Read More >>"> Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa (Bab 3. Ekspedisi Khatulistiwa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
MENU
About Us  

BAB 3. EKSPEDISI KHATULISTIWA DAN KISAH LUKISAN BIRU

 

HARI KE-1, BANDA ACEH

Aku tak bisa berhenti menatap ke luar jendela. Awan-awan putih terhampar menutupi pandangan, kota ataupun laut di bawah jadi tak terlihat. Di sebelahku, Harto asyik main PSP, sesekali terdengar gumaman tak jelas tentang game over. Di bangku belakang, Igo terlelap dengan kepala tertunduk ke punggung kursi, sementara Nasuti membenamkan wajah ke dalam kantong plastik keempatnya. Kasihan, tampaknya dia terserang mabuk perjalanan sejak awal keberangkatan, dan sekarang sedang mencapai puncaknya. Yang lain asyik mengobrol di belakang sambil sesekali diselingi tawa ringan.

“Kau bawa apa aja? Kayaknya enteng banget,” kutanyai Harto.

Harto mengantongi PSP, menarik ransel kecilnya dan memperlihatkan isinya. Kulihat dia membawa lima set pakaian ganti, sikat gigi, kamera DSLR beserta dua lensa, handycam dan laptop. Ternyata banyak juga bawaannya, dan itu belum dihitung isi tas carrier-nya yang disimpan di bagasi. Aku sendiri membawa beberapa pakaian ganti, perlengkapan mandi, buku-buku, kotak obat, ditambah tenda dan peralatan kemping di koper. Rencananya kami akan memulai perjalanan dari ujung barat Indonesia, lalu mengambil jalur ke timur melintasi garis khatulistiwa, singgah di beberapa kota, dan terus bergerak ke timur hingga Papua. Karena itu kami sepakat menamai perjalanan ini Ekspedisi Khatulistiwa.

“Oh ya, ngomong-ngomong aku penasaran, sebenarnya apa isi surat yang tadi diberikan Renata padamu?” tanyaku.

“Oh itu, anu,” kata Harto, nyengir lebar. Mukanya memerah sebelum dia menutupnya dengan dua tangan, cekikikan. Dia mendekat padaku dan merendahkan suaranya. “Dia... yah, kamu tahu kan, dia sudah lama naksir aku. Seminggu lalu, dia bilang kalau dirinya siap jadi pendamping hidupku, gitu. Aku sendiri juga kaget, nggak nyangka anak alim kayak dia bisa nekat gitu. Sejak dulu dia memang selalu mencoba ngedeketin aku, tapi aku menanggapinya biasa aja, karena kukira nggak ada maksud tertentu. Surat tadi itu isinya pesan agar aku jangan lupa menelponnya di perjalanan nanti.”

Aku mengulum senyum. Kutepuk bahunya, memberinya selamat. Sejak dulu sudah kuduga kalau Renata menyimpan perasaan padanya. Ternyata firasatku benar. Tampaknya nasib sedang tersenyum pada Harto. Alangkah beruntungnya sahabatku ini, baru lulus kuliah, langsung mendapat jodoh dengan mudahnya tanpa harus melakukan apa-apa. Apalagi jodohnya itu tergolong kelas berat, salah satu gadis tercantik di kampus yang kepopulerannya hanya satu tingkat di bawah Hana.

Aku datang ke rumahnya kemarin, dia sendiri yang minta,” Harto bercerita lagi. “Tahu nggak, Kapten? Ternyata orangtuanya sudah lama tahu dan menyetujui hal ini. Bapaknya malah nyuruh supaya aku cepat-cepat melamar. Aku agak kaget dan deg-degan juga, bingung mau jawab apa. Untungnya beliau orang baik, nggak neko-neko. Aku cuma ditanyai hafalan Juz Amma sebagai syarat meminang putrinya. Saranmu benar, Kapten, tak salah kau terus mendesakku agar cepat-cepat melamar Renata. Dulu aku bodoh sekali, tak mau dengar bujukanmu. Hampir saja aku ikut-ikutan tren pacaran kayak yang lain. Untung kau pantang menyerah, terus menasehatiku. Renata memang spesial, jarang ada wanita kayak dia.”

“Kau menerimanya? Maksudku… kau melamarnya?” tanyaku lagi.

"Iya dong, anak cantik dan lembut begitu, siapa yang nggak mau?”

Aku terbatuk, lalu memalingkan wajah ke jendela, menyembunyikan senyum geli. Harto membungkuk dan menutupi wajahnya, mendengus menahan tawa. Namun suaranya terdengar sedih saat ia berbicara lagi, “Tapi aku ragu. Apa aku pantas untuknya? Pantaskah yatim piatu miskin yang tak punya apa-apa seperti aku menikah dengan anak orang kaya seperti dia? Selama ini dia selalu baik padaku. Kenapa dia memilihku? Apa yang dilihatnya dariku, hingga dia berjuang mati-matian mengejarku? Apakah ini yang namanya pepatah ‘si bulan yang merindukan si punguk’?”

Aku ingin tertawa, tapi kutahan demi menghargai perasaannya.

“Kok bisa kebalik gitu ya pepatahnya?” kataku pelan, lalu kuusap bahunya lembut. “Yang namanya jodoh hanya Allah yang mengatur. Mungkin agak rumit, tapi aku tahu Renata sangat menginginkanmu, begitu tulus dari dalam hatinya tanpa melihat harta dan statusmu. Aku bisa memastikan itu setelah melihat sikapnya selama ini terhadapmu. Kamu itu ganteng, To, percaya deh. Jangan minder. Kamu harusnya bersyukur karena itu artinya Tuhan masih menyayangimu,” tambahku, dan Harto tampak tenang.

“Makasih, Kapten,” katanya. “Sejak dulu, memang cuma kalian sahabat terbaikku. Kalian masih mau menemaniku di saat yang lain bersikap tak peduli. Aku senang punya sahabat seperti kalian, terutama kau, Kapten.”

Aku tersenyum, lalu kembali menatap jendela.

“Kau masih suka menulis kan?” Harto menanyaiku.

“Ya, tentu. Menjadi penulis nomor satu di dunia adalah cita-citaku.”

“Hmm, cita-cita ya?” Harto mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong soal cita-cita, Kapten tahu nggak, apa cita-citaku?”

Aku tertawa. Aneh sekali sahabatku ini. Empat tahun aku berteman dengannya, mana mungkin aku tak tahu apa cita-citanya. Entah sudah berapa kali dia menceritakannya padaku. Sejak dulu, impiannya hanya itu-itu saja, tak pernah berubah.

“Reporter, kan?” jawabku.

Kali ini Harto yang tersenyum jahil. “Yup, hampir benar. Impianku memang jadi jurnalis atau fotografer profesional.” Dia mengelus-elus kameranya. “Tapi itu dulu. Sekarang, aku punya rencana baru buat masa depanku. Aku nggak mau cuma jadi reporter biasa. Aku maunya jadi reporter acara petualangan atau wisata. Kan enak tuh. Nggak muncul di layar nggak apa-apa, yang penting bisa jalan-jalan gratis, digaji pula. Atau jadi travel photographer juga kayaknya asyik. Mungkin suatu saat kita bakal muncul di TV, dengan acara kita sendiri: RIHLAH, jalan-jalan islami, tayang setiap hari di bulan Ramadhan, plus tausiyah. Bagus kan kedengarannya?”

“Kereeen! Kalau begitu aku yang jadi hostnya ya?” kataku nyengir.

*****

Aku mengenal Harto empat tahun lalu, saat kami sama-sama mengikuti upacara penerimaan mahasiswa baru. Dia duduk berdampingan dengan Nasuti. Keduanya berpakaian lusuh dan celingukan seolah terasing dari mahasiswa baru lain. Aku langsung akrab dengan mereka, justru karena mereka berbeda, tak seperti anak lain yang berpakaian necis dan trendy. Aku baru tahu kalau mereka tinggal di panti asuhan. Karakter mereka begitu unik dan beda dari yang lain sehingga membuatku tertarik, terutama Harto. Di kelas, aku melihatnya sering duduk diam, menyendiri. Biasanya dia hanya nyengir saat kudekati.

Untuk membiayai kuliah, dia bekerja sambilan dengan berjualan kue. Godaannya cukup berat. Selain dagangannya tak laku, kadang dia juga dijahili teman sekampus. Aku selalu membela Harto, bahkan aku pernah menonjok senior yang bertindak keterlaluan—merebut baki kue Harto, menjatuhkan isinya ke lantai dan menginjak-injaknya, lalu tertawa mengejek sambil menunjuk-nunjuk. Harto juga pernah dilempari telur hingga dahinya berdarah dan masuk rumah sakit. Aku yang membawanya ke sana dan membayar biaya pengobatannya. Lama-kelamaan dia mulai terbiasa menghadapi gangguan mereka. Harto bahkan mulai sering balas menjahili mereka, sesuatu yang kemudian menjadi kebiasaan buruknya. Meski begitu, aku tahu dia berbuat jahil untuk membela diri. Suatu hari aku sampai dibuatnya menangis setelah mendengar kisah masa lalunya yang memilukan.

“Orangtuaku meninggal,” katanya sedih, “di tangan perampok.”

Aku termangu mendengar ceritanya, tragis sekali. Waktu itu usianya masih terbilang balita. Aku tak bisa membayangkan sebesar apa penderitaannya. Betapa tidak, anak sekecil itu harus mengalami nasib yang keras.

“Aku nggak tahu apa salah keluargaku hingga pria keji itu datang, menghancurkan kebahagiaan kami, merenggut segalanya. Malam itu penuh darah dan air mata. Aku ingat dia membacok Ayah lalu mengejar Ibu yang melindungiku. Ibu membawaku lari, berteriak minta tolong namun tak ada yang datang. Setelah membakar rumahku, penjahat itu mengejar dan berhasil menyudutkan kami di gudang. Kami terpaksa bersembunyi di balik kotak kayu, meringkuk ketakutan. Ibu memelukku yang sedang menangis, tak rela membiarkanku jadi korban berikutnya. Kami menahan napas saat langkah kakinya terdengar mendekat. Kematian datang tak lama lagi. Kami saling berpelukan, meringkuk, namun apa daya. Akhirnya pria itu berhasil menemukan kami. Aku tak bisa berbuat apa-apa saat itu. Ibu meninggal saat melindungiku, dengan bisikan terakhirnya yang mendorongku untuk terus hidup...

“Aku ingat dengan jelas wajah pelakunya,” Harto menambahkan. “Rambutnya panjang dan kusut. Tatapannya dingin, sebelah matanya picak karena aku sempat mencoloknya. Dia tak terlihat menyesal setelah membunuh orangtuaku, malah tersenyum jahat dan berniat membunuhku juga. Dengan golok di tangan, dia berjalan mendekatiku yang susah payah menjauh, menyeret-nyeret kaki, mengiba-iba belas kasihan, namun mata yang tinggal satu itu tampak kosong, tak kenal ampun. Untunglah, tak lama kemudian orang-orang berdatangan melihat rumahku terbakar, dan penjahat itu melarikan diri, meski akhirnya tertangkap juga. Kabarnya sekarang orang itu meringkuk di penjara paling mengerikan di Indonesia, Lapas Nusakambangan. Itu hari-hari terburuk dalam hidupku. Butuh waktu lama bagiku untuk melupakannya, bahkan setelah tinggal di panti aku masih merasa kesepian. Sejak aku kecil, Ibu selalu menasehatiku agar bersabar dan kuat dalam menghadapi cobaan. Tak ada gunanya terus menerus tenggelam dalam kesedihan. Aku harus merelakan kepergian orangtuaku.”

“Kita senasib, Kawan,” kataku seraya merangkulnya. Harto balas memelukku. “Kita harus kuat menghadapi hidup. Kau tahu? Kau adalah orang paling tegar yang pernah kutemui, Harto. Kau luar biasa!”

*****

Setelah dua kali mencicipi hidangan yang disajikan pramugari, daratan menukik cepat di bawah kami. Aku mulai bisa melihat petak-petak lahan pertanian dan rumah-rumah yang tampak mungil di bawah sana. Akhirnya pesawat yang kami tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Aku menegakkan diri, pegal rasanya duduk terus selama beberapa jam. Tiba di bawah tangga, aku membentangkan lengan, merasakan angin melewati badanku. Di belakang, Harto berteriak, “Aceh, kami datang!”

Baru setelah kami turun, Nasuti menjadi tenang saat menghirup udara luar, meski matanya masih berair. Entah berapa kantong plastik yang dihabiskannya. Sambil duduk di ruang tunggu, kami berunding menentukan tujuan pertama yang akan ditempuh. Akhirnya kami memutuskan berkeliling kota dulu. Gelombang kegembiraan meluap-luap menguasaiku. Kami tak bisa berhenti tersenyum. Nasuti bahkan dengan pede menyanyikan lagu Dari Sabang Sampai Merauke versinya sendiri. Kami semua baru pertama kali ke sini, tapi aku tak merasa asing dengan lingkungannya.

Bagiku, Aceh tampak bergairah. Selepas digempur tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, laju aktivitas kota ini memang sempat mati suri beberapa saat. Namun seiring dengan pulihnya detak jantung ekonomi dan kegiatan penduduknya, euforia masyarakat dan pemberdayaan wisatanya turut berjaya kembali. Bagaimanapun, Aceh menyuguhkan segudang obyek wisata yang tak kalah menarik dari kota-kota lainnya di Indonesia.

Pertama-tama, kami mengunjungi Museum Tsunami Aceh, yang dibangun untuk mengenang kembali duka masa lalu tentang dahsyatnya tragedi tsunami, luka lama yang belum hilang dari ingatan setiap orang.

“Dulu aku melihatnya di televisi, video amatir yang memperlihatkan ombak raksasa mengerikan menggulung bangunan-bangunan besar seperti mesin penggilas, orang-orang berteriak kebingungan, dan mayat-mayat dikeruk lalu dikubur dalam satu lubang, sungguh pemandangan yang memiriskan,” kata Hana lirih.

“Aku juga ingat ada dua kapal yang terdampar bertengger di atas rumah,” timpal Zhen. “Kapal pembangkit listrik yang terdampar itu dibiarkan begitu saja sebagai simbol kenangan Kota Aceh. Tak heran jika tsunami Aceh tercatat sebagai salah satu bencana alam paling mengerikan di dunia. Nggak kebayang kalau waktu itu aku ada di sini.”

Bangunan Museum Tsunami berbentuk unik, dan jika dilihat dari atas tampak seperti gelombang yang menerjang. Di dalamnya, kami menyaksikan berbagai diorama, simulasi tsunami yang terasa nyata, foto-foto korban tsunami, nama-nama orang yang hilang, dan film-film dokumenter yang memperlihatkan dahsyatnya bencana tsunami.

Setelah puas berkeliling, kami melepas lelah dan menyempatkan shalat di

Kami bersikap layaknya musafir. Saat sedang berbaring, lamat-lamat kudengar orang berbicara dalam bahasa Gayo, bahasa asli daerah sekitar. Aku diam sejenak untuk mengamati dialeknya yang unik. Saat aku keluar, hawa sejuk segera meninggalkan kami, digantikan udara panas yang menyengat. Zhen menghampiriku dan menawari minum.

“Islam itu indah ya,” katanya. Aku cukup kaget karena dia seorang non muslim.

“Ya, sudah dari dulunya begitu,” jawabku.

Zhen memainkan kacamata tebalnya, pemberian sang kakak yang pernah bergabung di angkatan laut. “Aku hanya kagum melihat kalian rajin berduyun-duyun datang ke masjid. Persaudaraan sesama kalian terkesan kuat. Solidaritas kalian tinggi. Bangunannya pun indah-indah.”

Aku tertegun. Aku dan Zhen berbeda keyakinan tapi bisa hidup berdampingan. Jadi aku heran mengapa di Indonesia ini masih ada saja orang yang senang sekali berdebat masalah agama. Di negara ini ada lima agama yang dilindungi, yang sudah seharusnya saling menghormati satu sama lain. Yang membuatku geram, pernah kulihat di suatu situs internet banyak orang-orang yang meninggikan agama masing-masing dan saling ejek dengan mengumbar SARA. Mereka seolah merasa paling benar dan mencoba segala cara untuk mencari kelemahan agama lain. Mereka bahkan berani menjelek-jelekkan nama tuhan agama lain, suatu perbuatan terkutuk dan sangat tidak terpuji. Dalam Al-Qur’an saja ada ayat yang berbunyi: Lakum dinukum waliadin, yang artinya bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Biarlah agama berbeda-beda asalkan jangan mengganggu ibadah yang lain. Kenapa masih ada saja sekelompok orang gila yang nekat membakar masjid atau menyerbu gereja? Bukankah semboyan negara ini Bhineka Tunggal Ika? Mereka buang ke mana prinsip mulia itu? Ke mana perginya rasa kemanusiaan mereka?

Namun semua itu tampak berbeda dengan situasi kota yang dijuluki Serambi Mekah ini. Di sini, sekalipun Islam adalah agama mayoritas, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Di sini hukum Islam diterapkan dalam mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat. Dahulu, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan Samudera Pasai, syariat Islam sudah dikenal luas oleh masyarakat Aceh. Mereka bahkan memiliki undang-undang yang mengatur masalah kekeluargaan, perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, hak asuh anak, muamalah, dan kriminalitas yang didasarkan atas syariat Islam.

Ketika hari beranjak sore dan matahari menggantung rendah di ujung barat, kami mencari penginapan untuk satu malam. Aku, Harto, Igo, dan Nasuti tidur dalam satu kamar. Hana menempati kamar sendiri, sedangkan Torik, Muqodas dan Zhen tidur di kamar sebelah. Malam hari menjelang tidur, kami menyaksikan pertunjukan Tari Saman, tarian adat paling terkenal dari daerah Aceh. Kami terpukau menyaksikan para penari berbaris dan bergerak-gerak lincah dalam posisi bersimpuh, menepuk-nepuk dada, diselingi beberapa gerakan rumit yang tampak sulit dilakukan, lengkap dengan lagu-lagu merdu khas Aceh yang temponya semakin cepat.

Karena ini hari pertama, kami makan di restoran tradisional. Liurku menetes saat beberapa jenis kuliner khas Aceh disajikan. Ini yang kutunggu-tunggu. Ada

Seperti biasa, Torik mengingatkan kami, “Jangan lupa berdoa sebelum makan, dan biasakan makan menggunakan tangan kanan. Lebih afdol pakai tiga jari: jempol, telunjuk, dan jari tengah. Dan piring kalian harus bersih tanpa sisa, kalau perlu jilat saja sekalian.”

“Nggak perlu sebersih itu kali,” Muqodas menyerocos, melahap kue pai yang dibelinya di toko. Padahal menurutku kue itu tidak enak.

Torik mendelik padanya. “Menurutmu berapa banyak sisa makanan yang terbuang setiap harinya? Coba hitung, jika semua orang seperti kamu menyisakan sepuluh butir nasi, lalu anggap saja di setiap restoran ada seratus piring dalam satu jam, dikalikan jumlah restoran di kota ini, kemudian dikalikan lagi dengan jumlah seluruh kota di Indonesia, kira-kira hasilnya cukup untuk memberi makan orang satu kota! Dan itu baru terhitung sisa makanan selama satu jam! Hargai usaha para petani, Kawan.”

Kami yang satu asrama dengannya mengangguk paham. Muqodas tampak merasa bersalah sekaligus tersinggung. Dia tersedak saat meminum jusnya.

“Hmm, yummy! Ayam tsunami ini level tiga belas deh,” kata Torik, mengelap mulut dengan sapu tangan dan menyilangkan sendok garpu di atas piring yang kinclong, tak lupa mengucap hamdalah seusai makan.

“Lhevel thiga bhelas aphanya?” tanya Harto, mulutnya penuh makanan.

“Lezatnya,” jawab Torik, mengelus perutnya. “Sejak kecil, aku suka banget mencicipi berbagai masakan dan membandingkan cita rasanya. Ini bukan soal perut, tapi soal lidah. Aduh, aku sampai terharu. Pedas banget ayamnya, sumpah.”

“Sayang Ruqoyah sama Nelly nggak ikut,” kata Nasuti. “Ya nggak, Igo?”

Igo diam saja saat Nasuti menyenggolnya. Malah Hana yang menjawab, “Ruqoyah tak bisa ikut karena kesibukan organisasi. Lagipula, biasanya dia lebih suka berlibur di kampung halamannya, jadi percuma saja meskipun aku mengajaknya. Kalau Nelly, saat ini dia sibuk mengurus pendaftaran kuliah ke Jepang. Katanya beberapa hari lagi dia berangkat.”

“Wah, enak banget si Nelly. Aku jadi iri,” kata Nasuti, menyeruput teh tarik.

Selesai makan, kami beringsut ke kamar masing-masing karena memang sudah larut malam. Sebelum tidur, aku menyempatkan diri menulis pengalamanku di buku harian. Semua kutulis dengan sedetail-detailnya, dari hal yang penting—seperti lokasi yang kukunjungi dan jenis makanan yang kulahap—hingga hal-hal sepele seperti berapa kali aku makan, orang seperti apa saja yang kutemui siang tadi, hingga celetukan konyol teman-temanku. Mungkin suatu saat akan kutulis pengalamanku menjadi sebuah novel. Di sampingku, Harto asyik memeriksa video dan foto-foto hasil jepretannya siang tadi. Di sudut, Nasuti memandangi foto ayahnya, sedangkan Igo sudah mendengkur sejak tadi. Karena terlalu lelah, lima menit kemudian kami langsung terlelap ke alam mimpi.

Tengah malam buta hp-ku berdering. Rasanya belum terlalu lama aku tidur. Masih merem melek, aku merangkak di tempat tidur, meraih HP. Siapa sih yang menelepon malam-malam begini?

“Halo, siapa ya?” tanyaku serak.

“Ini aku.”

Suara itu, Ruqoyah. Mataku langsung terbuka. Segera kusibak selimut, turun dari ranjang, berjingkat ke luar kamar agar tak membangunkan yang lain. Pasti hal yang penting sekali sampai-sampai dia tega mengusikku dari mimpi indah.

“Eh, Ruqoyah, ada apa?” sapaku pelan.

"Maaf mengganggu tidur Kak Lutfi. Ngg, bagaimana perjalanan kalian?”

“Seru, melelahkan,” kataku singkat. Ah, dia ini, bukankah selama ini dia melarangku meneleponnya di malam hari, kenapa dia sendiri melanggarnya?

“Dia… bagaimana kabarnya?” Ruqoyah mendadak terbata.

“Dia? Dia siapa?”

Aku menunggu, dan tuut… tuut… telepon ditutup, meninggalkan aku sendirian, bersandar di dekat pintu hotel. Apa sih maksudnya? Aku memikirkan berbagai kemungkinan, mengangkat bahu, kembali ke tempat tidur dan berbaring nyalang menatap langit-langit. Ternyata begitu. Ruqoyah masih belum menyerah. Dia memang tak bilang apa-apa, tapi aku tahu apa maksudnya. Pasti dia mengkhawatirkan Igo.

*****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • radenbumerang

    Iya juga yah, satu bab aja sepanjang ini... makasih masukannya Mas AlifAliss, mungkin ke depannya saya bagi per bab aja biar lebih pendek.

  • AlifAliss

    Wahh menarik banget, tapi panjang gila capek bacanyaaaa :D :D :D

Similar Tags
Melihat Mimpi Awan Biru
3125      1076     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Koma
15873      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
802      451     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6670      1628     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1912      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2374      833     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5097      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?