Yang harusnya resah tidak bisa mengikuti perkuliahan adalah dua cewek heboh itu—yang sedang berteriak-teriak menyemangati dari pinggir lapangan, bukannya Mora. Mora mengernyitkan kening melihat gelagat Ambar yang aneh. Biasanya cewek itu lebih suka mengamati pertandingan dengan tangan terlipat, mata yang terhunus tajam, mulut yang terkunci rapat. Kalau Cecil, tak perlu dibahas. Cewek itu tidak hanya ketika pertandingan berteriak heboh.
Hari ini jelas-jelas berbanding terbalik, Mora yang biasa lebih heboh dari Cecil justru mendiami tingkah Ambar. Dia hanya menyandar ke pagar dinding SD yang menghadap ke arah lapangan, menonton pertandingan futsal dengan penuh ketidakminatan. Apalagi setiap mendapati Devon yang sok mengarahkan, seolah cowok itu manager, pelatih atau entah apalah. Padahal dari tubuh cowok itu yang kaku, terlihat jelas dia bukanlah tipikal orang yang doyan olahraga.
Dia kan doyannya olahraga mulut, ngoceh terus!
Kembali ke keresahan Mora, sebenarnya dia tidak enak dengan Ambar yang harus mengikuti kelas susulan besok pagi, dan Cecil yang terkena remedial besok sore. Mereka harus ikut repot membantu mendirikan Amore Karaoke, mengorbankan waktu penting mereka hanya karena dirinya.
“Nih, biar segar, Mor…SEMANGAT REVI!!” Ola yang baru muncul menyodorkan satu cup es jeruk lalu berteriak heboh. Mora menjauhkan telinganya yang langsung berdenyut.
“Ke sana yuk. Makin seru nih pertandingannya.” Ajak Ola.
Dia hendak menarik tangan Mora, tapi Mora langsung menggeleng tegas. “Nggak ah. Gue di sini aja.”
Ola tak membiarkan ajakannya tertolak, ditariknya Mora ke pinggir lapangan, tak mengacuhkan erangan Mora bagai orang yang tersiksa. Emosi langsung bergumul di dada saat Ola menempatkannya di samping Devon yang serius mengamati jalannya pertandingan. Cowok itu tak merasakan aura pembunuhan yang menguar di sampingnya.
“La, tukeran deh.” Pinta Mora, tapi yang diajak bicara sibuk berteriak heboh karena Taki berhasil mencetak gol. Mora mengamati sekelilingnya. Di belakangnya dipadati penonton yang berdiri berdesak-desakan, tak ada jalan untuk berpindah tempat ke samping Ola.
“Ola! Tukeran dong!” Mora setengah berteriak yang hanya ditanggapi dengan kibasan tangan. Tak ada pilihan lain selain melangkah ke depan, melewati garis lapangan, lalu menyelinap di samping Ola.
“Eh, ngapain lo.” Gertak Devon mendapati Mora setengah melangkah masuk ke lapangan.
Mora menoleh. Dia benar-benar sudah berdiri di luar batas penonton. “Mau pindah tempat!” Balasnya
“Jangan lewat situ! Tuh..awas, lo ganggu aja pemain.” Devon menarik-narik tangan Mora saat pemain yang sedang menggiring bola mulai mendekat ke arah cewek itu.
“Gue tahu. Gue bakal hati-hati ko.”
“Lo merusak banget pemandangan.”
“Nggak peduli!” Diempaskannya cekalan Devon lalu kembali meneruskan niatnya tepat saat sebuah benda terbang ke arahnya. Mora menyipitkan mata, mengamati benda bundar itu yang kian menampkkan wujud aslinya. Dia tak mampu menghindar karena benda itu lebih dulu mendarat keras di keningnya.
BRUKK!
***
“Mor…Mor..Mora, Mora.”
Panggilan namanya kian jelas terdengar, begitupula penampakan orang yang membungkuk di atas tubuhnya semakin tercetak jelas di mata Mora. Ola menepuk pelan pipinya seraya terus memanggil namanya. “Syukur lah, lo udah sadar.” Ola menghembuskan napas lega lalu hilang dari pandangan Mora, memilih duduk di samping Mora yang terbaring.
Terbaring di mana ini? Mora mencoba mengangkat tubuhnya, tapi denyutan nyeri di keningnya menahanya sesaat sebelum setengah tubuhnya terangkat. Dia mengerjap-ngerjapkan mata, menormalkan matanya demi melihat tempat yang menaunginya kini.
Di pintu dua daun yang salah satu pintunya terbuka terukuri sulir-sulir tumbuhan. Tampak cantik dengan ukiran bunga di beberapa bagian pintu coklat itu. Beralih ke sisi kiri, yang terkena cahaya matahari berdiri sebuah buffet antik tiga pintu yang diselimuti perpaduan warna coklat hitam. Di atasnya berderet hiasan piring yang lagi-lagi antik, bermotif naga, bunga, kaligrafi dan…Mora tertegun. Diantara hiasan piring motif naga dan kaligrafi, dua senyuman yang hingga menampakkan gigi mereka tergambar dalam sebuah foto. Dua orang yang saling merangkul pundak memancarkan kebahagian lewat mata mereka yang menyipit saking lebarnya senyuman itu. Sosok itu masih berseragam sama terakhir Mora lihat. Kemeja biru muda dengan celana hitam.
Mora mengejang. Sesak dan nyeri. Lebih nyeri dibandingkan ketimpuk bola sepak tadi. Dia membuang pandangan, tapi lagi-lagi Nanzo dan Devon mendominasi foto-foto di atas buffet yang tertempel di dinding yang menyambut matanya. Beberapa foto Nanzo yang berkalung medali emasnya. Devon dan anggota keluarga lain tak ketinggalan berfoto di samping Nanzo yang dengan raut bangga mengacungkan medali kemenangan itu, terdapat pula Revi dan Taki di samping mereka. Tampak sebuah foto bergaya resmi, Devon yang berbalut jas sedikit sekali mematrikan senyum bahkan nyaris bibir tipis itu datar, di sampingnya kedua orang tuanya tersenyum lebar karena kelulusan putra mereka.
Dulu begitu indah. Dan kini Mora sadar, keindahan itu hampa oleh kehancuran yang disebabkan olehnya. Senyuman Devon terhapus langsung menuju titik terendah senyuman yang nyaris tak terbentuk di bibirya.
“La, ini di..” Mora bergerak resah. Walaupun semakin pening dan energinya terkuras habis hanya dalam sekali lihat foto-foto itu, Mora memaksakan berdiri sambil menarik Ola.
“Ini di rumah neneknya Devon.” Ola mencegah Mora beranjak. Dia menuntunnya kembali untuk duduk. “Nggak apa-apa, Ra.” Ola cepat menggeleng tegas mengetahui apa yang kini diresahkan Mora. “Gue nggak kenapa-kenapa. Gue justru lega karena kuat ketika melihat foto-foto itu.” Segera, sebelum Mora menyeretnya kembali, dia langsung meraih cangkir berisi teh manis lalu memberikannya kepada Mora.
“Mumpung masih hangat.” Ucapnya. “Tadi Neneknya—”
“Harusnya ada satu foto lagi. Satu cucunya lagi yang pake jas sambil pake belasan medalinya.” Devon muncul dari balik cahaya itu. Bagai malaikat kegelapan yang menghantui Mora.
“Devon, cukup--.”
“Gue cuman ngasih tahu aja. Karena melihat foto-foto itu aja udah buat dia kayak mau mati, kan?” Mata Devon beralih ke Mora yang mendadak dipenuhi keringat.
Mora meneguk habis minumannya, tak terasa lagi panasnya teh manis yang harusnya mencekat lidahnya. Mulutnya dipaksa bungkam karena tamparan itu akan melayang lebih sakit bila dia membalasnya.
“Atos sehat neng?1” Suara ringkih memustuskan aliran panas itu.
Devon bergegas menghampiri nenek yang berbalut daster dan berkerudung. Kerutan menguasai rautnya, tapi tidak mengalahkan kecantikannya yang masih terpancar. “Atos, nik. Nganggee Bahasa Indonesia bae, rerencangan Devon henteu ngartos.2”
“Gue ngerti ko meskipun bukan orang Bandung asli.” Balas Mora tajam.
Nenek terkekeh sambil menepuk pundak Devon lalu menghampiri Mora dengan duduk di samping sofa yang sebelumnya membaringkan Devon. Mora dan Ola saling pandang karena tak mengerti penyebab Nenek berumur 65 tahun itu tertawa kecil.
“Kamu cucunya Kakek Wandi, Neng?” Suara lembut itu melepaskan ikatan-ikatan yang mengunci dada Mora. Hangat dan Tenang. Setelah diterpa badai foto-foto itu dibumbui perkataan Devon yang mengerikan, Mora bisa melemparkan senyuman manis di bibir galingnya.
“Iya Nek. Nenek kenal kakek saya?”
“Kakek Wandi teman dekatnya Kakek-nya Devon. Kakek Hasan sekaligus suami Nenek.”
Mulut Mora membulat.
“Dulu sekali Kakek Wandi sering ke sini.”
Semakin dibulatkan mulutnya saat mengetahui di rumah ini ada jejak-jejak kakeknya. Tanpa sadar dia beralih ke Devon. Kenapa dia harus bersinggungan dengan Devon melalui cara seperti ini?
“Saya baru tahu tentang Kakek saya. Saya tak menyangka, dia punya sahabat jauh.”
Nenek terkekeh lagi. Tampak lucu dengan gigi ompongnya yang muncul. “Mereka itu sahabat dari SMA. Sering nyanyi bareng, bikin lagu bareng dan buka usaha bareng. Terakhir usaha karaoke di Bandung itu.” Nenek teringat sesuatu lalu beralih ke Devon yang duduk di sebrangnya yang terhalang meja. “Kata Papamu, kamu melanjutkan usaha karaoke itu?”
Erangan kesal terdengar samar. Devon mati-matian tidak membawa-bawa masalah karaoke itu di tempat yang dipenuhi Nanzo. “Nik, Revi sama Taki sebentar lagi datang. Mereka pasti lapar.” Ucapnya mengalihkan topik.
Nenek menepuk pahanya pelan. Dia baru ingat meninggalkan orang suruhannya di dapur yang bekerja sendirian. “Nanti Devon ajak teman-temannya makan.”
“Muhun, Nik.”2 Devon membantu nenek berdiri lalu mengantarkannya sampai dapur.
Tak berapa lama dia menghempaskan pantat di sofa yang diduduki Nenek. “Gimana?” Tanyanya ketus.
“Apanya?” Mora tak kalah ketus
“Tuh, kepala lo.” Tunjuknya.
Mora mengusap keningnya dan terasa sesuatu yang aneh.
“Benjol!” Caci Devon dengan nada sumringah. “Gue udah peringatin lo!”
Mora menggeram. Ini memang salahnya saking ingin menjauh dari Devon. Kini dia mengetahui sesuatu. Bagaimanapun caranya dia menghindar, malah bencana yang mendatanginya. Sama halnya dengan Amore Karaoke. Bagaimana pun dia menghindar, ketenangan akan menjauhinya. Artinya ini pertanda jangan menyerah untuk menghadapi segala hal tentang Devon. Kemarahannya. Caci makinya. Kebengisannya. Kejudesannya.
“Kenapa gue dibawa ke sini?”
“Saudara gue keukeuh pengen bawa lo ke rumah Nenek karena lo teman gue.” Devon menekan kata teman dengan nada tak ikhlas.
Ola terkikik lalu tersenyum geli. “Yaaa…saking sebagai teman yang baik. Lo rela gendong dia.”
Dua makhluk di depannya mendadak menjelma menjaadi patung bernyawa. Mereka saling melirik dan sepersekian detik kemudian saling membuang muka dengan dipenuhi kekesalan.
Gila! Mora bergidik, memeluk tubuhnya sendiri.
1Sudah sehat?
2Sudah Nek. Pake Bahasa Indonesia saja, mereka tidak mengerti
3Baik, Nek.
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1