Suara ketukan pintu dan ucapan salam mencairkan ketegangan di ruang makan itu. Devon, Taki dan Revi duduk berjajar bersebrangan dengan Mora cs. Nenek hanya sebentar menemani mereka karena sibuk mempersiapkan kudapan selanjutnya untuk cucu kesayangan dan teman-temannya. Beranjaknya Nenek dari kursi utama, mencekat salur napas mereka karena tak ada lagi obrolan yang berbaur dengan Bahasa Sunda itu. Banyolan Revi pun langsung terhenti. Dia jelas-jelas kehabisan ide ketika Nenek pergi ke balik dapur.
Saat mereka memasuki ruang tamu yang berderet foto-foto Nanzo atmosfer keceriaan karena telah memenangkan babak penyisihan langsung terhapus. Ketegangan terpampang jelas di wajah Taki. Tak jauh berbeda dengan Revi, walaupun dia berusaha menutupinya sesekali dengan ocehan dan candaan, tapi langkahnya tersentak kaget ketika kembali tatap dengan foto-foto kebersamaan mereka. Mulutnya terkunci rapat dan terbuka saat menanggapi obrolan Nenek. Devon jangan dibahas lagi. Selalu ketegangan yang senantiasa menghiasai wajahnya.
Ambar dan Cecil memucat. Terakhir kali melihat sosok Nanzo adalah saat terkapar di jalanan berair yang penuh darah dan kini senyuman lebar Nanzo menyambut mereka di rumah itu. Di bawah meja, sesekali mereka saling bergenggaman tangan saat suasana di meja makan jauh dari kata hangat dan didomiansi oleh dentingan sendok serta garpu.
Kehadiran Vino yang tahu-tahu sudah duduk di sebrang kursi utama memberikan angin segar.
“Udah makan, Kak?” Tanya Taki. Tangannya hendak terulur menggapai piring.
Vino menggeleng, mengacungkan tangan. “Udah barusan sama panitia. Gila! Aksi kalian keren banget. Mereka sih berharapnya kalian bisa lanjut sama final.” Vino tersenyum malu sambil mengusap tengkuknya.
“Sorry, Kak. Nanti gue harus perang dulu sama cewek satu itu.” Devon yang masih tekun dengan makanannya, menyahut.
Mora yang tentu sadar objek obrolan cowok itu tersenyum sopan. “Maaf ya, Kak. Ambar sama Cecil ada kuliah besok siang.”
Cecil membasahi mulutnya sebelum suara cemprengnya mendominasi meja makan. “Besok remedialnya nggak jadi ko, Ra. Ambar juga katanya mau bolos aja.”
“Ambar bolos?!” Mora ternganga. Kepalanya terjulur ke samping demi melihat Ambar yang terhalangi oleh Cecil dan Ola.
“Gue belum pernah ambil jatah bolos selama kuliah. Sekarang kesempatan sekalian kita bisa liburan kan. Di sini tempatnya segar banget, nggak penat kayak di Bandung.”
“Lagian besok kan hari Jumat, tanggung nggak habisin sampai Sabtu Minggu aja.” Cecil menambahi.
Masih dengan tampang tak percaya, Mora terpaksa menggelengkan kepala. Mulutnya sudah setengah terbuka saat Revi bertepuk tangan heboh. “Lo bener-bener idaman gue, Bar. Rupanya, lo nggak sengeri kayak orang-orang pintar.” Dan perkataan itu membuat Ambar sedikit menundukkan kepalanya untuk menghindari roman memerah di pipinya terpampang jelas.
Lain halnya dengan Mora,. Cewek itu bahkan tidak menangkap maksud godaan Revi karena hawa penuh kemenangan dari kursi di sebrang seperti membakar wajahnya. Mora menolehkan kepala, kembali ke posisi semula dan meluruskan sorot matanya ke sosok di sebrang yang tersenyum puas. “Kehabisan kata-kata? Nikmati aja suasana di sini, sambil tenggelam sekalian ke dalam kesalahan.”
“Devon!” Gertakan Vino sedikit menggagetkan Devon. Cowok itu menyuapkan suapan terakhir lalu berdiri hendak beranjak dari sana.
“Jangan pergi dulu.” Nenek muncul dari dapur dengan dua piring aneka kue di tangannya. Orang suruhannya berdiri di sampingnya lalu berlalu ke ruang tamu dengan membawa beberapa gelas dan seteko kaca jus jeruk.
Vino langsung berdiri, membantu nenek membawa salah satu piring lalu mengikuti Nenek yang sudah menyimpan satu piring di meja ruang tamu. Mereka bercakap-cakap sebentar dan Nenek menyuruhnya membawakan kudapan untuk para panitia saat dia akan pulang nanti.
“Ngobrol-ngobrol dulu sekalian istirahat di sini.” Nenek yang sudah kembali ke ruang makan melirik Devon. “Jangan merepotkan terus keluarga Vino. Tinggal di sini dulu sampai sore, baru malam boleh pergi.”
Nenek tidak membiarkan Devon mengelak, maka dia pun langsung berbalik menuju dapur. Devon kembali menghempaskan pantatnya dengan malas. Berlama-lama di sini semakin membuatnya terhimpit. Tergencat oleh kenangan Nanzo dan oleh kehadiran cewek di depannya itu.
***
Vino telah menunggu mereka di ruang tamu. Dia baru saja meneguk habis es jeruknya di siang hari yang terik ini. Para cowok pun mengikuti mengisi gelas dan menggapai kudapan manis itu. Sedangkan Mora cs memilih memberi waktu pada lambung untuk mengolah makanan yang baru masuk.
Mora tertegun dan langsung membuang muka karena matanya lagi-lagi berserobok dengan senyuman lebar Nanzo. Dia baru menyadari, dia duduk di sofa panjang tempatnya berbaring tadi dan tepat menghadap ke deretan foto-foto itu. Jantungnya berpacu cepat yang terasa nyeri seperti ditikam ribuan tombak. Tak peduli dengan rasa kenyangnya, dia langsung mengisi gelas dan meneguknya hingga habis setengah.
Devon yang duduk di samping depannya tersenyum. Ada kelegaan luar biasa melihat tampang pucat dan shock itu untuk yang kedua kalinya. Lega karena cewek itu tersiksa juga. Walaupun kenyataannya alih-alih wajahnya yang senang itu, di lubuk hatinya dia merasakan nyeri yang amat dalam hanya menatap foto-foto itu melalui ekor matanya.
“Amore Karaoke.”
Hantaman keras semakin mendorong Mora dan Devon dalam jurang kematin, mendengar nama itu tercetus dari mulut Vino di depan deretan foto-foto itu. Dada mereka langsung menegang. Matanya terus terarah ke bawah saat Vino mencoba mengunci sorot mereka bergantian.
“Kita bahas sekarang. Maaf kemarin malam Kakak sibuk dan sekarang pun sama sampai malam, besok kayaknya kalian malah nggak bakal ketemu Kakak dari pagi sampai malam soalnya harus persiapan buat penutupan di malam Minggu nanti.” Vino mengisi gelasnya lagi lalu meminum setengahnya dan melanjutkan pembicaraan. “Seperti yang kalian tahu, Amore Karaoke dibangun lima tahun lalu khusus untuk para remaja, agar mereka nggak pergi ke tempat-tempat karaoke umum yang notabennya pelanggannya orang-orang dewasa. Amore Karaoke dibangun senyaman mungkin dengan nuansa yang menyegarkan. Dan hal penting yang harus Kakak lakukan selaku karyawan di sana yaitu meminta kartu pelajar para remaja bila mereka berbuat macam-macam maka kita bisa menghubungi sekolah. Bisa dikatakan karaoke ini lebih ketat dibandingkan tempat yang lain. Kalian kan dulu sering berlangganan, pasti merasa kurang dalam pelayanan. Dan sekarang saatnya kalian membenahi hal yang kurang itu. “
Karena dua pemilik karaoke itu masih setia merapatkan mulut, maka Taki memutuskan menjadi yang pertama menanggapi. “Baik, Kak. Kami akan semaksimal mungkin. Karena keterbatasan dana dan melihat fasilitas yang belum rusak meskipun udah tiga tahun nggak kepakai, kayaknya kita nggak perlu membenahi terlalu banyak kan? Kedap suara ruangan masih berfungsi, begitu pula dengan layar TV, sound system, sama media player lainnya. Kita perlu ganti Mic yang kekinian mengingat target pelanggan kita para remaja.”
“Dan renovasi ruang tunggu dan dapur. Kalau dilihat dari kondisinya nggak terlalu parah dan bisa ditangani dengan dana yang ada.” Ambar mengimbuhi.
“Yang bikin gue heran. Tuh tempat bersih banget pas kita datang ke sana.” Revi melirik ke Devon yang duduk di sampingnya. “Lo bersih-bersih dulu di sana? Tapi kayaknya nggak mungkin.”
“Om Putra. Ayahnya Devon.” Balas Vino. Punggungnya terjulur ke depan. Jemarinya saling bertautan lalu menatap Taki yang duduk di sampingnya, Mora cs yang duduk berjajar di sofa panjang dan Devon serta Taki yang duduk di depannya.
Sedikit perubahan tergambar di wajah Devon mendengar nama ayahnya di bawa-bawa ke tempat ini.
“Sekitar setahun lalu, beliau ngehubungin Kakak dan nawarin apa Kakak mau ngelanjutin bisnis karaoke itu. Tapi karena di sini ada kerjaan, Kaka nolak itu.” Lanjut Vino.
“Maksud Kakak, berarti Om Putra sebenarnya ngelanjutin bisnis karaoke itu?” Tanya Ola
Vino menggeleng. “Sebulan setelah Om Putra menghubungi, Kakak pergi ke Bandung ada keperluan. Lalu sengaja ngelewatin tempat itu buat nostalgia, tapi Karaokenya tutup, nggak pernah buka lagi. Menurut Kakak, Om Putra tetap menjaga tempat itu dengan baik meskipun nggak terpakai lagi. Pasti dia nyuruh orang buat ngebersihin dan ngecek fasilitas di sana.” Pandangan Vino berhenti di Devon. “Buat mempermudah kamu, Von. Dia nggak serta merta membuang kamu.”
Memasuki menit kedua setelah Vino selesai berbicara, Devon masih mengunci mulutnya. Tubuhnya tegap menghadap ke Vino, tapi sorot matanya melewati Vino, menembus ke jendela di belakang Vino. Kalau hatinya bisa dirasakan oleh lidah, maka rasanya hambar. Tidak lantas senang dan merasa bersalah karena rupanya Papa telah menyiapkan semuanya. Tidak juga lantas marah karena Papa yang membawa-bawa lagi Amore Karaoke dalam hidupnya saat dia masih terpuruk. Kedua hal itu berada dalam porsi yang sama. “Jadi apa yang harus kita lakukan setelah nanti kita sampai Bandung?” Akhirnya dia membuka kedua bibirnya.
Vino menekan senyum di ujung bibirnya. “Kamu bisa diskusikan dengan Mora. Kalian yang mengambil keputusan. Lalu perintahkan ke teman-teman kalian yang membantu.”
Devon memandangi mereka—kecuali Mora—yang tampak semangat, siap untuk menerima perintah apapun.
“Karena sudah membagi divisi. Kita—” Mora menggatungkan kalimatnya saat menyadari kata “kita” itu lebih ditunjukkan kepada dirinya dan Devon. “Kita akan mulai meminta mereka untuk bekerja sesuai tugasnya, tentu dengan campur tangan kita di dalamnya.” Memberanikan diri, dia menatap Devon lama. “Itu yang kita lakukan setelah sampai di sana.”
“Bagus. Satu-satunya cara untuk mengurangi perdebatan kalian bukan dengan cara tidak bertemu, tapi dengan bertemu setiap saat.” Vino mengisi gelasnya kembali lalu meminumnya setengah dan melanjutkan pembicaraan.
Lama Vino melemparkan senyum ke Mora. Mengerti bahwa Mora sedang berusaha membawa Devon agar mau menerima. Karena tidak dalam hitungan hari mereka akan selalu bersisian, tapi dalam hitungan detik. Beralih ke Devon, usahanya tak jauh berbeda, tapi dia belum bisa mengontrol dirinya.
Obrolan pun dilanjutkan dengan ide-ide untuk membenahi Amore Karaoke. Mereka saling melemparkan pendapat. Di sanalah, di saat-saat seperti itu Mora dan Devon bisa saling bertatap lama, tanpa melibatkan amarah, walaupun yang sebenarnya mereka menahan amarah itu mati-matian.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1