ikan sebesar ini bisa dijual dengan harga tinggi! Mita pasti senang. Tak percuma kita melaut semalaman.”

“Aku tak menyangka akan ada badai. Pantas saja warga lain tak ada yang melaut.” Gun memeriksa jebakan yang diletakkannya di tepi pantai, melihat banyak kepiting terperangkap dalam anyaman bambu sederhana itu.

“Bapak tahu malam ini cuaca akan buruk, tapi Bapak terpaksa melaut demi kakakmu,” kata Pak Suno, menarik perahu ke pantai, lalu menambatkannya di sebatang pohon kelapa. Aku menggaruk kepala. Tadi ia sudah mengingatkan kami agar tinggal di rumah saja, tapi kami ngotot memaksa ikut melaut dan inilah akibatnya. Baju basah kuyup, kepalaku masih limbung akibat badai tadi.

“Kamu cerdik sekali,” kata Harto, tertarik dengan perangkap kepiting buatan Gun. “Kapan-kapan ajari aku membuatnya ya?”

“Jangan Gun, Kak Harto ini jahil orangnya,” kataku.

“Mau saya ajari? Boleh, tapi ada syaratnya,” kata Gun.

“Ya ampun, jangan suit lagi, bosen,” lenguh Harto.

“Hehe bercanda. Jebakan ini mudah kok membuatnya. Sejak kecil, jadi pemburu hebat adalah cita-cita saya. Selain itu, saya biasa main di hutan malam-malam Kak, jadi meskipun suasana gelap gulita, pemandangan yang saya lihat begitu jelas seterang siang hari.”

“Hebat ya, seperti kucing saja,” kata Harto. “Mirip seperti Nasuti. Dia juga punya penglihatan dan pendengaran yang tajam lho.” Harto menepuk pundak Nasuti yang masih membungkuk di tepi perahu, mual-mual.

Kami langsung menuju rumah Pak Suno. Tiba di sana, kami heran melihat banyak warga berkerumun membawa obor. Wajah-wajah mereka sedih, saling bergumam seperti dengung lebah. Apa terjadi sesuatu? Pak Suno mencemaskan putrinya, semoga tak apa-apa. Begitu melihat Pak Suno, orang-orang itu berseru, berlarian ke arahnya dan merangkulnya.

“Ini dia orangnya, syukurlah kau baik-baik saja, Suno,” kata seorang warga. “Perahumu tak ada, jadi kami pikir kau nekat melaut bersama Gun dan tersapu badai.”

“Kukira kalian sudah tewas,” kata Kepala Kampung yang sudah sepuh. “Nekat sekali kau ini, bawa-bawa anakmu segala. Padahal siang tadi sudah kuperingatkan.”

“Kasihan putrimu,” kata seorang ibu-ibu. “Begitu tahu kau pergi melaut, Mita langsung panik dan memberi tahu kami, minta agar semua warga mencari kalian. Tahu tidak, anak itu amat mengkhawatirkan kalian, ayah dan adik kesayangannya. Dia takut kalian tak akan kembali lagi.”

Kami menoleh saat terdengar tangis wanita. Seorang gadis menyeruak di antara warga, menghambur memeluk Pak Suno sambil bercucuran air mata.

“Maafkan Mita, Pak, selama ini Mita kasar sama Bapak. Mita anak durhaka. Padahal Bapak selalu baik dan mengorbankan apapun untuk kami, anak-anakmu. Mita janji tak akan mengulangi itu lagi. Mita menyesal sekali.”

“Tak apa, Nak, lupakan saja,” kata Pak Suno.

“Maafkan Kakak, Dik,” Mita berbisik sedih, menarik kepala Gun dalam pelukannya. Anak itu balas mengusap bahu kakaknya, terisak-isak. Mita juga takut-takut mendekatiku, membungkuk minta maaf seraya berterima kasih, karena berkat bacaan Al-Qur’an dan nasehat kami yang keras itulah dia jadi sadar.

“Iya, sama-sama,” malah Nasuti yang menjawab. “Kami juga minta maaf kalau kata-kata kami semalam terlalu kasar. Jangan diambil hati ya.”

Mita mengangguk, mengusap mata, lalu memeluk ayahnya lagi. Penduduk kampung tersenyum melihat mereka, perlahan membubarkan diri. Kepala Kampung menepuk bahu Pak Suno sebelum pergi. Harto menguap, hampir semalaman tak tidur. Mita masih memeluk ayahnya, matanya terpejam. Aku menatap mereka, keluarga kecil yang unik. Senang akhirnya masalah mereka berakhir damai. Di ujung timur, matahari mulai menunjukkan sinarnya.

*****

HARI KE-37, PULAU KOMODO & FLORES

Hari-hari berikutnya, perjalanan kami cukup menyenangkan meski melelahkan. Dari Bima, kami menyewa perahu cepat menuju Pulau Komodo untuk melihat kadal raksasa Varanus komodoensis, hewan purba yang melegenda. Reptil-reptil itu tampak lebih mengerikan saat kami melihatnnya langsung dari jarak dekat, terutama saat mereka berburu kerbau dan melumpuhkannya dengan liur yang mengandung bakteri. Rasanya menegangkan, karena biasanya kami hanya melihat di film-film BBC. Ditemani seorang pawang, kami menjaga jarak saat merekam perburuan itu agar tak menjadi incaran berikutnya.

“Buset deh, sangar banget mereka,” kata Harto, melihat hasil rekamannya. Tadi dia nekat mendekati salah satu komodo, mengendap-endap sambil mengarahkan kameranya, mengabaikan teriakan pawang yang menyuruhnya kembali. Aku menepuk dahi. Rupanya dia tak belajar dari pengalaman saat digigit buaya dulu. Jika sudah asyik merekam, Harto tak peduli apapun lagi di sekitarnya. Komodo itu menoleh menyadari kedatangan Harto, perlahan bergerak mendekatinya. Tanpa disuruh, Harto langsung mundur, lari tunggang langgang meninggalkan kami yang sedang sembunyi. Terpaksa kami ikut lari sambil mengomeli Harto. Untunglah komodo itu hanya berjalan lambat, mungkin tak tertarik memangsa kami.

Selain terkenal dengan komodonya, bentang alam di pulau ini juga teramat indah dan memanjakan mata, dengan tanjung-tanjung yang menjorok ke laut dan pulau-pulau kecil serupa bukit hijau yang menyembul di antara laut biru. Keindahan bawah lautnya pun sama menakjubkannya, dengan beragam jenis ikan dan terumbu karang bertebaran. Kami bersantai sejenak di Pink Beach yang eksotis dengan pasirnya yang berwarna merah muda, lalu mampir ke pantai-pantai lain di sekitar sini yang tak kalah memukau.

Esoknya kami menjelajahi Flores, memesan mobil travel dari Labuan Bajo menuju Ende, melipir sejenak ke Kawah Gunung Kelimutu yang terkenal dengan tiga warna airnya yang selalu berubah-ubah. Setelah puas, kami kembali ke Ende, kota yang amat bersejarah karena di sinilah Bung Karno sempat diasingkan dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Harto dan Nasuti langsung kolaps, berbaring kelelahan di penginapan. Sementara aku—yang nggak ada capeknya—menyewa sepeda sambil menyusuri pantai, lalu duduk di batang pohon, menikmati es kelapa muda sambil memandangi Laut Sawu di selatan.

Saat itulah, ketika asyik bersantai, terjadi peristiwa yang takkan pernah kulupakan—insiden yang ternyata berkaitan erat dengan seluruh petualangan ini. Aku melihat dua orang bertubuh tinggi lewat di depanku, memakai jaket bertudung dan menutupi wajah dengan sapu tangan. Sekilas aku mendengar sepotong percakapan mereka, kedengaran seperti “rencana kita”, “culik” dan “bunuh”. Aku langsung terperanjat, mengamati dua orang mencurigakan itu. Salah satunya menoleh, aku langsung menunduk sambil pura-pura menyedot es kelapa. Naluriku bilang jangan ikut campur, tapi ucapan seperti kode rahasia tadi menggelitik rasa penasaranku. Ketika mereka menjauh, aku langsung menaiki sepeda dan membuntuti mereka.

Tanpa ketahuan, aku mengamati dari kejauhan saat mereka masuk ke sebuah gubuk sunyi di tepi pantai. Diam-diam aku mendekat, lalu mengintip lewat celah kecil di dinding anyaman bambu. Gelap sekali di dalam, hingga salah seorang dari mereka menyalakan lilin. Penampilan dua orang itu tampak mengerikan. Salah seorang bersandar santai ke tiang kayu. Pria satunya berjongkok sambil memainkan pisau. Aku terkesiap menyadari siapa mereka. Tak salah lagi, pasti buronan yang kabur itu. Kenapa mereka ada di sini?

“Jujur saja, aku ragu kau memilih tempat terbuka ini sebagai persembunyian,” kata pria berbadan kekar. Matanya kecil namun tatapannya tajam. Rambutnya gimbal dan wajahnya ditumbuhi brewok yang tak terurus. Dari warna kulit dan tato jangkar di lengannya, aku bisa menebak dia mantan marinir. Kuduga pasti ini yang namanya Marsekal Taher alias Brewok. Mengamati wajahnya langsung, rasanya aku pernah melihatnya entah di mana.

“Polisi tak akan mencari kita di sini,” kata pria satunya tenang. Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya datar tanpa ekspresi, matanya setajam elang, dan rambutnya yang hitam kusut dibiarkan gondrong sepinggang. Tato angka 666 menghiasi dahinya, dan sebelah matanya ditutupi bulatan hitam persis bajak laut. Pasti ini Uci Mandraguna alias Mandra.

Pakaian kumal mereka menandakan kedua orang ini hidup menggelandang beberapa hari terakhir, berpindah tempat menghindari polisi. Begitu melihat mereka, aku langsung tahu betapa berbahayanya dua pria ini. Aura mereka terasa begitu mengancam, mengintimidasi. Mereka penjahat kelas kakap, pembunuh berdarah dingin yang tak bisa digertak dengan mudah. Levelnya jauh berbeda dengan preman Jakarta yang kami kalahkan tempo hari. Jadi aku memutuskan tetap bersembunyi sambil mengawasi keadaan.

“Ini menyedihkan,” kata Brewok. “Dulu aku punya segalanya. Senjata, uang, wanita, apa saja bisa kugenggam. Aku sedang sial saja sampai bisnisku terendus aparat. Itu pun aku sedang beraksi sendirian, dan aku harus menghadapi sepasukan polisi yang mengepungku. Sebelum tertangkap, setidaknya aku berhasil mencederai mereka. Dengan tangan kosong.”

“Bukannya kau punya anak buah?”

“Mereka semua payah. Aku tak tahu kenapa aku mempekerjakan mereka,” Brewok mendengus. “Menyebalkan sekali, itu pertama kalinya aku terkena jerat hukum. Gara-gara hakim sialan itu. Tak kusangka uang tak mempan untuk menyumpal mulutnya. Aku terpaksa harus mendekam di penjara selama lima tahun. Tapi aku selalu punya cara untuk melakukan segalanya. Kubalas hakim sialan itu dua tahun lalu. Aku tahu dia akan pulang ke Jakarta dari Singapura, jadi kusogok sipir untuk mengantarkan pesan pada Pansus—anak buahku yang berada di luar negeri—agar beraksi saat itu juga, menaruh bom dalam pesawat yang ditumpangi hakim itu. Ledakan yang sempurna, sesuai rencanaku. Dari surat kabar yang dilemparkan ke tempat sampah di depan selku, aku tahu hakim itu termasuk korban tewas. Tamatlah riwayatnya. Game over, hahaha!

Mandra menyeringai mengejek. “Mengagumkan, tapi cara kerjamu yang mengandalkan uang itu memuakkan. Aku jadi ragu bekerjasama denganmu.”

Brewok memelototi rekannya. “Jangan sombong! Kau bisa kabur karena ide brilianku, dan kita bisa makan dengan uang sisa rampasanku dari rumah-rumah.”

“Maaf saja, tapi sebelumnya aku tak pernah bekerjasama dengan orang lain. Partnerku biasanya selalu mengecewakan dan akan kubunuh jika aku bosan dengannya.”

“Jangan harap itu akan terjadi padaku. Justru kaulah yang harus hati-hati denganku. Kau tahu siapa aku kan? Kau tahu cara kerjaku?”

Mandra melirik dengan ujung matanya. Ekspresinya tak berubah, dingin dan misterius, namun aku merasakan nada bahaya dari suaranya.

“Kau menantangku? Kau mau kucincang dengan ini?” dia mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, sebilah keris! Aku selama ini percaya bahwa ilmu kanuragan dan metafisik itu ada. Aku tahu ilmu-ilmu perdukunan yang mempraktikkan ritual sesat masih berkembang di daerah tertentu yang tak terjamah agama, hanya saja tak muncul ke permukaan. Namun baru kali ini aku melihatnya dengan mata kepala sendiri.

“Aku tak takut jimat seperti itu,” kata Brewok, tak tertarik. “Tubuhku sudah kuat sejak lahir, tak perlu pakai benda begituan. Aku tak berniat adu kekuatan denganmu, buang-buang waktu saja. Lagipula kau pasti kalah. Bandingkan saja kerismu itu dengan benda yang kubawa.” Dia meraih ke sudut dan mengeluarkan bungkusan besar seukuran tas gitar yang tampaknya berat. “Ini senjata kesayanganku, kupesan langsung dari Amerika.”

“Jadi, itu senjata? Kukira apa, sampai kau rela repot-repot mengambilnya dari sarang rahasiamu di Sumbawa, memeluknya ke mana-mana seperti boneka. Aku penasaran apa isinya.” Mandra kembali mengantongi kerisnya, tampak merileks. “Baiklah, lupakan soal yang tadi. Untuk saat ini, lebih baik kita bekerjasama.”

Dari sikapnya saja, aku sadar mereka bukan penjahat biasa. Mereka tidak bodoh, terutama pria bernama Brewok ini, yang terkenal sebagai otak kejahatan terencana. Tiba-tiba aku ingat pernah mendengar namanya di mana. Jika melihat perawakan pria ini, deskripsinya sesuai dengan cerita Jeki, bos preman Jakarta yang kulawan tempo hari. Kedua pria itu saling diam. Entah mengapa, kali ini aku tak ingin berurusan dengan mereka. Aku merasakan firasat buruk. Perlahan, aku melangkah mundur.

“Dari tadi aku penasaran, siapa tikus kecil yang mengintip di luar itu?” Brewok tiba-tiba menatap lurus ke arah persembunyianku. Gawat, aku ketahuan! Brewok berdiri dengan siaga, tatapannya liar. Instingnya sangat tajam. Di sebelahnya, Mandra ikut berdiri.

Secepat kilat, aku langsung memacu sepedaku sejauh mungkin dari tempat itu, tanpa menoleh. Entah mereka mengejar atau tidak, aku tak peduli. Napasku memburu, belum pernah aku merasa sengeri ini. Barulah setelah tiba di perkampungan, aku merasa aman dan turun dari sepeda, tersengal kehabisan napas. Harto dan Nasuti keheranan melihatku terkapar di teras penginapan. Harto malah tertawa saat aku minta diambilkan minum, mengira aku habis dikejar anjing. Mereka setengah tak percaya mendengar ceritaku, tapi aku terus meyakinkan mereka. Singkat cerita, Harto akhirnya percaya setelah melihat raut wajahku. Kami pun segera melapor polisi dan memberi tahu lokasi penjahat itu.

Sayangnya, ketika sepasukan polisi bersenjata lengkap menggerebek gubuk di tepi pantai itu, Brewok dan Mandra sudah pergi. Hanya tersisa puntung rokok dan jejak kaki mereka, yang setidaknya membuktikan kesaksianku tidak mengada-ada. Aku masih belum merasa tenang. Penjahat itu memang tidak melihat wajahku, tapi aku lebih mengkhawatirkan rencana mereka—akan ada banyak nyawa yang melayang di tangan mereka. Membayangkan itu saja aku sudah bergidik.

“Aku menyesal kenapa tadi malah lari, bukannya menghadapi mereka seperti yang kulakukan di Jakarta,” kataku. “Toh penjahat itu hanya dua orang.”

“Itu kan sudah berlalu, mau gimana lagi?” kata Harto. Berkali-kali dia menghiburku, bilang tak usah dipikirkan karena itu di luar kemampuanku. Lagipula belum tentu aku sendirian bisa mengalahkan mereka. Aku mengangguk saja, coba melupakan kejadian tadi.

Dengan perasaan yang masih mengganjal, aku memutuskan melanjutkan perjalanan. Dari bandara Ende, kami langsung terbang ke Kalimantan dengan pesawat jet pribadi milik Shen Travel. Pilot dan pramugari menyambut kami ramah, melayani dengan baik selama enam jam penerbangan. Aku jadi sedikit terhibur. Inilah pengalaman pertamaku naik pesawat pribadi. Aku tak akan pernah lupa kebaikan Zhen yang mengundang kami dalam ekspedisi ini.

“Jadi, berikutnya ke Pontianak?” tanya Nasuti.

“Ya, coba kita lihat,” kataku, mengeluarkan peta yang sudah kucoret-coret dari dalam tas. Harto dan Nasuti ikut merubung di sebelahku, tampak bersemangat, menunjuk beberapa kota yang kutandai. Dari tenggat waktu delapan puluh hari yang kutentukan, masih tersisa setengahnya hingga kami tiba di tujuan terakhir, Papua.

Petualangan kami masih jauh dari selesai.

*****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • radenbumerang

    Iya juga yah, satu bab aja sepanjang ini... makasih masukannya Mas AlifAliss, mungkin ke depannya saya bagi per bab aja biar lebih pendek.

  • AlifAliss

    Wahh menarik banget, tapi panjang gila capek bacanyaaaa :D :D :D

Similar Tags
complicated revenge
21582      3317     1     
Fan Fiction
"jangan percayai siapapun! kebencianku tumbuh karena rasa kepercayaanku sendiri.."
Pisah Temu
1046      563     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu
CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE)
16513      2050     4     
Romance
Mala dan Malto dua anak remaja yang selalu memperdebatkan segala hal, Hingga akhirnya Valdi kekasih Mala mengetahui sesuatu di balik semua cerita Mala tentang Malto. Gadis itu mengerti bahwa yang ia cintai sebenarnya adalah Malto. Namun kahadiran Syifa teman masa kecil malto memperkeruh semuanya. Kapur biru dan langit sore yang indah akan membuat kisah cinta Mala dan Malto semakin berwarna. Namu...
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
650      363     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
Sebuah Penantian
2580      898     4     
Romance
Chaca ferdiansyah cewe yang tegar tapi jauh didalam lubuk hatinya tersimpan begitu banyak luka. Dia tidak pernah pacaran tapi dia memendam sebuah rasa,perasaanya hanya ia pendam tanpa seorangpun yang tau. Pikirnya buat apa orang lain tau sebuah kisah kepedihan.Dulu dia pernah mencintai seseorang sangat dalam tapi seseorang yang dicintainya itu menjadi milik orang lain. Muh.Alfandi seorang dokt...
F.E.A.R
9422      1692     5     
Romance
Kisah gadis Jepang yang terobsesi pada suatu pria. Perjalanannya tidak mulus karena ketakutan di masa lalu, juga tingginya dinding es yang ia ciptakan. Ketakutan pada suara membuatnya minim rasa percaya pada sahabat dan semua orang. Bisakah ia menaklukan kerasnya dinding es atau datang pada pria yang selalu menunggunya.
Power Of Bias
1090      634     1     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Senja (Ceritamu, Milikmu)
6650      1652     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Iskanje
5528      1506     2     
Action
Dera adalah seorang mahasiswa pindahan dari Jakarta. Entah takdir atau kebetulan, ia beberapa kali bertemu dengan Arif, seorang Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Dera yang begitu mengagumi sosok lelaki yang berwibawa pada akhirnya jatuh cinta pada Arif. Ia pun menjadi anggota Resimen Mahasiswa. Pada mulanya, ia masuk menwa untuk mencari sesuatu. Pencariannya menemui jalan buntu, tetapi ia...
Zona Erotis
762      502     7     
Romance
Z aman dimana O rang-orang merasakan N aik dan turunnya A kal sehat dan nafsu E ntah itu karena merasa muda R asa ingin tahu yang tiada tara O bat pelipur lara T anpa berfikir dua kali I ndra-indra yang lain dikelabui mata S ampai akhirnya menangislah lara Masa-masa putih abu menurut kebanyakan orang adalah masa yang paling indah dan masa dimana nafsu setiap insan memuncak....