"Jika kau dan aku terlalu sering bersama, sampai pada titik di mana kau pergi meninggalkanku sendirian, semua kebersamaan kita hilang digantikan dengan kenangan-kenangan tak terlupakan."
; Nothing Like Us ;
.
.
.
.
.
"Good morning, All!"
"Good morning too, Miss!"
"Hari ini kita sambung materi minggu lalu, dan 10 menit sebelum pelajaran saya selesai-- kita gunakan untuk membahas kisi-kisi," ucap perempuan berpostur tubuh tinggi itu sembari membenarkan kacamata yang ia pakai.
"Lho, kisi-kisi buat apa, Miss?"
"Oh my darling— kalian lupa pengumuman kemarin?"
Guru bahasa Inggris itu tertawa kecil, menambah kesan manis pada wajahnya. Salah satu pengajar yang paling disukai oleh siswa-siswi karena sifatnya baik dan tidak sungkan mengajak anak didiknya bersenda gurau.
"Miss, sepertinya kelas ini belum diberi pengumuman,"
"Oh ya? Yasudah, Miss Tika yang cantik jelita seperti mbak Selena Gomez ini mau kasih tau ke kalian semua,"
Miss Tika adalah nama panggilannya ketika di lingkungan sekolah. Bisa dibuktikan bahwa ia senang bercanda dan tingkat kepercayaan dirinya cukup tinggi.
"Yea— Miss, up to you,''
"Senin depan kalian semua menjalankan ulangan tengah semester, jadi jangan lupa belajar lebih giat supaya usaha kalian membuahkan hasil yang memuaskan," kata Miss Tika membuat seisi kelas mengeluh secara bersamaan.
"Nggak usah terlalu mengejar peringkat di kelas, jadilah yang terbaik untuk diri kalian sendiri. Semuanya akan lebih baik lagi jika kalian tidak menyontek."
Ada yang mengangguk seadanya, ada pula yang memprotes tidak terima.
"Nyatanya Miss— nilai yang bagus lebih disanjung dan dihargai daripada kejujuran orang itu,"
Miss Tika tersenyum, "Lalu? Apa kalian lebih mementingkan dunia ketimbang akhirat? Mungkin benar, nilai memang penting. Namun, kalian akan merasa lebih puas dan lebih tahu di mana kemampuan kalian jika mengerjakan soal tanpa menyontek, kejujuran itu benar-benar utama dan terpuji dihadapan Yang Maha Esa."
"Yang merasa pintar mah enak, Miss. Lah kita-kita yang bodoh ini kalau dapat nilai dibawah rata-rata saja langsung dimarahi,"
Keluhan-keluhan yang diberikan sedikit menyentuh hati. Semuanya benar, dari zaman orangtua pun jika mendapat nilai jelek pasti akan mendapat omelan entah itu dari pihak guru maupun orangtua di rumah.
"Sudah, sudah. Tunjukkan kepada diri kalian dan kerjakan yang terbaik," ujar Miss Tika memberikan semangat.
"Oh iya, Aysha? Sini sebentar,"
Mendengar namanya dipanggil, Aysha maju ke depan menghampiri meja guru.
"Ada apa, Miss?"
Miss Tika membuka laptopnya, "Tolong ambilkan flashdisk warna putih di meja saya, bisa?"
Aysha mengangguk sopan, "Baik, Miss. Akan saya ambilkan."
* * *
Aysha mengetuk pintu ruang guru, membuka pintu itu perlahan dan tidak ada seorangpun disana. Karena masih jam mengajar, semua guru menempatkan diri masing-masing di kelas yang akan diajarkan.
"Meja Miss Tika dimana, ya? Kok aku lupa.."
Netranya berpendar ke sekeliling, berusaha mencari meja dengan nama "Sartika Maryati".
"Aysha? Sedang apa?"
Aysha mematung di tempatnya berpijak. Ia seperti hafal dengan suara tersebut. Dan, dengan mendengar suaranya saja, tubuhnya seakan seperti terkena aliran listrik.
"Eh?" Tubuhnya berbalik, pandangan mereka bertemu satu sama lain.
Alvaro tersenyum, "Jangan gugup, saya kan nggak gigit."
"Anu... Gini... Saya cari..."
Lagi-lagi, pengajar tampan disana menebar senyuman manis. Jujur, entah mengapa jantung Aysha merasakan debaran yang tidak biasa.
"Hari ini kelasmu mata pelajaran Miss Tika, 'kan? Meja beliau ada di sebelah saya," ucap Alvaro sembari menahan tawa. Ia hanya merasa lucu, gadis remaja di hadapannya itu menggemaskan sekali.
"I-iya, Pak. T-terimakasih banyak," balas Aysha dengan senyuman kikuknya.
Belum sampai lima langkah berjalan menuju meja Miss Tika, tiba-tiba lengannya ditahan oleh Alvaro, membuatnya mau tak mau membalikkan badan, menatap Pak Gurunya dengan tatapan bingung.
"Pulang sekolah nanti, kamu ada acara?"
Aysha mengernyit, "Tidak, Pak. Saya ingin belajar sepertinya."
"Kalau begitu, saya temani ya? Eh, maksud saya, saya ingin mengajak kamu makan di luar sambil belajar. Bisa?"
Alvaro menatap kedua netra indah milik Aysha, terlihat pancaran memohon disana.
"Kalau misalnya saya menolak, apa pak Alvaro marah?" tanya Aysha hati-hati, terselip nada candaan pada ucapannya.
"Kamu mau menolak? Maaf, Aysha, saya nggak terima penolakan. Saya mau sama kamu,"
Aysha menganga, total tidak mengerti apa maksud ucapan Alvaro tadi.
"Nggak, nggak, maksud saya..."
Suasana diantara mereka terasa awkward, si Aysha menunduk dan Alvaro menggaruk belakang kepalanya yang nyatanya tidak terasa gatal.
"Yasudah, kalau kamu nggak mau—"
"Saya bisa, Pak. Sekalian saya mau belajar, siapa tahu pak Al bisa membantu," gumam Aysha malu, namun Alvaro masih bisa mendengar gumaman gadis itu.
"S-serius? Oke, nanti saya sekalian antar kamu pulang, saya juga mau izin sama orangtua kamu,"
Setelah Aysha mengangguk, mereka berdua pun saling melempar senyum.
Suka suka suka sekali sama ceritanya dek<3
Comment on chapter PROLOG