Fia pov
Aku berjalan melewati koridor koridor sekolah dengan langkah terburu buru. Aku bukannya ingin mengejar Guru killer untuk mengemis agar tugas Ku mau diterimanya, Aku juga bukannya sedang melangkah terburu buru karena akan mendapatkan hukuman dari Guru killer dan Aku juga tidak terburu buru karena sedang mengejar kekasih hati yang sedang selingkuh bersama orang lain. Namun ini karena Zahra. Yah, karena kejadian kemarin Aku tau Zahra akan tidak baik baik saja. Apalagi pelajaran jam pertama sampai jam ke empat pun Zahra lewati, Ia tak masuk kelas. Ia melewati jam pelajaran dan memilih berada di luar kelas. Ini menambah kekhawatiran Ku kepadanya. Ini pasti sangat sulit Ia jalani, mengingat hari hari Zahra di rumahnya tak sebahagia dengan yang di sekolah. Aku tau, sebenarnya Zahra tak pernah bahagia. Aku juga tau, bahwa tawa dan senyum yang Ia selalu tampilkan di sekolah adalah sebuah topeng. Aku tau Zahra, Aku tau apa yang Kamu sembunyikan selama ini dan Aku juga tau bahwa selama ini Kamu hanya bersandiwara saja.
Aku mengedarkan pandangan Ku ke seluruh penjuru koridor ini, sepi memang. Karena Aku sengaja keluar atau bolos dari jam pelajaran hanya untuk mencari Dia. Aku mulai putus asa, bingung harus mencari kemana lagi. Semua penjuru sekolah hampir semua Ku datangi. Namun, sepertinya ada yang kurang. Aku mulai berpikir dan
"Ah, kenapa Aku gak kepikiran tentang taman belakang sekolah yah?! coba aja deh, siapa tahu Dia ada di sana."
Aku mulai memasuki taman belakang sekolah, pepohonan yang hijau dan asri membuat tempat ini menjadi sangat teduh dan menenangkan.
jadi, tak heran jika kebanyakan siswa yang patah hati atau putus cinta menghabiskan hari harinya di sekolah hanya untuk mengenang masa lalu di tempat ini. Aku mulai berjalan menyusuri taman, berharap menemukan sosok yang Ku cari cari selama ini.
Dan benar saja dugaan Ku, ternyata Zahra sedang duduk sendiri di sebuah bangku khusus untuk bersantai. Semilir angin yang menyejukkan membuat rambut cantik Zahra terbang melambai.
Aku memilih untuk melihat aktivitasnya dari kejauhan. Ia terlihat menangis! yah Zahra menangis. Sudah Ku duga bahwa akhirnya pasti begini.
"Kenapa Zahra?"
"Kenapa Kamu tak pernah mau mendengarkan Ku? mengapa Kamu selalu melakukan sesuatu yang ujung ujungnya menyakiti mu, Ra?"
"Kenapa?"
"Bahkan walau Kamu mendapatkan apa yang Kamu inginkan, tapi rasa itu Ra?!"
"Apa Kamu mendapatkannya?"
"Apa Kamu dapat merasakannya?"
"Apa Kamu memilikinya?"
"Enggak kan Ra?!"
"Kamu gak mendapatkan apa apa sama sekali! hanya hampa dan sebuah rasa keterasingan yang Kamu dapatkan! Kamu hanya mendapatkan rasa bahwa Kamu hanya sendiri di sini!"
"Kenapa Ra?"
"Kenapa?"
"Jika saja Kamu mau mendengarkan Aku, pasti semua ini tak akan seperti ini. Kamu bodoh Ra! Kamu bodoh!" ucapku terisak.
Sungguh Aku merasa sakit melihat Zahra seperti ini. Dengan hari hari yang di lalui Zahra selama ini, Aku tau jika selama ini Dia tak pernah baik baik saja.
Setelah sekian lama berdiam diri seperti ini, Aku mulai memberanikan diri untuk menemuinya. Dengan langkah pasti Aku melangkahkan kaki ini untuk menuju bangku dimana Zahra duduk.
Aku pun duduk dibang Ku ini. Tepat di samping Zahra. Ku tatap wajah teduh Zahra, ada tatapan terluka yang Ku dapatkan di sana. Ia hanya memandang ke depan dan tak menyadari sama sekali kehadiran Ku.
Aku pun memberanikan diri untuk menyentuh tangan mungilnya, menggenggam nya dengan pelan agar Zahra tak terlalu terkejut dengan pergerakan Ku yang tiba tiba.
"Kenapa Ra?"
"Kenapa Kamu gak ngomong aja ke Mereka?" Tanya Ku seraya mengalihkan pandangan Ku ke arah depan.
Ku rasakan ada pergerakan dari Zahra, mungkin Ia sedang menatap Ku. Ia menghela nafas dengan berat, nafasnya tepat menerpa wajah Ku. Terasa hangat.
"Maksud Loe, Fi?" Tanya Zahra.
"Udah deh, Ra. Kamu gak usah pake Loe-Gue di sini, lagi pula Mereka gak ikut Aku kok. Aku ke sini sendiri Ra, jadi tenang aja."
Ia diam tak membalas omongan Ku. Kurasakan ada pergerakan darinya, kini Ia mengalihkan pandangannya ke depan. Tatapan nya terlihat kosong.
"Kenapa Kamu gak ngomong aja ke Mereka semua kalo Kamu butuh kasih sayang Mereka, Ra?"
Tak ada respon.
1 menit
2 menit
3 menit
"Aku gak bisa, Fi" Akhirnya Ia pun mulai bersuara.
"Ini sangat sulit." Ucapnya lagi.
"Kenapa, Ra?"
"Apakah sesulit itu ? Kamu hanya perlu mengatakan kepada Mereka bahwa Kamu merindukan pelukan hangat Mereka, Kamu merindukan kasih sayang Mereka, Kamu merin..."
"Tapi itu gak seperti yang Kamu bayangkan, Fi! itu gak mudah Fi!" Ucap Zahra lemah.
Ku lihat wajahnya, Ia menangis. Benar, hanya dihadapan Ku lah Zahra memperlihatkan kelemahannya. Hanya di depan Ku lah Zahra memperlihatkan air matanya dan hanya Aku yang tau penderitaan apa yang Zahra rasakan selama ini.
"Sesulit apa, Ra?"
"Hah?"
"Kamu terlalu pengecut, Ra!Kamu egois, Ra! Kamu lebih mengutamakan ego Kamu daripada hati Kamu!" Ucap Ku emosi.
"Kamu salah, Fi! Kamu gak tau apa yang Aku rasakan selama ini!Kamu gak tau, Fi!" Ucap nya tak kalah emosi.
"Aku tau, Ra! tapi Kamu nya aja yang men...."
"Aku gak menutup diri, Fi! Aku sangat terbuka untuk Mereka. Tapi Mereka nya saja yang gak perduli, Fi." Ucap nya lemah.
"Kamu be..."
"Aku gak mau bilang, Fi. Aku juga gak akan mengatakannya. Cukup dengan kelakuan Ku yang selama ini terkadang melewati batas menjadi sebuah kode untuk Mereka." Ucapnya menahan isakan.
"Apa Kamu tau, Fi? Aku melakukan semua ini hanya untuk Mereka, hanya untuk Mereka! dengan sikap Ku selama ini, Aku sebenarnya ingin mengatakan jika Aku sayang Mereka, rindu belaian Mereka, rindu pelukan hangat dari Mereka. Fi, Aku ingin mengatakan semua ini tapi sungguh Aku tak bisa. Aku tak ingin Mereka mengasihi Aku, bukan menyayangi Ku."
"Aku merindukan peluk hangat Mereka, sapaan sayang Mereka, kecupan sayang sebelum tidur dari Mereka dan belaian sayang dari Mereka, Fi! Aku sangat merindukannya."
"Apa Kamu tau, Fi? Aku sangat senang jika Mereka marah kepada Ku. Aku sangat senang, karena dengan begitu Aku bisa mendapatkan perhatian Mereka. Walaupun hanya cacian dan makian yang selalu Aku dapatkan tapi Aku bersyukur, setidaknya Mereka memikirkan Diriku."
"Mengertilah, Aku melakukan semua itu hanya karena kalian!apakah Kalian tau? Aku sangat merindukan kasih sayang Kalian!Aku haus akan itu! Aku juga ingin merasakan apa yang Kak Annisa rasakan! Aku juga menginginkan Umi! Abi!. Apakah hanya Kak Annisa saja yang ada di otak Kalian? apakah hanya Dia? Aku...Aku...sungguh Aku sangat terluka dengan semua ini."
"Maafin, Aku, Ra." Ucap Ku menyesal. Sungguh Aku tak tau jika Zahra sangat kesulitan untuk hal ini.
"Aku sendiri di sana. Aku sangat asing di mata Mereka. Memang, Aku adalah bagian dari Mereka namun sikap dan perhatian Mereka menunjukkan bahwa Aku bukanlah siapa siapa di tempat itu, terkadang Aku berpikir apakah Aku adalah anak Mereka atau anak angkat. Karena, sungguh Aku selalu merasa tersisihkan."
"Apa kamu tau, Fi? terkadang Aku selalu iri dengan Kalian yang selalu bisa bercanda ria dengan Ayah dan Ibu Kalian. Aku iri sekali. Aku sempat berpikir, apakah kelak Aku bisa seperti Kalian? apakah Aku bisa tertawa seperti Kalian, apa Kau tau? Aku menginginkan nya."
"Aku? Aku sangat terluka dengan apa yang Ku jalani sekarang, Fi, rasanya sakit banget, Fi!!! Aku benar benar sakit di sana. Aku?terkadang merasa bosan dengan semua ini! Aku berpikir bahwa apa yang Aku lakukan selama ini tidak akan pernah membuahkan hasil. Terkadang, Aku berpikir untuk berhenti saja melakukan ini! tapi, hati ini, Fi? hati ini menolaknya! Ia ingin Aku tetap melakukan semua ini."
"Apa kamu tau, Fi? Terkadang Aku ingin mengatakan kepada Mereka bahwa apakah tak ada tempat untuk Ku di sisi Kalian?apakah tak ada tempat sedikit pun? apakah tak...." Ucapan nya terhenti karena isakan nya yang semakin besar.
"Apa Kau sangat terluka?" Tanyaku pelan.
Zahra hanya mengangguk.
"Apakah terasa sangat sakit, Ra?" Tanyaku lagi seraya menggenggam tangan gemetar nya.
Zahra mengangguk pelan, lagi.
"Apakah Kamu tau, Ra?" Tanyaku lagi.
Zahra sekali lagi menggeleng kan kepalanya.
"Aku sangat benci Kamu yang sekarang, Ra!" Ucap Ku pelan.
Zahra mengerut kan keningnya, tak mengerti. Melihat ekspresi Zahra yang seperti itu membuat Ku ingin tertawa. Dia sangat lucu dengan kening berkerut seperti itu.
"Ke..ke..napa?" Tanyanya terbata.
Aku menghela nafas dengan berat dan melepaskannya dengan ringan.
"Aku tak mengenal Zahra yang lemah, Aku tak mengenal Zahra yang cengeng. Intinya Aku tak mengenal Kamu yang sekarang!"
"Karena Aku hanya mengenal Zahra yang kuat, arogan, anggun, berwibawa dan pantang menyerah." Ucap Ku mantap.
Zahra menghapus air matanya dengan cepat, Ia tersenyum ke arah Ku.
"Kamu gak sendiri, Ra."
"Ada Aku yang akan selalu nemenin Kamu."
"Thanks, Fi." Ucapnya manis.
"Udah, ah. Daripada Kita nangis nangisan di sini mending Kita ke kantin aja yuk. Lapar nih..."
"Ayok, Aku juga lapar nih."
Aku dan Zahra akhirnya berjalan menuju kantin. Di sana Kami tertawa bersama dan bercerita tentang hal hal yang lucu. Aku bahagia melihat Dia yang sekarang, tanpa kesedihan.
"Aku menyukai Mu yang saat ini...tertawa." Gumam Ku hati hati.
Akan Aku turuti kemauan Mu, Zahra. Aku tak akan membuka mulut dan menutup rapat semua ini hingga Mereka sendiri yang akan menyadari nya langsung, termasuk Dia. Dan sampai saat itu benar benar tiba, Ku mohon bertahan lah.
Bersambung...
Tetap lanjut kok, ditunggu aja yah
Comment on chapter Lembar baru, tinta hitam