Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
MENU
About Us  

BAB 8. KEMBANG DESA DARI KOTA KEMBANG

 

HARI KE-20, BANDUNG

Kabut pagi menjalar menyelimuti tanah, tampak memanjang di sekitar kaki gunung bagai hamparan selimut kapas. Bandung di pagi hari tampak eksotis dan memukau, dengan puncak-puncak bukit yang menembus awan dan hamparan perkebunan teh di kanan-kiri jalan. Bus yang kami tumpangi menderu mantap melewati jalan berkelok-kelok, dikawal jajaran pohon pinus yang menjulang hitam diterpa gelapnya fajar. Udara pagi di Kota Kembang begitu menusuk dan menggelitik, rasanya kami seperti dimasukkan dalam kulkas. Aku masih menguap sementara Harto asyik mencoret-coret kaca mobil yang berkabut. Dia sesekali mengunyah roti, kepalanya bergerak-gerak ritmis mendengarkan Rhoma Irama bersenandung dalam video yang diputar pak sopir. Di luar, Igo dengan Harley-nya mengebut menjajari bus. Yang paling parah, Nasuti masih sibuk dengan kantong plastiknya.

Saat jalanan terasa menurun dan langit menampakkan kilau pertamanya, pohon-pohon pinus mulai jarang, membuka pemandangan menakjubkan di baliknya. Serentak kami menempelkan wajah ke jendela, terpesona. Hamparan danau terbentang luas dan tampak anggun, dengan riaknya yang teratur dan sebidang pulau bertengger angkuh di tengahnya. Warna-warna tajam dari pantulan latar belakang langit merah berawan dan matahari yang mulai mencuat membuat danau itu semakin tampak indah namun juga mengerikan. Itulah tujuan kami hari ini, Situ Patenggang dan Batu Cinta.

Kami turun dari mobil, disambut udara segar pegunungan yang menggerogoti tulang. Setelah membayar tiket yang cukup terjangkau, kami berlari-lari riang ke tepi danau. Beberapa perahu kayu berjajar di tepi air, ditinggalkan pemiliknya yang berkumpul di warung kopi. Iseng-iseng, Harto naik ke salah satu perahu. Dia melambai mengajak, tapi kami biarkan saja dia naik sendirian. Harto tenang-tenang saja duduk di sana, tanpa sadar sedang kami kerjai. Diam-diam kami dorong perahunya ke tengah danau, dan kami tertawa puas melihat Harto kelabakan karena tak ada dayung di perahu itu. Tak ada cara lain untuk melarikan diri. Dia terpaksa menceburkan diri sebelum hanyut terlalu jauh dan terjebak di tengah danau. Dia cemberut mendapati celananya basah selutut, air danau tampak membuatnya kedinginan.

“Awas kalian ya! Nih, rasain!” Dan sebagai balasan, Harto mencipratkan air sedingin es itu, membagi sensasinya pada kami hingga semua basah kuyup, tak ada yang luput.

Kami berjalan-jalan di antara pohon pinus untuk mengeringkan pakaian. Kubiarkan sengatan matahari pagi merasuk jaringan kulitku untuk menghangatkan diri. Iseng-iseng, aku membungkuk dan memungut sebutir strobilus betina yang terhampar di tanah, berjatuhan dari pohonnya. Kuamati strukturnya yang unik. Aku ingat pernah menggunakannya dalam praktikum Taksonomi Tumbuhan saat masih kuliah dulu. Kami duduk-duduk di warung dan memesan bandrek. Minuman khas Sunda yang terbuat dari jahe dan gula merah ini mampu menghangatkan badan ditengah dinginya udara. Setelah agak siang kami kembali ke tepi danau dan menyewa perahu. Sejak awal keberangkatan, entah sudah berapa kali kami naik perahu. Kami melebarkan pandangan ke sekeliling perairan saat perahu ini dengan mantap berlayar ke pulau di tengah danau. Di sana terdapat sebuah batu besar berbentuk hati. Inilah yang namanya Batu Cinta.

“Nama Patenggang teh berasal dari Bahasa Sunda ‘pateang-teangan’ yang berarti saling mencari,” cerita Mang Ujang, sang penarik perahu. “Nama itu merujuk kisah cintanya Ki Santang yang merupakan keponakan Prabu Siliwangi dan Dewi Rengganis, putri dari Kerajaan Majapahit. Perang Bubat yang melibatkan kedua kerajaan memisahkan kedua sejoli tersebut. Namun karena rasa cinta yang sangat dalam, mereka saling mencari dan akhirnya dipertemukan kembali di sebuah tempat yang kini bernama Batu Cinta. Setelah bertemu kembali, Dewi Rengganis meminta Ki Santang untuk membuat sebuah danau dan perahu untuk berlayar. Perahu itulah yang kini menjadi sebuah pulau berbentuk hati ditengah Situ Patenggang. Sementara danau itu sendiri konon berasal dari curahan air mata Dewi Rengganis saat berpisah. Tah kitu caritana.”

“Oo gitu. Katanya kalau pasangan muda ke sini, hubungan mereka bisa langgeng ya Pak?” tanya Nasuti. Pria tua itu mengangguk sambil tetap mendayung. “Katanya, ada mitos bahwa jika ada pasangan kekasih yang singgah di Batu Asmara dan berlayar mengelilingi Pulau Asmara, lalu mengucap janji setia di hadapan Batu Cinta, mereka akan senantiasa mendapatkan cinta yang tertanam abadi seperti cinta Ki Santang dan Dewi Rengganis.”

“Jangan percaya begituan Nas, bisa jadi syirik lho,” aku mengingatkan.

“Kalau kita yang datang mungkin akan jadi sahabat selamanya,” kata Harto.

Tujuan kami berikutnya adalah Kawah Putih di daerah Ciwidey. Tiketnya cukup murah sekitar 15 ribu. Mobil begitu tangguh mendaki jalan yang terjal dan rusak, mesinnya meraung-raung memekakkan telinga saat melewati tanjakan curam dan beberapa tikungan tajam. Sesekali terlihat mobil angkutan yang disesaki penumpang, kami menepi agar bisa lewat karena jalanan tidak cukup lebar. Kami seperti berjoget karena mobil ini bergoyang-goyang mengerikan. Jalanan yang kami lalui memang tidak rata dan berlubang-lubang. Beberapa kali kami hampir terlempar akibat ban depan melindas batu yang mencuat. Namun itulah yang membuat perjalanan ini seru dan menegangkan. Tiba di lokasi, kami langsung disambut jajaran pedagang suvenir. Setelah mendaki tangga, kami tiba di genangan berwarna kehijauan disertai asap yang mengepul di atas permukaannya. Bukit batu menjulang di atasnya. Bau tajam belerang menyengat hidung kami, membuatku batuk-batuk. Batu-batu dan pasir yang terhampar di tanah tampak didominasi warna putih.

Inilah Kawah Putih yang terletak di Gunung Patuha atau sering juga disebut Gunung Sepuh. Kawah Putih memiliki ciri khas yang unik yaitu air kawahnya dapat berubah warna, kadangkala berwarna hijau kebiruan bila terik matahari dan cuaca terang, terkadang pula berwarna cokelat susu. Permukaan tanahnya kerap tertutup kabut tebal yang menampakkan pemandangan serba putih sehingga menimbulkan kesan misterius.

“Katanya, dulu masyarakat setempat menganggap kawasan Kawah Putih ini sebagai daerah yang angker, sampai-sampai nggak ada orang yang berani ke sini,” kata Igo. “Konon saking angkernya, burung yang terbang di atas kawah sekalipun bakal mati. Bener nggak?”

“Ya, memang,” jawabku. “Pada dasarnya, setelah diteliti secara ilmiah, bagian dalam danau ini mengeluarkan semburan aliran lava belerang beserta gas dan baunya yang menusuk hidung. Dari pengamatan tersebut terungkap bahwa kandungan belerang yang sangat tinggi itulah yang menyebabkan burung enggan untuk terbang melintas di atas permukaan danau.”

Pada masa penjajahan Belanda, situs ini pernah dieksplorasi kandungan mineralnya terutama sulfur. Bukti peninggalannya masih bisa kami saksikan sampai sekarang berupa sebuah gua buatan yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk kawah. Saat ini mulut gua dipasangi papan penghalang agar tak dimasuki pengunjung, bahkan di depannya dipasang peringatan agar tidak berlama-lama berdiri di mulut gua.

“Berani pegang airnya nggak?” Igo menyenggolku. Nasuti tanpa takut-takut mencelupkan jarinya ke air, sementara Harto langsung sibuk mengambil foto sana-sini.

“Ini mungkin tempat tongkrongan favorit para bidadari,” celetuk Harto. “Mungkin mereka jalan-jalan ke sini sambil ngemil goreng pisang dan menyeruput bandrek, hahaha. Semoga saja nanti kita ketemu bidadari beneran, amiin.”

“Atau setidaknya ketemu kembang desa juga boleh,” timpal Nasuti.

Dekat tempat parkir berderet kios-kios yang menjual aneka cinderamata. Selain itu juga banyak pedagang yang menjual buah khas Ciwidey, yaitu stroberi. Pukul sepuluh pagi, akhirnya kami harus angkat kaki dari tempat menakjubkan ini.

Tengah hari, kami berangkat ke alun-alun kota, lalu mampir sejenak ke Cihampelas untuk berbelanja. Kami berkeliling kota mengunjungi kampus ITB dan Unpad yang terkenal, berfoto di depan Gedung Sate yang menjadi ikon Kota Kembang, lalu bertandang ke perkebunan stroberi di daerah Lembang. Di sini ditanam ribuan stroberi yang diletakkan dalam polybag untuk menjaga kesegaran buahnya. Setiap pohon diberi pupuk daun agar tetap subur dan terus berbuah. Buah stroberi yang merah ranum menggoda ini boleh dipetik langsung dari pohonnya. Segera saja kami berebutan mempreteli stroberi dan berusaha memenuhi wadah styrofoam yang disediakan pemilik kebun. Di sebelahku, Harto asyik makan di tempat.

“Hei, maling hei,” godaku seraya menyikut lengannya.

“Sst,” desisnya, mengacungkan telunjuk di depan bibir. Sambil celingak-celinguk, dia juga mengantongi beberapa ke balik bajunya. Aku geleng-geleng saja. Setelah kotak terisi penuh, kami melangkah ke stand yang dijaga pemilik kebun untuk membayar.

“Oh iya Pak, tadi kami juga makan beberapa di kebun, kira-kira sepuluh,” Igo mengaku keras-keras, mengabaikan Harto yang mendelik. “Dan temanku ini juga menyembunyikan stroberi di balik bajunya. Sekalian dihitung semua, Pak.”

Bapak pemilik kebun awalnya menatap kami curiga. Kami merasa tak enak saat pria paruh baya itu menatap kami satu persatu. Namun kemudian ia tersenyum.

“Kalian jujur, ya,” katanya, memberi uang kembalian.

“Tuhan selalu mengawasi, Pak,” kata Igo tenang.

Setelah kami menjauh, Harto langsung protes, “Kenapa kau malah ngaku?”

“Itu mencuri namanya,” kata Igo. “Lagian aku kan yang bayar.”

Kami memutuskan berjalan-jalan sebentar mengarungi tanah perkebunan. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya warna hijau dedaunan, indah sekali. Saat melintasi sawah, kami disuguhi tanjakan terjal. Tampak beberapa petani sibuk menggiring kerbau di ladang, beberapa lainnya membungkuk rendah dan bergerak mundur sambil menancapkan bibit padi. Seorang bocah berselimut sarung duduk bersila di atas kerbau sambil memainkan seruling, mengalunkan lagu-lagu Sunda. Boneka-boneka sawah yang terpancang melambai-lambai seperti menyambut kami. Di sekeliling kami membentang kawasan hutan yang masih perawan, sesekali terdengar kicauan burung yang tak mungkin dijumpai di kota besar. Kami duduk di sebuah saung beratap jerami untuk berteduh sambil menggerogoti stroberi segar yang kami beli. Igo sampai menghabiskan uang 50 ribu dan membeli lima kotak, semuanya ia makan sendirian. Angin sepoi-sepoi meniup rambut kami. Harto merebahkan diri, bersiul-siul dan bersenandung, “Es lilin mah Euceu, kalapa muda.” Kami ikut berdendang. Suasana pedesaan memang sungguh menyejukkan hati dan membuat pikiran fresh.

“Dulu aku pernah ke sini bersama ayahku,” kata Igo, menikmati angin yang menerpa wajahnya. “Waktu itu usiaku sepuluh tahun. Aku sudah lupa betapa asrinya tempat ini.”

Saat meninggalkan saung, kami sempat panik dan kelabakan karena ternyata tak ada satupun dari kami yang mengingat jalan. Kami tersesat dan kebingungan, di tengah sawah pula. Para petani yang mungkin bisa kami tanyai tak tampak satupun, mungkin mereka sudah pulang karena hari beranjak senja. Igo memandang berputar, menatap kejauhan mencari jalan raya tempat dia memarkir motornya. Seorang gadis berambut panjang lewat di dekat kami, menggendong sebakul penuh stroberi. Saat melihat wajahnya, hatiku mencelos, mengira sedang melihat bidadari. Seketika lagu “Cantik” dari Kahitna otomatis terputar di kepalaku. Harto terperangah, doanya terkabul. Gadis itu berwajah manis, kulitnya putih bersih, matanya indah dan bulat dengan bulu mata lentik, rambutnya yang hitam kecokelatan dibelah samping dan disemat dengan jepit berukir bunga.

“Neng, jalan raya di sebelah mana, ya?” tanya Nasuti.

"Palih ditu A, sebelah sana," tunjuknya. Suaranya terdengar lirih tapi juga merdu seperti burung berkicau. Dia buru-buru membalik badan dan pergi. Baru dua langkah berjalan, ia menginjak lumpur licin dan terpeleset. Bakulnya terjatuh dan puluhan stroberi tumpah berserakan. Kami menghambur untuk membantunya memunguti stroberi.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Igo. Gadis itu menatapnya, mengangguk pelan.

Nasuti semangat sekali membantu, sampai-sampai beberapa kali salah memungut batu, bukannya stroberi, dan melemparnya ke keranjang tanpa merasa bersalah. Gadis itu tertawa pelan melihatnya. Saat sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba terjadilah hal itu. Gadis itu meraih stroberi yang paling besar, tangannya terjulur. Di sisi lain, Igo juga mengulurkan tangan, hingga tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan. Keduanya mendongak, saling tatap. Ada keterkejutan di mata gadis itu. Momen itu hanya sebentar, karena Igo langsung berpaling, cepat-cepat menarik tangannya. Gadis itu juga menunduk, meneruskan memunguti sisanya. Saat keranjang penuh, aku berdiri dan tersenyum, merasa puas membantu. Nasuti terlihat paling senang. Gadis itu merapikan keranjang dan pakaiannya, mengusap peluh di dahi.

"Hatur nuhun nya A, terima kasih,” katanya sambil membungkuk, tersenyum. Ia memanggul kembali bakulnya dan berjalan pergi.

"Beautiful... suaranya juga lembut!” kata Nasuti, mengawasi gadis itu menjauh, yang di matanya pasti terlihat seperti berlenggak-lenggok. “Di kampung begini banyak bidadari jelita ya. Lagian tangguh juga dia, kerja di ladang tapi kulitnya tetap putih. Itu bakulnya lumayan berat lho, setara tas gunung 60 liter. Ah, harusnya aku minta nomor teleponnya tadi.”

Sementara itu, Harto bersenandung, “Panon hideung... pipi koneng... irung mancung... putri Bandung...”

“Sudah, sudah, pusing aku mendengarmu bernyanyi, To,” kata Igo.

“Jaga pandangan woi,” kataku, memutar kepala Harto dan Nasuti yang terpana melihat si gadis. “Jangan kebanyakan lihat cewek, dosa kok ditabung. Keburu sore nih, ayo pergi.”

Setelah berhasil menemukan jalan raya, kami melaju ke desa terdekat untuk mencari penginapan. Rumah-rumah sederhana khas pedesaaan yang dinaungi pepohonan tertata rapi di sepanjang jalan, mengingatkanku pada kampung halaman.

“Malam ini sebaiknya jangan menginap di hotel, sekali-sekali tinggal di rumah penduduk saja, hitung-hitung ngekost,” Igo mengutarakan idenya. “Aku ingin tahu kehidupan masyarakat sini kayak gimana.”

“Ide yang bagus,” aku langsung setuju.

*****

Azan mengalun merdu dari sebuah masjid di pinggiran desa. Kami berhenti dan ikut shalat berjamaah bersama para penduduk. Sempat terpikir oleh kami untuk tidur di masjid saja malam itu. Selepas Isya, kami mengambil mushaf dari rak kayu di pojok masjid, mulai mengaji. Igo paling pandai mengaji di antara kami. Suaranya mengalun merdu dan lidahnya fasih melantunkan setiap huruf dalam Al-Qur’an. Kami ikut tenang jika mendengarnya, dan ternyata bukan hanya kami yang terpesona dengan bacaan Qur’an Igo. Di belakang, kulihat ada seorang pria berbaju koko yang memerhatikan kami. Aku sadar itu bapak pemilik perkebunan stroberi tadi. Saat Igo menghentikan tilawahnya, bapak itu mendekati kami.

“Lho Bapak yang tadi?” kata Harto, tampak malu. Bapak itu mengangguk.

“Sepertinya Adik-adik ini bukan orang sini, ya?” katanya ramah seraya mengulurkan tangan. Kami langsung menjabatnya. “Nama saya Asep, kebetulan saya ketua RT di komplek ini. Kalau ada perlu apa-apa, Adik-adik bisa melapor ke saya.”

“Terima kasih, Pak,” kataku. “Bapak tahu penginapan murah di dekat sini?”

“Oh, Adik-adik belum dapat tempat istirahat? Kalau begitu ikut saya saja. Kebetulan saya punya penginapan.”

Kami berempat bertukar pandang mencari persetujuan, akhirnya kami memutuskan ikut Pak Asep ke rumahnya yang tak begitu jauh dari masjid. Rumah itu besar dan megah, halamannya luas dan dipenuhi pot-pot tanaman hias. Sebatang pohon mangga besar berdiri tepat di depan rumahnya. Pak Asep mempersilakan kami masuk.

“Adik-adik ini dari kota ya?”

“Tidak Pak, sama saja, kami juga dari kampung,” kataku merendah. “Saya asli Cirebon, Harto dan Nasuti dari Kuningan. Cuma Igo yang dari Jakarta, Pak.”

“Jakarta?” Pak Asep mendadak kaget. Dia mengamati Igo dari kaki hingga kepala, mengangguk-angguk. “Kalau boleh tahu, nama bapaknya Nak Igo ini siapa ya?”

“Kenapa ya, Pak?”

“Wajah Nak Igo ini familiar. Rasanya saya pernah melihat Nak Igo.”

“Nama ayah saya Isnain Abu Aswad, Pak. Beliau seorang dokter. Mungkin Pak Asep ini salah satu pasien yang pernah berobat ke klinik kami? Maaf, saya lupa.”

“Dokter Isnain?” mendadak wajah Pak Asep berubah cerah. “Oo jadi Nak Igo ini putra Dokter Isnain? Pantas rasanya kenal. Ayahmu itu teman baik saya. Dulu waktu ayahmu masih kuliah, beliau pernah magang di desa ini. Beliau sudah banyak membantu saya.”

“Pantas rasanya saya juga pernah melihat Bapak,” kata Igo. “Dulu waktu saya masih sepuluh tahun, Papa pernah mengajak saya ke tempat ini. Saya lupa-lupa ingat.”

“Bagaimana kabar ayahmu, Nak? Sudah beberapa tahun beliau tak ke sini.”

“Baik Pak. Papa sekarang buka klinik, sudah setahun berhenti dari rumah sakit.”

“Oh, pantas saya jarang melihatnya lagi di kota. Oya, kalian sedang berlibur?”

“Begitulah, rencananya kami akan berkeliling Indonesia, Pak.”

“Keliling Indonesia? Wah, pasti butuh biaya besar ya?” Pak Asep mengangguk-angguk, kagum dengan kenekatan kami. Saat itu, seorang gadis muncul dari balik tirai, membawa nampan. Kami terdiam sejenak, mata kami terpaku ke arahnya. Aku ingat itu gadis yang kami temui di sawah. Dia tampak anggun dengan memakai baju dan rok panjang merah muda. Aku segera berpaling, beristighfar. Melihat kami, gadis itu menunduk, meletakkan nampan berisi lima cangkir porselen dan sepoci teh di meja. Kulihat dia melirik Igo sejenak sebelum pergi. Tanpa sengaja sikunya menyenggol teko hingga tumpah, membasahi celana Igo.

“Aduh, hapunten Kang, maaf,” katanya buru-buru, berusaha mengelap.

“Nggak apa-apa, bisa kubersihkan sendiri,” Igo menolak sopan.

Punten nya Den,” Pak Asep meminta maaf. Gadis itu membungkuk rendah dan menghilang lagi ke dapur. “Itu putri tunggal saya, mung hiji-hijina. Namanya Putri Nurul Inayah. Sebentar lagi lulus Kedokteran UNPAD, sekarang masih menyusun tugas akhir sambil liburan. Dulu kalian sempat main bareng lho, Nak Igo, saat ayahmu mengajakmu ke sini. Waktu itu Inayah masih sembilan tahun. Nggak ingat ya? Kasihan, dia sudah dewasa dan berpendidikan tapi belum juga dapat jodoh. Sebetulnya sudah banyak pria yang melamar, tapi tidak satupun saya izinkan. Masalahnya Si Euis ini tidak mau.”

Kami mengobrol selama beberapa saat lagi, di antaranya tentang perjalanan kami dan rencana meneruskan S2 di luar negeri. Kemudian, ketika kegelapan di luar mulai tampak pekat, kami mohon diri dan beranjak bangkit. Pak Asep ikut berdiri dan menunjukkan kamar untuk kami.

Tiba-tiba kondisi Igo tampak aneh. Ia memegangi dahinya, mengeluh pusing, berjalan sempoyongan, lalu terhuyung ambruk. Aku dan Nasuti menahan lajunya sebelum jatuh ke lantai. Kami semua panik. Bagaimana mungkin Igo yang sejak pagi bugar-bugar saja tiba-tiba roboh begini. Pak Asep memanggil putrinya dan membimbing kami ke salah satu kamar. Igo masih sadar, tapi kelihatan lemah sekali. Ia tak berhenti gemetar dan matanya terpejam. Dia menurut saja ketika aku memapahnya ke tempat tidur.

“Kamu kenapa?” tanyaku panik.

“Pusing,” keluhnya dalam bisikan. Keringatnya bercucuran tanpa henti, tubuhnya panas. Kami merubunginya di sisi ranjang, menatap cemas.

“Boleh saya memeriksanya?” terdengar suara perempuan. Kami menoleh serentak. Inayah masuk membawa sebuah kotak berisi peralatan medis. Kami kagum dengan sikapnya yang cepat tanggap. Dia membungkuk dan memeriksa Igo dengan ketelatenan seorang dokter. Beberapa titik di dada Igo ditekannya. Igo mengaduh pelan.

“Dilihat dari kondisinya, kemungkinan ia terkena racun ringan,” kata Inayah. “Akang ini makan apa saja hari ini?”

Aku mengingat-ingat kegiatan kami dari pagi hingga sore dan apa saja yang kami santap. “Stroberi, mungkin gara-gara kebanyakan makan stroberi?”

Pak Asep menggeleng-geleng. Ia ingat tadi kami memborong stroberi di kebunnya. “Makanya, stroberi yang dipetik dari kebun harusnya dicuci dulu, jangan langsung dimakan karena mengandung pestisida,” katanya. Aku memegangi perutku, khawatir. Aku juga ikut makan, tapi cuma satu kotak. Igo yang menghabiskan sampai lima kotak terkena imbasnya.

Weureu maneh, keun, mabok kamu,” Harto meledeknya, kemudian berbisik pelan di telingaku, “Sebenarnya aku juga makan banyak sih, di kebunnya pula.”

Bau obat yang kental menyengat hidungku saat Inayah menyuntik lengan Igo, memasukkan antitoksin ke pembuluh darahnya. Setelah dilakukan detoksifikasi untuk membuang racun, Igo juga diberi beberapa kapsul yang harus diminumnya. Sejak dulu aku kagum dengan anak kedokteran yang lihai dalam bertindak cepat dan sanggup bertahan dengan sejuta kesibukan dan buku-buku setebal kamus. Igo mulai tampak tenang. Dengan cepat, Inayah membereskan perlengkapan medisnya. Setelah itu kami tinggalkan Igo sendirian karena dia harus istirahat. Pak Asep menunjukkan kamar untuk kami bertiga. Setelah menaruh ransel, kami pergi mencari kamar kecil.

“Anak kedokteran itu hebat ya?” kata Harto. “Cantik pula.”

“Ya, tak mudah lho jadi dokter,” kataku. “Kau pernah dengar cerita Firdaus, teman kita yang dari fakultas kedokteran itu kan? Pelajaran seabrek, tugas-tugas terstruktur, laporan praktikum, dan praktik-langsung sudah jadi kegiatan wajib setiap hari. Bisa kaubayangkan itu. Kesibukan mereka bahkan melebihi biologi yang katanya fakultas paling sibuk.”

Tanpa sengaja kami lewat di depan kamar tempat Igo terbaring. Kulihat Inayah masih berdiri di samping Igo, membungkuk begitu rendah di atasnya sehingga bisa dikira berciuman. Aku hendak masuk untuk mencegahnya, tapi Harto malah menghalangiku, bilang tenang dulu. Aku kembali mengintip dari celah pintu. Ternyata Inayah hanya membungkuk sambil menyeka keringat di wajah Igo dengan handuk kecil. Perhatian amat, pikirku, padahal baru kenal. Apa semua perawat seperti ini ya? Namun aku kaget sekali saat sayup-sayup mendengarnya berbisik, “Pengen deh punya suami yang pintar mengaji kayak Akang.”

Mendengarnya, aku langsung shock. Aku mengorek telinga barangkali ada yang menyumbat, lalu menajamkan pendengaran sekali lagi. Tapi tak ada yang bicara setelah itu. Tampaknya aku memang salah dengar. Atau tidak?

“Ha, kamu bilang apa?” terdengar suara pelan Igo. Inayah tampak kaget, menjatuhkan handuknya. Menyadari Igo sudah sadar, dia langsung minta maaf terbata-bata, lalu melesat keluar. Di pintu ia melihat kami, malu karena terpergok berduaan di kamar. Dia tampak ragu, kemudian membungkuk dan buru-buru pergi. Sempat kudengar isak tangis saat dia berlari ke kamarnya. Aku saling pandang dengan Harto dan Nasuti. Sebenarnya apa yang terjadi?

“Gimana perasaanmu?” tanyaku, menghampiri Igo.

“Masih pusing,” Igo menjawab pelan, memegangi kepalanya.

“Kemarin buaya, sekarang stroberi,” kata Harto. “Besok lagi apa?”

“Jangan bilang gitu, ah,” kata Nasuti. “Bikin takut saja.”

Pak Asep muncul di sebelah kami, membawa sekeranjang penuh stroberi. “Ini hasil panen dari kebun saya. Tadi siang Inayah sendiri yang memanennya. Silakan dicicipi, jangan takut, sudah dicuci.”

Igo menatap keranjang itu ketakutan. Tampaknya dia kapok makan stroberi lagi. Sejak saat itu Harto terus meledeknya “Si Stroberi”, dan sebaliknya Igo memanggil Harto “Buaya”.

“Udah, nggak boleh ledek-ledekan,” kataku sambil tertawa.

“Oh iya, malam ini di balai desa diadakan pertunjukan wayang golek,” kata Pak Asep, meletakkan keranjang di atas meja. “Kebetulan saya sendiri yang jadi dalangnya. Kalau Adik-adik mau lihat, silakan datang saja ke balai desa.”

“Wah, pasti seru tuh Pak,” kata Nasuti bersemangat.

Kami langsung tergiur. Saat masih kuliah dulu, kami biasa menonton pertunjukan wayang kulit yang diadakan di depan kantor rektorat. Kami terima ajakan Pak Asep. Malam itu kami tinggalkan Igo sendirian. Dia ingin ikut, tapi kami ingatkan bahwa dia harus istirahat. Balai desa dipenuhi sesak oleh warga yang ingin menonton pertunjukan wayang golek. Kami duduk paling depan, menyaksikan kepiawaian Pak Asep memainkan wayang-wayang kayu buatannya sendiri dengan berbagai karakter dan tokoh unik. Cerita yang disuguhkan juga bukan Ramayana atau Mahabarata, tapi tentang kehidupan desa yang tentram dan dibumbui bobodoran lucu. Para pemain angklung dan seruling tak kenal lelah mengawal cerita dengan lantunan musik tradisional. Dua orang sinden bersanggul menyanyi sambil bersimpuh di depan panggung. Kami kagum atas kegigihan mereka mempertahankan budaya tradisional di tengah maraknya trend perkotaan. Karena acara diadakan semalam suntuk, kami tak kuasa menahan kantuk. Kami tak ingat lagi jalan ceritanya karena mata kami mulai meredup. Kami terlelap saat Pak Asep memainkan adegan klimaks. Tahu-tahu, kami dibangunkan Pak Asep saat azan Subuh tiba.

Saat kami pulang dan memeriksa Igo, keadaannya mulai membaik. Dia sudah bisa tertawa lagi, bahkan ikut shalat Subuh berjamaah di masjid dan tilawah lagi. Kami memilih tempat di sudut masjid dan mulai mengaji. Target kami untuk tilawah satu juz tiap hari tak pernah kami lewatkan, meski dalam perjalanan sekalipun. Belum selesai kami menamatkan satu juz, Pak Asep menghampiri kami. Di sebelahnya, Inayah yang berbalut mukena putih mengikuti sambil menunduk malu-malu.

“Saya mau minta tolong sama Nak Igo. Begini, sekarang kan hari Jumat. Kebetulan ustad yang bertugas sebagai khotib sedang berhalangan. Tolong Nak Igo gantikan ya.”

“Lho, kenapa saya?” Igo terkejut tiba-tiba dimintai menjadi khotib.

“Saya perhatikan Nak Igo lancar mengaji, dan saya dengar Nak Igo pernah menjadi anggota Rohis. Tentunya sekadar mengisi ceramah saja tak terlalu sulit. Bagaimana?”

“Jangan saya, Pak. Ilmu saya masih jauh dari cukup untuk jadi khotib.”

“Bagaimana ya? Penduduk kampung ini jarang sekali yang paham agama karena hanya sedikit yang mondok di pesantren. Meski di sini ada pesantren, itu hanya taman baca Al-Qur’an khusus anak-anak. Jadi untuk khotbah di hari Jumat dan hari besar Islam, kami biasa memanggil ustad dari desa sebelah. Jadi, saya meminta Nak Igo untuk menjadi khotib siang ini. Khusus siang ini saja, bagaimana? Nak Igo sanggup?”

“Aduh, mendadak sekali,” Igo tampak berpikir sejenak. Ini pertama kalinya dia disuruh jadi khotib. Untung kami punya pengalaman Rohis, jadi memberikan tausiah ringan bukanlah hal baru baginya. Akhirnya dia mengangguk. “Baiklah, nanti saya siap-siap dulu.”

Kami terpaksa menunda perjalanan karena masalah pribadi Igo. Pagi itu dia terpekur sendirian di kamar, sibuk menyusun naskah khotbah dan melakukan persiapan. Dia tak ingin diganggu. Jika kami mendekat, dia pasti langsung meletakkan telunjuk di depan bibir, menyuruh kami mengecilkan volume.

Siangnya kami berkumpul di masjid desa, setengah jam sebelum shalat Jumat dimulai. Kami membantu Igo berlatih dan melakukan gladi resik. Saat azan berkumandang, kami langsung mengambil tempat di barisan paling depan, shaf pertama. Aku mengamati orang-orang yang berdatangan, tua dan muda berduyun-duyun dan berkumpul di tempat yang sama. Aku sempat risih saat melihat seorang bapak menjulurkan kakinya ke arah rak berisi Al-Qur’an. Bapak itu tampak tenang-tenang saja, padahal perbuatannya itu bisa dianggap penghinaan terhadap kitab suci, dan dalam kitab Sullam Taufiq bahkan digolongkan sebagai maksiat kaki. Hatiku tergerak untuk meluruskannya, karena jika aku diam saja, sama artinya aku mendiamkan maksiat. Aku mendekati bapak itu, dan dengan bahasa yang halus aku menegurnya. Namun bapak itu malah memelototiku, seakan berkata, ”Siapa sih anak kecil ini, berani-beraninya mengajari orang tua sepertiku”. Aku mencoba tersenyum meski bapak itu cemberut. Perasaanku tak enak. Untunglah, sebelum unek-unek di dadaku ini berkembang menjadi jengkel, aku kembali ke posisiku karena khotbah akan segera dimulai.

Igo tampil di mimbar, sekilas merasa grogi menghadapi puluhan jemaah. Dia menelan ludah, perlahan memulai ceramahnya. Tatapannya menyapu seluruh jemaah, dan kata-kata mutiara menyejukkan kalbu mengalir begitu saja dari lisannya. Hasilnya di luar dugaan. Para pendengar terpesona, semua menyimak dengan penuh minat, tak satupun ada jemaah yang mengantuk. Bahkan kami tak menyangka performanya akan sebagus ini, padahal kami selalu bersamanya sejak masuk Rohis dulu. Sepulang dari masjid, Pak Asep menyambut kami.

“Ceramah yang bagus. Sebenarnya saya tidak sepenuhnya jujur saat bilang penduduk desa ini hanya sedikit yang paham agama. Saya sendiri biasanya mendapat giliran jadi khotib. Tapi saya sengaja menyuruh Nak Igo yang memberi khotbah. Saya hanya ingin menguji Nak Igo, dan hasilnya sangat memuaskan. Kalau tidak keberatan, Jumat depan Nak Igo boleh mengisi lagi,” kata Pak Asep seraya menepuk-nepuk bahu Igo.

“Saya juga inginnya begitu, tapi nanti sore kami harus sudah berangkat,” Igo menolak sopan. Dia menghindari tatapan Inayah yang sesekali melirik dari balik bahu ayahnya. Selebihnya gadis itu hanya menunduk saja. Igo juga kaget karena ternyata Pak Asep hanya mengujinya. Ia heran, untuk apa Pak Asep mengujinya?

*****

“Kayaknya Inayah naksir kamu tuh,” Harto berbisik saat kami duduk di sebuah pos ronda, tak begitu jauh di depan rumah Pak Asep. Kami melihat Inayah pulang dari warung membawa belanjaan sayuran. Gadis itu terlihat bersenandung riang, langkahnya ringan dan sesekali melompat-lompat, tanda hatinya sedang senang. Tampak beberapa pemuda yang lewat menggodanya dari pinggir jalan, bersuit-suit sambil membuntuti si kembang desa. Gadis itu tersenyum saja menanggapinya. Sikapnya mirip dengan teman kami Renata, sama-sama pemalu dan baik hati. Hanya saja Inayah ini tipe ceria, sedangkan Rena tipe pemurung.

“Aku kasihan juga padanya,” kata Igo. “Semalaman dia merawatku saat kalian pergi. Dia bercerita tentang kakaknya. Aku sedih sekali waktu mendengar bahwa kakaknya sudah meninggal.” Kemudian dia berkata lebih pelan, “Tapi dia itu lumayan juga ya?”

“Lumayan apanya?” kata Nasuti. “Dia itu cantik banget tahu! Manis dan menawan. Level atas, high grade. Sebelas-dua belas deh sama Manami Oku.”

“Siapa tuh Manami Oku?” selidik Harto.

“Personil AKB 48. Kalau penasaran kayak apa orangnya, cari aja di Eyang Google,” kata Nasuti. “Lihat, Inayah cantik kan? Dia juga sopan dan rendah hati. Padahal biasanya cewek cantik itu jaim, angkuh dan gengsian.”

“Fisiknya juga bagus,” kata Harto. “Langsing, tapi seksi, kayak si Hana.”

“Astaghfirullah... kok malah ngomongin fisik sih?” kataku. “Nggak boleh gitu ah. Istighfar euy, istighfar! Lagian bajunya kan tertutup dan lebar, bagaimana kau bisa tahu?”

"Meski pakaiannya lebar, tetap kelihatan seksinya kok. Tuh lihat, bagian atas kemeja luarnya sampai nggak muat dikancing. Artinya apa coba?”

“Ampun deh!” aku menepuk dahi. “Pikiranmu itu lho, bersihin!”

Harto dan Nasuti malah tertawa melihatku gusar. Aku menghela napas, susah sekali menasehati mereka. Sungguh tak etis membicarakan orang dari belakang. Apalagi dari tadi cewek melulu yang mereka bahas.

“Harto...” aku menatapnya tajam, memperingatkan.

“Ups, sori Kapten,” kata Harto. Menyadari tatapanku, dia langsung memperbaiki sikap, menyikut Nasuti yang masih tertawa, menyuruhnya berhenti.

Sementara itu, Igo menatap datar, mengawasi Inayah berdiri di depan rumahnya. Gadis itu asyik bercermin di kaca jendela sambil merapikan rambut, mengelus pipi, memutar badan ke kiri dan kanan, dan tersenyum-senyum sendiri. Dia melakukannya berulang-ulang dan bertingkah persis foto model. Harto dan Nasuti tak kuat menahan tawa. Inayah menoleh, celingukan, namun tak melihat kami. Setelah gadis kasmaran itu masuk ke rumah dan menutup pintu, aku menanyai Igo.

“Semalam, waktu kau dirawat, kayaknya dia bilang sesuatu tentang suami idaman deh. Apa kau mendengarnya juga?”

Igo tampak ragu. “Aku nggak yakin apa yang kudengar.”

Harto melepas tongkatnya, berjalan tertatih-tatih melatih kakinya sendiri yang mulai pulih. Luka-lukanya mengering. Dia senang bukan kepalang atas kemajuannya yang pesat.

"Kayaknya sih dia memang menyimpan sesuatu,” kata Nasuti. “Dia begitu perhatian padamu, Igo, dan tatapannya juga aneh saat melihatmu, ya kan?”

“Tampaknya ada udang di balik rempeyek,” kata Harto. “Nggak salah lagi, pasti dia naksir kamu. Kalau dia bisa tertarik denganmu cuma dalam waktu singkat—dan kayaknya sih emang begitu—itu cinta pada pandangan pertama namanya.”

“Cinta cinta dengkulmu!” kata Igo jengkel, terdiam sejenak, kemudian berkata gusar, “Apa nggak sebaiknya kita bicarakan saja ke ayahnya?”

Setelah berunding, kami putuskan untuk menanyakan langsung hal ini pada Pak Asep. Saat itu bakda Ashar, kami duduk di ruang tamu dan dengan sangat hati-hati menceritakan kecurigaan kami terhadap sikap ganjil Inayah. Pak Asep mendengarkan sambil sesekali mengangguk. Dia tenang-tenang saja, tak terkejut sama sekali. Rupanya dia malah sudah tahu karena putrinya sendiri yang bilang padanya kemarin malam.

“Begini, Nak, sebetulnya ada yang ingin saya sampaikan sejak kemarin, tapi, aduh, gimana bilangnya ya?” Pak Asep tampak ragu, mencari penyampaian kata yang cocok. “Nah, begini, anak saya bilang ingin punya suami yang pandai mengaji. Dia bilang Nak Igo inilah yang cocok sebagai pendamping hidupnya.”

Rasanya seperti ada batu yang meluncur dalam perutku. Apakah ini persekongkolan ayah dan anak? Di sampingku, Igo tampak pucat dan kehilangan warna kulitnya, tak sanggup berkata apa-apa. Ia mungkin merasa sungkan sekaligus berhutang budi pada Pak Asep, tapi tetap saja ia punya pendirian lain. Akhirnya dia menarik napas dan berkata tenang, “Apa Bapak serius? Saya perlu waktu untuk menjawabnya. Saya tak ingin mengecewakan Bapak, jadi mohon agar saya diberikan waktu untuk berpikir.”

“Coba Nak Igo baca ini,” Pak Asep mengulurkan sebuah buku yang kelihatannya catatan harian. Sampulnya berwarna-warni indah. “Ini buku harian Inayah. Dia menulisnya kemarin. Dia meminta agar saya memperlihatkannya pada kalian.”

Kami berkerumun membacanya. Tulisannya bagus, tak seperti mitos tentang tulisan dokter yang biasanya mirip cacing atau ular. Kami tersenyum sendiri melihat buku itu penuh coretan robot-robotan, seperti anak kecil saja. Inayah benar-benar gadis yang aneh. Di halaman yang ditunjukkan Pak Asep, kami menemukan sesuatu yang menarik. Sebuah puisi. Puisi yang sangat manis.

 

Hari ini, aku menemukan surga di taman stroberi ayahku

Siapakah gerangan pemuda itu, kesatria berkuda putih yang memesonaku?

Namanya berkumandang dalam dadaku, menari-nari

Aku kagum padanya yang menjaga sikap di hadapan lawan jenis

Wajah tampannya selalu tersenyum di pikiranku, berseri-seri

Begitu bersinar, bagaikan salah satu keindahan dunia yang menyapaku

Rupa elok yang membuat hatiku tertawan dalam penjara cinta

Atau suaranya yang indah saat melantunkan ayat-ayat suci

Membuat jantungku berdebar, pikiranku melayang-layang

Jiwaku seolah terbang

 

Aku tahu dia pria yang baik, jauh dari lubuk hatiku

Saat melihatnya, aku teringat seorang kawan lama yang telah pergi

Seakan sudah lama aku mengenalnya

Aku tak sanggup menatap matanya, hanya bisa menatapnya dari jauh

Aku ingin dia memerhatikanku, walau hanya lirikan sekilas

Pantaskah aku memilikinya?

Sakit rasanya jika tak bisa mengungkapkan perasaan ini padanya

Aku ingin jadi miliknya, berdampingan dengannya, menjadikannya imamku

Akan kurelakan apa saja untuknya

Tapi aku hanya wanita biasa yang hina dina

Aku sadar diriku bukan muslimah yang baik, dengan segala kekuranganku

Aku bukanlah Siti Khadjah, Siti Aisyah, atau Fatimah Azzahra

Aku hanya wanita rapuh yang mudah sekali terluka

Andai dia tahu, dan aku ingin dia tahu

Aku tulus mencintainya karena Allah

 

Aku menutupi wajah. Tak selesai aku membacanya. Baru setengah halaman, aku sudah tak sanggup. Aku tak pernah membaca puisi semanis ini sebelumnya. Bulu kudukku berdiri, merinding. Hatiku rasanya seperti dicelupkan dalam air es. Tengkukku rasanya panas, malu bukan main. Wajahku pasti memerah. Harto dan Nasuti saling pandang, nyengir kuda. Igo membeku. Jika bukan Igo yang kukenal, dia pasti sudah berguling-guling di lantai, lalu bercihuy-cihuy riang sambil melompat-lompat, menyulut mercon dan pesta kembang api saking girangnya. Harus kuakui, aku agak iri padanya.

“Igo? Berseri-seri? Apa nggak salah tuh?” Harto menahan tawa.

“Aku iri padamu Igo, iriiii banget,” Nasuti mengguncang lengan Igo.

“Sudah selesai bacanya?” kata Pak Asep. “Anak saya sepertinya menaruh perhatian pada kalian. Dia tertarik dengan kegiatan kalian keliling Indonesia. Dia juga terlihat senang sejak bertemu kalian di perkebunan kemarin. Seseorang yang dimaksud di catatannya ini tentu saja Nak Igo. Bagaimana, Nak Igo mau menerima anak saya?”

“Sekali lagi, saya mohon kepada Bapak agar memberi saya waktu,” kata Igo datar. Harto meliriknya kesal, seolah berkata: bodoh sekali kau ini!

“Nak Igo mau menunggu apa lagi? Putri saya mau, saya juga sudah setuju. Kalau Nak Igo memang mau menerima putri saya, tinggal telepon orangtua Nak Igo saja. Beres kan?”

Igo dengan berat menolaknya. “Jujur saja, maaf Pak, untuk kali ini, saya tidak bisa menerima permintaan Bapak. Terlalu dini untuk menikah. Saya tak mau buru-buru.”

“Lho, menikah kan sesuatu yang baik. Lebih cepat lebih bagus.”

“Apakah Bapak tidak merasa keberatan, menyerahkan putri Bapak begitu saja pada pria yang baru Bapak kenal?” Igo meyakinkannya. “Apa Bapak memercayai saya? Apa Inayah tidak akan menyesal nantinya? Ini demi masa depannya sendiri Pak.”

Pak Asep malah tertawa mendengarnya. “Saya sudah memerhatikan Nak Igo, dan saya yakin kalian ini orang baik-baik. Paham agama pula. Orang seperti Nak Igolah yang saya dambakan sebagai menantu. Sebenarnya banyak pemuda di kampung ini yang melamar, tapi mereka tak ada yang cocok. Lagipula saya kenal baik dengan ayah Nak Igo, jadi saya percaya anaknya pasti sama baiknya dengan beliau. Mungkin permintaan saya ini aneh karena tiba-tiba saja meminta menikahi anak saya. Tapi Inayah sendiri yang mau. Semalam dia meminta saya mengutarakan keinginannya, sebelum kalian pergi dari kota ini.”

Igo menatap kami bergantian, minta pendapat. Kemudian menguatkan diri, tangannya terkepal. “Mohon maaf Pak, bukannya saya tidak mau menerima putri Bapak, tapi saya masih ingin meneruskan kuliah ke S2. Mungkin nanti kalau sudah mapan baru saya terima. Tapi tidak sekarang,” dia menolak tegas, kali ini dengan nada final.

Kami mengira Pak Asep akan marah karena anak gadisnya ditolak, tapi kenyataannya berbeda. “Baiklah, saya tidak memaksa, keputusan ada di tangan Nak Igo. Maaf karena sudah merepotkan. Apa yang dikatakan Nak Igo memang ada benarnya,” ujarnya tenang, meski aku bisa menangkap luapan kekecewaan darinya.

Aku melihat gerakan sekilas di balik tirai pintu, lalu terdengar langkah ringan menjauh. Agaknya Inayah ikut mendengarkan sejak tadi. Aku setengah berharap mendengar bunyi gelas pecah, atau pintu dibanting, atau tangis kekecewaan Inayah, namun ternyata tak terjadi apa-apa. Pak Asep juga hanya menunduk, memungut koran di meja dan pura-pura membaca, meski pikirannya bukan ke situ. Suasana ini sungguh tak enak.

Kami mohon diri, lalu berjalan gontai ke kamar untuk mengemasi barang. Sore itu kami memutuskan segera berangkat. Kami khawatir Pak Asep akan mendesak kami lebih jauh. Kami juga takut dituduh melakukan perbuatan yang tidak-tidak jika terus berada di sini.

*****

“Dasar bebegig, engkang-engkang, budak semprul!” Harto tak hentinya mengomeli Igo. “Dikasih enak nggak mau, dasar aneh kau ini. Borokokok siah!

"Bebegig itu apaan dah?" Igo kebingungan. "Ngomong apa sih? Nggak ngerti.”

“Habis nyebelin banget nih Si Stroberi. Ada yang ngajak nikah malah ditolak,” Harto menggerutu sendiri. Igo diam saja mendengarnya. Tampaknya dia tak mau ambil pusing. Rasanya ada-ada saja peristiwa aneh yang menghalangi perjalanan kami. Igo mondar-mandir di kamar, gelisah, sesekali melongok ke jendela, lalu mengeluarkan ponsel dan menelepon papanya. Tak lama kemudian dia berseru kesal dan membanting ponselnya ke kasur.

“Ah, dasar! Papa malah tertawa mendengar keluhanku. Rupanya beliau sudah tahu dari awal dan berencana mencomblangkanku dengan Inayah, makanya Papa menyuruh kita ke sini. Dia bilang agar aku melihat sendiri calon istriku. Ah, dasar, agaknya Papa sudah lama merencanakan pernikahanku. Kalian tahu nggak? Ternyata Inayah pernah magang di rumah sakit tempat papaku bekerja. Papaku yang jadi mentornya. Kalian ingat tentang mahasiswi magang ceroboh yang kemarin diceritakan Papa? Nah ternyata itu Inayah.”

Aku dan Harto saling pandang. Harto membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, tapi tak jadi. Igo kembali menyibukkan diri dengan mengemas barangnya, dengan jengkel melempar sikat gigi dan odol ke ransel.

“Nasuti lama banget beli minumnya,” kata Harto. “Di sini warung jauh ya?”

Aku melongok ke luar pintu. Ruang tamu sepi. Pak Asep pergi entah ke mana. Inayah juga tak ada. Kami bekerja dalam diam, hanya terdengar bunyi tarikan resleting dan suara gedebuk saat baju dan sarung dimasukkan ke ransel. Saat kami hampir selesai, tiba-tiba Nasuti berlari masuk sambil terengah dan menarik-narik tanganku.

“Teman-teman, gawat! Cepetan sini, ikut aku!”

“Ada apa?” tanyaku kebingungan. Kami semua berdiri.

“Ikut saja,” katanya singkat. Kami bergegas mengikutinya. Dia membawa kami ke arah kebun teh, melewati jalan setapak berkelok-kelok, dan baru berhenti saat tiba di dekat lapangan bola. Kami heran melihat banyak sekali warga berkerumun di sekitar menara seluler. Semua memandang ke atas, beberapa menunjuk-nunjuk sambil berbisik.

“Ada apa, Pak?” tanyaku pada seorang warga.

“Itu, anak gadisnya Pak RT nekat memanjat tower, katanya gara-gara putus cinta.”

Kami terkejut bukan main mendengarnya. Igo terperanjat seperti disambar petir. Aku mendongak, dan melihat dengan kepala sendiri peristiwa heboh yang biasanya hanya kulihat di televisi. Di atas sana, tampak Inayah bertengger di atas menara, lengannya melingkar memeluk lempengan baja. Adegan yang berbahaya sekali. Tak ada yang menyangka anak lembut dan kalem seperti dia bisa berbuat tak masuk akal begini. Para penduduk tak hentinya meneriaki Inayah agar segera turun. Di situ juga ada Pak Asep, pasti malunya bukan main akibat kelakuan putri semata wayangnya. Ia memohon lewat pengeras suara berkali-kali, namun ucapan apapun yang dikeluarkannya tak berhasil melunakkan hati Inayah untuk segera turun. Situasi semakin menegangkan saat polisi setempat berdatangan. Namun mereka tak berani memanjat karena Inayah mengancam akan terjun jika ada siapapun yang berani mendekat. Kami ngeri membayangkan Inayah terjatuh dari ketinggian seperti itu.

“Duh, Gusti Nu Agung, kumaha ieu teh?” Pak Asep meratap.

“Aduh, kok sampai segitunya,” kataku. “Bisa jadi bidadari jatuh dari langit tuh. Itu bukan kamu yang menghasut kan, Nasuti?”

“Ya bukan lah,” kata Nasuti, mendongak menatap tower. “Untung dia pakai celana panjang. Kalau pakai rok...”

“Hei, Stroberi, tangung jawab dong!” Harto menyenggol Igo. “Ini semua gara-gara kau. Cepat suruh dia turun! Cuma kau yang bisa membujuknya!”

“Iya, cepat sana tolongin Tuan Putri!” kata Nasuti, berdeham, lalu sikapnya jadi serius. “Apa perlu saya siapkan kuda putihnya, Yang Mulia Pangeran?”

“Lho, kok aku?” Igo menatap mereka, tak terima dituduh sana-sini padahal dia tak salah apa-apa. Kami semua mendesaknya. Pak Asep sampai memohon padanya, membuat Igo berkeringat dingin. Akhirnya dia mengalah. “Iya iya, aku akan bujuk dia. Tapi jangan terlalu berharap padaku, ya!”

Igo menyingsingkan lengan baju, memanjat ke atas, menambah ketinggian semeter demi semeter. Inayah memerhatikan pemuda itu memanjat. Gadis itu tak menunjukkan penolakan, karena dia diam saja dan tidak melompat sesuai ancamannya. Igo memanjat dengan cepat, persis petugas PLN yang baru naik gaji, hingga tak lama kemudian dia sampai di puncak menara tempat Inayah bertengger. Kulihat mereka berbicara, entah apa yang mereka katakan tak terdengar dari bawah sini. Kami mengawasi dengan tegang, Pak Asep tak hentinya menyeka keringat, komat-kamit berdoa dengan wajah pucat.

Akhirnya, setelah beberapa gelengan dan anggukan, Inayah berhasil dibujuk turun. Igo tak kesulitan membantunya turun karena di luar dugaan Inayah sangat gesit menapaki jalinan baja yang menyusun menara. Bisa kuduga dulunya gadis ini senang memanjat pohon. Saat tiba di tanah, Igo disambut bak pahlawan oleh warga. Sorakan dan tepuk tangan riuh mengepung kami. Tak terhitung tangan-tangan menjamah Igo, mengusap kepala dan mengacak rambutnya. Pak Asep memeluk Inayah, kemudian menghampiri Igo dan berkali-kali menepuk bahunya sambil tersenyum lebar. Setelah situasi tampak aman, semua penonton bubar termasuk para polisi, Igo berbisik di telinga Pak Asep.

“Saya mau tanya Pak, apa ini pertama kalinya Inayah bersikap begitu?”

Pak Asep mengernyit, menggeleng. “Dia anak baik. Sebelumnya dia tak pernah berbuat yang aneh-aneh. Saya sendiri kaget saat ada warga yang memanggil saya tadi.”

Pemahaman melintas di wajah Igo.

“Sepertinya, Inayah harus diruqyah,” katanya.

“Ruqyah?” Pak Asep kebingungan. Istilah itu seperti asing baginya.

“Betul, Pak. Mohon maaf, menurut pengalaman saya sebagai praktisi ruqyah, mungkin ada jin dalam tubuhnya yang menyuruhnya berbuat begitu. Ini gejala yang umum ditemukan pada orang yang emosinya labil. Kalau boleh, saya ingin melakukan sesuatu untuk mengusir jin itu. Inayah harus diruqyah, kalau bisa di rumah saja agar tak dilihat orang banyak.”

Pak Asep langsung setuju tanpa bertanya. Tampaknya dia memercayai Igo sepenuhnya. Kami langsung membawa Inayah ke rumah. Tanpa mengundang siapapun, ruqyah segera diadakan. Karena pasien kali ini lawan jenis, metode ruqyah yang digunakan tidak dengan sentuhan, tapi metode tunjuk. Meski begitu, untuk berjaga-jaga jika Inayah berontak, Igo memakai sarung tangan untuk menghindari sentuhan kulit dengan bukan muhrim. Begitu juga dengan kami. Inayah disuruhnya berdiri dan memejamkan mata. Igo membacakan Al-Qur’an sambil menunjuk titik tertentu di tubuh Inayah seperti pelipis, leher dan ketiak, daerah yang disukai jin sebagai sarang. Sementara itu Pak Asep berjaga di belakang Inayah, menahan saat gadis itu kehilangan kesadaran dan terjatuh. Tubuhnya mulai menggelepar, artinya langkah awal sudah berhasil. Jin di tubuhnya mulai kesakitan.

“Siapa kau? Berani sekali menggangguku,” terdengar suara dari mulut Inayah, suara serak yang bukan miliknya. Pak Asep terkejut mendengar putrinya berkata begitu, tapi kami tenang-tenang saja. Kami sering melihat Igo meruqyah orang, yakin dia pasti berhasil. Pak Asep masih melongo tak percaya. Pasti ini pertama kalinya dia melihat orang diruqyah secara langsung di depan matanya—biasanya hanya melihat di TV. Igo meneruskan membaca Al-Qur’an. Tanpa diduga, jin itu mengikuti bacaannya. Saat Igo membaca surat Al-Jinn, Inayah juga membaca surat Al-Jinn. Tampaknya jin ini hafal dan fasih membaca Al-Qur’an.

“Jin ini sering menempel dengan Inayah, makanya bisa hafal Al-Qur’an,” kata Igo. “Pasti jin ini ikut mendengarkan saat Inayah sedang mengaji. Jangan terkecoh.”

Igo membiarkan jin itu mengaji hingga beberapa ayat, kemudian perlahan jin itu mulai berhenti membaca. Kami tahu jin ini akan kepanasan jika meneruskan ke ayat berikutnya.

“Ayo teruskan, kenapa berhenti?” Igo mendesaknya. Jin itu tak berkutik. “Kamu jin muslim atau bukan? Kalau kau muslim, bertobatlah! Ayo keluar dari tubuh gadis ini!” Igo kembali menunjuk Inayah, yang langsung menjerit. Igo menoleh pada kami. “Dipukul sedikit saja akan terasa menyakitkan bagi si jin. Makanya kita harus bersikap lembut saat meruqyah, jangan sekali-sekali memukul apalagi membanting pasien,” dia menjelaskan. Pak Asep mengangguk-angguk saja, memegangi Inayah erat saat dia memberontak, berusaha mencakar kami. Igo membaca ayat-ayat suci lagi, dan jin itu menggeliat-geliat seakan merasa terbakar.

“Ampun! Ampuni aku! Aku hanya menumpang!” jerit Inayah. “Anak ini memang suka sekali padamu, Tuan Peruqyah, makanya kubantu dia!”

“Keluar!” Igo membentaknya, tak memedulikan kata-kata barusan.

“Aku hanya membantu keinginannya! Aku pancing agar kalian terjerumus, agar kalian berpacaran! Kau juga suka anak ini kan? Banyak pemuda lain yang berusaha merayunya. Kenapa kau tidak? Apa harus kulepas semuanya dulu agar kau tertarik?”

"KELUAR!"

Igo melancarkan serangan pamungkas dengan menunjuk lehernya, titik lemah terakhir. Inayah menjerit dan gemetar lebih hebat dari sebelumnya. Pak Asep memegangi tangan dan kakinya saat tubuh gadis itu berkelejat, lalu lemas. Akhirnya jin itu berhasil dikeluarkan.

“Siapkan kantong plastik!” perintah Igo. Nasuti menyorongkan ke tangannya. Kawanku yang sering mabuk kendaraan ini memang selalu menyiapkan kantong plastik di saku celananya. Igo menerimanya dan menyuruh Inayah membungkuk. Pak Asep menekap mulut dengan ngeri melihat putrinya muntah darah. Inayah mulai tenang walau matanya masih terpejam. Ketika Igo menepuk bahunya, Inayah perlahan membuka mata. Ia tampak heran sekaligus malu dilihat banyak orang. Reaksinya persis orang yang tersadar dari hipnotis.

“Muntah darah adalah hal yang biasa terjadi jika jin keluar dari tubuh seseorang,” Igo menjelaskan. “Jangan khawatir, biasanya cuma beberapa tetes,” dia menambahkan, melihat raut wajah Pak Asep. Kemudian dia menanyai Inayah. “Kamu sadar apa yang kamu katakan barusan?”

Inayah menggeleng, kebingungan. Igo bertanya lagi, “Aku yakin kamu dalam kondisi setengah sadar saat memanjat tower. Kenapa kamu lakukan itu?”

Inayah menatapnya nanar, lalu menunduk sedih. Tiba-tiba air matanya merebak. “Sebenarnya saya sendiri tak tahu kenapa saya memanjat tower. Itu bukan keinginan saya. Rasanya ada seseorang yang membisiki saya agar melakukan hal-hal aneh.” Dia menatap Igo, takut-takut. “Saat melihat Kang Igo, saya selalu teringat Kang Langit, kakak saya. Saat masih kecil dulu, Kang Langit selalu membela saat saya dijahili teman sekelas. Saya selalu senang saat Kang Langit memuji-muji rambut panjang saya yang katanya indah. Pernah suatu ketika ada teman saya yang berniat jahil memotong rambut saya. Untung saja Kang Langit datang dan memarahi anak itu. Saya sangat menyayangi Kang Langit. Bagi saya, dia adalah sosok pengganti ibu yang sudah meninggal sejak saya lahir. Dia pria terbaik yang saya kenal selain Bapak. Hanya saja, saat saya masuk SMA, Kang Langit meninggal akibat kecelakaan.

“Hari itu saya bertengkar dengannya karena masalah sepele. Saya sangat menyesal. Saya tak pernah menyangka jika saat itu adalah terakhir kali saya melihatnya. Jepit rambut yang saya pakai ini adalah pemberian terakhirnya sebelum pergi. Saya merindukan sosok kakak yang selalu ada di sisi saya dan melindungi saya. Saya melihat sosok pelindung itu ada dalam diri Kang Igo. Sejak pertama kali melihat Kang Igo, hati saya selalu bergetar rasanya. Maaf, mungkin saya terdengar lancang. Saya tahu saya tak berhak berpikir berlebihan dengan mengharap cinta Kang Igo. Saya bukan siapa-siapa, dan kita bahkan baru saling kenal kemarin. Saya rasa saya memang terlalu nekat dan percaya diri dengan tindakan tadi siang. Saya pikir dengan memperlihatkan buku harian pada kalian, saya akan puas. Saya memang terlalu banyak berharap. Saya sangat malu dan menyesal. Maafkan saya sudah merepotkan.”

Inayah menunduk dan menutupi wajahnya, terisak-isak. Kami terkesiap mendengarnya, terharu. Harto terpana dan berkaca-kaca. Igo yang sudah mendengar kisah ini sebelumnya hanya bersedekap dan menunduk. Pak Asep berdiri membelakangi kami, menyembunyikan isakannya. Dia mengambil pigura kecil di lemari, memperlihatkannya pada kami.

“Ini foto Langit, anak sulung saya,” kata pak Asep, suaranya bergetar. “Memang sedikit mirip Nak Igo dari gaya rambut dan cara berpakaiannya. Jika melihat Nak Igo, saya teringat Langit saat remaja dulu. Makanya saya menganggap Nak Igo seperti anak saya sendiri.”

Pak Asep mengelus bahu putrinya, yang masih menutupi wajah.

“Sejak kakaknya meninggal, saya jarang sekali melihatnya tersenyum. Sikapnya jadi murung dan sering sekali melamun. Dia seperti kehilangan semangat hidup, tak tega saya melihatnya terus seperti itu. Biasanya dia hanya berpura-pura tegar dan memaksakan senyum, karena saya tahu hati kecilnya masih merasakan kehilangan mendalam. Dia tetap seperti itu hingga duduk di bangku kuliah. Lalu akhirnya, saya melihat dia bisa tersenyum lebar, begitu ceria tanpa dibuat-buat, saat pulang dari ladang kemarin. Saya tak tahu keajaiban apa yang terjadi padanya, hingga Inayah merceritakannya sendiri, dengan antusias dan wajah berseri-seri, bahwa dia bertemu beberapa pemuda yang menarik, yaitu kalian. Ya, kalianlah yang membuatnya ceria dan mengembalikan semangatnya yang telah lama hilang. Terutama Nak Igo, orang yang paling menyentuh hatinya, pria pertama yang membuatnya jatuh hati.”

Kulihat Igo mengepalkan tinju, sikapnya tak lagi tenang. Dahinya mengerut, seakan berpikir keras. Napasnya naik turun tak karuan. Aku tahu dia orangnya tak tegaan, apalagi pada seorang gadis. Dia tak akan tega membiarkan cinta Inayah bertepuk sebelah tangan. Dia pasti merasa kasihan dan luluh hatinya. Akhirnya dia menghela napas panjang.

“Aku berubah pikiran,” katanya. “Baiklah, akan kuterima permintaanmu.”

Inayah mendongak menatapnya, matanya berbinar bahagia seperti kejatuhan bintang, dan dia tersenyum seperti orang kampung disalami presiden. Perlahan, Igo balas tersenyum. Jarang sekali kulihat dia tersenyum seperti itu, biasanya hanya cemberut. Aku senang akhirnya dia membuka perasaannya. Pertemuan dengan Inayah mengubahnya menjadi lebih ramah. Aku sempat khawatir jin yang tadi mengganggu Inayah justru berpindah merasuki Igo. Akhirnya saat itu tiba, dan aku merasa beruntung sekali menyaksikan janji setia yang diungkapkan sahabatku, untuk pertama kalinya.

“Pak, bolehkah saya melamar putri Bapak?” ucapnya mantap.

“Dengan senang hati Nak, dengan senang hati. Tapi alangkah lebih baik jika Nak Igo datang bersama keluarga besar, supaya suasananya lebih khidmat.”

“Iya Pak, saya mengerti. Untuk saat ini mohon izinkan saya pamit dulu. Masih ada perjalanan jauh yang harus saya tempuh bersama teman-teman. Setelah itu, saya berjanji akan pulang ke tempat ini dan meminang putri Bapak. Saya janji akan membuatnya bahagia, Pak. Saya akan menjaganya dengan segenap jiwa, dan saya berjanji tidak akan membuatnya meneteskan air mata walau setetes pun. Saya akan berada di sampingnya hingga akhir hayat, percayalah pada saya, Pak.”

Kami membeku selama beberapa saat, terpaku. Kemudian momen itu pecah saat Igo bangkit dan melangkah ke kamar. Kami mengikutinya, mengambil ransel dan berpamitan. Pak Asep membuka mulut, tampaknya hendak mencegah kami lagi, tapi kami harus berpisah meski tak ingin. Sudah waktunya berangkat. Inayah dan Pak Asep berdiri di pintu, melepas kami dengan berat hati. Sebelum pergi, Igo berbalik.

“Setelah perjalananku selesai, aku akan kembali dan menikahimu, aku janji.”

Inayah menatapnya lurus. Kupikir gadis itu memang benar-benar membutuhkan Igo. Kami melangkah ke jalan. Seperti biasa, Nasuti dan Igo naik Harley sementara aku dan Harto naik ojek. Pak Asep dan Inayah masih melambai. Kami menoleh menatap mereka. Motor menderu-deru meninggalkan rumah. Kami terus melambai hingga rumah mereka tak terlihat lagi. Aku menatap ke depan, terharu. Di perbatasan desa, kami minta berhenti sejenak di tepi jalan, memandang daratan hijau Bandung untuk terakhir kali sebelum pergi.

“Kamu nggak menyesal?” tanyaku, menepuk bahu Igo.

Igo menatap langit, bernapas dalam untuk menguatkan diri, lalu menggeleng. Aku mengusap punggungnya. Aku tahu Igo akan merindukan mereka. Kami kembali menaiki motor, menuju terminal angkot yang mulai sepi.

*****

Satu jam lebih kami menunggu di terminal, karena angkutan umum sudah jarang beroperasi di sore hari. Tampaknya Igo lebih banyak diam, duduk termenung di motornya saat kami menunggu angkot. Matahari hampir terbenam saat angkot kloter terakhir datang. Aku, Harto dan Nasuti segera naik, tapi urung karena sesuatu terjadi. Igo sedang bersiap menyalakan motornya saat ada yang berteriak memanggil kami. Di pintu terminal, tampak Pak Asep menyusul kami dengan motor bebeknya. Di belakangnya Inayah duduk menyamping, rambut panjangnya melambai terkena angin.

“Tunggu, Adik-adik,” Pak Asep terengah, menghentikan motornya di sebelah angkot. Inayah meloncat turun tanpa diminta. Kulihat gadis itu menggendong ransel yang tampaknya berat sekali. Belum lagi sebuah koper besar di motor Pak Asep. “Putri saya... dia ingin ikut kalian... boleh?”

Kami melongo, tak bisa berkata apa-apa lagi. Terkejut, tentu saja. Aku tak habis pikir, makin aneh saja permintaannya. Aku curiga jangan-jangan jin yang tadi diusir Igo masih belum hilang, atau malah kembali lagi dan Pak Asep ikut ketularan.

“Tapi—” Igo memulai.

Pak Asep langsung menukas, “Tolonglah, kasihan putri saya. Seumur hidupnya, Inayah jarang sekali ke luar kota. Jalan-jalan keliling Indonesia adalah impiannya sejak kecil. Tolong ajak dia bersama kalian. Saya ingin anak saya bahagia, itu saja.”

Igo menatap Pak Asep, melihat sosok ayah yang baik dan rela melakukan apa saja demi kemauan anaknya. Sangat mirip Dokter Isnain. Lalu Igo menghadap Inayah, tanpa menatap wajahnya. “Kamu yakin mau ikut? Perjalanan ini akan berat dan melelahkan.”

Inayah mengangguk bersemangat, tersenyum. Tanpa ragu dia menjawab, “Mau sekali, Kang. Ke manapun Kang Igo pergi, aku pasti ikut.”

Matahari perlahan mulai menukik rendah di ujung barat. Cahayanya yang kemerahan menerpa sosok Igo dan Inayah, menimbulkan bayang-bayang panjang mereka berdua di tanah. Pasangan yang serasi menurutku, meski yang satu murah senyum dan satu lagi tukang cemberut. Igo menunduk di hadapan gadis itu, mencari kesungguhan hatinya.

“Jangan khawatir, dia tak akan merepotkan,” kata Pak Asep, mengelus bahu putrinya. “Saya sudah memberinya banyak bekal untuk perjalanan. Jika kurang boleh ambil di ATM. Selain itu, daya tahannya melebihi perempuan biasa karena sering naik turun bukit. Dia juga pandai memasak, jadi bisa sedikit membantu kalian.”

Inayah menyalami ayahnya sebelum pergi, terisak-isak, lalu memeluknya erat, lama sekali. Kami penasaran berapa banyak uang yang dibawanya, mengingat dia adalah putri juragan stroberi paling kaya di kampungnya.

“Jaga dia ya,” pesan Pak Asep. “Saya titipkan Inayah pada kalian.”

Igo mengangguk. Dia sangat beruntung, baru sebentar pergi dari rumah, ia langsung mendapat jodoh dengan cara yang unik. Skenario Tuhan memang tak pernah bisa ditebak. Aku juga senang karena mendapat anggota baru di perjalanan ini. Dengan penampilannya yang menarik, kurasa Inayah cocok jadi host video dokumenter kami, bergantian denganku yang mulai bosan nampang terus di kamera, persis pemandu wisata.

“Sebentar, saya harus minta izin Papa dulu,” Igo merogoh saku dan mengeluarkan HP, menelepon ayahnya. Setelah berbicara singkat, raut wajahnya berubah kaget. Igo mengobrol sebentar, lalu mengantongi ponselnya dan menggerutu jengkel. Ia berbisik pada kami agar tak didengar Pak Asep, “Ah, dasar Papa, nggak bilang-bilang dulu. Katanya Papa dan rombongan keluarga sedang dalam perjalanan kemari, sebentar lagi sampai. Rupanya Papa memutuskan agar aku dinikahkan malam ini juga. Mereka bahkan sudah menyiapkan mahar dan serah-serahan. Pasti sudah lama Papa merencanakan ini. Pantas saja tadi siang Papa bilang supaya kita tidak ke mana-mana dulu. Kabar baiknya, setelah akad, tak masalah jika kita meneruskan perjalanan, hitung-hitung bulan madu. Aku malah disuruh membonceng Inayah. Biar so sweet katanya, hadeuh.”

“Itu keputusan yang tepat,” kataku senang. “Lebih baik kau segera menikahinya jika ingin mengajaknya pergi. Seorang wanita harus bersama pendamping muhrim jika ingin bepergian. Setelah kau menikah dengannya pun, dia boleh ikut, tapi ada batas yang tak boleh dilanggar. Dia tak boleh terlalu dekat dengan kami. Bahkan cubit-cubitan juga nggak boleh, walau cuma bercanda. Banyak orang menganggap itu hal biasa. Tahu nggak, suatu kesalahan yang dilakukan berulang-ulang, atau dilakukan orang secara umum, lama kelamaan akan jadi sesuatu yang biasa dan dianggap benar. Itu ikhtilat namanya, berbaur antara laki-laki dan perempuan, dan pernikahan adalah jalan keluar terbaik.”

“Aku setuju denganmu,” kata Harto. “Kupikir kehadiran Inayah di antara kita agak meresahkan. Dia anak baik, dan nggak sewajarnya anak gadis ikut berbaur dalam perjalanan empat orang pemuda.”

“Bener tuh,” kata Nasuti. “Kalau Inayah ikut, jadikan dulu dia istrimu, Igo.”

“Ya, aku ngerti,” kata Igo. “Aku paham betul, Inayah mudah sekali akrab dan tak risih dengan kita. Namun gadis itu sangat polos, beda dengan Hana yang terbiasa menghadapi teman laki-laki. Jadi dia masih sangat rentan terhadap pengaruh negatif pacaran. Aku takkan membiarkan itu terjadi padanya.”

“Jadi, keberangkatan kita ditunda lagi nih?” tanya Nasuti.

“Ya,” kata Igo. “Tapi aku janji, selesai akad nanti kita langsung berangkat, oke?”

Kami memberitahu Pak Asep tentang rencana itu. Tak terkira betapa gembiranya pria itu mendengar rombongan keluarga Igo hendak datang melamar. Ia memeluk Igo erat-erat, lalu merangkul kami satu per satu, tak bisa berhenti tersenyum. Kegembiraan itu menular pada kami. Dengan menumpang ojek, kami kembali ke rumah Pak Asep setelah sebelumnya minta maaf ke sopir angkot karena tak jadi naik.

“Hei, Lutfi, tadi kau lihat Igo senyum nggak?” Harto menyeletuk. “Sayang aku lupa memotretnya. Menurutku senyumnya nggak meyakinkan, persis drakula ompong.”

“Hei, aku dengar itu!” gerutu Igo. “Awas, nggak bakal kuundang nanti!”

“Udah udah, jangan marah melulu. Takutnya entar Pak Asep berubah pikiran. Bisa-bisa kamu batal kawin!” Nasuti terpingkal.

Aku tertawa melihat tingkah mereka. Ah, kisah cinta teman-temanku memang luar biasa. Igo sangat beruntung dengan kisahnya yang begitu indah, hingga memancing keluar sisi romatisnya. Harto juga sudah melamar Renata dan mendapat sambutan baik. Begitu pula Nasuti, meskipun kisah romansanya tidak jelas, tapi setidaknya sudah ada calon yang cocok baginya. Sedangkan aku? Aku merasa agak iri pada teman-temanku, karena hanya aku yang masih jomblo dan belum mengalami indahnya cinta. Di manakah bagianku?

*****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • radenbumerang

    Iya juga yah, satu bab aja sepanjang ini... makasih masukannya Mas AlifAliss, mungkin ke depannya saya bagi per bab aja biar lebih pendek.

  • AlifAliss

    Wahh menarik banget, tapi panjang gila capek bacanyaaaa :D :D :D

Similar Tags
Distaste
5251      1264     5     
Romance
Menjadi bagian dari BEST di SMA Angkasa nyatanya tak seindah bayangan Stella. Apalagi semenjak hadirnya ketua baru, Ghazi. Cowok yang membuat Stella dikucilkan semua temannya dan selalu serba salah. Cowok humoris yang berubah menjadi badboy hanya kepada Stella. Keduanya menyimpan kebencian masing-masing di hati mereka. Dendam yang diam-diam menjelma menjadi sebuah rasa tatkala ego menutupi ked...
Premium
The Secret Of Bond (Complete)
6413      1468     1     
Romance
Hati kami saling terikat satu sama lain meskipun tak pernah saling mengucap cinta Kami juga tak pernah berharap bahwa hubungan ini akan berhasil Kami tak ingin menyakiti siapapun Entah itu keluarga kami ataukah orang-orang lain yang menyayangi kami Bagi kami sudah cukup untuk dapat melihat satu sama lain Sudah cukup untuk bisa saling berbagi kesedihan dan kebahagiaan Dan sudah cukup pul...
Manusia
2046      887     5     
Romance
Manu bagaikan martabak super spesial, tampan,tinggi, putih, menawan, pintar, dan point yang paling penting adalah kaya. Manu adalah seorang penakluk hati perempuan, ia adalah seorang player. tak ada perempuan yang tak luluh dengan sikap nya yang manis, rupa yang menawan, terutama pada dompetnya yang teramat tebal. Konon berbagai macam perempuan telah di taklukan olehnya. Namun hubungannya tak ...
Annyeong Jimin
29669      3945     27     
Fan Fiction
Aku menyukaimu Jimin, bukan Jungkook... Bisakah kita bersama... Bisakah kau tinggal lebih lama... Bagaimana nanti jika kau pergi? Jimin...Pikirkan aku. cerita tentang rahasia cinta dan rahasia kehidupan seorang Jimin Annyeong Jimin and Good Bye Jimin
SarangHaerang
2224      902     9     
Romance
(Sudah Terbit, sebentar lagi ada di toko buku dekat rumahmu) Kecelakaan yang menimpa saudara kembarnya membuat Hae-rang harus menyamar menjadi cewek. Awalnya dia hanya ingin memastikan Sa-rang menerima beasiswanya, akan tetapi buku harian milik Sa-rang serta teror bunga yang terjadi memberikan petunjuk lain kalau apa yang menimpa adiknya bukan kecelakaan. Kecurigaan mengarah pada Da-ra. Berb...
Renata Keyla
6752      1565     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE)
16514      2050     4     
Romance
Mala dan Malto dua anak remaja yang selalu memperdebatkan segala hal, Hingga akhirnya Valdi kekasih Mala mengetahui sesuatu di balik semua cerita Mala tentang Malto. Gadis itu mengerti bahwa yang ia cintai sebenarnya adalah Malto. Namun kahadiran Syifa teman masa kecil malto memperkeruh semuanya. Kapur biru dan langit sore yang indah akan membuat kisah cinta Mala dan Malto semakin berwarna. Namu...
As You Wish
399      282     1     
Romance
Bukan kisah yang bagus untuk dikisahkan, tapi mungkin akan ada sedikit pelajaran yang bisa diambil. Kisah indah tentang cacatnya perasaan yang biasa kita sebut dengan istilah Cinta. Berawal dari pertemuan setelah 5 tahun berpisah, 4 insan yang mengasihi satu sama lain terlibat dalam cinta kotak. Mereka dipertemukan di SMK Havens dalam lomba drama teater bertajuk Romeo dan Juliet Reborn. Karena...
always
1197      654     6     
Romance
seorang kekasih yang harus terpisah oleh sebuah cita-cita yang berbeda,menjalani sebuah hubungan dengan rasa sakit bukan,,,bukan karena saling menyakiti dengan sengaja,bahkan rasa sakit itu akan membebani salah satunya,,,meski begitu mereka akan berada kembali pada tempat yang sama,,,hati,,,perasaan,,dan cinta,,meski hanya sebuah senyuman,,namun itu semua membuat sesuatu hal yang selalu ada dalam...
KAFE IN LOVE
1625      960     1     
Romance
Ini adalah cerita mengenai Aura dan segudang konfliknya bersama sahabatnya Sri. Menceritakan Kisah dan polemik masa-masa remajanya yang dia sendiri sulit mengerti. belum lagi, kronik tentang datangnya cinta yang tidak ia duga-duga. Lalu bagaimanakah Aura menyelesaikan konflik-konflik ini? Dan bagaimanakah akhir kisah dari cinta yang tak diduga?